• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode penyuluhan pertanian merupakan cara penyampaian materi penyuluhan pertanian kepada pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Metode penyuluhan pertanian erat kaitannya dengan metode belajar oranag dewasa (andragogy).

Penyuluh, yang menjalankan tugas utamanya sebagai pendidik, pengajar dan pendorong, selalu berhubungan dengan sasaran penyuluhan yang biasanya adalah para petani, peternak, dan nelayan dewasa. Menurut Mardikanto (1993), sebagai suatu proses pendidikan, maka keberhasilan penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran penyuluhan.

Pelaksanaan penyuluhan, pemahaman proses belajar pada orang dewasa serta prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh seorang penyuluh dalam menjalankan tugasnya menjadi sangat penting peranannya karena dapat membantu penyuluh dalam mencapai tujuan penyuluhan yang telah ditentukannya.

Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), pilihan seorang agen penyuluhan terhadap satu metode atau teknik penyuluhan sangat tergantung kepada tujuan khusus yang ingin dicapainya dan situasi kerjanya. Karena beragamnya metode penyuluhan yang dapat digunakan dalam kegiatan penyuluhan, maka perlu diketahui penggolongan metode penyuluhan menurut jumlah sasaran yang hendak dicapai. Berdasarkan pendekatan

24

sasaran yang ingin dicapai, penggolongan metode terbagi menjadi tiga yakni metode berdasarkan pendekatan perorangan, kelompok, dan massal.

Metode penyuluhan pertanian partisipatif (PRA) yaitu masyarakat berpartisipasi secara interaktif, analisis-analisis dibuat secara bersama yang akhirnya membawa kepada suatu rencana tindakan. Partisipasi disini menggunakan proses pembelajaran yang sistematis dan terstruktur melibatkan metode-metode multidisiplin, dalam hal ini kelompok ikut mengontrol keputusan lokal. Berdasarkan atas UU SP3K pasal 26 ayat 3, dikatakan bahwa "Penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha".

Sharma, Director Information Technology, Documentation & Publications National Institute of Agricultural Extension Management India, memberikan istilah tentang pemanfaatan TIK untuk penyuluhan pertanian dengan sebutan “cyber extension” Cyber Extension merupakan sistem informasi penyuluhan pertanian melalui media internet, untuk mendukung penyediaan materi penyuluhan dan informasi pertanian bagi penyuluh dalam memfasilitasi proses pembelajaran agribisnis bagi pelaku utama dan pelaku usaha.

Cyber Extension adalah penyuluhan melalui cyber space yaitu menggunakan kekuatan jaringan online, komunikasi komputer dan multimedia interaktif digital untuk memfasilitasi penyebarluasan teknologi pertanian.

Elemen cyber extension adalah (1) E-mail; (2) Penyuluhan/penyebaran informasi pertanian berbasis Web; (3) Sistem interaktif dalam pengendalian hama dan penyakit; (4) Internet browsing untuk penyuluhan pertanian; (5) Video Conferencing- Static, Mobile; (6) Kisan Call Centers;(7) Satelite Communication Networks.

Cyber Extension adalah program yang dikembangkan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, merupakan metode penyuluhan masa depan yang dirancang dengan tujuan, sebagai berikut: (1) meningkatkan arus informasi dari pusat sampai tingkat petani; (2) meningkatkan penyediaan materi penyuluhan pertanian bagi penyuluh; (3) meningkatkan akses petani dalam mendapatkan informasi; dan (4) menyediakan peralatan komputer yang dapat mengakses informasi Cyber Extension.

Kesuksesan (efektivitas) intervensi aplikasi TIK pada penyuluhan pertanian di era disrupsi pertanian utamanya tergantung pada dampaknya terhadap mata pencaharian dan aset mata pencaharian. Keberlanjutan (sustainability) suatu intervensi aplikasi TIK memiliki mempunyai dua aspek penting, yaitu: kemampuan dalam melanjutkannya dalam jangka panjang dan kemampuannya untuk mengurangi sifat mudah terlukanya (vulnerabilities) dari target beneficiaries.

