• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan Januari 2012 sampai Maret 2013.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel daun tanaman nilam, baik yang bergejala maupun tidak, dilakukan di dua Kebun Percobaan Balittro yaitu di Cicurug (Sukabumi) dan Manoko (Bandung Barat), serta di lahan petani di Cijeruk (Bogor). Setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 tanaman yang terdiri dari 5 sampel diambil dari tanaman yang tidak bergejala, dan sisanya tanaman yang bergejala. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, baik pada tanaman yang bergejala maupun tidak. Dokumentasi gejala di lapangan juga dilakukan untuk keperluan deskripsi gejala.

Pengamatan Partikel Virus

Sampel yang digunakan daun nilam yang terinfeksi virus. Pengamatan partikel virus dilakukan di Laboratorium Tropical Plant Protection, Department

12

of International Agricultural Development, Tokyo University of Agriculture

(Jepang), serta di lembaga Eijkman, Jakarta. Pengamatan dilakukan dengan metode pewarnaan negatif dengan menggunakan grid berukuran 400 mesh, di bawah mikroskop elektron.

Deteksi Serologi

Sampel yang didapatkan dari lapangan, dideteksi secara serologi dengan menggunakan antiserum universal Potyvirus, antiserum spesifik BBWV2 dan CymMV (DSMZ, Jerman), serta antiserum spesifik CMV (Agdia, USA). Uji serologi dilakukan untuk mengetahui kejadian infeksi Potyvirus, BBWV2, CMV dan CymMV dari setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel yang didapatkan dari setiap lokasi, yaitu sebanyak 30, dibuat menjadi 6 sampel komposit, dimana setiap komposit terdiri dari 5 sampel. Selanjutnya, bila sampel komposit menunjukkan hasil positif, uji serologi dilanjutkan terhadap setiap individu sampel dari sampel komposit positif tersebut.

Teknik DAS-ELISA untuk antiserum BBWV2 dan CymMV mengacu pada pedoman DSMZ. Antiserum (IgG), dilarutkan pada bufer coating (sodium carbonate 1.59 g; sodium bicarbonate 2.93g; sodium azide 0.2 g; aquades 1 L, pH 9.6), dengan perbandingan sesuai yang dianjurkan, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 37 oC, selama 2 sampai 4 jam. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST (Phosphate Buffered Saline Tween : sodium chloride 8.0 g; monobasic potassium phosphate 0.2 g;

dibasic sodium phosphate 1.15 g; potassium chloride 0.2 g; aquades 1 L; pH 7.4;

tween 20 0.5 ml) tiga kali. Sampel digerus pada bufer ekstraksi (PBST + 2% PVP (Polyvinyl pyrrolidone)) dengan perbandingan 1:5 (b/v), dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 4 oC semalaman. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST tiga kali. Enzim konjugat (IgG-AP) disiapkan, dilarutkan pada bufer konjugat (bufer ekstraksi + 0.2% egg albumin (Sigma A-5253)), dengan perbandingan sesuai yang dianjurkan, dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter, diinkubasi pada suhu 37 oC, selama 4 jam. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST tiga kali. Substrat, yaitu p-nitrophenyl phosphate (PNP) dilarutkan ke bufer substrat (diethanolamine 97 ml; sodium azide 0.2 g; aquades 1 L; pH 9.8), kemudian dimasukkan ke setiap sumuran plat mikrotiter, diinkubasi pada suhu ruang pada kondisi gelap, selama 30 sampai 60 menit, atau sampai diperoleh reaksi yang jelas.

