• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

F. Metode Penilaian Persediaan

Yang dimaksud dengan penilaian persediaan barang adalah menentukan nilai persediaan yang dicantumkan dalam neraca. Persediaan barang yang dimiliki suatu perusahaan dalam suatu periode dapat berubah-ubah baik dalam kuantitas, jenis, dan tingkat harga perolehan. Perubahan tersebut terjadi karena terdapat mutasi, baik penerimaan maupun pengeluaran barang di dalam periode yang bersangkutan, sehingga akan mempengaruhi saldo akhir persediaan pada tanggal tertentu.

Tingkat harga perolehan barang yang berbeda-beda dalam suatu periode mengharuskan suatu perusahaan untuk menentukan metode penilaian persediaan agar dapat menetapkan nilai persediaan barang di neraca dan harga pokok penjualan di laporan rugi laba. Penerapan atas metode penilaian persediaan tersebut harus dilakukan secara konsisten dari satu periode ke periode berikutnya. Hal ini bertujuan agar laporan keuangan mempunyai daya banding.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002 : 14.5) mengakui adanya beberapa metode yang dapat dipakai untuk penilaian persediaan. Metode tersebut adalah

identifikasi khusus biaya (specific identification), Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP atau FIFO), rata-rata tertimbang (weighted average cost method), atau Masuk Terakhir Keluar Pertama (LIFO).

Penjelasan serta keunggulan dan kelemahan dari masing-masing metode arus biaya tersebut akan penulis sajikan berikut ini.

1. Identifikasi khusus biaya (Specific identification)

Yang dimaksud identifikasi khusus biaya adalah atribusi biaya ke barang tertentu yang dapat diidentifikasikan dalam persediaan. Cara ini merupakan perlakuan yang sesuai bagi barang yang dipisahkan untuk proyek khusus, baik yang dibeli maupun yang dihasilkan. Namun demikian identifikasi khusus biaya tidak tepat bagi sejumlah besar barang homogen yang dapat menggantikan satu sama lain (ordinarily interchangeable). Setiap unit barang diberikan satu kartu yang mencantumkan biayanya pada saat perolehannya, ini kemudian dibandingkan dengan harga jualnya pada saat ditransfer kepada pelanggan. Perbedaan antara specific cost dan specific revenue dianggap merupakan gross profit dari transaksi tersebut.

Metode identifikasi khusus merupakan suatu pendekatan yang sangat obyektif untuk menandingkan biaya historis dengan pendapatan. Setiap jenis barang dipisahkan berdasarkan harga perolehan atau harga pokoknya sehingga masing-masing barang dibuatkan kartu persediaan secara terpisah. Apabila terjadi penjualan, pendapatan dari penjualan barang tiap jenis barang dapat ditandingkan dengan harga pokoknya

sehingga laba bersih dari masing-masing jenis barang dapat diketahui dengan tepat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hampir tidak ada argumen teoritis yang menentang penggunaan metode identifikasi khusus biaya dengan unit produk apabila metode penetapan biaya persediaan cukup praktis. Akan tetapi aplikasi metode ini sering kali sulit atau bahkan tidak mungkin. Penerapan metode identifikasi khusus mungkin akan memakan waktu lama, menjemukan, dan mahal jika persediaan barang terdiri dari barang-barang yang beragam jenisnya atau barang yang sejenis tetapi diperoleh pada waktu yang berbeda dengan harga yang beragam. Selanjutnya apabila unit barangnya sejenis dan dapat dipertukarkan, metode ini memberikan peluang dilakukannya manipulasi laba. Oleh karena sifatnya yang sederhana dan mudah dalam penetapan dan pengidentifikasian harga spesifik dari unit-unit barang yang bersangkutan, maka metode ini cocok untuk jenis barang yang unik dan harganya relatif mahal.

2. Masuk Pertama Keluar Pertama (MPKP) / First In First Out (FIFO)

Metode MPKP/FIFO berasumsi bahwa biaya harus dibebankan kepada pendapatan sesuai dengan urutan terjadinya. Menurut PSAK No. 14 MPKP/FIFO mengasumsikan barang dalam persediaan yang pertama dibeli akan dijual atau digunakan terlebih dahulu sehingga yang tertinggal dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau diproduksi kemudian. FIFO dapat dianggap sebagai suatu pendekatan yang logis dan realistik mengenai arus biaya apabila identifikasi khusus biaya tidak

praktis atau tidak mungkin dilaksanakan. Asumsi metode ini adalah barang yang pertama kali diperoleh merupakan barang yang akan dijual atau digunakan untuk proses produksi. Sehingga harga pokok persediaan yang digunakan atau dijual merupakan harga satuan perolehan barang yang paling awal. Sedangkan persediaan akhir akan dinilai dengan harga satuan perolehan yang terakhir.