Slamet (1992) menjelaskan bahwa akses terhadap komunikasi digital membantu meningkatkan akses terhadap peluang pendidikan, meningkatkan transparansi dan efisiensi layanan pemerintah, memperbesar partisipasi secara langsung dari ”used-to-be-silent-public” (masyarakat yang tidak mampu berpendapat) dalam proses demokrasi, meningkatkan peluang perdagangan dan pemasaran, memperbesar pemberdayaan masyarakat dengan memberikan suara kepada kelompok yang semula tidak bersuara (perempuan) dan kelompok yang mudah diserang, menciptakan jaringan dan peluang pendapatan untuk wanita, akses terhadap informasi pengobatan untuk masyarakat yang terisolasi dan meningkatkan peluang tenaga kerja.

PENUTUP

Inovasi disrupsi penyuluhan pertanian merupakan ide, gagasan, dan konsep serta temua baru yang dapat memberikan dampak perubahan terhadap pelaksanaan penyuluhan yang lebih efektif dan efisien kepada pelaku utama dan pelaku usaha pertanian. Inovasi disrupsi penyuluhan pertanian ini lebih terarah pada reformasi penggunaan materi, media dan metode penyuluhan pertanian yang lebih menguntungkan petani, peternak dan nelayan dalam melaksanakan usaha taninya.

DAFTAR PUSTAKA

Bahua, M.I 2018. Managerial Competencies in Agriculture. European Research Studies Journal.Volume XXI, Issue 2, 2018. University of Piraeus, International Strategic Management Association. Greece - SIR Ranking of Greece. H-Index 19. Page: 623 – 629.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Setiana L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia.

Slamet M. 1992. “Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas.” Dalam:

Penyuluhan Pembangunan Indonesia Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh:Aida V, Prabowo T, Wahyudi R. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.

van den Ban AW, Hawkins HS 1999. Penyuluhan Pertanian. (terjemahan) Second Edition. Yogyakarta: Kanisius.

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 233

25

TECHNOPARK: ANTARA AKADEMISI, WIRAUSAHA, DAN DUNIA INDUSTRI DALAM BUDAYA INOVASI

Somariah Fitriani

Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta somariah@uhamka.ac.id

Abstrak

Science Technology Park atau Technopark adalah program prioritas pemerintah Indonesia dalam merevitalisasi dan mereformasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang merupakan kawasan terpadu yang menggabungkan dunia industri, sekolah, pusat riset dan pelatihan, kewirausahaan, perbankan, pemerintah pusat dan daerah dalam satu lokasi yang memungkinkan aliran informasi dan teknologi secara lebih efisien dan cepat. Program Technopark tidak bisa dilepaskan dari Teaching Factory karena keduanya saling jalin menjalin dan saling kebergantungan. Technopark merupakan salah satu wadah (integrator) atau sarana dalam menjual hasil produksi yang dihasilkan oleh Teaching Factory kepada konsumen atau industri. Selain itu technopark juga merupakan penghubung antara SMK yang telah melaksanakan program Teaching Factory dengan dunia industri.

Karena Technopark bertujuan untuk merangsang dan mengelola arus pengetahuan dan teknologi sesama SMK pelaksana program, diharapkan kualitas peserta didik/lulusan SMK akan meningkat, jiwa kewirausahaan akan berkembang dan mampu beradaptasi/survive dengan perubahan lingkungan (environment change) yang semakin cepat di abad ini.

Kata kunci: science technology park, technopark, budaya inovasi, teaching factory, kewirausahaan, Sekolah Menengah Kejuruan.

PENDAHULUAN

Menjembatani perbedaan antara apa yang telah dipelajari peserta didik di kelas dan apa yang dibutuhkan peserta didik dalam kehidupan nyata, khususnya untuk pendidikan professional seperti sekolah kejuruan adalah salah satu masalah utama dari pendidikan tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan tenaga kerja yang berkualifikasi dan terampil dalam bisnis dan industri saat ini, sektor pendidikan harus mampu menjawab tantangan tersebut dengan menyiapkan pendidikan kelas profesional yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri dan perkembangan teknologi khususnya di era disrupsi dan revolusi industri 4.0 saat ini.