Metode indirect-ELISA untuk antiserum Potyvirus dilakukan sesuai dengan anjuran dari DSMZ. Sampel digerus pada bufer coating + 0.05 M Dieca, kemudian dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi semalaman pada suhu 4 oC. Plat mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. Skim milk 2% dalam PBST sebanyak 100 µl dimasukkan ke plat mikrotiter, diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC. Larutan skim milk dibuang. Larutan antiserum (IgG), dilarutkan dalam bufer konjugat, dimasukkan ke setiap sumuran sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 sampai 4 jam. Plat mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. Konjugat RAM-AP (Rabbit anti mouse yang telah dilabel dengan enzim Alkaline phosphatase), dilarutkan pada bufer konjugat, dimasukkan sebanyak 100 µl ke setiap sumuran, diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 oC. Plat

13 mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. PNP dilarutkan pada bufer substrat, dimasukkan ke setiap sumuran sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu ruang pada kondisi gelap, selama 30 sampai 60 menit, atau sampai reaksi yang jelas diperoleh.

Prosedur Indirect-ELISA untuk antiserum CMV sesuai dengan anjuran dari Agdia : sampel digerus pada bufer ekstraksi. Sampel sebanyak 100 µl dimasukkan ke plat mikrotiter, diinkubasi semalam pada suhu 4 oC. Plat mikrotiter dicuci dengan larutan PBST 1x, 3 sampai 5 kali, sampai bersih. Antiserum primer (IgG) dilarutkan dalam bufer konjugat dengan perbandingan sesuai yang direkomendasikan, kemudian dimasukkan sebanyak 100 µl ke setiap sumuran plat mikrotiter, diinkubasi selama 1 sampai 2 jam pada suhu ruang. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST 1x sebanyak tiga kali. Enzim konjugat GAR-AP (Goat anti-rabbit yang telah dilabel dengan enzim Alkaline phosphatase) dilarutkan dalam bufer konjugat, dimasukkan ke sumuran plat sebanyak 100 µl, diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang. Plat dicuci dengan PBST 1x, sebanyak 3 kali. Tablet PNP dilarutkan dalam bufer PNP, dimasukkan ke sumuran plat sebanyak 100 µl, diinkubasi selama 15 menit sampai 4 jam pada ruang gelap, sampai terjadi perubahan warna.

Titer virus secara kuantitatif dibaca menggunakan ELISA READER model 550 (Bio-Rad, USA) pada panjang gelombang 405 nm. Hasil pembacaan dengan ELISA reader dinilai positif bila nilai absorbansinya 1.5 kali lebih besar daripada kontrol negatif.

Deteksi Asam Nukleat Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA dilakukan dengan Xprep Plant RNA mini kit (PKT-Philekorea Technology). Bufer XPRB disiapkan dengan menambahkan 1%

mercaptoethanol (ME). Sampel daun nilam sebanyak 0.1 g digerus menggunakan nitrogen cair pada mortar, sampai menjadi serbuk. Serbuk sampel ditambah bufer XPRB yang telah ditambah ME, dimasukkan ke dalam kolom filter dan disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 13 000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan etanol absolut ditambahkan sebanyak 0.5 kali volume supernatan, dan dicampur dengan cara dipipet atau dibolak-balik. Kemudian supernatan dalam alkohol dimasukkan ke dalam kolom XPPLR mini, dan disentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 13 000 rpm. Setelah supernatan dibuang, kolom diberi wash buffer 1 (WB1) sebanyak 500 µl, disentrifugasi selama 1 menit, dan supernatan dibuang. Wash buffer 2 (WB2) sebanyak 750 µl ditambahkan ke dalam kolom, disentrifugasi selama 1 menit, dan supernatan dibuang. Selanjutnya, untuk mengeringkan kolom, dilakukan sentrifugasi kolom selama 3 menit pada kecepatan 13 000 rpm. RNA total dikoleksi dengan cara memberikan air bebas nuklease sebanyak 50 µl ke pusat membran kolom XPPLR yang diletakkan pada tabung eppendorf baru, dibiarkan selama 1 menit, lalu disentrifugasi selama 2 menit. RNA yang telah diperoleh disimpan di freezer -80

o

14

Konstruksi cDNA (complementary DNA)

Reaksi reverse transcription (RT) dilakukan untuk membuat cDNA dengan menggunakan enzim reverse transcriptase. Adapun reaksi RT dilakukan dalam 10 µl reaksi campuran yang terdiri dari air bebas nuklease (3.7 µl), bufer RT 5x (2 µl), DTT 50 mM (0.35 µl), dNTP 10 mM (0.5 µl), M-MuLV Rev (Fermentas) (0.35 µl), RNase Inhibitor (0.35 µl), Oligo d(T) 10 µM (0.75 µl) dan RNA templat (2 µl) selama 1 jam pada suhu 42 oC.

