• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOSELULOSA DARI SLUDGE PRIMER

Pendahuluan

Purifikasi pada sludge mengakibatkan berkurangnya bahan anorganik, sehingga meningkatkan kadar selulosanya dari 39.87 % menjadi 76.34 %. Dengan demikian purifikasi dapat menghasilkan serat yang relatif murni dari sludge primer, sehingga dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan nanoselulosa. Nanoselulosa merupakan selulosa yang mengalami perlakuan pemisahan serat menjadi mikrofibril-mikrofibril dengan kisaran diameter 10-100 nm dan panjang beberapa mikrometer (Spence et al. 2011; Winuprasith dan Suphantharika 2013). Mikrofibril selulosa mulai dikembangkan oleh Turbak et al. (1983) melalui perlakuan homogenisasi, Istilah mikrofibril selulosa kemudian dikenal juga dengan istilah nanofibrillar cellulose/nanofibril selulosa, cellulose nanofibers,

cellulose nanofibrils/selulosa nanofibril dan nanoselulosa (Siró dan Plackett 2010). Hingga saat ini nanoselulosa selulosa merupakan bahan yang diminati karena memiliki karakteristik, antara lain memiliki luas permukaan spesifik, kekuatan dan kekakuan yang tinggi, memiliki berat yang rendah, bersifat biodegradable dan renewable (Winuprasith dan Suphantharika 2013). Karakteristik tersebut membuat nanoselulosa selulosa memiliki sifat mekanik yang baik, sehingga berpotensi digunakan pada industri komposit, otomotif, pulp dan kertas, elektronik, cat dan coating, dan lain-lain. Kelebihannya sebagai penguat pada komposit selain mengurangi penggunaan komponen berbasis minyak bumi juga mengurangi abrasi pada komponen seperti baja dan keramik (Nakagaito dan Yano 2004; Siqueira et al. 2010; Siró dan Plackett 2010; Spence et al. 2011; Moberg dan Rigdahl 2012).

Nanoselulosa dapat dihasilkan melalui beberapa metode, terutama metode mekanik seperti homogenisasi, microfluidization, microgrinding, refining, ultrasonikasi, cryocrushing dan electrospinning Metode refining (penggilingan) dengan disk refiner biasanya dilakukan pada tahap awal untuk mengurangi panjang serat/defibrilasi, terutama sebelum perlakuan homogenisasi dengan high press homogenization. Pada perlakuan homogenisasi seringkali serat menyumbat sistem alat (pada katup in-line), sehingga dilakukan penggilingan dengan disk refiner untuk mengurangi panjang serat. Perlakuan penggilingan saja tidak cukup untuk menghasilkan serat hingga ukuran nano, sehingga harus dikombinasikan dengan perlakuan lain. Metode ultrasonikasi dilakukan untuk memisahkan serat yang terdapat dalam media air melalui proses kavitasi. Proses kavitasi efektif untuk membuka struktur pada serat yang telah mengalami perlakuan penggilingan dan melepaskan mikrofibril yang membentuk dinding sel serat (Spence et al. 2011; Lavoine et al. 2012; Tonoli et al. 2012).

Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk membuat produk nanoselulosa dari sludge. Sludge terdiri dari serat (50-60 %) dan bahan anorganik seperti mineral dan abu (Mehmood et al. 2010), sehingga memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif sumber selulosa. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan nanoselulosa dari sludge primer beserta karakterisasinya melalui tiga metode. Pertama adalah metode penggilingan dengan grinder, kedua metode kombinasi perlakuan penggilingan (dengan disk

refiner) dan ultrasonikasi dan yang ketiga adalah metode kombinasi hidrolisis asam dan ultrasonikasi.

Bahan dan Metode Bahan

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sludge primer dalam kondisi kering udara. Selanjutnya, gumpalan sludge kering ini diurai dengan disk mill untuk menghasilkan serat individu. Serat selulosa diperoleh melalui tahap ekstraksi yang mengacu pada penelitian Fahma et al. (2010), meliputi ekstraksi dengan etanol-benzena, penghilangan lignin dengan sodium klorit, penghilangan hemiselulosa melalui ekstraksi dengan natrium hidoksida 17.5% dan penghilangan bahan anorganik dengan asam klorida.

Metode

Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Grinder

Serat hasil purifikasi dimasukkan ke dalam alat grinder, kemudian dilakukan penggilingan dengan variasi waktu 30, 60 dan 90 menit.

Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Kombinasi Disc Refiner dan Ultrasonikasi

Sebanyak 100 gram serat hasil ekstraksi direndam didalam 1000 ml air selama ±24 jam. Selanjutnya campuran serat dan air tersebut digiling dengan disk refiner dan secara bertahap ditambahkan ±11000 ml air hingga volumenya mencapai 12000 ml. Variasi penggilingan dilakukan pada 10, 20 dan 30 siklus, setelah penggilingan dilakukan ultrasonikasi, yaitu dengan mengambil 100 ml hasil penggilingan yang diencerkan dengan 100 ml akuades hingga terbentuk slurry. Variasi waktu ultrasonikasi adalah 60, 90 dan 120 menit pada amplitudo 50%.

Pembuatan Nanoselulosa Menggunakan Kombinasi Hidrolisi Asam dan Ultrasonikasi

Serat selulosa yang telah mengalami pemurnian dihidrolisis dengan larutan asam sulfat 40, 50 dan 60 % pada suhu 45 °C selama 30 dan 60 menit dengan putaran konstan (perbandingan serat dengan larutan 1:20). Hidrolisis dihentikan dengan penambahan air destilata dingin, kemudian dilakukan sentrifuse berulang pada 800 rpm hingga tercapai pH konstan. Kemudian dilakukan ultrasonikasi selama 30 menit pada amplitudo 50 %.

Karakterisasi Nanokristalin Selulosa

Morfologi serat dan mikrofibril dikarakterisasi dengan scanning electron mycroscope (SEM) tipe JEOL-JSM-6510LV. Dalam analisis morfologi ini, sampel serat diletakkan pada carbontape yang ditempelkan pada pemegang sampel berdiameter 1 cm. Sampel di lapisi dengan emas pada alat coating, kemudian dimasukkan ke alat SEM dan dipindai pada tegangan 15 kV. Untuk mengetahui jenis dan persentase relatif kandungan unsur pada sampel digunakan Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDS). X-Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk menentukan kristalinitas serat dan mikrofibril selulosa, mengetahui fasa dan bahan aditif yang terdapat dalam sludge. Sampel diletakkan diatas gelas pegangan sampel dan dianalisis dibawah kondisi ruang. Difraktogram

XRD direkam dengan seri Shimadzu XRD-7000 MaximaX. Radiasi NI disaring dengan CuKα pada bilangan gelombang 1.54060 A. X-ray dioperasikan pada voltase 40 kV dan 30 mA, sudut pindai βθ sebesar 10-40° setiap 2°/menit. Data RD yang diperoleh digunakan untuk menghitung ukuran kristal sampel dengan menggunakan persamaan Scherrer (Langford dan Wilson 1978) sebagai berikut :

� = . ��� �. �

dimana D adalah ukuran kristal (nm), k adalah konstanta dengan nilai 0.9, λ adalah bilangan gelombang 1.54, B adalah nilai FWHM (Full Wide Half Maximum) dan ɵ adalah

sudut difraksi.

Pengujian fourier transform infrared (FTIR) dilakukan dengan menggunakan ABB MB 3000 (Reliable FTIR Laboratory Analyser, Canada) pada bilangan gelombang 4450-500 cm−1 dengan resolusi 4 cm−1. Ukuran dan distribusi nanokristalin selulosa diukur dengan menggunakan VASCO Particle Size Analyzer (Cordouan Technologies, France). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Diagram alir pembuatan nanoselulosa dari sludge primer Hasil dan Pembahasan

Morfologi Nanoselulosa Metode Grinding

Penggilingan dengan grinder dilakukan pada dua kondisi, yaitu sludge tanpa perlakuan purifikasi dan sludge yang mengalami purifikasi (Gambar 11). Sludge tanpa perlakuan purifikasi berwarna kecoklatan karena didalamnya masih

terkandung lignin dengan kadar 21.62 %. Perlakuan purifikasi menghasilkan sludge yang berwarna lebih cerah/pucat karena berkurangnya kadar lignin menjadi 2.76 %.