Alpysbay, Adieva, Zhamuldinov, Komarov & Karimova (2016) berargumen bahwa masalah penilaian kualitas pendidikan teknik dan kejuruan oleh konsumen, pengusaha (di pasar tenaga kerja) dan spesialis sangat penting saat ini. Yang harus diingat bahwa persyaratan untuk keterampilan spesialis dari pihak pemberi kerja terus berubah karena perkembangan sosial-ekonomi, politik, ilmiah dan teknologi dari masyarakat dan Negara. Seperti kasus di Kazakhtan yang kaya akan sumber daya mineral, jumlah dana pendidikannya besar namun kemajuan inovasinya lambat (Roza, & Raushan, 2014). Di Korea Selatan, sekolah menengah kejuruan dikritik karena mereka tidak dapat mengolah orang-orang dengan baik terhadap perubahan lingkungan, perluasan informasi, dan percepatan teknologi (Na, Chang, Jo & Song, 2007). Selain itu, Masalah 'ketidakcocokan keterampilan' melemahkan daya saing Korea Selatan antara orang terlatih di sekolah menengah kejuruan dan orang-orang yang dibutuhkan di perusahaan dan mengharuskan industri untuk melatih orang-orang, dengan menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit (Presidential Committee of Educational Reform, 2005).

Hal serupa pun dialami Indonesia dimana tingkat pengangguran yang tertinggi adalah lulusan SMK. Data BPS (2018) mencatat bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk tingkat SMK adalah yang tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Data tahun 2017 mencatat tingkat pengangguran 11,41 persen dan menurun 2,49 persen menjadi 8,92 persen di periode Februari 2018. Sedangkan TPT di periode yang sama untuk universitas adalah 6,31 persen, Diploma I/II/III adalah 7,92 persen, SMA adalah 7,19 persen, SMP adalah 5,18 persen dan SD ke bawah adalah 2,67 persen. Data tentang TPT selengkapnya ada di Gambar 1. Data ini menunjukkan bahwa ada permasalahan serius mengenai kualitas lulusan SMK hingga keterserapan lulusannya lebih rendah dibanding tingkat pendidikan lainnya.

Secara konseptual TPT adalah persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja (BPS, 2019). TPT merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar. Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bakhrun, menegaskan bahwa Pemerintah saat ini telah merancang kurikulum yang sesuai dengan keinginan industri. Tak hanya itu, pihaknya juga terus menjalin kerja sama dengan industri guna meningkatkan peluang kerja bagi lulusan SMK yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan SMK. Pemerintah juga terus melakukan

26

sinkronisasi antara kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha dan menjalin kerjasama dengan industri guna meningkatkan peluang kerja bagi lulusan SMK. Dipertegas lagi oleh Bakhrun bahwa kurikulum SMK saat ini sudah mengadaptasi kurikulum yang lebih modern ketimbang level pendidikan lain (Andreas, 2018).

Gambar 1. Tingkat Penggangguran Terbuka (TPT) menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan (persen), Februari 2017 – Februari 2018.

Sumber: Badan Pusat Statistik (2018)

Dengan kata lain, pembelajaran sekolah harus terintegrasi dengan baik dengan pembelajaran di tempat kerja, yang dapat diterapkan terutama dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan (vocational educational and training,VET) atau dikenal dengan sekolah menengah kejuruan (SMK). Secara umum, pendidikan kejuruan berarti „pendidikan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk karier tertentu atau tetap‟ (Terada, 2009). Sekolah menengah kejuruan adalah sekolah yang mewakili pendidikan kejuruan di tingkat sekolah menengah, yang memberikan peluang untuk melanjutkan pendidikan melalui pelatihan tenaga kerja industri yang berubah atau melalui pendidikan kejuruan dasar di tingkat sekolah menengah (Na, Chang, Jo & Song, 2007). Dengan demikian, SMK harus mampu menjawab tantangan ini dengan adanya pengembangan kurikulum yang disinkronkan dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri serta perubahan di era disrupsi yang tidak bisa dihindarkan saat ini.