Amplifikasi DNA dan Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Amplifikasi DNA. Sepasang primer degenerate untuk BBWV1 dan BBWV2 (BBWVSSP dan BBWVKMRM), digunakan dalam deteksi awal BBWV2 pada nilam. Dengan primer ini, ukuran produk yang didapatkan sebesar 323 pb, yang merupakan bagian dari C-terminal Large Coat Protein (LCP) sampai N-terminal Short Coat Protein (SCP) Selanjutnya, untuk mendapatkan keseluruhan bagian gen CP, yang berukuran 2 000 pb, digunakan primer

degenerate BBWV (BBWV25 dan BBWV3487M) (Kondo et al. 2005) (Tabel 1). Untuk mendeteksi Potexvirus pada nilam, digunakan sepasang primer universal Potexvirus, yang mengamplifikasi bagian RNA dependent RNA polymerase

(RdRp/replikase) (Miglino et al. 2011). Selanjutnya, untuk mengamplifikasi keseluruhan gen CP CymMV, digunakan sepasang primer spesifik CyCP-F1 dan CyCP-R1 (Lee dan Chang 2008) (Tabel 1). Deteksi Potyvirus secara molekuler menggunakan primer degenerate P9502 dan CPUP, yang mengamplifikasi wilayah CP Potyvirus (Van der vlugt et al 1999).

Tabel 1 Primer - primer yang digunakan untuk deteksi virus mosaik nilam

No. Pasangan

Primer

Urutan Basa Ukuran

DNA

Sumber Rujukan

1 BBWVVSSP 5’-GTBTCDAGTGCTYTD GAAGG-3’ 323 pb Kondo et

al. (2005) BBWVKMRM 5’-TDGWDCCATCVAG ICKCATTTT-3’ 2 BBWV25 5’-AATGARRTKGTNCTCAAYTA-3’ 2 000 pb Kondo et al. (2005) BBW3487M 5’-AMAMAGGTCATGGAACCCA-3’.

3 Potex4 5’-AGCATGGCGCCATCTTGTGACTG-3’ 280 pb Miglino et

al. (2011) Potex5 5’-CTGAAGTCACAATGGGTGAAGAA-3’ 4 CyCP-F1 5-ATGGGAGAGYCCACTCCARCYCCAGC-3′ 679 pb 800 pb Lee dan Chang (2008) Van der vlugt et al. (1999) 5 CyCP-R1 P9502 CPUP 5′-ATCGCTCGAGTTCAGTAGGGGGTGCAG GCA-3′ 5’-GCGGATCCTTTTTTTTTTTTTTTTTT-3’ 5’-TGAGGATCCTGGTGYATHGARAAYG-3’

cDNA yang dihasilkan dari hasil RT, diamplifikasi pada reaksi campuran dengan total volume 25 µl yang terdiri dari : air bebas nuklease 9.5 µl, PCR mix (Go Green Taq-Promega) 12.5 µl, primer forward 10 µM dan reverse 10 µM,

15 masing – masing 1 µl dan DNA templat 1 µl. Program PCR diatur berbeda, tergantung pasangan primer yang digunakan (Tabel 2).