Penggunaan metode ini akan memberikan gambaran nilai persediaan akhir yang layak di neraca, karena nilai yang disajikan mendekati nilai pengganti (replacement cost). Tetapi metode ini kurang mencerminkan laba bersih yang akurat, karena pendapatan yang diperoleh ditandingkan dengan biaya yang lama.

3. Masuk Terakhir Keluar Pertama (MTKP) / Last In First Out (LIFO)

Metode ini mengasumsikan bahwa barang yang dibeli atau diproduksi terakhir dijual atau digunakan terlebih dahulu, sehingga yang termasuk dalam persediaan akhir adalah yang dibeli atau diproduksi terlebih dahulu. Dengan demikian harga pokok barang yang digunakan atau dijual merupakan harga satuan perolehan yang terakhir. Sedangkan persediaan akhir akan dinilai dengan harga satuan perolehan yang awal.

Penggunaan metode ini akan memberikan gambaran laba operasi periode berjalan yang wajar karena current revenue ditandingkan dengan current cost. Tetapi di pihak lain, persediaan akhir dinilai dengan harga satuan perolehan yang lama sehingga nilai yang tersaji di dalam neraca menjadi tidak wajar apabila terjadi inflasi.

4. Rumus Biaya Rata – Rata Tertimbang (Weighted Average Cost Method) Dengan rumus biaya rata – rata tertimbang, biaya setiap barang ditentukan berdasarkan biaya rata – rata tertimbang dari barang serupa pada awal periode dan biaya barang serupa yang dibeli atau diproduksi selama periode. Perhitungan rata– rata dapat dilakukan secara berkala, atau pada setiap penerimaan kiriman tergantung pada keadaan perusahaan. Penggunaan angka rata-rata memungkinkan setiap harga beli mempengaruhi penilaian persediaan dan harga pokok penjualan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa kegiatan penjualan dan pembelian akan menghasilkan pengelompokan biaya (aggregation of costs). Oleh karena itu, pengalokasian biaya kepada barang yang dijual dan barang yang masih dalam persediaan dilakukan atas dasar harga tunggal.

Pendekatan biaya rata-rata dapat didukung sebagai suatu pendekatan yang realistik dan menyelaraskan arus fisik barang, khususnya jika unit-unit persediaan yang identik ternyata tercampur baur. Tidak seperti metode lainnya, pendekatan rata-rata akan memberikan harga pokok yang sama untuk barang serupa yang memiliki kegunaan yang sama. Metode ini tidak memberi peluang terjadinya manipulasi laba. Keterbatasannya adalah nilai persediaan yang selalu mengandung unsur-unsur biaya yang paling dini, dan nilai persediaan yang dapat jauh berbeda dengan nilai periode berjalan apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga secara drastis.

Berikut ini akan diuraikan contoh perhitungan penilaian persediaan dengan menggunakan metode FIFO, LIFO, dan Weighted Average.

1. Perhitungan biaya persediaan dengan menggunakan sistem pencatatan perpetual

Berikut ini adalah ilustrasi perhitungan biaya persediaan untuk barang “x” dari perusahaan dengan menggunakan metode pencatatan perpetual dengan transaksi selama bulan Januari tahun 2005 :

Tanggal Jenis Transaksi Unit Biaya / unit

1 Januari Persediaan 40 Rp 10

10 Januari Penjualan 25

12 Januari Pembelian 10 Rp 12

26 Januari Penjualan 15

31 Januari Pembelian 20 Rp 13

Dari data tersebut dengan asumsi-asumsi yang akan diutarakan lebih lanjut akan dikalkulasi biaya persediaan pada bulan yang berakhir Januari 2005.

a. Metode First In First Out

Jika perusahaan menggunakan metode FIFO, biaya-biaya dimasukkan dalam harga pokok penjualan sesuai dengan urutan terjadinya biaya itu. Pada barang tertentu tersebut akan dibuatkan kartu persediaan yang terdiri dari beberapa kolom sebagaimana dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1

Contoh Perhitungan Penilaian Persediaan Dengan Metode FIFO Untuk Barang “x”

Tanggal

Masuk Keluar Saldo Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Jan ‘05 1 40 10 400 10 25 10 250 15 10 150 12 10 12 120 15 10 10 12 150 120 26 15 10 150 10 12 120 31 20 13 260 10 20 12 13 120 260

Jadi persediaan akhir dari barang “x” adalah : Rp 120 + Rp 260

= Rp 380

Dan Harga Pokok Penjualan barang “x” adalah : Rp 250 + Rp150

= Rp 400

b. Metode Last In First Out

Jika Perusahaan menggunakan metode LIFO dalam sistem persediaan perpetual, maka biaya dari unit yang dijual merupakan biaya pembelian paling akhir.