Dalam menjawab permasalahan dan kritikan mengenai kualitas SMK, sejak 2010, Pemerintah Korea Selatan telah berupaya untuk meningkatkan minat peserta didik pada VET dan lebih menyelaraskan program-program VET dan kebutuhan pasar tenaga kerja dengan serangkaian reformasi pada struktur sistem.

Rektrukturisasi SMK difokuskan pada industri tertentu seperti perbankan, pembuatan kapal atau manufaktur semikonduktor, dan mendorong kolaborasi yang lebih besar dengan mitra industri. Selain itu Pemerintah Korea Selatan juga mengembangkan kurikulum mereka sendiri dengan mitra industri (NCEE, 2018). Dengan adanya paket kebijakan baru tersebut, telah ada perubahan baru, khususnya keterserapan tenaga kerja lulusan SMK dan ketertarikan masyarakat Korea akan Sekolah kejuruan meningkat (Lee & Hong, 2014).

Untuk mengembangkan dan mereformasi Sekolah Menengah Kejuruan, pemerintah Indonesia juga telah menerapkan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK yaitu melalui Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri dengan meluncurkan Program Teaching Factory dan Technopark di SMK. Pembahasan tentang Teaching Factory telah dibahas oleh penulis di buku Manajemen Perubahan Era Disruption (Fitriani, 2019). Program Teaching Factory adalah suatu konsep pembelajaran di SMK berbasis produksi/jasa yang mengacu kepada standar dan prosedur yang berlaku di industri. Proses pembelajaran model Teaching Factory dilaksanakan di sekolah dalam suasana seperti yang terjadi di industri. Sedangkan menurut Mustaghfirin Amin (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2015), Program Technoparkdicanangkan sebagai pusat dari beberapa Teaching Factory di SMK (“hub”) yang menghubungkan dunia pendidikan (SMK) dengan dunia industri dan instansi yang relevan untuk bekerja sama dengan Teaching Factory di SMK. Technopark akan menjadi “Think-Thank” SMK dalam pengembangan Teaching Factory yang harus mampu menyesuaikan perkembangan industri yang pesat.

Technopark juga akan mempromosikan potensi daerah yang relevan untuk pengembangan ekonomi daerah dan sekaligus mempermudah komunikasi dengan dunia industri.

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 233

27

Inovasi dianggap sebagai kunci penting untuk bertahan dalam lingkungan yang berubah (Altunoglu &

Gurel, 2015). Oleh karena itu, program Technopark yang dapat merangsang inovasi dengan adanya aliran pengetahuan dan teknologi di antara beberapa sektor merupakan program penting sebagai pendorong utama untuk transisi yang sukses.Technopark atau dikenal juga dengan juga science technologi park bukanlah merupakan hal yang baru, ini adalah proyek lama pertama yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo ketika beliau menjabat Menteri Riset pada tahun 1976 (Soenarso), namun pencanangannya di Indonesia baru dikembangkan di Era Presiden Joko Widodo sejak tahun 2014. Dalam hal ini, penulis akan membahas konsep Technopark secara mendetail, beberapa kasus di Negara lain, kendala yang dihadapi dan dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi sebuah Negara, serta implementasinya di SMK.

Technopark dan Peranannya dalam Budaya Inovasi

Ungkapan Technopark mempunyai banyak sinonim yaitu “technology park”, “technopole”, “research park”

dan “science park” yang mencakup konsep luas dan dapat dipertukarkan dalam definisi ini (IASP). Berdasarkan definisi resmi dari theInternational Association of Science Parks (IASP) pada Februari 2002, science park adalah sebuah organisasi yang dikelola oleh para profesional khusus, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari komunitasnya dan menguatkan peran IPTEK dalam pembangunan ekonomi dengan mempromosikan budaya inovasi dan daya saing usaha terkait, serta lembaga-lembaga berbasis pengetahuan.

