• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENGERINGAN DAN PERENDAMAN BERULANG (HORNIFIKASI) UNTUK MENINGKATKAN

POLIVINIL ALKOHOL/PVA Pendahuluan

KARAKTERISTIK KOMPOSIT PLASTIK DENGAN BAHAN PENGISI SLUDGE DAN MATRIKS POLIPROPILENA (PP)

6 METODE PENGERINGAN DAN PERENDAMAN BERULANG (HORNIFIKASI) UNTUK MENINGKATKAN

INTERAKSI SERAT DENGAN MATRIKS POLIPROPILENA

Pendahuluan

Pengeringan serat menyebabkan berkurangnya kemampuan serat untuk mengembang ketika direndam kembali dalam air. Kondisi ini dikenal dengan ‘hornifikasi’ yang dikemukakan pertama kali oleh G. Jayme tahun 1944 (Minor 1994). Mekanisme hornifikasi melibatkan peningkatan ikatan saling silang diantara mikrofibril akibat penambahan ikatan hidrogen selama proses pengeringan dan pembasahan yang berulang/rewetting (Minor 1994; Diniz et al. 2004). Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat yaitu dengan mengukur nilai water retention value (WRV) dengan metode sentrifugasi sebagaimana diperkenalkan oleh G. Jayme tahun 1944 (Diniz et al. 2004). Pengurangan nilai WRV serat yang terhornifikasi diharapkan dapat meningkatkan interaksi serat dengan matriks PP, karena serat menjadi lebih hidrofobik.

Metode pengeringan dan perendaman berulang telah dilakukan untuk meningkatkan interaksi antara serat alami dan matriks semen. Beberapa penelitian telah menggali bahwa penggunaan serat alami dalam matriks semen memiliki kelemahan. Serat alami memiliki daya tahan yang rendah dalam medium alkali serta rendahnya adhesi terhadap matriks semen (Ballesteros et al. 2015). Perlakuan siklus pengeringan dan perendaman terhadap serat menyebabkan berkurangnya kapasitas penyerapan air oleh serat (nilai WRV rendah) dan meningkatkan stabilitas dimensi serat, sehingga terjadi adhesi serat dan matriks yang diharapkan, ditunjukkan oleh peningkatan sifat mekaniknya. Rendahnya nilai WRV juga menyebabkan pengurangan pembentukan inkrustasi/pengerasan kalsium hidroksida pada lumen dan permukaan serat sehingga mengurangi kerusakan serat dalam matriks semen (Mohr et al. 2005; Claramunt et al. 2010; Claramunt et al. 2011). Komposit berbahan matriks polimer/plastik juga memiliki kelemahan ketika digabungkan dengan serat alami, yang diakibatkan oleh perbedaan sifat plastik (hidrofobik) dan serat alami (hidrofilik). Metode pengeringan dan perendaman berulang belum pernah dilaporkan untuk perlakuan terhadap serat sebagai pengisi pada komposit plastik. Berdasarkan hal tesebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh siklus pengeringan dan perendaman terhadap karakteristik sludge (sifat fisik dan kimia), serta sifat mekanik pada komposit plastik yang dihasilkan.

Bahan dan Metode

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer diperoleh dari PT. Indah Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten. Polipropilen impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA diperoleh dari PT Chandra Asri Petrochemical, Cilegon. Karakteristik terpenting dari jenis PP impact copolymer (block copolymer) BI9.0GA adalah material yang paling tahan benturan (tidak mudah pecah) dan juga memiliki ketahanan terhadap temperatur rendah (mencapai -30oC), melt flow rate (MFR) 9.0 g/10 menit serta kerapatan 0.9 g/cm3. Agen pengkopel yang digunakan adalah Licocene PPMA 6452 TP merupakan produk dari Clariant Chemical, Ltd. Jerman. Karakteristik Licocene PPMA 6452

TP antara lain bilangan asam 41 mg KOH/g, titik pelunakan (softening point) 1430C, kerapatan 0.93 g/cm3 serta tingkat grafting maleat anhidrida 7%. Bahan kimia yang digunakan antara lain asam sulfat (95%), etanol, benzena, sodium klorit (NaClO2), asam asetat, sodium hidroksida, air destilata dan asam klorida.

Perlakuan terhadap serat

Hornifikasi serat dilakukan pada 2 kondisi sludge (tanpa perlakuan dan perlakuan purifikasi). Perlakuan hornifikasi pada serat dilakukan melalui tahapan pengeringan pada suhu 600C selama 24 jam dan perendaman selama 24 jam dalam air destilata yang dilakukan secara berulang. Pengeringan dan pembahasan kembali dilakukan sebanyak 10 kali/siklus.

