• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

H. Metode Pengujian Efek Analgetik

Pengujian analgetik dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in vitro. Pengujian analgetik secara in vitro secara umum dikaitkan dengan ikatan senyawa dengan reseptor yang berhubungan dengan rangsang nyeri sedangkan pengujian secara in vivo berkaitan dengan kemampuan suatu senyawa dalam menurunkan reaksi hewan uji terhadap rangsang nyeri.

Metode-metode pengujian aktivitas analgetik secara in vivo dilakukan dengan menilai kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi pada hewan uji (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara mekanik, termik, elektrik dan secara kimia (Anonim, 1991).

Turner (1965) membagi metode pengujian daya analgetik menjadi dua, yaitu berdasarkan jenis analgetiknya. Masing-masing metode tersebut antara lain : 1. Golongan analgetik narkotika

Analgetik narkotika adalah analgetik dengan mekanisme kerja sentral. Metode penapisan aktivitas analgetik untuk analgetik narkotika antara lain sebagai berikut:

a. Metode jepitan ekor

Sekelompok mencit disuntik dengan senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan (s.c.) atau intravena (i.v.). Tiga puluh menit kemudian, jepitan dipasang pada pangkal ekor mencit selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi senyawa uji akan berusaha melepaskan diri dari kekangan tersebut, tetapi mencit yang diberi analgetik akan mengabaikan kekangan tersebut. Dalam rentang waktu tertentu jepitan dipasang kembali. Respon positif yang menunjukkan adanya efek analgetik apabila tidak ada usaha untuk melepaskan jepitan selama 15 detik pada tiga kali pengamatan.

b. Metode rangsang panas

Hewan percobaan ditempatkan diatas lempeng panas dengan suhu 50oC sampai 55oC sebagai rangsang nyeri. Alat untuk uji ini dilengkapi dengan penangas yang berisi campuran sama banyak aseton dan etil format yang mendidih. Mencit yang sudah diberi senyawa uji secara subkutan atau peroral, diletakkan pada hot plate yang sudah dipersiapkan. Reaksi mencit adalah menjilat kaki depan, kaki belakang lalu meloncat. Selang waktu antara pemberian rangsang nyeri dan terjadinya respon, disebut waktu reaksi. Waktu reaksi dapat diperpanjang oleh obat-obat analgetik. Perpanjangan waktu reaksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgetik.

c. Metode pengukuran tekanan

Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur tekanan yang diberikan pada ekor tikus secara seragam. Alat tersebut terdiri dari 2

syringe yang dihubungkan ujung dengan ujungnya yang bersifat elastis,

fleksibel, dan pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisa pipa dihubungkan dengan manometer. Syringe yang pertama diletakkan secara vertikal dengan ujung menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada penghisap dari syringe

yang kedua, tekanan ini akan berhubungan dengan sistem hidrolik pada

syringe yang pertama kemudian dengan ekor tikus. Tekanan yang sama

pada syringe yang kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus. Manometer akan membaca ketika tikus memberikan respon. Respon tikus yang pertama adalah meronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) tanda kesakitan.

d. Metode potensi petidin

Metode ini kurang baik, karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah besar, tetapi dapat digunakan untuk uji sedatif. Tiap kelompok tikus terdiri dari 20 ekor, setengah kelompok dibagi menjadi 3 kelompok kecil dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut yaitu 2, 4, dan 8 mg/kg. Setengah kelompok dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok petidin dan senyawa uji dengan dosis 25% dari LD50. Persen proteksi dihitung dengan bantuan metode rangsang panas.

e. Metode antagonis nalorfin

Uji analgetik dengan metode ini bertujuan untuk menunjukkan aksi obat-obat seperti morfin. Nalorfin memiliki kemampuan untuk meniadakan aksi dari morfin. Hewan uji yang biasa digunakan dalam metode ini adalah tikus, mencit, dan anjing. Hewan uji diberi obat dengan dosis toksik kemudian segera diikuti pemberian nalorfin (0,5-10,0mg/kgBB) intravena. Sebuah obat yaitu piritramid dapat menyebabkan respon seperti hilangnya refleks korneal dan refleks bradipnea. Efek tersebut dapat dilawan setelah 1 menit pemberian nalorfin 1,25 mg/kgBB yang disuntikkan intravena. Teori menyebutkan bahwa nalorfin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya.

f. Metode kejang oksitosin.

Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari posterior, dapat menyebabkan kontraksi uterus sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Respon kejang meliputi kontraksi abdominal sehingga menarik pinggang dan kaki belakang. Respon kejang dapat diatasi dengan pemberian morfin atau turunannya. Tikus betina diberi estrogen dengan menanam atau memasukkan 15 mg pelet dietilstilbestrol secara subkutan pada paha tikus. Setelah 10 minggu hewan uji siap diuji analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan 15 menit secara subkutan sebelum diberi oksitosin secara intraperitoneal. Penurunan kejang dapat teramati dan ED50 dapat diperkirakan. Selain morfin senyawa analgetik yang bisa diuji dengan metode ini adalah heroin, metadon, kodein, meperidin.

g. Metode pencelupan air panas.

Sepuluh tikus disuntik intraperitoneal dengan senyawa uji, kemudian ekor tikus dicelupkan dalam air panas (suhu 58oC). Respon tikus dilihat dari hentakan ekornya dari air panas.

2. Golongan analgetik nonnarkotika

Analgetik nonnarkotika yang mekanisme kerjanya secara perifer. Metode penapisan analgetik untuk analgetik nonnarkotika antara lain sebagai berikut :

a. Metode rangsang kimia.

Didalam metode ini, rasa nyeri yang timbul berasal dari rangsang kimia yang disebabkan oleh zat kimia yaitu fenilbenzokuinon dan asam asetat yang disuntikkan pada hewan uji secara peritoneal. Metode ini cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa analgetik yang mempunyai efek analgetik lemah. Selain peka metode ini juga sederhana, dan reproduksibel. Akan tetapi metode ini memiliki kekurangan yaitu hasilnya tidak spesifik karena senyawa-senyawa selain analgetik seperti obat antihistamin juga memberikan reaksi positif. Pemberian analgetik akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang sampai tidak terjadi geliat sama sekali. Hal ini tergantung pada efek analgetik dari senyawa yang digunakan.

Untuk uji efek analgetik jenis ini senyawa pembanding yang digunakan biasanya adalah analgetik nonnarkotika seperti asetosal,

parasetamol, dan sebagainya. Perhitungan persen penghambatan terhadap geliat mengikuti persamaan sebagai berikut:

% penghambatan terhadap geliat = 100 – [(P/K) ×100]

Keterangan:

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang ditetapkan K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok kontrol

b. Metode pedodolometer

Metode ini menggunakan aliran listrik untuk mengukur besarnya efek analgetik. Alas kandang tikus terbuat dari kepingan metal yang bisa mengalirkan listrik. Tikus diletakkan pada kandang tersebut kemudian dialiri listrik. Respon ditandai dengan teriakan dari tikus tersebut. Pengukuran dilakukan setiap 10 menit selama 1 jam.

c. Metode rektodolometer.

Tikus diletakkan dalam kandang yang dibuat khusus dengan alas tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung lain dari gulungan tersebut kemudian dihubung dengan silinder elektroda tembaga. Sebuah voltmeter yang sensitif untuk mengubah 0,1 volt dihubungkan dengan konduktor yang berada di atas gulungan. Tegangan yang sering digunakan untuk menimbulkan teriakan mencit adalah 1 sampai 2 volt.

I. Landasan Teori

Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002). Hampir sebagian besar penyakit memberi gejala nyeri yang dimanifestasikan dalam bentuk rasa sakit pada organ atau jaringan tubuh (Anonim, 1991).

Salah satu penyebab kerusakan jaringan (nyeri) adalah adanya reaksi radikal bebas berlebih di dalam jaringan tubuh. Reaksi radikal bebas menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Salah satu zat yang dapat mengurangi reaksi radikal berlebih adalah antioksidan (Setiati, 2003). Flavonoid telah dikenal dan merupakan suatu kelompok antioksidan polifenol yang mempunyai sifat antioksidan yang amat kuat mencapai 20 kali sifat antioksidan vitamin E (Sitompul, 2003). Flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan mampu menangkap radikal bebas berlebih yang dilepaskan ketika terjadi kerusakan sehingga akan mengurangi terjadi kerusakan jaringan yang dapat menimbulkan nyeri.

Kandungan kimia tumbuhan kepel pada bagian daun adalah flavonoid dan polifenol (Hutapea, 1994). Sutomo (2003) dan Supriyatna (2007) juga melaporkan adanya flavonoid pada daun kepel. Sunarni (2006) berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa flavonoid golongan flavon yang memiliki aktivitas antioksidan pada daun kepel.

Flavonoid umumnya larut dalam air dan dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Harborne, 1984). Maka dengan adanya infusa daun kepel diharapkan

senyawa aktif yang terkandung dalam daun kepel, yaitu flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas berlebih sehingga tidak akan terjadi kerusakan jaringan yang dapat menimbulkan nyeri dapat tersari dengan baik dan dapat memberi efek analgetik.

Dokumen terkait