Agar tujuan-tujuan ini tercapai, a science park merangsang dan mengelola aliran pengetahuan dan teknologi di antara universitas, lembaga litbang, perusahaan, dan pasar; a science park juga memfasilitasi penciptaan dan pertumbuhan perusahaan berbasis inovasi melalui proses inkubasi dan spin-off; dan menyediakan layanan bernilai tambah lainnya bersama dengan ruang dan fasilitas berkualitas tinggi (UNESCO 2017).

UNESCO (2017) menambahkan bahwa istilah "science and technology park" mencakup segala jenis klaster berteknologi tinggi seperti: technopolis, science park, science city, cyber park, hi tech (industrial) park, innovation centre, R&D park, university research park, research and technology park, science and technology park, science city, science town, technology incubator, technology park, technopark, technopole dan technology business incubator. Namun, perlu dicatat bahwa ada sedikit perbedaan antara beberapa istilah ini. Misalnya, pengalaman menunjukkan bahwa ada perbedaan antara a technology business incubator, Science Park or research park, science city, technopolis dan regional innovation system.

Silicon Valley (AS) adalah pelopor dalam pengembangan science parks dunia. Awalnya dikenal sebagai Stanford University Science Park, Silicon Valley kembali ke awal 1950-an. Kemudian diikuti oleh Sophia Antipolis (Prancis) di Eropa pada 1960-an dan Tsukuba Science City (Jepang) di Asia pada awal 1970-an. Trio ini mewakili science parks tertua dan paling terkenal di dunia. Saat ini ada ribuan science parks di seluruh dunia dan jumlahnya masih terus bertambah. Di bagian daftar pertama adalah Amerika Serikat, yang dilaporkan memiliki lebih dari 150 science parks. Jepang dengan 111 science parks. Tiongkok mulai mengembangkan science parks pada pertengahan 1980-an dan sekarang memiliki sekitar 100, dan 52 di antaranya telah disetujui oleh pemerintah nasional dan sisanya oleh pemerintah daerah. Negara lain yang juga mempunyai science park adalah Afrika (11), Eropa Barat (222), Eropa Timur (12), Timur Tengah (36), Asia Timur (142), Asia Tenggara (12), Asia Selatan (4), Amerika Utara (85), Amerika Selatan (6), Australia (9) dan Selandia Baru (1) (UNESCO, 2017). Jumlah ini mengidentifikasikan bahwa konsep science park bukanlah istilah baru di dunia dan kebutuhan akan keberadaannya sangat penting untuk menumbuh kembangkan inovasi teknologi dan perkembangan ekonomi Negara.

Diakui secara luas bahwa science and technology parks / techno park adalah kendaraan yang efektif untuk mempromosikan perusahaan berorientasi teknologi baru, memfasilitasi komersialisasi penelitian ilmiah, dan merevitalisasi ekonomi regional dan memberikan dorongan untuk pengembangan beberapa teknologi baru (Colombo dan Delmastro 2002, Klyucharev, Tyurina & Neverov 2017, Link dan Scott, 2003). Menurut Mytelka dan Farinelli (2000), techno-parks adalah bentuk cluster yang dibangun yang memainkan peran penting dalam mempromosikan kerja sama antara dua lingkungan yang berbeda, yaitu akademik dan bisnis. Banyak literatur juga mengidentifikasi kontribusi positif untuk wilayah dan perusahaan penyewa dan dampak utamanya adalah membina interaksi yang lebih besar dengan universitas (Henriques, Sobreiro, & Kimura, 2018).