Tabel 2 Program Amplifikasi untuk setiap primer yang digunakan dalam kegiatan PCR No. Pasangan Primer Program PCR Sumber Rujukan 1 BBWVVSSP BBWVKMM

Denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit; 35 siklus terdiri dari 95 oC selama 1 menit, 51 oC selama 1 menit dan 72 oC selama 1 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Kondo et al. (2005)

2 BBWV25 Denaturasi awal, suhu 99 oC selama 5 menit; 35 siklus

terdiri dari 94 oC selama 1 menit, 55 oC selama 2 menit dan 72 oC selama 3 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Kondo et al. (2005)

BBW3487M

3 Potex4 Denaturasi awal, suhu 94 oC selama 2 menit; 35 siklus

terdiri dari 94 oC selama 30 detik, 55 oC selama 1 menit dan 72 oC selama 1 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Miglino et al. (2011)

Potex5

4 CyCP-F1 Denaturasi awal pada suhu 96 oC selama 5 menit, 30 siklus

: 96 oC selama 30detik; 52 oC selama 30 detik; 72 oC selama 30 detik, ekstensi akhir 72 oC selama 7 menit. Denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 5 menit, 45 siklus : 94 oC selama 1 menit; 54 oC selama 2 menit; 72 oC selama 1 menit, ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Lee dan Chang (2008)

Van der vlugt et al. (1999), modifikasi 5 CyCP-R1 P9502 CPUP

Multiplex RT-PCR. Untuk menyediakan deteksi cepat virus – virus yang menginfeksi nilam secara simultan, dilakukan optimasi multiplex RT-PCR

Potyvirus, BBWV2 dan CymMV. Primer yang digunakan adalah primer

degenerate Potyvirus, P9502 dan CPUP (800 pb), primer degenerate BBWV, BBWVVSSP dan BBWVKMRM (323 pb), serta primer spesifik CymMV, CyCP-F1 dan CyCP-R1 (679 pb). Untuk optimasi reaksi multiplex RT-PCR, digunakan beberapa kombinasi konsentrasi primer sebagai berikut (Tabel 3):

Tabel 3 Kombinasi total konsentrasi primer Potyvirus, BBWV2, dan CymMV

Kombinasi ke- Konsentrasi Primer (µM)

Potyvirus BBWV2 CymMV I 10 10 10 II 3 3 3 III 3 10 3 IV 3 7 3 V 3 7 5 VI 3 7 7 VII 3 5 5 VIII 3 5 7

16

cDNA yang dihasilkan dari hasil RT, diamplifikasi pada reaksi campuran PCR mix (Go Green Taq-Promega) 12.5 µl, primer forward dan reverse 10 µM, masing – masing sesuai konsentrasi primer pada Tabel 3, DNA template 1 µl, dan air bebas nuklease ditambahkan sampai volume 25 µl. Program PCR terdiri dari 1 siklus 95 oC selama 5 menit, 10 siklus pada suhu 95 oC selama 1 menit; 51 oC selama 1 menit; 72 oC selama 1 menit, 30 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit; 54 oC selama 1 menit; 72 oC selama 2 menit, ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Visualisasi DNA

DNA hasil amplifikasi PCR divisualisasi pada gel agarosa 1 atau 1.5 % yang telah ditambah ethidium bromide (0.5 µl/10 ml 0.5x TBE). Sampel dimasukkan ke dalam sumuran gel agarosa, kemudian dielektroforesis pada 50 Volt selama 50 menit. Hasil visualisasi dilihat di bawah transilluminator ultraviolet dan didokumentasi dengan kamera digital.

Analisis Runutan Nukleotida dan Asam amino Perunutan Susunan Nukleotida

Perunutan susunan nukleotida menggunakan mesin sequencer ABI-Prism 3100-Avant Genetic Analyzer di laboratorium Research and Development Centre

PT. Genetika Science Indonesia. Hasil runutan dianalisis menggunakan software Blast (www. NCBI. Nml. Niv.gov) dan software Wu-Blast (www.ebi.ac.uk). Contiq hasil perunutan DNA dilakukan dengan bantuan program Sequencher4.8 dan software Complementor (www.justbio.com). Selanjutnya, hasil runutan yang sudah diolah, diterjemahkan menjadi urutan protein (asam amino), dengan bantuan software Translate ( www.expasy.org.tools).