Pembuatan komposit

Pembuatan komposit dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : pencampuran sludge dan matriks polipropilen menggunakan labo plastomill merk Haake Polydrive pada suhu 1750C, kecepatan 60 rpm selama 20 menit. Komposisi bahan yang digunakan sludge:matriks adalah 40:60, 50:50 dan 60:40. Selanjutnya dari campuran tersebut dibentuk menjadi pellet, kemudian dibuat menjadi lembaran/komposit dengan menggunakan kempa panas pada suhu 180o C selama 20 menit. Setelah itu dikempa dingin selama 10 menit. Selanjutnya komposit yang dihasilkan dikondisikan pada suhu kamar dan selanjutnya dipotong dengan ukuran tertentu untuk dilakukan pengujian.

Pengukuran WRV pada Sludge

Hornifikasi serat ditentukan melalui sifat pengikatan air oleh serat dengan mengukur nilai WRV. Pengukuran WRV mengacu pada metode yang dilakukan oleh Wistara (2000). Sludge sebanyak 1.5 gram (kering oven) diuraikan dalam 800 ml air destilata, kemudian dilarutkan dalam 2000 ml air destilata dan divakum selama 4 jam. Selanjutnya untuk sampel pengukuran WRV dibuat lembaran dari 200 ml adukan pulp/serat. Sampel yang dihasilkan kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada 3000 G. Setelah sentrifugasi sampel ditimbang, kemudian dikeringkan pada suhu 103±20C hingga beratnya konstan. Nilai WRV dihitung dengan persamaan:

WRV=(A-B)/Bx100

dimana A= berat sampel setelah sentrifugasi, dan B= berat sampel kering oven. Untuk mengetahui derajat kristalinitas dan fasa bahan diuji dengan X-Ray Diffraction (XRD).

Selain pengukuran WRV dilakukan pengukuran sudut kontak untuk melihat pengaruh siklus pengeringan dan pembasahan terhadap keterbasahan serat. Pengukuran dilakukan dengan meneteskan aquades ke permukaan lembaran serat. Kemudian diukur perubahan sudut kontaknya setiap 10 detik selama 2 menit.

Karakterisasi komposit

Karakterisasi sifat mekanis (keteguhan tarik, modulus tarik dan elongasi patah) film komposit dilakukan berdasarkan ASTM D882-75b (Standard Test Method for Tensile Properties of Thin Plastic Sheeting) pada kecepatan crosshead 50mm/min. Morfologi komposit dengan pengisi sludge dikarakterisasi dengan scanning electron mycroscope (SEM) tipe JEOL-JSM-6510LV. Dalam analisis morfologi ini, sampel diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada

pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan osmium pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Diagram penelitian disajikan pada Gambar 38.

Gambar 38 Diagram alir pembuatan komposit matriks PP dengan pretreatment hornifikasi

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh siklus pengeringan dan perendaman pada sludge

Tabel 8 menunjukkan terjadinya penurunan nilai WRV berdasarkan siklus pengeringan dan pembasahan kembali, baik pada sludge kontrol maupun yang mengalami perlakuan kimia. Siklus pengeringan dan pembasahan kembali (rewetting) pada serat akan menyebabkan penyusutan akibat terbentuknya ikatan hidrogen pada selulosa (hornifikasi). Diduga bahwa hornifikasi disebabkan oleh peleburan pada mikrofibril-mikrofibril selulose yang bersifat tetap. Ketika air dihilangkan dari serat, maka mikrofibril-mikrofibril yang berdampingan menjadi saling berdekatan dan ikatan-ikatan hidrogen terbentuk diantara mereka. Pembasahan kembali (rewetting) hanya mengembalikan kadar air sebagian karena beberapa fibril-fibril tetap terikat (Luo dan Zhu 2011).