Seperti di China, ada total 1637 Technopark atau dikenal dengan science and technology industrial parks (STIPs) tersebar dimana 224 nya dimiliki dan dibangun pemerintah pusat, 1344 dimiliki pemerintah provinsi dan 69 dimiliki oleh universitas. Dampak pembangunan dan pengembangan technopark sejak tahun 1990 adalah tercatat di akhir tahun 2009 yaitu 53.692 perusahaan teknologi dengan produksi bernilai 6.100 triliun yuan atau sekitar 18, 23% dari GDP China. Dari perusahaan perusahaan tersebut sebesar 2.979 perusahaan adalah start-up yang lulus dari incubator incubator technopark, dan 9 diantaranya masuk bursa saham China. Jadi university

28

technopark adalah bagian utama dalam pembangunan China dari made in China menjadi Create in China (Tim Analis Kebijakan, Bappenas, 2015). Zhang, & Sonobe (2011) menemukan bahwa STIP nasional telah tumbuh dengan kecepatan yang mencengangkan. Selama 14 tahun dari 1992 hingga 2006, tingkat pertumbuhan tahunan dari nilai output riil per STIP adalah lebih dari 40%, produktivitas tenaga kerja rata-rata tumbuh lebih dari tujuh kali lipat, dan jumlah perusahaan dalam STIP juga tumbuh lebih dari tujuh kali lipat. Pada hasil penelitiannya juga ditemukan bahwa produktivitas perusahaan teknologi tinggi (high-tech firms), baik di dalam atau di luar STIP, secara positif terkait dengan investasi asing langsung dan kegiatan akademik universitas lokal di kota yang sama. Di Korea Selatan, contoh suksesnya adalah munculnya dua perusahaan otomotif yaitu Daewoo dan Hyundai. Kedua perusahaan tumbuh pesat karena kedekatan antara perusahaan, lembaga litbang (R&D), dan keterlibatan yang intens dari berbagai pelaku di bidang STP (Lee, 2000).

Kanhukamwe Q.C., Chanakira M. (2014) menyatakan bahwa Universitas memainkan peran penting dalam dinamika pertumbuhan a Science and Technology Park (STP) serta pembangunan ekonomi suatu negara. Studi ini mengidentifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan (critical success factors) dalam pembentukan STP yang sukses diantaranya meliputi keunggulan lokasi universitas, tingkat keterampilan staf peneliti, pengeluaran untuk litbang (R&D) dan keberhasilan Public Private Partnership (PPPs). Dengan lingkungan yang mendukung, investasi baru, perusahaan baru, pekerjaan baru dapat diciptakan sebagai bukti dampak dan peran universitas dalam pertumbuhan dan pengembangan STP. Guadix, Castrillo, Onieva, dan Navascues (2016) menemukan bahwa untuk mengidentifikasi strategi Science and technology parks yang sukses adalah sebagai berikut: STP yang telah mengatasi tahap awal dan menangani volume pendapatan yang tinggi; tingkat pendudukan lahan yang tinggi; dan sejumlah besar karyawan. Kharabsheh (2012) dalam studinya mengenai empat (4) technology parks di Australia mengidentifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan yang meliputi: budaya "kewirausahaan"

pengambilan risiko, manajemen technology parks yang otonom yaitu dari pejabat universitas yang independen dan birokrat pemerintah, lingkungan yang mendukung, sejumlah besar perusahaan yang memungkinkan sinergi di dalam technology parks, kehadiran perusahaan inovatif yang meninggalkan dunia internasional, dan akhirnya visi bersama di antara pemangku kepentingan technology parks.