Gambar 11 Sludge (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi

Analisis DLS digunakan utuk menentukan distribusi statistik partikel pada sludge sebelum dan setelah purifikasi. Gambar 12 menunjukkan kurva penyebaran ukuran berdasarkan jumlah (number) pada sludge (sebelum dan setelah purifikasi) yang diberi perlakuan grinding. Setelah dilakukan pengukuran pada jutaan partikel, rata-rata ukuran partikel pada sludge tanpa purifikasi yang digiling selama 30, 60 dan 90 menit berturut-turut berukuran 925.05 nm, 823.05 nm dan 447.22 nm. Sementara pada sludge terpurifikasi ukuran partikel yang dihasilkan lebih kecil lagi yaitu 253.71 nm, 71.53 nm dan 103.85 nm pada waktu penggilingan 30, 60 dan 90 menit. Ukuran dibawah 100 nm diperoleh pada kondisi sludge terpurifikasi dengan waktu penggilingan 60 menit. Setelah dilanjutkan penggilingan hingga 90 menit ternyata tidak menghasilkan ukuran yang lebih kecil, justru ukurannya meningkat dengan rata-rata ukurannya adalah 103.85 nm. Peningkatan ukuran ini karena semakin lama digiling sludge mengalami penggumpalan. Dengan demikian metode grinding belum mampu untuk menghasilkan nanoselulosa dibawah ukuran 100 nm, karena pada penggilingan 60 menit ukuran serat juga masih heterogen, ditunjukkan oleh adanya endapan didalam slurry.

Gambar 12 Distribusi ukuran partikel pada sludge yang mengalami perlakuan: (a) penggilingan 30 menit, (b) penggilingan 60 menit, (c) penggilingan 90 menit, (d) purifikasi dan penggilingan 30 menit, (e) purifikasi dan penggilingan 60 menit dan (f) purifikasi dan penggilingan 90 menit

Metode Kombinasi Perlakuan Penggilingan (Dengan Disk Refiner) dan Ultrasonikasi

Gambar 13 menunjukkan sludge hasil perlakuan kombinasi penggilingan dengan disk refiner dan ultrasonikasi. Serat berwarna putih menunjukkan serat tanpa lignin. Peningkatan ultrasonikasi meningkatkan dispersi selulosa di dalam slurry. Hanya saja masih terdapat serat yang mengendap didalam slurry tersebut yang mengindikasikan bahwa sebagian ukuran serat masih dalam skala mikron.

Gambar 13 Selulosa setelah (a) penggilingan 30 kali; (b) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 60 menit; (c) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 90 menit dan (d) penggilingan 30 kali dan ultrasonikasi 120 menit Morfologi selulosa setelah perlakuan pengilingan dan ultrasonikasi disajikan pada Gambar 14. Semakin lama perlakuan penggilingan dan waktu ultrasonikasi, maka semakin kecil ukuran diameter selulosa yang dihasilkan. Setelah penggilingan 10 putaran diperoleh ukuran diameter serat sekitar 3.533 µm dengan ultrasonikasi selama 60 menit, dan 1,809 µm dengan ultrasonikasi 120 menit. Sementara pada penggilingan 30 putaran dihasilkan diameter serat sekitar 2.201 µm dengan ultrasonikasi 60 menit dan 0.284 µm dengan ultrasonikasi 120 menit. Perlakuan penggilingan adalah untuk melakukan fibrilasi selulosa melalui gaya gesek. Sementara metode ultrasonikasi adalah dengan menggunakan gelombang ultrasonik untuk menghasilkan tegangan mekanik yang kuat yang dapat menyebabkan kavitasi. Kavitasi adalah peristiwa pembentukan, pertumbuhan dan meledaknya gelembung di dalam cairan yang melibatkan sejumlah energi yang sangat besar, sehingga menghasilkan efek panas yang menyebar kedalam suspensi. Fenomena tersebut yang dimanfaatkan untuk memisahkan serat selulosa kedalam bentuk yang lebih kecil (Chen et al. 2011).

Gambar 14 Foto SEM selulosa dari sludge dengan (a) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (b) penggilingan 10 putaran, ultrasonikasi 120 menit; (c) penggilingan 20 putaran, ultrasonikasi 60 menit; (d) penggilingan 20 putaran , ultrasonikasi 120 menit; (e) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 60 menit; dan (f) penggilingan 30 putaran, ultrasonikasi 120 menit pada perbesaran 10000 dan 300

