• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAYANAN PENANAMAN MODAL MELALUI

C. Pelayanan Penanaman Modal Melalui Pelayanan Terpadu

5. Hak dan Kewajiban dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Pasal 19 menyebutkan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam mengelola PSE mempunyai kewajiban, antara lain:98

a. Menjamin PSE beroperasi secara terus menerus sesuai standar tingkat layanan, keamanan data, dan informasi;

b. Melakukan manajemen sistem aplikasi otomatisasi proses kerja pelayanan perizinan dan nonperizinan, serta data dan informasi;

c. Melakukan koordinasi dan sinkronisasi pertukarand ata dan informasi secara langsung (online) dengan pihak terkait;

d. Melakukan tindakan untuk mengatasi gangguan terhadap PSE.

98Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014

BAB III

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL

A. Otonomi Daerah Di Indonesia

Adanya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur penyelenggaraan penanaman modal dapat dilihat dalam Pasal 30 angka (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menyebutkan bahwa “Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah.”99 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/ kota menjadi urusan Pemerintah Provinsi,100 dan penyelenggaran penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/ kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/ kota.101

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintagan daerah yang menjamin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.102

99Pasal 30 angka (2)

100Pasal 30

101Pasal 30 angka (6)

102Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

1 Latar Belakang Lahirnya Otonomi Daerah

Desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Desentralisasi baru terwujud apabila terdapat “penyerahan” wewenang pemerintahan dan desentralisasi otonomi dan tugas pembantuan.103 Menurut Philipus M.

Hadjon104

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah Otonom yang disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan megurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

, desentralisasi mengandung makna bahwa untuk megatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan territorial maupun fungsional.

Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan.

105

103Sirajuddun,dkk., Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, (Malang : Setara Press, 2016), hlm. 60

104Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 111

105Andi Pangerang Moenta & Syafa’at Anugrah Pradana, Pokok-Pokok Hukum Pemerintahan Daerah, ( Depok : PT RajaGrafindo Persada, 2018), hlm. 27

Terbentuknya pemerintahan daerah berawal dari gagasan Muhammad Yamin pada sidang BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 di mana dalam sidang tersebut, beliau melampirkan rancangan UUD yang memuat tentang pemerintahan daerah yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dibentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.’106

Selain itu Soepomo juga menyampaikan tentang Pemerintahan Daerah di hadapan sidangPPKI yangmenyatakan; “Di bawah pemerintah pusat ada pemerintah daerah. Tentang pemerintah daerah di sini hanya ada satu pasal yang berbunyi: pemerintah daerah diatur dalam undang-undang. Hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus dipakai untuk pemerintahan daerah, artinya pemerintahan daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Rakyat...”.107

Dari beberapa pandangan di atas, Bagir Manan menyimpulkan,108

106Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta : 1971), hlm. 724

107Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Karawang : Unsika, 1993), hlm. 11

108Ibid, hlm. 12-13

bahwa tentang rumusan pemerintahan daerah dalam rancangan UUD 1945 Pasal 18 sepenuhnya mengikuti rancangan yang diusulkan Yamin di mana

di mana yang menjadi esensi yang terkandung dalam pasal tersebut, antara lain:109

a. Adanya daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada asas desentralisasi;

b. Satuan pemerintah tingkat daerah menurut UUD 1945 dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara;

c. Pemerintahan tingkat daerah harus disusun dan diselenggarakan dengan memandang dan mengingat hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Setiap fase pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Adapun tahapan fasenya, antara lain:110

1) Fase I (1945-1948)

Pada fase ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah.

109Andi Pangerang Moenta & Syafa’at Anugrah Pradana, Op. Cit., hlm. 4

110Ibid., hlm. 5-17

2) Fase II (1948-1957)

Pada fase ini berlaku Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini adalah undang-undang pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi yaitu daerah otonom dan daerah otonom khusus.

3) Fase III (1957-1965)

Pada fase ini berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang-Undang-Undang NIT Nomor 44 Tahun 1950. Pada masa ini, masing-masing daerah otonomi memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda.

4) Fase IV (1965-1974)

Pada fase ini berlaku Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan UU No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960. Pada masa ini Indonesia mengenal satu jenis daerah otonom yang dibagi menjadi tiga tingkatan daerah, yaitu Tingkat I (Provinsi/Kotaraya), Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya), dan Tingkat III (Kecamatan/Kotapraja).