Untuk mengembangkan technopark dengan berhasil, faktor penentu keberhasilan berikut harus dipertimbangkan (Gibson & Rogers, 1994; Gibson and Sung, 1995; Goto, 1993; Luger, 1993; Sedaitis 1997;

Smilor et al., 1988; sung, 1997, MOITI, 1997; ITEP 1998; dalam Conceicao, Gibson, Heitor, Sirilli, dan Veloso 2002) yaitu:

1. Strong leadership of the initiating sector

2. Balance of power and coordination among participating sectors 3. Information sharing among participating sectors

4. Financial assistance and taxation incentives 5. Low rental cost and utility

6. Existence of research institutes 7. Existence of good universities 8. Well establish industry infrastructure

9. Specialized and unique technology or industry 10. Systematic implementation of plan

11. Benchmarking results

12. Inducing highly skillful technicians and experts 13. Providing a high quality of life

14. Strong investment from participating sectors 15. Drawing interest and support from local resident 16. Attracting visible and prominent corporations 17. Providing one stop administrative services

Di Indonesia sendiri istilah Science and Technology Park (STP) dan Technopark digunakan oleh pemerintah seperti yang sudah dibangun dan dikembangkan di beberapa provinsi dan daerah. Dalam Rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2016, Pemerintah mencanangkan pembangunan dan pengembangan 100 Technopark di seluruh Indonesia yang akan dibangun di daerah daerah, politeknik dan SMK dengan prasarana dan sarana yang dilengkapi dengan teknologi terkini.

Technopark merupakan program prioritas dan akan dikembangkan pada tingkat pusat, Provinsi dan Kabupaten Kota yang lokasinya telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 233

29

Nasional (RPJMN) 2014 – 2019. Tujuan program pengembangan Technopark adalah untuk menciptakan hal-hal inovatif dan produk baru industri berbasis penelitian. Proyek tersebut dibagi menjadi National Science Techno Park (N-STP atau STP) pada level nasional, science park (SP) pada level Provinsi dan Techno Park (TP) pada level kabupaten/kota dan Sekolah Menengah Kejuruan (Soenarso, 2015). Model technopark yang digunakan di Indonesia seperti terlihat di gambar 2 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, litbang, pelatihan kejuruan dan bisnis dalam penelitian gabungan untuk menghasilkan inovasi inovasi teknologi terbaru. Wibowo (2017) menyatakan bahwa pengembangan STP dinilai sebagai langkah strategis bangsa dalam mendorong hilirisasi hasil riset dan teknologi dari perguruan tinggi dan lembaga riset dan pengembangan (risbang) agar dapat dimanfaatkan oleh industri dan masyarakat.

Gambar 2. Model Techno Park Sumber: Bappenas tahun 2015

Menurut Tim Analis Kebijakan, Bappenas, (2015) ada beberapa Technopark di Indonesia yang sudah berjalan yang merupakan embrio diantaranya adalah Puspiptek Serpong, Pusinov LIPI-Cibinong, Bandung Techno Park, Solo Technopark, Balai Diklat Industri Tohpati Denpasar, Start Surabaya, Pondok Pusaka Technopark-Kaur Bengkulu, Pusat Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna-Pasuruan, Bandung Innovation Park-ITB dan IKITAS Semarang. Embrio technopark ini dikelompokkan menjadi 4 model yaitu: 1) technopark ideal dengan komponen lengkap; 2) technopark dengan incubator bisnis sebagai titik pengembangan; 3) technopark dengan penekanan pelatihan dan workshop sebagai titik pengembangan; dan 4) technopark dengan penekanan sebagai demoplot dari hasil riset.

Walaupun hasilnya belum terlihat signifikan, namun ada peningkatan seperti komersialisasi beberapa produk inovasi, berkembangnya beberapa start up, terbentuknya link kerjasama dengan industri dan berjalannya sinergi quadruple helix di Bandung. Sehingga pada tanggal 23 Januari 2015, kemenristek DIKTI menyebut Bandung Technopark sebagai role model pembangunan technopark di Indonesia. Bahkan berdasarkan hasil penelitian dan wawancara peneliti dan kawan kawan dengan Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Provinsi Jawa Barat, Dr. H. Dudi Sudrajat Abdurachim, MT di tahun 2018 menemukan bahwa quadruple helix sudah berkembang menjadi Penta helix (ABCGM) yaitu kolaborasi antara academics, business, community, government dan media yang membantu perkembangan UKM. Di Solo technopark sendiri, adanya jalinan kerjasama dengan institusi di Jerman seperti program IGI (Indonesia German Institute) yang memberikan perubahan besar dalam pola kerjasama Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) dan SMK. Ditambahkan lagi oleh Tim Peneliti Bappenas bahwa dalam pembangunan dan pengembangan technopark harus ada elemen prasarat yang terdiri atas tempat (space) yang merupakan sarana fisik keberadaan technopark dan 5 komponen lainnya yaitu: 1) Pengelola yang professional; 2) Penyediaan jasa training/workshop; 3) incubator bisnis untuk mengelola start up; 4) industri sebagai tenant, baik sebagai pemanfaat R & D maupun sebagai “angel investor” dan 5) sumber inovasi berupa lembaga penelitian dan hasil penelitiannya.