Analisis Identitas Matriks dan Filogenetika

Hasil runutan yang telah diolah, dibandingkan tingkat homologi runutan gen CP dan asam aminonya dengan beberapa genom virus dari berbagai negara yang diambil dari database GenBank.

Matriks identitas nukleotida dan asam amino diperoleh dengan menggunakan software BioEdit versi 7.0. Selanjutnya, gambar pensejajaran susunan nukleotida didapatkan dengan menggunakan program GeneDoc versi 2.7.000.

Pohon filogenetika dikonstruksi dengan menggunakan software MEGA 4.0 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis software) (Tamura et al. 2007), dengan metode neighbour-joining menggunakan bootstrap 1000 kali ulangan.

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Infeksi Virus pada Nilam

Infeksi virus pada tanaman nilam menyebabkan gejala mosaik dengan beberapa variasi, yaitu mosaik lemah, bintik kuning, mosaik hijau muda hijau tua, dengan penebalan pada warna hijau tua, mosaik dengan perubahan bentuk pada daun (malformasi) serta mosaik hijau tua dan kuning (Gambar 5). Gejala mosaik, baik mosaik, mosaik hijau muda hijau tua, serta mosaik hijau tua dan kuning, ditemukan di semua lokasi pengambilan sampel. Sedangkan gejala bintik kuning hanya ditemukan pada sampel asal Cicurug.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa sampel dari Bogor, Cianjur, Sukabumi dan Garut (Jawa Barat), Pakpak Barat (Sumatera Utara) serta Pasaman Barat (Sumatera Barat) menunjukkan gejala mosaik yang bervariasi juga. Gejala mosaik lemah sampai parah menunjukkan terinfeksi oleh Potyvirus secara tunggal. Sedangkan gejala mosaik parah yang ditemukan di Brebes (Jawa Tengah) disebabkan oleh infeksi tunggal BBWV2 (Noveriza et al. 2012a). Gejala mosaik dilaporkan sebelumnya pada pertanaman nilam di India yang terinfeksi PStV (Potyvirus) (Singh et al. 2009), dan di Jepang yang terinfeksi oleh PatMMV (Fabavirus) (Natsuaki et al. 1994).

Gambar 5 Gejala infeksi virus pada tanaman nilam di lapangan. a. tidak bergejala, b dan c. mosaik lemah, d – g. variasi gejala mosaik, h. bintik kuning

Kejadian Infeksi Virus pada Pertanaman Nilam

Hasil uji serologi menunjukkan bahwa BBWV2 dan Potyvirus

menginfeksi tanaman nilam di ketiga lokasi pengambilan sampel, CymMV ditemukan di Cicurug dan Manoko, sedangkan CMV ditemukan di Manoko dan

a h g f e d c b

18

Cijeruk. Infeksi Potyvirus dan BBWV2 di Manoko menunjukkan kejadian paling tinggi (100%), dan yang terendah CymMV (3.3%). Demikian juga di Cicurug, kejadian infeksi Potyvirus tertinggi (83.3%), diikuti dengan CMV (80.0%), BBWV2 (73.3%) dan yang terendah CymMV (3.3%). Infeksi virus tertinggi di Cijeruk adalah BBWV2 (90.0%), diikuti dengan Potyvirus (50.0%) dan CMV (13.3%) (Tabel 4). Hasil ini menunjukkan bahwa pada pertanaman nilam di ketiga lokasi tersebut telah terinfeksi oleh beberapa virus dengan kejadian penyakit yang tinggi.

