IV. METODE PENELITIAN
4.3. Metode Pengumpulan Data
4.3.1. Keanekaragaman Spesies Syzygium
Studi pendahuluan berupa survey awal dilakukan untuk mengetahui gambaran lokasi penelitian, penyebaran spesies dan kondisi vegetasinya. Untuk mengetahui spesies-spesies Syzygium, khususnya yang terdapat di Jawa (Jawa Timur) dilakukan melalui studi awal spesimen herbarium baik yang terdapat di Herbarium Bogoriense (BO), Herbarium Purwodadiensis, dan studi koleksi
Syzygium di kebun raya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data awal tentang
keanekaragaman spesies Syzygium di Jawa Timur, terutama daerah yang berada di sekitar TWA Gunung Baung.
Kegiatan survey dan pengamatan di lapangan dilakukan dengan metoda eksploratif. Metode eksploratif dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman spesies Syzygium serta lokasi tempat tumbuhnya di dalam kawasan. Jalur yang digunakan adalah jalan setapak atau rintisan jalur patroli yang sudah terdapat di dalam kawasan serta jalur rintisan baru yang dibuat. Pada setiap perjumpaan dengan Syzygium di tandai posisi geografinya dengan menggunakan GPS, kemudian dibuatkan dokumentasi fotonya serta spesimen herbarium ataupun
vauchernya (terutama bagi spesies-spesies yang berbeda). Hal ini dilakukan untuk keperluan identifikasi dan validasi nama spesies.
4.3.2. Data Ekologi Syzygium
Pencatatan dan pendokumentasian data dilakukan terhadap kondisi ekologi
Syzygium. Data ekologi tersebut meliputi faktor fisik dan faktor biotik. Faktor
fisik yang diukur meliputi: intensitas penyinaran, data topografi (ketinggian tempat, kelerengan dan arah lereng), pH tanah, kelembapan tanah, suhu udara, dan kelembapan udara serta sifat edafis tanah (fisik dan kimia tanah). Faktor biotik yang diukur adalah jumlah rumpun bambu, diameter rumpun bambu serta jumlah spesies dan kelimpahan tumbuhan di sekitar Syzygium.
Pengukuran data ekologi dilakukan pada tiap petak pengamatan. Pengukuran intensitas penyinaran dilakukan dengan menggunakan digital
lightmeter. Pengukuran ketinggian tempat tumbuh Syzygium dilakukan dengan
menggunakan altimeter dan GPS. Pengukuran kelerengan dilakukan dengan menggunakan clinometer dalam satuan %. Selanjutnya nilai kelerengan dikelompokan ke dalam kelas-kelas kelerengan berdasarkan nilai rata-rata pada dari tiap petak pengamatan, sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999) dalam Kissinger (2002). Klasifikasinya adalah: tipe I, 0-3%, tipe II 3-8%, tipe III, 8-15%, tipe IV 15-30%, dan tipe V > 30%. Arah kelerengan diukur dengan menggunakan kompas. Pengukuran kelembapan dan pH tanah dilakukan dengan menggunakan pH tester tanah. Suhu dan kelembapan udara diukur dengan menggunakan termohigrometer digital. Pengukuran jumlah dan diameter rumpun bambu dilakukan pada setiap petak pengamatan.
Data edafis berupa sifat fisik dan kimia tanah diperoleh dari hasil analisis laboratorium atas contoh tanah yang diambil di lokasi penelitian. Contoh tanah diambil pada setiap lokasi blok penempatan petak pengamatan yang mencirikan perbedaan kondisi lingkungannya, misalkan lokasi tempat terbuka dan lokasi rumpun bambu. Contoh tanah diambil sebanyak 2 titik di masing-masing blok pengamatan pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Faktor fisika tanah yang dianalisis adalah tekstur tanah (pasir, debu dan liat). Faktor kimia tanah yang dianalisis adalah kandungan bahan organik (rasio C/N), kandungan unsur N,P,K,
23
Ca dan Mg, serta Kapasitas Tukar Kation (KTK). Faktor-faktor tersebut dapat menjadi indikator kesuburan tanah (Partomihardjo dan Rahajoe 2005). Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
4.3.3. Data Vegetasi dan Struktur Populasi
Data dan informasi yang diperoleh dari survey pendahuluan mengenai kondisi lokasi peneltian, lokasi persebaran spesies dan kondisi vegetasinya menjadi dasar untuk melakukan studi pola sebaran dan struktur populasi
Syzygium. Populasi di sini diartikan sebagai kumpulan dari individu spesies Syzygium yang berada pada suatu lokasi dan waktu yang sama serta mampu
melakukan reproduksi secara aseksual atupun seksual. Hal ini akan berkaitan dengan teknik penempatan petak pengamatan. Penempatan petak-petak contoh dilakukan secara terarah (purposive sampling) pada lokasi-lokasi yang diketahui banyak terdapat keberadaan Syzygium.
Berdasarkan hasil survey pendahuluan tentang keberadaan Syzygium di Kawasan TWA Gunung Baung, maka dibuat petak pengamatan masing-masing sebanyak 50 petak pada 5 lokasi yang berbeda. Di samping menggambarkan keberadaan Syzygium, kelima lokasi tersebut juga mewakili lokasi serta kondisi vegetasi yang berbeda dari Blok Inti Kawasan TWA Gunung Baung (Gambar 6). Kondisi vegetasi pada setiap blok pengamatan ditampilkan dalam Tabel 1.