Tabel 8 Nilai WRV (%) setelah siklus pengeringan dan perendaman Kondisi

Serat

Siklus Pengeringan/Perendaman Hornifikas i (%) Kontro l II IV VI VIII X Sludge (tanpa perlakuan) 85 78 73 64 63 62 27.06 Sludge (perlakuan purifikasi) 78 76 54 47 44 44 43.59 Penurunan nilai WRV pada sludge yang lebih besar ditunjukkan pada serat yang telah mengalami perlakuan kimia. Sebagaimana hasil yang diperoleh pada penelitian Claramunt et al. (2010), bahwa penurunan WRV yang lebih signifikan terjadi pada pulp yang telah mengalami proses pemutihan (bleaching). Lebih lanjut Claramunt et al. (2010) menjelaskan bahwa ada mekanisme interfase lignin- hemiselulose pada selulose yang akan mencegah pembentukan ikatan hidrogen diantara mikrofibril selama proses/siklus pengeringan dan pembasahan kembali. Hal tersebut menyebabkan aksesibilitas air menjadi lebih mudah. Namun dengan penghilangan lignin-hemiselulose melaui proses pemutihan, ikatan yang fleksibel antara selulose-hemiselulose diganti dengan ikatan selulosa-selulose yang lebih kaku. Ikatan selulose-selulose yang lebih kaku ini akan menyebabkan aksesibilitas air menjadi sulit. Wan et al. (2010) juga menyatakan bahwa hemiselulose memiliki peranan penting dalam mempertahankan kemampuan serat untuk menyerap air, karena hemiselulosa berada diantara mikrofibril yang menghambat terjadinya peleburan diantara mikrofibril tersebut. Köhnke et al. (2010) melakukan penelitian tentang adsorbsi glukuronoxilan (komponen utama hemiselulosa) terhadap perubahan sifat bleached kraft pulp yang mengalami pengeringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorbsi glukuronoxilan dapat mengurangi hornifikasi. Dengan demikian tingkat hornifikasi berkorelasi dengan kadar hemiselulosa. Semakin rendah kadar hemiselulosa, maka tingkat hornifikasi semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6, dimana nilai hornifikasi yang lebih tinggi terdapat pada serat yang mengalami perlakuan kimia (diantaranya adalah penghilangan hemiselulosa). Serat yang terhornifikasi akan menjadi lebih hidrofobik, dan diharapkan dapat meningkatkan interaksi antara serat dan matriks. Sebagaimana Claramunt et al. (2010) yang melakukan penelitian komposit semen berpenguat serat alam menyatakan bahwa serat yang terhornifikasi akan memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi. Hornifikasi pada serat akan menyebabkan interaksi yang lebih baik antara matriks dengan serat.

Data pendukung pengaruh siklus pengeringan dan perendaman pada sludge lainnya adalah keterbasahan serat yang ditunjukkan oleh besarnya sudut kontak ditunjukkan pada Gambar 39 dan Gambar 40. Suduk kontak dapat digunakan untuk mengetahui sifat pembasahan pada bahan padat melalui setetes cairan yang dibuat pada permukaan. Tidak seperti pada bahan/substrat misalnya mika, kuarsa, kaca dan lain-lain yang memiliki permukaan sangat homogen dan datar, pembentukan sudut kontak air pada serat selulosa tidak statis tetapi melalui proses yang dinamis. Pada saat terjadi kontak antara air dengan permukaan serat, maka langsung mengalami proses implantasi. Proses implantasi dapat dibagi

menjadi tiga tahap yaitu adhesi, penetrasi, dan kemudian penyebaran. Oleh karena itu, sudut yang dibentuk antara bahan cair bergerak dan permukaan padat disebut sudut kontak dinamis, biasanya digunakan untuk mengukur sifat pembasahan dari serat selulosa dan produk kertas (Li et al. 2011a).

Gambar 39 Sudut kontak pada a) sludge tanpa perlakuan; b) sludge terhornifikasi dan c) sludge terpurifikasi

Gambar 39 (C) menunjukkan bahwa serat yang mengalami perlakuan memiliki nilai sudut kontak yang lebih besar meskipun air sama-sama meresap sempurna pada detik ke-20. Gambar 40 menunjukkan bahwa pada serat yang mengalami perlakuan kimia kemudian dilanjutkan dengan hornifikasi terjadi perubahan fisik, yaitu bersifat lebih hidrofobik. Sifat hidrofobik ini ditunjukkan dengan kemampuan serat yang sulit untuk menyerap air.

Gambar 40 Sudut kontak pada sludge yang mengalami purifikasi dan hornifikasi Gambar 41 menunjukkan perubahan sudut kontak berdasarkan fungsi waktu, dimana serat yang tidak mengalami hornifikasi pada detik ke-20 dan detik ke-30 telah menyerap air dengan sempurna. Sementara pada serat yang mengalami perlakuan kimia sekaligus hornifikasi hingga detik ke-120 air masih tertahan pada lembaran serat (rata-rata sudut kontak 79.380). Dengan demikian perlakuan pengeringan/perendaman secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik dari serat.