Tabel 2

Contoh Perhitungan Penilaian Persediaan Dengan Metode LIFO Untuk Barang “x

Tanggal

Masuk Keluar Saldo Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Jan ‘05 1 40 10 400 10 25 10 250 15 10 150 12 10 12 120 15 10 10 12 150 120 26 10 5 12 10 120 50 10 10 100 31 20 13 260 10 20 10 13 100 260 Jadi Persediaan akhir dari barang “x” adalah : Rp 100 + Rp 260

= Rp 360

dan Harga Pokok Penjualan barang “x” adalah : Rp 250 + Rp 120 +

Rp 50 = Rp 420

c. Metode Rata-rata Tertimbang

Metode rata-rata tertimbang dengan menggunakan metode pencatatan perpetual biasa dikenal dengan nama metode rata-rata bergerak.

Tabel 3

Contoh Perhitungan Penilaian Persediaan Dengan Metode Rata – Rata Tertimbang Untuk Barang “x”

Tanggal

Masuk Keluar Saldo Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Unit Harga Per Unit (Rp) Jumlah (Rp) Jan ‘05 1 40 10 400 10 25 10 250 15 10 150 12 10 12 120 25 10,80 270 26 15 10.80 162 10 10.80 108 31 20 13 260 30 12.27 368

Jadi Persediaan akhir dari barang “x” adalah : Rp 368 dan Harga Pokok Penjualan barang “x” adalah : Rp 250 + Rp

162 = Rp 412

2. Perhitungan biaya persediaan dengan menggunakan sistem pencatatan

periodik

Berikut ini adalah ilustrasi perhitungan biaya persediaan untuk barang “x” dari perusahaan dengan menggunakan metode pencatatan periodik dengan transaksi selama bulan Januari tahun 2005 :

Tanggal Jenis Transaksi Unit Biaya / unit

1 Januari Persediaan 40 Rp 10

12 Januari Pembelian 10 Rp 12

26 Januari Penjualan 15

31 Januari Pembelian 20 Rp 13

Dari data tersebut dengan asumsi-asumsi yang akan diutarakan lebih lanjut akan dikalkulasi biaya persediaan pada bulan yang berakhir januari 2005.

a. Metode First In First Out

Jika Perusahaan menggunakan metode First In First Out pada sistem persediaan periodik hanya pendapatan yang dicatat setiap kali penjualan dilakukan. Tidak ada ayat jurnal yang mencatat harga pokok penjualan. Pada akhir periode akuntansi perhitungan fisik dilakukan untuk menentukan biaya atau harga pokok persediaan dan harga pokok penjualan., maka pencatatan pembelian selama bulan Januari 2005 adalah sebagai berikut

1 Jan Persediaan 40 unit @ Rp 10 Rp 400

12 Jan Pembeliaan 10 Unit @ Rp 12 Rp 120 31 Jan Pembelian 20 Unit @ Rp 13 Rp 260

Tersedia untuk dijual selama Bulan Januari

70 Unit

Sedangkan penjualan selama bulan Januari 2005 adalah sebagai berikut :

10 Jan Penjualan 25 Unit

26 Jan Penjualan 15 Unit

Unit yang terjual 40 Unit

Sehingga unit yang tersedia pada akhir bulan Januari 2005 berdasarkan perhitungan fisik adalah sebesar 30 unit (70 unit – 40 unit) sehingga besarnya persediaan pada akhir periode Januari 2005 adalah Rp 380 (Rp120 + Rp 260) dan besarnya harga pokok penjualan adalah sebesar Rp 400 (Rp780 - Rp380)

b. Metode Last In First Out

Pada metode Last In First Out, harga pokok penjualan terdiri dari harga pokok paling akhir pada periode bulan Januari 2005 seperti contah di atas, sehingga besarnya harga pokok penjualan pada metode Last In First Out dengan sistem persediaan periodik adalah sebesar :

1 Jan Persediaan 10 Unit @ Rp 10 Rp 100

12 Pembelian 10 Unit @ Rp 12 Rp 120

31 Pembelian 20 Unit @ Rp 13 Rp 260

Harga Pokok Penjualan 40 Unit Rp 480

Untuk mengetahui persediaan akhir pada bulan Januari 2005 adalah berupa harga pokok paling awal dari periode yaitu Rp 300 (30 unit x @ Rp 10).

