• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1.8. Metode Roland Barthes

Menurut Saussure, elemen-elemen semiologi dijelaskan dalam suatu kesatuan yang dapat dipisahkan dari dua bidang seperti hak selembar kertas, yaitu bidang penanda ( signifier ) yang merupakan citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal ataupun visual seperti tulisan, suara atau benda. Dan bidang petanda (signified ) yang merupakan konsep abstrak atau makna yang dihasilkan tanda.

Roland Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu ( Barthes, 2001:2008 dalam Alex Sobur, 2002:63 ).

Dalam suatu naskah atau teks terdapat lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes adalah yaitu Kode Hermeneutik ( kode teka-teki ), Kode Semik ( makna konotatif ), Kode Simbolik, Kode Proaretik ( logika tindakan ), Kode Gnomik ( kultural ) yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes, yaitu :

1. Kode Hermeneutik ( kode teka-teki ) berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan ‘kebenaran’ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Semik ( makna konotatif ) banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling ‘akhir’.

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas

bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya dan berbeda dari yang lain- atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode Proaretik ( logika tindakan / lakuan ) dianggapnya sebagai

yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan Todorov hanya mencari adegan- adegan utama atau alur utama, secara teoretis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-‘isi’ sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks ( seperti pemilahan ala Todorov ).

5. Kode Gnomik ( kultural ) banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte ( 2001:196 ), bukan hanya untuk membangun suatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan atau teka-teki yang paling menarik merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca ( the reader ). Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua

yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas dibedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja ( Cobley & Jansz, 1999 ) :

1. Signifier ( penanda ) 2. Signified ( petanda ) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER ( PENANDA KONOTATIF ) 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED ( PETANDA KONOTATIF )

6. CONNOTATIVE SIGN ( TANDA KONOTATIF )

3. Denotative Sign ( tanda denotatif )

Gambar 2 Peta Tanda Roland Barthes

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur

material : hanya jika anda mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin ( Cobley & Jansz, 1995:51 ).

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif ( Sobur, 2004:69 ).

Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkat ekspresi dan tingkat isi yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi. Kesatuan dari tingkat-tingkat dan relasinya ini membentuk sebuah sistem. Sistem demikian ini dapat di dalam dirinya sendiri menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya memperluasnya. Mengacu pada Hjelmslev, Barthes sependapat bahwa bahasa dapat dipilih menjadi dua sudut artikulasi demikian ( Barthes, 1983 dalam Kurniawan, 2001:67 ).

Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebuah bentuk konstruksi belaka, maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dan bahan- bahan yang tersedia, yang tak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin menemukan makna di dalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana naratif yang terdiri dari atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan Leksia, yaitu satuan bacaan

dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu-dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraf ( Kurniawan, 2001:93 )

Mitos adalah kepercayaan atau keyakinan pada jaman dahulu dan masih dianggap atau dipercaya oleh masyarakat sampai saat ini. Sistem mitos pada novel “Surat Kecil Untuk Tuhan” adalah bahwa orang-orang yang akan meninggal memiliki tanda-tanda atau keanehan dalam tingkah laku. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, terdapat tanda-tanda orang yang akan meninggal, yaitu :

1. Tanda 100 Hari Sebelum Hari Mati

Ini adalah tanda pertama dari Allah SWT kepada hambanya dan hanya akan disadari oleh mereka-mereka yang dikehendaki-Nya. Walau bagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini tergantung pada mereka, sadar atau tidak. Tanda ini akan terjadi biasanya sesudah waktu Ashar. Seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan menggigil. Contoh : Seperti sapi yang baru disembelih, jika diperhatikan dengan teliti, kita akan mendapati seakan-akan daging itu bergetar. Bagi mereka yang sadar dan berdetik di hati mungkin ini adalah tanda kematian, maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sadar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesadaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan dunia tanpa memikirkan kematian, tanda ini akan lenyap begitu saja tanpa ada manfaat. Bagi yang sadar akan tanda ini, maka ini adalah peluang terbaik untuk memanfaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan ditinggalkan sesudah mati.