5) Fase V (1974-1999)

Pada fase ini berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menggantikan UU No. 18 Tahun 1965. Pada fase ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan wilayah administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi111

6) Fase VI (1999-2004)

.

Pada fase ini berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974. UU ini menyatukan daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah, yaitu Aceh, Jakarta dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif. Terdapat 3 (tiga) jenis daerah otonom pada periode ini yaitu daerah provinsi, kabupaten, dan kota serta berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom.

7) Fase VII (2004-2014)

Pada fase ini berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi sau jenis daerah otonom dengan perincian dibagi atas daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah-daerah kabupaten dan kota.

111Dekonsentrasi adalah penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah yang di mana penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya. (Sirajuddun,dkk., Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah, (Malang : Setara Press, 2016), hlm. 62)

8) Fase VIII (2014- sekarang)

Pada fase ini, berlaku UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti.

2 Kebijakan Dan Wewenang Dalam Pengelolaan Penanaman Modal

Permasalahan daya saing penanaman modal di Indonesia adalah adanya inkonsistensi kebijakan, pengaturan, dan implementasi penanaman modal, di mana mengenai tugas dan fungsi pokok Badan Koordinasi Penanaman Modal, apakah sebagai one step service center dalam pelayanan perizinan dan fasilitasi penanaman modal ataukah hanya sebagai badan promosi penanaman modal112

Dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan pelayanan dasar yakni Penanaman Modal.113

112Dhaniswara K. Harjono, Op.Cit., hlm. 247

113Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya di mana dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa urusan yang wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah

provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi, pelayanan administrasi peananaman modal termasuk lalu lintas kabupaten/kota.114

Di dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah dibagi apa saja yang menjadi kewenangan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal,baik di pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi, maupun di pemerintahan kabupaten/kota. Adapun yang menjadi sub urusannya, antara lain:115

a. Pengembangan Iklim Penanaman Modal;

b. Kerja Sama Penanaman Modal;

c. Promosi Penanaman Modal;

d. Pelayanan Penanaman Modal;

e. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal;

f. Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal.

3 Hambatan Masuknya Penanaman Modal Ke Daerah

Secara teoritis dengan diterbitkannya peraturan tentang pemerintahan daerah, Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur dan/ atau Bupati/Walikota diberi otoritas untuk mengelola daerahnya secara otonom. Dilihat dari sudut pandang ini, pemerintah daerah berpeluang besar untuk menarik calon penanam modal masuk ke daerah. Di sisi lain, bagi penanam modal sendiri adanya kebijakan otonomi daerah bisa membandingkan daerah

114Sentosa Sembiring, Op.Cit., hlm. 140-141

115Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

mana yang paling memberi peluang dalam melakukan penanaman modal.116

Namun kenyataannya, pemerintah daerah belumlah memberikan hasil yang cukup signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Padahal idealnya, dengan diberikannya kewenangan dalam mengelola daerah secara otonom, masyarakat dapat menikmati hasil. Upaya untuk mendapatkan hasil dari kebijakan otonomi daerah ini, antara lain dapat dilihat dengan semakin cepatnya arus pergerakan modal ke daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh Yuliandriansyah, dalam konteks ekonomi daerah yang saat ini tengah berlangsung, idealnya daerah menjadikan penanaman modal sebagai salah satu pendorong pembangunan daerah. Daerah sudah saatnya berkompetisi menarik sebanyak mungkin penanaman modal sebagai penggerak pembangunan daerah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.117

Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah tidak saja tergantung kemauan kuat aparatur pemerintah pusat yang diharapkan menyerahkan sebagian kewenangannya kepada aparatur pemerintahan di daerah, melainkan terletak pada keprakarsaan dan kesungguhan aparatur di daerah sendiri untuk memberi arti dan meningkatkan kualitas kemandirian di daerah itu sendiri. Bahkan sejatinya kebijakan otonomi daerah itu harus pula diartikan terletak pada

116Sentosa Sembiring, Op.Cit., hlm. 143

117Ibid., hlm. 144-145

kemandirian, keprakarsaan, dan kreativitas warga masyarakat daerah sebagai keseluruhan.118

Selain itu, ada beberapa hal pokok yang menjadi permasalahan dan hambatan sehingga sulitnya masuk penanaman modal di daerah, antara lain:119

1. Kurangnya kemampuan daerah untuk menjual potensi yang dimilikinya baik itu berupa potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia kepada para penanam modal.

Kemampuan daerah untuk menjual tersebut harus juga didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif dan mendukung penanaman modal di daerah seperti adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi penanaman modal di daerah.