Lokasi-lokasi blok penempatan petak-petak pangamatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Blok 1, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu duri (Bambusa
blumeana);
2) Blok 2, lokasi lereng, berbukit, dengan sedikit bambu;
3) Blok 3, lokasi lereng, berbukit, dan punggung bukit dengan sedikit bambu; 4) Blok 4, lokasi lereng, berbukit, dengan dominasi bambu Schizostachyum
zollingeri;
1 2 3 4 5 Blok pengamatan
Gambar 6 Lokasi blok penelitian dimana petak-petak pengamatan dibuat di Gunung Baung, Jawa Timur
Tabel 1 Kondisi vegetasi dominan pada tiap-tiap lokasi blok pengamatan
Lokasi Blok Pengamatan
Kondisi vegetasi dominan pada masing-masing blok pengamatan
Blok 1
Tingkat pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Ficus racemosa, Streblus asper,
Ficus retusa, dan Tabernaemontana sphaerocarpha. Tumbuhan bawah didominasi
oleh Cyathula prostata, Parameria laevigata, Rauvolfia verticilata, dan Piper cubeba. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Syzygium racemosum dan
Tabernemontana sphaerocarpha. Bambu didominasi oleh Bambusa blumeana.
Topografi lereng berbukit.
Blok 2
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovta, S. pycnathum, Emblica officinalis, dan
Streblus asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Pennisetum purpureum dan Voacanga grandifolia. Permudaan pohon didominasi oleh Voacanga grandifolia, Schoutenia ovata dan Streblus asper. Bambu didominasi Bambusa blumeana. Topografi
lereng berbukit.
Blok 3
Dysoxylum gaudichaudianum, Ficus hispida dan Garuga floribunda mendominasi
tingkat pohon. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia dan Cyathula
prostata. Permudaan pohon didominasi oleh Syzygium pycnanthum, Streblus asper, Voacanga grandifolia, dan Lepisanthes rubiginosa. Bambusa blumeana adalah spesies
bambu yang mendominasi. Topografi lereng berbukit dan sebagian punggung bukit.
Blok 4
Tingkat pohon didominasi oleh Ficus hispida, Sphatodea campanulata dan Streblus
asper. Tumbuhan bawah didominasi oleh Mikania cordata dan Tithonia diversifolia.
Permudaan didominasi oleh Streblus asper. Bambu didominasi oleh Schizostachyum
zollingeri. Topografi lereng berbukit.
Blok 5
Tingkat pohon didominasi oleh Schoutenia ovata, Microcos tomentosa. Tumbuhan bawah didominasi oleh Tithonia diversifolia, dan Mikania cordata. Permudaan pohon didominasi oleh Streblus asper, Schoutenia ovata, Syzygium pycnanthum dan Voacanga
25
Pembuatan petak contoh dilakukan untuk keperluan analisis vegetasi pada masing-masing lokasi blok pengmatan yang menjadi tempat tumbuh Syzygium. Metode yang digunakan adalah metode kombinasi jalur dan petak (Soerianegara dan Indrawan 1988). Adapun model metode kombinasi jalur berpetak yang dipakai ditampilkan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Kombinasi jalur berpetak untuk kegiatan analisis vegetasi
Petak ukuran 2 x 2 meter2 digunakan untuk tumbuhan dengan strata anakan pohon (seedling) dan tumbuhan bawah, petak ukuran 5 x 5 meter2 untuk tingkat pancang, petak ukuran 10 x 10 meter2 untuk tingkat tiang, dan petak ukuran 20 x 20 meter2 untuk tingkat pohon. Jumlah jalur yang dibuat sebanyak 5 jalur untuk setiap blok pengamatan dengan panjang setiap jalur 200 meter. Luas petak contoh yang dibuat adalah seluas 200 m x 20 m x 5 = 2 hektar untuk satu lokasi blok pengamatan. Jumlah blok pengamatan yang dibuat sebanyak 5 blok, sehingga luas total petak pengamatan adalah 10 hektar, yang mewakili perbedaan kondisi lingkungan (vegetasi) serta keberdaan Syzygium.
Difinisi untuk masing-masing strata pertumbuhan pohon adalah sebagai berikut: (1) anakan atau semai (seedling) adalah regenerasi awal pohon dengan ukuran hingga tinggi kurang dari 1,5 meter, (2) pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta dengan diameter batang kurang dari 10 cm, (3) tiang adalah regenerasi pohon dengan diameter 10-20 cm, dan (4)
200 m
pohon adalah tumbuhan berkayu dengan diameter batang lebih dari 20 cm (Soerianegara dan Indrawan 1988).
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur komunitas vegetasi pohon pada setiap strata pertumbuhannya. Data yang dikumpulkan berupa kerapatan, frekuensi dan dominansi serta indeks nilai penting (INP) dari setiap spesies yang teramati. Data hasil analisis vegetasi juga digunakan untuk menganalisis kelimpahan, komposisi dan struktur populasi
Syzygium di lokasi penelitian pada setiap fase pertumbuhannya (semai, tiang,
pancang dan pohon). Data struktur populasi dapat digunakan untuk menganalisis status regenerasi spesies (Tripathi et al. 2010; Uma 2001).
Data lain yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah individu, diameter dan tinggi pohon, jumlah semai, pancang dan tiang, serta data kondisi lingkungannya. Posisi geografis perjumpaan dengan Syzygium dicatat dan didokumentasikan, untuk selanjutnya digunakan untuk membuat peta persebarannya di dalam kawasan. Peta persebarannya diperoleh dengan mentransfer data dari GPS dengan menggunakan softwere map source dan
GoogleEarth.
4.3.4. Pola Sebaran Syzygium
Data untuk pola sebaran Syzygium diperoleh dari data frekuensi perjumpan
Syzygium pada setiap petak pengamatan. Dengan demikian pengumpulan datanya
dilakukan bersamaan dengan kegiatan analisis vegetasi yang diambil pada saat pembuatan petak contoh. Data tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pola sebaran Syzygium di lokasi penelitian.