2. Tanda 40 Hari Sebelum Hari Mati

Tanda ini juga berlaku sesudah waktu Ashar. Bagian pusat tubuh kita akan berdenyut-denyut. Pada saat ini, daun yang bertuliskan nama kita akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arasy Allah SWT. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya atas kita, diantaranya ia akan mulai mengikuti kita sepanjang hari. Akan tiba saatnya malaikat maut ini akan memperlihatkan wajahnya sekilas. Jika ini terjadi, mereka yang terpilih akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikat maut ini wujudnya hanya seseorang tapi kemampuannya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabut.

3. Tanda 7 Hari Sebelum Hari Mati

Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan penyakit atau sakit, di mana orang sakit yang jarang mau makan tiba-tiba berselera makan.

4. Tanda 3 Hari Sebelum Hari Mati

Pada waktu ini akan terasa denyutan di bagian tengah dahi kita. Jika tanda ini bisa dirasakan, maka berpuasalah kita supaya perut kita tidak mengandung banyak najis dan ini akan memudahkan orang yang akan memandikan kita. Saat ini, bola mata kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit, bagian hidungnya akan perlahan-lahan jatuh, ini dapat dilihat jika kita melihatnya dari samping. Telinganya akan layu, di bagian ujung-ujungnya akan berangsur-angsur

masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terjulur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar di tegakkan.

5. Tanda 1 Hari Sebelum Hari Mati

Akan datang setelah waktu Ashar. Kita akan merasakan satu denyutan di bagian belakang, yaitu di bagian ubun-ubun, yang menandakan kita tidak akan sempat menemui waktu Ashar hari berikutnya.

6. Tanda Akhir

Kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat dan hanya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian tenggorokan. Pada waktu ini hendaklah kita terus mengucap kalimat Syahadat dan berdiam diri menantikan kedatangan malaikat maut. Sebaiknya bila sudah merasa tanda yang akhir sekali, mengucap dalam diam dan jangan lagi bercakap-cakap.

2.2. Kerangka Berfikir

Hubungan karya sastra dengan masyarakat merupakan kompleksitas hubungan yang bermakna, antar hubungan yang bertujuan saling menjelaskan fungsi sosial yang terjadi pada saat tertentu.

Novel merupakan bentuk karya sastra paling populer di dunia, novel mampu membuat pembaca atau individu ikut larut dalam isi dari cerita novel tersebut. Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda terhadap

novel tersebut tentang peristiwa atau objek. Seorang penulis novel menyampaikan pesan komunikasinya melalui sebuah teks dari novel itu sendiri.

Dalam penelitian ini, melalui novel masyarakat dapat membangun model mengenai suatu dunia sosial, model personalitas individual dan model hubungan masyarakat. Selain itu novel juga dijabarkan dan digali maknanya dengan menggunakan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indeks yang paling banyak dicari, yaitu tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat. Peneliti harus menemukan konfensi-konfensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai suatu makna.

Dalam hubungannya dengan penggambaran perjuangan hidup pada Gita Sesa Wanda Cantika atau Keke dalam novel dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Penggambaran perjuangan hidup dalam novel “Surat Kecil Untuk Tuhan” akan diinterpretasikan melalui dua tahap yaitu, pertama peneliti akan memilih penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas yang disebut dengan leksia, yaitu satuan pembaca ( units of reading ) dengan menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode yang meliputi Kode Hermeneutik ( kode teka-teki ), Kode Semik ( makna konotatif ), Kode

Simbolik, Kode Proaretik ( logika tindakan ), Kode Gnomik ( kultural ).

Pada tahap kedua novel sebagai sebuah bahasa pada tataran signifikasi akan dianalisis secara metologi pada tataran bahasa atau sistem semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai berikut :

 

32 1. Dalam tataran Linguistik, yaitu sistem semiologi tingkat pertama penanda-

penanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda.

2. Dalam tataran mitos, yaitu semiologi lapis dua, tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula pada petanda-petanda pada tataran kedua.

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal. Disertai dengan bukti dari pendekatan- pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang tertera dalam gambar berikut ini :

Novel “Surat Kecil Untuk Tuhan”

Analisis menggunakan Metode Roland Barthes

Hasil interpretasi data

Gambar 3 Kerangka Berfikir Representasi Perjuangan Hidup Dalam Novel “Surat Kecil Untuk Tuhan”

34

Dokumen terkait