30

Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan technopark juga ditemukan di beberapa Negara.

Seperti di Rusia, kendala yang dihadapi adalah efektivitas kegiatan technology parks yang tidak memadai dan indikator kinerjanya yang tidak selalu memuaskan, yang mengurangi laju perkembangan inovatif Negara (Klyucharev, Tyurina, Neverov, 2017). Di Indonesia, kendala yang ditemukan meliputi: 1) Ketidaksiapan sumber daya manusia dalam menangani proyek STP, terutama di daerah setempat; 2) Pola skema pendanaan yang kaku di R&D dan bidang industry; dan 3)Koordinasi yang lemah di antara para aktor terkait untuk mengembangkan STP (Asmara, Oktaviyanti, Alamsyah, Zulhamdani, 2016). Lebih lanjut lagi, kendala yang dihadapi dalam inovasi terbuka (open innovation) oleh perusahaan yang menjalankan science and technology parks meliputi “kerahasiaan dan kekonsistenan perusahaan”, “sumber daya manusia, merek dan citra”, “sumber daya dan biaya”, “manajemen dan organisasi”, “pasar, kemitraan, dan sumber teknologi” dan “administrasi”

(Simsek & Yildirim, 2016).

Berdasarkan analisa Klyucharev, Tyurina, & Neverov (2017) atas 12 teknopark modern di 8 negara yaitu:

1. Research Triangle; Silicon Valley (USA); 2) Lahti Science and Business Park; Otaniemi; Turku Science Park (Finland); 3) Lakeside Science and Technology Park; Hagenberg Softwarepark (Austria); 4) Sophia-Antipolis Park (France); 5) Technologie park Heidelberg GmbH (Germany); 6) Kechnec (Slovakia); 7) Kulim Hi-Tech Park (Malaysia); dan 8) One-North (Singapore) mengenai aktivitas techno-parks ini bahwa untuk menyediakan komersialisasi yang efektif dan daya tarik skala besar dari investor, lokasi techno-parks harus memenuhi persyaratan berikut:

1) Ketersediaan tenaga terampil;

2) Kehadiran di universitas dan lembaga pendidikan dan penelitian lainnya di wilayah tersebut;

3) Keberadaan bandara internasional dan akses ke logistik kereta api atau air (ketersediaan pusat transportasi).

Untuk meningkatkan sistem manajemen techno-parks, peningkatan efektivitas kegiatan penelitian dan inovasi, dan komersialisasi hasil yang diperoleh sangat diperlukan untuk pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Klyucharev, Tyurina, Neverov, 2017). Dipertegas lagi oleh mereka bahwa langkah-langkah yang menentukan efisiensi kegiatan technology park meliputi: sistem indikator kinerja utama yang mendorong pengembangan proyek organisasi sains yang intensif, dengan mengurangi tarif sewa dan menyediakan tambahan jasa; penciptaan sistem hibah, pengenalan sistem pembayaran sewa yang fleksibel; penyediaan diskon untuk layanan techno-park kepada pelanggan perusahaan penduduk. Selain itu, kolaborasi dan komunikasi internasional dengan techno-parks lainnya dan asosiasi techno-parks, kerjasama dengan pusat penelitian dan lembaga pendidikan, pengembangan hubungan dengan struktur bisnis internasional sangat penting.