c. Metode Rata-rata Tertimbang

Pada metode ini biaya-biaya dibandingkan dengan pendapatan sesuai deengan rata-rata per unit harga pokok penjualan. Biaya rata-rata tertimbang per unit sama digunakan dalan menentukan biaya persediaan barang dagang pada akhir periode. Biaya rata-rata tertimbang per unit ditentukan dengan membagi total biaya dari setiap barang yang tersedia untuk dijual selama suatu periode dengan jumlah unit barang yang berkaitan. Biaya rata-rata tertimbang per unit pada bulan januari 2005 adalah sebagai berikut : Biaya rata-rata per unit = Rp 780/70 unit = Rp 11,14

Sehingga harga pokok penjualan sebesar = Rp 11,14 x 40 unit = Rp 445,71

Dan persediaan akhir bulan januari 2005 = Rp 780 – Rp 445,71 = Rp 334,29

Dengan menggunakan metode First In First Out (FIFO), persediaan dilaporkan pada neraca sebesar harga pokok saat itu. Dengan metode Last In First Out (LIFO) persediaan yang tidak terlalu banyak berubah kuantitasnya dilaporkan dengan jumlah yang kira-kira tetap seperti dulu yang dikaitkan dengan pembelian yang paling dini. Penggunaan metode rata-rata pada umumnya menghasilkan nilai persediaan yang sangat pararel dengan nilai First In First Out, karena pembelian selama satu periode biasanya beberapa kali lebih banyak dari persediaan awal dan dengan demikian biaya rata-rata sangat dipengaruhi oleh biaya periode berjalan. Metode identifikasi khusus dapat menghasilkan berbagai hasil tergantung pada

keinginan manajemen. Dalam hal ini harga dibayar atas barang tidak banyak berfluktuasi, metode persediaan lainnya tidak akan menimbulkan banyak perbedaan pada laporan keuangan. Akan tetapi periode terjadinya kenaikan atau penurunan harga secara terus menerus, metode-metode lainnya akan mengakibatkan perbedaan material. Perbedaan – perbedaan dalam penilaian persediaan di neraca akan diikuti oleh perbedaan dalam perhitungan laba rugi periode yang bersangkutan.

Penggunaan metode FIFO dalam suatu periode kenaikan harga berarti akan menandingkan persediaan terlama yang berbiaya rendah dengan harga jual yang meningkat, sehingga dapat memperbesar laba. Dalam periode dimana terjadi penurunan harga yang berarti akan menandingkan persediaan terlama yang berbiaya tinggi dengan harga jual yang menurun sehingga dapat memperkecil laba yang diperoleh. Dengan menggunakan metode rata – rata perubahan laba cenderung mengikuti pola yang sama dalam kaitannya dengan perubahan harga. Di lain pihak penggunaan metode LIFO dalam suatu periode kenaikan harga akan mengaitkan harga pokok periode berjalan yang lebih tinggi dari perolehan barang dengan harga jual yang meningkat. Jadi metode LIFO cenderung menstabilkan laba perusahaan.

Ada satu alasan yang membenarkan penggunaan metode penilaian yang berbeda-beda untuk persediaan barang, yaitu bahwa setiap metode seharusnya mencerminkan keadaan ekonomi yang berbeda-beda. Atas permasalahan tersebut, Chasteen telah melakukan suatu penelitian (melalui suatu kuisoner) terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Kesimpulan akhir dari penelitian

tersebut, sebagaimana dikutip kembali oleh Tuanakotta (2000: 53), dinyatakan bahwa dasar pemilihan berbagai metode adalah dampak yang ditimbulkan terhadap penghasilan (income) yang dilaporkan dan dampak perpajakannya, sedemikian rupa sehingga mereka tidak melakukan pemilihan atas dasar pertimbangan keadaan ekonomi. Akan tetapi dampak langsung terhadap income yang dilaporkan sebenarnya hanya untuk menunjukkan gambaran yang bagus saja dan tidak mencerminkan perubahan yang sesungguhnya mengenai resources perusahaan. Akibat terhadap perhitungan pajak penghasilan memang mencerminkan perubahan yang nyata mengenai pembayaran kas di kemudian hari untuk pajak-pajak. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada alasan yang tepat dalam memilih berbagai alternative penilaian inventory kecuali untuk alasan perpajakan.

Dokumen terkait