Metode Kombinasi Perlakuan Hidrolisis Asam dan Ultrasonikasi

Nanoselulosa yang dihasilkan melalui proses hidrolisis dikenal dengan istilah nanokristalin selulosa/Nanocrystalline cellulose atau cellulose nanocrystal, cellulose nanowhiskers, cellulose crystallites, crystals, monocrystals, microcrystals dan microcrystallites (Johar et al. 2012). Gambar 15 menunjukkan slurry hasil hidrolisis asam pada konsentrasi 40, 50 dan 60 % yang dilanjutkan dengan proses ultrasonikasi. Pada slurry hasil hidrolisis asam 40% terdapat endapan yang menunjukkan bahwa sebagian besar selulosa masih berukuran besar, sementara pada hidrolisis asam 50 % slurry cenderung homogen tanpa adanya endapan yang merupakan indikator telah berukuran dibawah 100 nm. Serat yang dihidrolisis pada konsentrasi 60 % menghasilkan slurry yang berwarna kehitaman, menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat terlalu pekat yang menyebabkan selulosa telah terhidrolisis menjadi glukosa (Aulia et al. 2013). Dengan demikian konsentrasi asam sulfat 60% tidak dapat dilakukan pada proses hidrolisis terhadap sludge, sementara pada serat kayu umumnya konsentrasi asam yang digunakan dalam proses tersebut adalah 64%.

Gambar 15 Slurry sludge hasil hidrolisis asam 40% (a), 50% (b) dan 60% (c) Gambar 16 (a dan b) menunjukkan bahwa sludge sebelum dan setelah purifikasi, memiliki diameter serat antara 6 dan 52 µm. Proses purifikasi tidak merusak struktur selulosa, dan terlihat lebih sedikit adanya pengotor. Gambar 16 (c dan d) menunjukkan nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa -60, dimana serat telah terfibrilasi dan ukurannya mengecil menjadi skala nano (dibawah 100 nm). Namun setelah pengeringan seringkali diantara individu nanokristalin selulosa menyatu kembali (terjadi penggumpalan).

Gambar 16 SEM pada sludge primer (a) sebelum dan (b) setelah purifikasi, (c) nanokristalin selulosa-30, (d) nanokristalin selulosa-60

Gambar 17 menunjukkan kurva penyebaran ukuran berdasarkan jumlah (number) pada sampel nanokristalin selulosa dalam bentuk slurry. Pada slurry hasil hidrolisis asam 40% alat PSA tidak mampu mendeteksi ukuran partikel. Sementara itu setelah dilakukan pengukuran pada jutaan partikel, rata-rata ukuran partikel pada slurry nanokristalin selulosa-30 adalah 64.32 nm dan pada slurry nanokristalin selulosa-60 adalah 54.10 nm.

Gambar 17 Distribusi ukuran partikel pada (a) nanokristalin selulosa-30 dan (b) nanokristalin selulosa-60

a b

Karakteristik Nanokristalin Selulosa dari Sludge Primer

Karakteristik spektra inframerah pada sludge, serat selulosa dan nanokristalin selulosa ditunjukkan pada Gambar 18. Pada puncak sekitar 3410- 3448 cm-1 yang terdapat pada semua sampel merupakan representasi dari gugus OH. Sedangkan pada puncak sekitar 1643 cm-1 pada semua sampel merupakan representasi dari deformasi akibat H2O yang menyebabkan penyerapan air. Kedua

puncak tersebut menggambarkan adanya ikatan hidrogen dan bending gugus hidroksil pada struktur selulosa sebagai indikasi bahwa komponen selulosa tidak hilang selama perlakuan kimia (Johar et al. 2012). Puncak utama yang menunjukkan adanya perubahan pada sampel adalah puncak-puncak pada 1798 cm-1 dan 1420 cm-1. Puncak pada 1798 cm-1 yang terdapat pada sludge merupakan representasi dari acetyl dan gugus ester uronic pada hemiselulosa atau ikatan ester gugus karboksilat pada asam ferulic dan p-coumaric pada lignin. Puncak ini mengalami penurunan pada sampel yang mengalami perlakuan purifikasi, menunjukkan bahwa telah terjadi pemutusan ikatan ester dari komponen non- selulosa (Zuluaga et al. 2009; Johar et al. 2012). Kemudian pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 puncak 1798 cm-1 menghilang karena hemiselulosa dapat dihilangkan melalui hidrolisis asam (Fahma et al. 2011). Sementara itu puncak pada 1420 cm-1 yang merupakan representasi berbagai komponen lignin serta deformasi C-H selulosa dan lignin menunjukkan penurunan yang signifikan pada sampel akibat bleaching pada proses purifikasi (Zuluaga et al. 2009; Fahma et al. 2010). Puncak antara 1034-1065 cm-1 dan 903- 910 cm-1 yang merupakan representasi C–O stretching pada selulosa, hemiselulosa, lignin dan deformasi C-H pada hemiselulosa, selulosa mengalami peningkatan pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60. Peningkatan spektra ini menunjukkan bahwa kandungan selulosa pada nanokristalin selulosa lebih tinggi (Johar et al. 2012; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b). Puncak kecil 1273 cm-1 pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 merupakan representasi dari vibrasi S=O menunjukkan reaksi esterifikasi (Fahma et al. 2010; Neto et al. 2013). Puncak 750 cm-1 dan 710 cm-1 dalam spektra FTIR pada selulosa merupakan representasi dari selulose I, and I . Pada semua spektra FTIR contoh uji tidak terdeteksi adanya puncak 750 cm-1. Sementara itu hanya puncak 710 cm-1 yang dapat terlihat pada sludge, yang mengindikasikan bahwa selulosa I kristal polimorf lebih dominan pada sludge daripada selulosa Iα (Zuluaga et al. 2009; Fahma et al. 2011). Tetapi pada sludge terpurifikasi, nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 puncak pada 710 cm-1 tidak terdeteksi, mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tipe