2. Seringnya terjadi kesimpangsiuran dan ketidakpastian dalam pelaksanaan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintahan daerah dan tidak jarang peraturan daerah tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

3. Pelaksanaan birokrasi pelayanan perizinan usaha di diaerah masih belum sesuai dengan harapan dunia usaha. Untuk mendapatkan izin usaha, para pelaku usaha harus

118Jimly Asshiddiqie, Makalah Otonomi Daerah dan Peluang Investasi, dalam Government Conference tentang “Peluang Investasi dan Otonomi Daerah, (diadakan di Jakarta, 29-30 September 2000)

119Sentosa Sembiring, Op.Cit., hlm. 145-148

mengeluarkan tambahan biaya tidak resmi di luar biaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.

B. Pembagian Kewenangan Dalam Penyelenggaraan Penanaman Modal

Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pelaksanaan penanaman modal di Indonesa. Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, telah ditentukan kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Adanya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur penyelenggaraan penanaman modal dapat dilihat dalam Pasal 30 angka (2) yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah.”120 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi, dan penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.121

120Pasal 30 angka (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

121Ibid., Pasal 30 angka (6)

1 Kewenangan Pemerintah Pusat

Kewenangan pemerintah pusat dalam penanaman modal sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yaitu:122

1. Menurut ayat (4), penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan dan kewenangan pemerintah pusat;

2. Menurut ayat (7), urusan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah:

a) Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tdiak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

b) Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

c) Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

d) Penanaman modal yang terkait dengan pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

e) Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah

122Ibid, Pasal 30

negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain; dan

f) Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut undang-undang.

3. Menurut ayat (8), urusan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana yang disebutkan di atas, dapat diselenggarakan sendiri oleh pemerintah pusat maupun didelegasikan ke gubernur sebagai wakil pemerintah atau menugaskan pemerintah kabupaten/kota.

Dalam kewenangan perizinan penanaman modal, pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan pemberian izin kepada pemerintah daerah dengan tujuan mempercepat pelayanan kepada masyarakat terutama pelaku usaha yang akan menanamkan modalnya di daerah secara lebih cepat dan efisien.

2 Kewenangan Pemerintah Provinsi

Kewenangan pemerintah pusat dalam penanaman modal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:123

1. Pengembangan iklim penanaman modal, yang meliputi:

123Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

a. Penetapan pemberian fasilitas/intensif di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah provinsi;

b. Pembuatan peta potensi penanaman modal provinsi.

2. Penyelenggaraan promosi penanaman modal.

3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan secara terpadu satu pintu yang meliputi:

a. Penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas daerah kabupaten/kota.

b. Penanaman modal yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan daerah provinsi.

4. Pengendalian pelaksanaan penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah provinsi.

5. Pengelolaan data dan informasi perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi pada tingkat daerah provinsi.

3 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota

Adapun yang menjadi kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota, antara lain:

1. Pengembangan iklim penanaman modal, yang meliputi:

a. Penetapan pemberian fasilitas/intensif di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota;

b. Pembuatan peta potensi penanaman modal kabupaten/kota.

2. Penyelenggaraan promosi penanaman modal.

3. Pelayanan perizinan dan nonperizinan secara terpadu satu pintu di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota.

4. Pengendalian pelaksanaan penanaman modal yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota.

5. Pengelolaan data dan informasi perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi pada tingkat daerah kabupaten/kota.

C. Prosedur Dan Syarat-Syarat Dalam Penanaman Modal

1 Lembaga Yang Berwenang Mengordinasikan Penanaman Modal

Keberadaan lembaga yang mengoordinasikan penanaman modal di Indonesia mempunyai peranan yang sangat strategis karena dengan adanya lembaga tersebut akan menentukan tinggi rendahnya penanaman modal yang akan ditanam oleh penanam modal, baik penanam modal asing maupun domestik. Sebelum adanya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, pejabat yang berwenang mengoordinasikan pelaksanaan penanaman modal di tingkat pusat adalah Menteri Negara Investasi/

Kepala BKPM, sedangkan di tingkat daerah, lembaga yang berwenang adalah BKPMD.124

Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa penyelenggaraan penanaman modal oleh BPKM terdiri atas bidang-bidang:125

1. Kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal;

2. Promosi dan kerjasama penanaman modal;

3. Pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal;

4. Pengendalian pelaksanaan penanaman modal;

5. Pengelolaan sistem informasi penanaman modal.

Yang menjadi tugas dan fungsi BPKM, antara lain:126

a. Melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal;

b. Mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

c. Menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;

d. Mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha;

124Salim HS & Budi Sutrisno, Op.Cit., hlm.227-228

125Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap

126Pasal 28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

e. Menyusun peta penanaman modal di Indonesia;

f. Dll.

