• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

E. Nyeri

Nyeri merupakan respon langsung terhadap kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan, seperti, luka, inflamasi, atau kanker (Rang dkk., 2003).

Nyeri dapat dibedakan berdasarkan waktu timbulnya nyeri yaitu: nyeri akut dan nyeri kronik (Anonim, 2001). Nyeri akut dengan kecepatan penjalaran antara 6-30 meter per detik biasanya memiliki sebuah penyebab yang dapat ditegaskan dan sering kali berfungsi sebagai perlindungan yang bertindak sebagai peringatan dari ancaman luar atau kegagalan dalam tubuh. Nyeri kronik dengan kecepatan penjalaran antara 0,5-2 meter per detik sering kali tidak menandakan

bahaya yang segera menimbulkan pencegahan dan pasien mungkin tidak mengartikan nyeri tersebut sebagai penyakit serius (Greene dan Harris, 2000).

Nyeri berdasarkan sumbernya dapat dikategorikan menjadi nyeri somatik dan nyeri viseral. Jika nyeri somatik muncul dari kulit, dinamakan nyeri superfisial. Jika nyeri itu berasal dari otot, sendi, atau jaringan connective, disebut nyeri dalam. Nyeri viseral muncul dari organ dalam dan berbeda bermakna dengan nyeri somatik (Anonim, 2001).

Dalam kondisi normal, nyeri berkaitan dengan aktivitas listrik pada serabut saraf aferen utama dengan diameter kecil sari saraf perifer. Ujung saraf sensoris pada jaringan perifer diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan (mekanik, suhu, kimia). Berdasarkan rekaman aktivitas pada serabut aferen menunjukkan bahwa rangsang yang cukup untuk merangsang serabut aferen tersebut menumbulkan sensasi nyeri. Banyak dari serabut ini adalah serabut C tak bemielin dengan kecepatan konduksi yang rendah dimana grup ini dikenal sebagai nosiseptor C-polimodal. Lainnya adalah serabut bermielin (Aδ) yang menginduksi lebih cepat tetapi merespon rangsang perifer yang hampir sama. Nosiseptor polimodal (PMN) merupakan saraf sensorik utama di perifer yang memberikan respon terhadap rangsang bahaya. Sebagian besar adalah serabut C tak bermielin dengan ujung-ujungnya yang merespon terhadap rangsang suhu, mekanik, dan kimia. Zat-zat kimia yang memiliki aksi di PMN dan menimbulkan nyeri meliputi bradikinin, proton, adenosin tripfosfat (ATP) dan vanilloid. Polimoidal nosiseptor (PMN) sendiri disensitisasi oleh prostaglandin, hal ini dapat menjelaskan mengenai aktivitas analgesik dari obat-obat mirip aspirin (Rang dkk., 2003).

Berbagai metabolit dan senyawa dilepaskan dari sel-sel yang terluka, atau terinflamasi, termasuk 5-HT, histamin, asam laktat, ATP dan K+ dimana banyak yang mempengaruhi terminal-terminal saraf nosiseptik. Eikosanoid merupakan hasil pembentukkan dari fosfolipid. Mereka termasuk dalam kontrol dari berbagai proses fisiologis serta merupakan mediator dan modulator utama dari reaksi inflamasi. Asam arakidonat ditemukan teresterifikasi dalam fosfolipid. Eikosanoid yang terpenting adalah prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien, walau derivat lain seperti lipoksin juga dihasilkan (Rang dkk., 2003). Pembentukkan mediator derivat fosfolipid dapat dilihat pada Gambar 2.

Prostaglandin merupakan mediator yang dihasilkan dari perombakan asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase. Prostaglandin tidak menyebabkan nyeri secara langsung tetapi meningkatkan efek penyebab nyeri dari agen lain secara kuat seperti bradikinin atau 5-HT. Bradikinin merupakan senyawa penyebab nyeri yang poten, beraksi sebagian dikarenakan lepasnya prostaglandin yang sangat kuat meningkatkan aksi langsung bradikinin pada terminal-terminal saraf (Rang dkk., 2003).

Tiga kelompok utama reseptor kulit yang telah diidentifikasi adalah : 1. Mekanoreseptor (mendeteksi sentuhan ringan)

2. Termoreseptor (mendeteksi panas)

Gambar 2. Pembentukkan mediator-mediator nyeri (Rang dkk., 2003) Keterangan : = menghambat

= membentuk

NSAID = Non Steroid Anti Inflammatory Drug PAF = Platelet Activating Factor

Sebagian besar reseptor pada kulit memiliki struktur khusus yang merupakan ujung saraf bebas yang sederhana di perifer. Tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri :

1. Serabut A-β : berukuran besar, bermielin, cepat dalam menyalurkan impuls (30-100 m/detik), memiliki ambang nyeri yang rendah dan merespon terhadap sentuhan ringan.