selulosa.

Pola difraksi x-ray pada Gambar 19 bahwa tiga puncak pada βθ = 15.78°(1 ̅10), 17.90° (110) dan 23.01°(200) menunjukkan hanya selulosa I yang terdapat pada sludge primer. Pada serat yang mengalami proses purifikasi terjadi perubahan puncak, yaitu pada βθ = 1β.34o (1 ̅10) dan puncak kritalin yang

bercabang menjadi β puncak pada βθ = 19.95 (110) dan βθ = β1.85 (200), mengindikasikan pembentukan struktur selulosa II (Yue 2011; Neto et al. 2013). Perubahan ini terjadi karena dalam proses purifikasi dilakukan perlakuan alkali/sodium hidroksida, sebagaimana dilaporkan oleh Yue (2011) dan Zugenmaier (2008) bahwa selulosa tipe I dapat diubah menjadi selulosa tipe II dengan perlakuan menggunakan alkali/sodium hidroksida. Pola difraksi pada nanokristalin selulosa-30 dan nanokristalin selulosa-60 sama dengan pola sludge terpurifikasi, menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa juga merupakan selulosa II karena perlakuan dengan alkali merupakan proses yang bersifat irreversible (Zugenmaier 2008). Perubahan ini memberikan keuntungan karena selulosa II lebih stabil daripada selulosa I, memiliki sifat mekanik yag lebih baik ketika digunakan sebagai penguat untuk komposit (Yue 2011). Kristalinitas pada sludge terpurifikasi adalah 47.94 % dan meningkat secara signifikan menjadi 70.76 % pada nanokristalin selulosa-30. Peningkatan kristalinitas ini menungkinkan terjadi karena asam sulfat dapat menembus ke daerah amorf, menyebabkan pemutusan ikatan hidrolitik pada ikatan glikosidik dan melepaskan kristalit individu (Johar et al. 2012; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b; Santos et al. 2013). Namun pada nanokristalin selulosa-60 terjadi penurunan kristalinitas menjadi 69.51 %, menunjukkan bahwa waktu hidrolisis 60 menit tidak hanya merusak daerah amorf tetapi juga terjadi kerusakan pada bagian kristalin (Fahma et al. 2010; Neto et al. 2013; Silvério et al. 2013b). Dengan demikian waktu hidrolisis asam 30 menit pada serat selulosa dari sludge cukup untuk menghilangkan bagian amorf.

Gambar 19 Difraksi X-ray sludge primer dan nanokristalin selulosa

Tabel 5-7 menunjukkan hasil perhitungan atomic crystal size/ukuran kristal pada sludge dan nanokristalin selulosa. Ukuran atom kristal yang paling kecil adalah pada nanokristalin selulosa yang dihidrolisis selama 30 menit yaitu 1.31 nm. Semakin kecil ukuran atom kristal menunjukkan bahwa strukturnya semakin kristal, hal ini ditunjukkan dengan nilai kristalinitas yang paling tinggi.