2 Jenis-Jenis Permohonan Penanaman Modal

Ada tiga (3) jenis permohonan dalam bidang penanaman modal, yaitu:127

1. Permohonan penanaman modal baru;

Permohonan penanaman modal baru adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penanaman modal, baik penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing beserta fasilitasnya yang diajukan oleh calon penanam modal untuk mendirikan dan menjalankan usaha baru.128

2. Permohonan perluasan penanaman modal;

Permohonan perluasan penanaman modal adalah permohonan untuk mendapatkan persetujuan penambahan modal beserta fasilitasnya dalam rangka penambahan kapasitas terpasang yang disetujui dan/atau menambah jenis produksi barang/jasa.

3. Permohonan perubahan penanaman modal.

Permohonan perubahan dengan penanaman modal adalah permohonan persetujuan atas perubahan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang telah ditetapkan dalam persetujuan penanaman modal sebelumnya.

127Keputusan Kepala BKPM Nomor 57/SK/2004 Tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing

128Ibid., Pasal 1 angka 1

3 Prosedur, Syarat, Serta Dokumen Yang Diperlukan Dalam Permohonan Penanaman Modal

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal, penanam modal dapat mengajukan permohonan izin prinsip ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pusat di BKPM, BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB, dan PTSP KEK, sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8, secara dalam jaringan (daring) melalui SPISISE atau secara manual.129 Pengajuan permohonan secara daring berlaku bagi:130

a) PMDN dan PMA yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di PTSP Pusat di BKPM;

b) Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Badan Pengusahaan KPBPB, dan Administrator KEK di BPMPTSP Provinsi, BPMPTSP Kabupaten/Kota, PTSP KPBPB dan PTSP KEK, yang telah menerapkan izin prinsip secara daring.

Permohonan penanaman modal baru dalam rangka PMDN diajukan kepada Kepala BPKM dalam rangkap dua dengan menggunakan formulir

129Pasal 31 Ayat (1) Peraturan Kepala BKPM Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Izin Prinsip Penanaman Modal

130Ibid, Pasal 31 Ayat (2)

Model I/PMDN. Formulir ini telah dibakukan oleh BKPM dengan tujuan untuk mempermudah para calon penanam modal domestik untuk mengajukan permohonan kepada BKPM. Hal-hal yang harus diisi calon penanam modal dalam permohonan tersebut, meliputi:131

1. Keterangan pemohon, yang meliputi nama pemohon, NPWP, akta pendirian, dan perubahannya, pengesahan Menteri Hukum &

HAM, alamat lengkap;

2. Keterangan rencana proyek yang meliputi bidang usaha, lokasi proyek, produksi per tahun, pemasaran per tahun, luas tanah yang diperlukan, tenaga kerja, rencana penanaman modal, sumber pembiayaan, modal perseroan, jadwal waktu penyelesaian proyek, dan pernyataan.

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronikatau Online Single Submission (OSS) merupakan aplikasi yang digunakan untuk segala proses registrasi dan pengajuan perizinan berusaha serta pengajuan perizinan lainnya yang termasuk di dalam layanan perizinan berusaha menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.Dalam peraturan ini mengatur tentang:

1. Jenis, pemohon, dan penerbitan perizinan berusaha 2. Pelaksanaan perizinan berusaha

131Salim HS & Budi Sutrisno, Op.Cit., hlm. 235

3. Reformasi perizinan berusaha per sektor 4. Sistem OSS, lembaga OSS, pendanaan OSS

5. Insentif atau disintensif pelaksanaan perizinan berusaha melalui OSS

6. Penyelesaian permasalahan dan hambatan berusaha

Sistem OSS ini merupakan upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan berusaha dan menciptakan model pelayanan perizinan terintegrasi yang cepat, murah, serta memberi kepastian. Sistem ini mulai dibangun sejak Oktober 2017 sebagai pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 Tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, dan telah mengadakan uji coba konsep di tiga lokasi, yaitu Purwakarta, Batam dan Palu.132

Sistem Online Single Submission (OSS) adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.133

Sistem Online Single Submission (OSS) adalah perizinan berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.133