Infeksi BBWV2 sebelumnya dilaporkan ditemukan di pertanaman nilam di Brebes (Noveriza et al. 2012a). Ditemukannya BBWV2 di Cicurug, Manoko dan Cijeruk, serta CymMV di Manoko dan Cicurug menunjukkan bahwa infeksi kedua virus tersebut telah menyebar ke daerah lain, padahal sebelumnya

Potexvirus tidak ditemukan di Cicurug dan Bogor (Sukamto et al. 2007)

Berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Noveriza et al. (2012a), gejala yang ditemukan pada ketiga lokasi, berdasarkan uji serologi bereaksi positif dengan 2 sampai 4 antiserum yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi virus pada pertanaman nilam sudah lebih parah dari tahun – tahun sebelumnya karena terjadi infeksi ganda virus.

Tabel 4 Kejadian infeksi Potyvirus, BBWV2, CymMV, CMV dan TMV pada pertanaman nilam di Manoko, Cicurug dan Cijeruk

Lokasi Kejadian Infeksi (%)*

Potyvirus BBWV2 CymMV CMV

Manoko 30/30 (100) 30/30 (100) 1/30 (3.3) 0/30 (0.0) Cicurug 25/30 (83.3) 22/30 (73.3) 1/30 (3.3) 24/30 (80.0) Cijeruk 15/30 (50.0) 27/30 (90.0) 0/30 (0.0) 4/30 (13.3) *(n/N)x100%; n=sampel terinfeksi, N= total sampel

Pada tanaman yang tidak bergejala, juga terdeteksi terinfeksi oleh

Potyvirus, CMV, BBWV2 dan CymMV, baik secara tunggal maupun ganda (Lampiran 1). Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian – penelitian terdahulu. Infeksi PatVX (Potexvirus) pada pertanaman nilam di Brazil, tidak menunjukkan gejala (Filho et al. 2002). PatMMV dan PatMoV terdeteksi juga pada tanaman nilam yang tidak bergejala (Natsuaki et al. 1994). Oleh karena itu identifikasi jenis virus tidak bisa dilakukan berdasarkan deskripsi gejala saja karena terjadinya infeksi virus baik tunggal maupun ganda menyebabkan gejala yang sangat bervariasi, bahkan tidak bergejala.

Untuk mendapatkan gejala yang khas dari setiap infeksi virus, maka perlu dilakukan pemurnian virus dari sampel yang didapatkan pada tanaman indikator virus target. Pemisahan Tobacco mosaic virus (TMV), Tomato mosaic virus

(ToMV) dan Pepper mild mottle virus (PMMoV) dari tanaman cabai dapat dilakukan dengan tanaman indikator (Baker dan Adkins 2000). Setelah didapatkan virus murni, dilakukan inokulasi ke tanaman nilam yang sehat, kemudian dilakukan pengamatan terhadap gejala yang muncul. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pengamatan gejala infeksi virus secara individu, namun hanya dilakukan pengamatan tanaman bergejala mosaik dan deteksi virus yang berasosiasi dengan gejala yang ditemukan di lapangan.

19 Berdasarkan hasil deteksi virus dan pengamatan gejala pada tanaman, ditemukan bahwa tanaman dengan gejala yang parah pada umumnya berasosiasi dengan infeksi ganda virus, atau infeksi ganda virus mungkin menyebabkan gejala yang lebih parah pada tanaman. Hal ini, diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ketahanan tanaman, kondisi lingkungan yang mendukung (suhu, kelembaban, vektor) dan virulensi virus. Berdasarkan ELISA, tanaman nilam varietas Lhokseumawe dan Tapak Tuan dari UPBS Balittro terdeteksi Potyvirus, sedangkan varietas Sidikalang tidak terdeteksi terinfeksi virus (Noveriza et al.

2012b). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian ini, yaitu varietas Sidikalang di ketiga lokasi pengambilan sampel terdeteksi terinfeksi virus. Hal ini menunjukkan bahwa varietas – varietas tanaman nilam yang dimiliki oleh Balittro rentan terhadap infeksi virus. Keberadaan vektor di lapangan paling berperan dalam penyebaran virus, karena selain membawa virus ke pertanaman, juga menularkan virus dari tanaman sakit ke tanaman sehat (Agrios 2005). A. gossypii

sebagai salah satu hama pada tanaman nilam, berperan sebagai vektor Potyvirus,

CMV dan BBWV. Keberadaan vektor yang membawa tiga virus ini diduga merupakan penyebab meluasnya infeksi beberapa virus pada tanaman nilam.