Gangguan membran sel

Fosfolipida

Asam arakhidonat

Lyso-glyseril fosforilkolin

PAF

leukotrien prostaglandin tromboksan

prostasiklin Vasodilatasi, kemotaksis Penghambat lipoksigenase Contoh: zileutin NSAID Antagonis PAF Contoh: lexipafant Lipooksigenase siklooksigenase Fosfolipase A2 Glukokortikoid (menginduksi terbentuknya lipocortin) mediator nyeri nyeri

2. Serabut A-δ : berukuran kecil, bermielin tipis, dan memiliki kecapatan konduksi yang lebih rendah (6-30 m/detik). Serabut ini merespon terhadap tekanan, panas, zat kimia, dan memberi reaksi terhadap nyeri yang tajam, serta menimbulkan refleks penarikan diri atau gerakan cepat lainnya.

3. Serabut C : berukuran kecil, tidak bermielin, dan memiliki kecepatan konduksi yang lambat (1-1,25 m/detik). Serabut ini merespon terhadap seluruh jenis rangsang bahaya dan mentransmisikan nyeri yang lambat dan tumpul (Greene dan Harris, 2000).

Gambar 3.Tempat berakhirnya serabut aferen pada 6 lapisan dari sumsum tulang belakang (Rang dkk, 2003)

Langkah pertama untuk mencapai sensasi nyeri adalah rangsangan pada ujung-ujung saraf bebas yang dikenal sebagai nosiseptor. Mekanisme rangsang tersebut melepaskan bradikinin, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin, dan substansi P (diantara yang lainnya) yang mensensitisasi/mengaktivasi nosiseptor. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan

Mechanoreceptor Mechanoreceptor Nociceptor Nociceptor Thermoreceptor Mechanoreceptor

sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang. Transmisi

nociceptive terjadi pada serabut saraf Aδ dan C aferen. Rangsangan pada serabut Aδ yang bermielin dan berdiameter luas membawa nyeri yang tajam dan terlokalisasi, sebagaimana rangsang pada serabut yang tidak bermielin dan berdiameter kecil menghasilkan nyeri yang lemah dan tidak terlokalisasi (Baumann, 2005).

Noksius atau rangsang bahaya yang melewati ambang batas nyeri menimbulkan aktivasi dalam serabut nosiseptor. Nosiseptor banyak terdapat dalam serabut C. Aktivitas yang berupa impuls diteruskan menuju sistem saraf pusat dan menyebabkan eksitasi neuron sehingga menimbulkan nyeri. Aktivasi serabut C memicu pelepasan Calcitonin gene-related peptide (CGRP). Pada jaringan inflamasi akan dilepaskan Neuron Growth Factor (NGF) dan mediator lain seperti bradikinin, serotonin, prostaglandin, dan lain-lain. Penghambatan pada tahap eksitasi oleh analgetika opioid, enkefalin, GABA, aktivasi jalur penghambatan menurun menyebabkan aktivitas analgesik pusat. Analgetika perifer dan NSAID bekerja menghambat pada pelepasan mediator (Rang dkk., 2003).

Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida. Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2003).

Gambar 4.Mekanisme Nyeri (Rang dkk, 2003) Keterangan : = menginduksi

= menghambat

BK = Bradikinin

5-HT = 5-Hidroksi triptamin (serotonin) SP = Substansi P

PG = Prostaglandin

NGF = Neuron Growth Factor (faktor pertumbuhan neuron)

CGRP = Calcitonin gene-related peptide

NA = Nor Adrenalin GABA = asam γ-aminobutirat

Penghilangan rasa nyeri dapat berpengaruh dimana saja sepanjang jalur nyeri, yaitu pad jalur yang melibatkan persepsi atau reaksi terhadap nyeri. Persepsi merupakan kesadaran terhadap adanya nyeri. Hal ini tidak tergantung pada kondisi kesadaran tetapi tergantung pada jalur aferen yang sempurna pada reseptor, saraf sensori yang menghantarkan impuls ke otak dan talamus dimana persepsi terjadi. Jika sebuah obat bertindak pada poin manapun sepanjang jalur ini dan menghambat tranfer informasi ke otak maka nyeri tidak teramati. Reaksi terhadap nyeri merupakan pengalaman nyeri dan merupakan fenomena yang lebih

+ __

kompleks yang membutuhkan kesadaran dan kejadian tingkat tinggi pada otak yaitu korteks. Obat dapat menghilangkan nyeri dengan mengubah respon terhadap nyeri. Penggunaan agen-agen penghilang kegelisahan, disebut obat penenang, dapat menurunkan tingkat reaksi terhadap nyeri (Levine, 1978).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan rasa nyeri, diantaranya :

1. Menghilangkan penyebabnya : perbaikan atau pencabutan gigi yang sakit, netralisasi asam lambung pada peptic ulcer.

2. Menggunakan pengukuran fisik : penggunaan panas, dingin, atau tekanan pada bagian yang sakit.

3. Mengalihkan perhatian dari rangsangan nyeri : penggunaan rangsang audiovisual seperti musik, suara aliran air terjun pada proses operasi gigi. 4. Hipnotis.

5. Menggunakan obat-obatan termasuk senyawa farmakologi inaktif seperti plasebo (Levine, 1978).

Dokumen terkait