Gambar 41 Sudut kontak antara air dengan sludge Karakteristik Komposit Plastik

Nilai kerapatan komposit plastik ditunjukkan pada Gambar 42, dengan pola yang hampir sama dengan komposit yang ditambahkan MAPP. Dengan demikian perlakuan hornifikasi dapat berperan untuk mengkatkan kompatibilitas antara serat dengan matriks.

Gambar 42 Nilai kerapatan pada komposit

Gambar 43 menunjukkan nilai daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit dengan pengisi sludge yang mengalami perlakuan hornifikasi. Hasil tersebut memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan komposit sludge/PP/MAPP, dengan demikian perlakuan hornifikasi juga dapat meningkatkan interaksi yang lebih baik antara serat dengan matriks.

Gambar 43 Nilai daya serap air dan pengembangan tebal pada komposit Gambar 44 menunjukan hasil pengujian kekuatan tarik pada komposit plastik. Kekuatan tarik semakin menurun dengan meningkatnya jumlah serat pada komposit. Perlakuan hornifikasi dapat meningkatkan sifat kekuatan tarik dibandingkan komposit dengan pengisi serat tanpa perlakuan hornifikasi.

Gambar 45 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai modulus young pada komposit plastik dengan peningkatan jumlah sludge. Pada beberapa sampel terlihat bahwa perlakuan hornifikasi memberikan hasil pada modulus young yang lebih baik dibandingkan komposit dengan pengisi serat tanpa perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan hornifikasi mampu meningkatkan ikatan antar muka antara serat dengan matriks PP.

Gambar 45 Modulus young pada komposit plastik

Penambahan nanokristalin selulosa pada matriks PP lebih rendah daripada komposit dengan pengisi sludge berukuran mikro. Bahkan penambahan nanokristalin selulosa 40% memiliki nilai modulus young yang lebih rendah daripada matriks PP. Hal ini diduga bahwa dengan semakin kecilnya ukuran serat maka meningkatkan luas permukaan dari pengisi, sementara jumlah matriksnya tetap, sehingga dimungkinkan adanya sebagian pengisi yang tidak terlapisi oleh matriks PP secara optimal. Selain itu serat yang mengalami perlakuan hidrolisis asam memiliki stabilitas panas yang lebih rendah (Johar et al. 2012), sehingga pada saat proses pencampuran antara serat dengan matriks pada suhu tinggi diduga menyebabkan terjadinya depolimerisasi pada matriks.

Gambar 47 menunjukkan hasil SEM dari komposit dengan matriks PP pada variasi perlakuan sludge. Terlihat perbedaan morfologi permukaan komposit dengan perbedaan pengisi dan perlakuan pada sludge. Komposit dengan pengisi sludge tanpa purifikasi memperlihatkan adanya celah antara serat dengan matriks yang mengindikasikan tidak terjadinya interaksi antara serat dengan matriks. Pada serat yang mengalami hornifikasi meskipun masih terlihat adanya serat yang tidak terlapisi oleh matriks namun sudah mulai terlihat matriks menyelimuti serat. Hal serupa juga terjadi pada komposit dengan pengisi sludge yang mengalami purifikasi. Sementara pada komposit dengan pengisi nanokristalin selulosa morfologi permukaannya berbeda dengan komposit lainnya. Interaksi yag lebih baik terjadi antara nanokristalin selulosa dengan matriks yang ditunjukkan oleh morfologi permukaan komposit yang relatif lebih homogen, baik pada nanokristalin selulosa kontrol maupun yang mengalami perlakuan hornifikasi.

Kontrol Hornifikasi

Kontrol Hornifikasi

Kontrol 8 Hornifikasi Gambar 47 Foto SEM komposit plastik

Non purifikasi

Purifikasi

Simpulan

Siklus pengeringan dan perendaman terhadap sludge secara berulang mampu meningkatkan sifat hidrofobik serat sludge yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai WRV dan nilai sudut kontak yang tinggi. Perlakuan hornifikasi mampu meningkatkan ikatan antar muka antara serat dengan matriks PP, yang ditunjukkan oleh peningkatan sifat fisis-mekanis komposit PP dengan pengisi serat terhornifikasi. Hasil SEM menunjukkan bahwa morfologi permukaan komposit PP dengan pengisi serat terhornifikasi relatif lebih homogen.

Dokumen terkait