Infeksi BBWV2 di Manoko dan Cicurug ditemukan selalu bersamaan dengan infeksi Potyvirus, bahkan pada beberapa sampel dari Cicurug, terinfeksi tiga virus dengan CMV. Sebaliknya, infeksi Potyvirus ditemukan tunggal pada beberapa sampel, dengan titer yang lebih tinggi dibandingkan BBWV2 dan CMV. Hasil yang berbeda di lokasi Cijeruk, dimana infeksi Potyvirus ditemukan selalu bersamaan dengan infeksi BBWV2, sedangkan infeksi tunggal BBWV2 ditemukan pada beberapa sampel. Namun demikian, titer Potyvirus tetap terlihat lebih tinggi dibandingkan BBWV2 dan CMV (Lampiran 1). Diduga Potyvirus

merupakan virus yang dominan pada tanaman nilam dibandingkan BBWV2, CMV dan CymMV. Infeksi ganda Potyvirus dengan CMV pada tanaman melon juga memperlihatkan konsentrasi Potyvirus yang lebih tinggi (Grafton-Cradwell et al. 1996).

Selain pemurnian virus, untuk mendapatkan gejala yang khas dari setiap virus, juga perlu dilakukan kajian tentang jenis interaksi antara virus – virus yang menginfeksi tanaman nilam. Interaksi antara beberapa virus pada infeksi campuran, bisa bersifat antagonis atau sinergis. Interaksi antagonis terjadi bila infeksi virus pertama akan mencegah infeksi virus kedua. Sedangkan interaksi sinergis terjadi bila infeksi campuran akan menyebabkan peningkatan multiplikasi dari satu atau semua virus, dan menyebabkan gejala lebih parah dibandingkan pada infeksi tunggal (Syller 2012).

Gejala parah yang ditemukan di ketiga lokasi pengambilan sampel diduga juga disebabkan oleh interaksi sinergis antara virus – virus yang menginfeksi tanaman nilam. Keparahan gejala akibat interaksi sinergis juga terjadi pada infeksi ganda Blackberry yellow vein associated virus (Crinivirus) (BYVaV) dengan

Blackberry Virus Y (BVY) (Potyvirus), dimana infeksi ganda keduanya menyebabkan gejala penguningan pada pembuluh daun tanaman Blackberry,

sedangkan infeksi tunggal kedua virus tersebut tidak menyebabkan gejala (Susaimuthu 2008). Infeksi tunggal PatMoV (Potyvirus) dan PatMMV menyebabkan gejala belang dan mosaik lemah, sedangkan gejala yang lebih parah disebabkan oleh infeksi ganda PatMoV dan PatMMV (Natsuaki et al. 1994). Penyakit akibat infeksi virus yang parah pada melon juga disebabkan oleh infeksi

20

ganda antara Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV) (Potyvirus) dan CMV, dimana interaksi keduanya bersifat sinergis (Malik et al. 2010).

Titer Potyvirus tidak berbeda, baik pada infeksi tunggal maupun infeksi ganda. Sebaliknya, titer BBWV2 pada infeksi campuran dengan Potyvirus dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada infeksi tunggal (Lampiran 1). Hasil ini menunjukkan bahwa infeksi ganda BBWV2 dengan Potyvirus merupakan interaksi sinergis, yang menyebabkan peningkatan titer BBWV2 pada tanaman. Interaksi sinergis yang menyebabkan peningkatan titer virus juga terjadi pada infeksi ganda PVX dengan TMV atau Tomato mosaic virus (ToMV) pada daun tomat, yaitu titer PVX pada infeksi ganda terlihat lebih tinggi dibandingkan infeksi tunggal, berdasarkan uji serologi dengan DAS-ELISA. Peningkatan titer virus pada infeksi ganda, juga berkorelasi dengan peningkatan keparahan penyakit dibandingkan pada infeksi tunggal (Balogun et al. 2002; Balogun 2008).