Tabel 4 Perhitungan ukuran kristal sludge purifikasi

2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) ACS (nm)

12.3428 0.976909507 0.68 2.086411566

19.9561 0.94001465 1.24 1.189068633

21.8519 0.928221 2.08 0.717874465

Rata-rata 1.331118221 Tabel 5 Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 30 menit)

2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) ACS (nm)

12.3162 0.977008542 0.8067 1.75854

19.9561 0.94001465 1.28 1.15191

21.7721 0.92873799 1.48 1.00834

Rata-rata 1.30627 Tabel 6 Perhitungan ukuran kristal nanokristalin selulosa (hidrolisis 60 menit)

2 Teta cos 2 teta FWHM (deg) ACS (nm)

12.3129 0.977020813 0.68 2.08617

19.9162 0.940251863 1.12 1.31614

21.7322 0.92899581 1.34 1.11338

Rata-rata 1.50523 Gambar 20 menunjukkan termogram TGA pada sludge (sebelum dan sesudah purifikasi) dan nanokristalinselulose dari sludge. Analisis stabilitas panas pada nanokristalin selulosa sangat penting untuk dilakukan, terutama untuk aplikasinya sebagai bahan baku komposit plastik. Karena suhu pengolahan dalam proses pembuatan komposit plastik seringkali dilakukan pada suhu diatas 2000C (Landry et al. 2010). Penurunan berat awal terdeteksi pada suhu sekitar 50-1500C pada semua sampel akibat penguapan air dalam serat dan nanokristalin selulosa. Pada sludge tanpa purifikasi serat mulai mengalami kerusakan pada suhu 2000C. Sementara pada sludge terpurifikasi dan nanokristalin selulosa kerusakan dimulai pada suhu sekitar 2500C. Peningkatan suhu awal kerusakan sludge terpurifikasi dan nanokristalin selulosa karena hilangnya sebagian hemiselulosa, lignin dan pektin pada perlakuan alkali dan bleaching (Santos et al. 2013).

Dalam penelitian ini stabilitas panas nanokristalin selulosa tidak mengalami penurunan yang drastis dibandingkan dengan stabilitas panas sludge. Pada umumnya nanokristalin selulosa memiliki stabilitas panas yang rendah, karena perlakuan dengan asam sulfat menyebabkan penurunan yang sangat drastis pada stabilitas panasnya. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya penggabungan gugus sulfat pada permukaan selulosa setelah hidrolisis, yang memiliki pengaruh sebagai katalisator dalam reaksi degradasi panas (Fahma et al. 2010; Santos et al. 2013). Namun pada penelitian ini stabilitas panas nanokristalin selulosa dari sludge primer lebih stabil daripada sludge terpurfikasi, ditunjukkan oleh grafik yang lebih landai pada kisaran suhu 250-6000C. Grafik yang landai ini menunjukkan bahwa nanokristalin selulosa lebih lama dalam menyerap/menahan panas. Stabilitas panas nanokristalin selulosa tersebut meningkat akibat terjadinya perubahan struktur selulose sludge dari tipe I menjadi tipe II setelah perlakuan purifikasi. Yue (2011) menjelaskan bahwa selulosa II lebih stabil daripada selulosa I dan memiliki sifat mekanik yag lebih baik ketika digunakan sebagai penguat untuk komposit.

Gambar 20 Termogram TGA pada (a) sludge, (b) sludge terpurifikasi dan (c) nanokristalin selulosa dari sludge

Simpulan

Metode pembuatan nanoselulosa yang berhasil mendapatkan ukuran dibawah 100 nm adalah metode grinding 20 kali dan hidrolisis asam yang dilanjutkan dengan proses ultrasonikasi. Namun pada metode grinding nanoselulosa yang dihasilkan masih cenderung heterogen, sehingga lebih efektif metode kombinasi hidrolisis asam dan ultrasonikasi. Ukuran partikel nanokristalin selulosa yang dihasilkan pada waktu hidrolisis 30 menit adalah 64.32 nm dan hidrolisis 60 menit menghasilkan ukuran 54.10 nm. Bertambahnya waktu hidrolisis menjadi 60 menit mengakibat penurunan kristalinitas pada nanokristalin selulosa. Analisis X-Ray diffraction menunjukkan bahwa nanokristalinn selulosa dari sludge primer juga merupakan selulosa tipe II. Hal ini berpengaruh terhadap sifat stabilitas panasnya yang lebih baik daripada sludge.

4 NANOKRISTALIN SELULOSA DARI SLUDGE UNTUK

PENGUAT KOMPOSIT PLASTIK DENGAN MATRIKS

POLIVINIL ALKOHOL/PVA

Dokumen terkait