Namun demikian, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat interaksi antara virus – virus yang menginfeksi tanaman nilam, dengan membandingkan gejala yang diakibatkan oleh infeksi tunggal dan infeksi ganda. Pada penelitian ini, tidak dilakukan pengamatan perbedaan gejala yang diakibatkan oleh infeksi tunggal dan campuran.

Perbanyakan nilam secara konvensional dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan stek batang. Hal ini menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan infeksi virus pada pertanaman nilam jika dalam perbanyakan stek tidak memperhatikan kesehatan tanaman nilam. Untuk itu, perlu dilakukan upaya untuk mendapatkan bibit nilam yang sehat, misalnya dengan kultur jaringan stek nilam bebas virus. Tanaman nilam hasil kultur meristem terdeteksi bebas PStV sebesar 66.67% dengan RT-PCR (Singh et al. 2009). Selanjutnya, untuk menurunkan penyebaran virus pada tanaman nilam di lapangan dapat dilakukan dengan teknik rekayasa genetika. Teknik rekayasa genetika dengan memasukkan precursor gen CP, berhasil mendapatkan 21 tanaman transgenik dari 24 tanaman yang digunakan. Dua minggu setelah inokulasi PatMMV, tanaman transgenik yang dihasilkan terlihat sehat, sedangkan tanaman non transgenik daunnya keras, menguning dan tanaman menjadi kerdil. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman transgenik yang dihasilkan resisten terhadap PatMMV (Kadotani dan Ikegami 2002).

Pengamatan Partikel Virus

Pengamatan partikel virus pada sampel tanaman yang terinfeksi virus dengan menggunakan mikroskop elektron merupakah teknik cepat untuk mengetahui morfologi dan ukuran partikel virus dari daun bergejala. Partikel berbentuk benang lentur, dengan panjang partikel sekitar 1 000 nm, ditemukan pada sampel daun segar tanaman nilam yang terdeteksi secara molekuler sebagai

Potyvirus (Gambar 6a). Bentuk dan panjang partikel yang hampir sama juga ditemukan pada sampel daun segar tanaman nilam yang terdeteksi secara molekuler terinfeksi TeMV (Noveriza 2013). Pada sampel yang sama, ditemukan juga partikel virus berbentuk isometrik, berdiameter lebih kurang 30 nm, yang merupakan BBWV2 (Gambar 6b). Gentian mosaic virus, yang ditemukan pada tanaman gentian dan PatMMV yang merupakan anggota genus Fabavirus, juga

21

Gambar 6 Mikrograf elektron dari cairan daun nilam yang telah diwarnai dengan

uranyl acetate : a. Partikel Potyvirus, b. Partikel BBWV2, c. Partikel CymMV

berdiameter lebih kurang 30 nm dan 27 nm (Kobayashi et al. 2005; Natsuaki et al.

1994). Dengan ditemukannya dua partikel virus pada 1 sampel, merupakan konfirmasi adanya infeksi campuran beberapa virus berdasarkan deteksi serologi.

Pada sampel yang berbeda, yang terdeteksi secara molekuler terinfeksi oleh CymMV, ditemukan partikel virus berbentuk benang lentur, memiliki panjang partikel lebih kurang 500 nm, yang merupakan ciri partikel Potexvirus

(Gambar 6c). Partikel Mint Virus X asal tanaman mentha juga memiliki bentuk dan panjang partikel yang sama dengan CymMV yang ditemukan pada nilam dalam penelitian ini (Tzanetakis et al. 2006).

Deteksi Potyvirus, BBWV2 dan CymMV secara Molekuler

Dokumen terkait