Nilam (Pogostemon cablin Beth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang menjadi salah satu sumber devisa Indonesia. Minyak nilam dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai patchouli oil banyak digunakan sebagai bahan fiksatif dalam pembuatan parfum, sabun dan kosmetik. Indonesia memenuhi kurang lebih 70% kebutuhan minyak nilam dunia dengan volume ekspor rata–rata di atas 1 000 ton per tahun (Barani 2008). Ekspor minyak nilam Indonesia pada tahun 2004 mencapai 2 074 ton dengan nilai US$ 27 137 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Hal ini mengakibatkan tingginya minat petani untuk mengembangkan tanaman nilam. Pada tahun 2009 luas areal penanaman nilam seluas 24 535 ha, yang meningkat sebesar 9.79% dari tahun 2008, dengan produktifitas sebesar 0.11 ton/ha. Namun demikian, pada tahun 2010, terjadi penurunan sebesar 4.53% luas penanaman nilam, menjadi 23 472 ha, dan penurunan produktifitas sebesar 0.09 ton/ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2012).
Salah satu kendala budidaya tanaman nilam adalah adanya serangan hama dan penyakit. Penyakit utama pada tanaman nilam adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan serangan nematoda (Asman et al.
1998; Mustika et al. 1991). Penelitian tentang penyakit layu sudah banyak dilakukan, baik mengenai deteksi dan identifikasi, serta usaha –usaha pengendaliannya. Selain penyakit layu dan serangan nematoda, infeksi virus juga ditemukan pada tanaman nilam. Beberapa virus yang dilaporkan menyerang tanaman nilam adalah Tobacco necrosis virus (Gama et al. 1982), Patchouli mild mosaic virus (PatMMV) (Natsuaki et al. 1994), Patchouli mottle virus (PatMoV) (Natsuaki et al. 1994, Sugimura et al. 1995), Patchouli virus X (PatVX) (Filho et al. 2002), dan Peanut stripe virus (PStV) (Singh et al. 2009).
Uji serologi sampel tanaman nilam berhasil mendeteksi PatMoV (Sumardiyono et al. 1996), dan infeksi campuran antara CMV dan Potyvirus pada pertanaman nilam di Cianjur dan Bogor (Sukamto et al. 2007). Pada pertanaman nilam di Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ditemukan gejala mosaik yang berasosiasi dengan Potyvirus berdasarkan uji serologi dan PCR. Sedangkan gejala mosaik di Brebes (Jawa Tengah) terdeteksi positif Broad bean wilt virus 2 (BBWV2) (Noveriza et al. 2012a).
Infeksi virus pada tanaman nilam diketahui telah menjadi kendala utama pada pertanaman nilam di Jawa dan Sumatera Barat. Kejadian penyakit akibat infeksi Potyvirus diperkirakan berkisar antara 30 sampai 50%, sedangkan di Jawa Tengah akibat infeksi BBWV2 berkisar 40% (Noveriza et al., 2012a). Infeksi virus menyebabkan penurunan bobot terna basah sebesar 7.87 sampai 34.65%, bobot terna kering sebesar 0.62 sampai 40.42% dan penurunan kadar patchouli alcohol sebesar 0.72 sampai 5.06% (Noveriza et al., 2012b).
Deteksi dan identifikasi virus merupakan langkah pertama yang harus dilakukan sebelum penentuan strategi pengendalian yang tepat. Ada beberapa metode untuk mendeteksi virus, yaitu berdasarkan sifat-sifat biologi dan bagian dari partikel virus. Deteksi dengan target partikel virus dapat dilakukan secara
2
serologi dan molekuler. Salah satu teknik serologi adalah Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan teknik molekuler yang umum digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) (Naidu dan Hughes, 2003). Dari hasil PCR, selanjutnya dapat dilakukan perunutan susunan nukleotida, yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan virus berdasarkan genomnya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa analisis sekuen coat protein (CP) sangat berguna dalam kegiatan identifikasi BBWV1 dan BBWV2 (Kobayashi et al.
1999, Kondo et al. 2005). Beberapa software telah tersedia untuk mengklasifikasikan virus berdasarkan susunan nukleotida genomnya, diantaranya BioEdit, MEGA, dan GeneDoc (Tamura et al. 2007; Hall 1999).
Infeksi ganda virus pada tanaman nilam telah dilaporkan sebelumnya oleh Natsuaki et al. (1994) dan Sugimura et al. (1995), yang menyebabkan gejala lebih parah dibandingkan infeksi tunggal. Untuk mendeteksi secara cepat infeksi beberapa virus pada tanaman, diperlukan metode deteksi secara cepat, efisien dan akurat. Metode multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) telah banyak digunakan untuk mendeteksi infeksi ganda beberapa virus pada tanaman.
Kebun Percobaan Balittro di Manoko dan Cicurug, serta kebun petani di Cijeruk memiliki lahan pertanaman nilam yang cukup luas, dan berdasarkan pengamatan awal, banyak ditemukan gejala penyakit yang diduga berasosiasi dengan virus. Nilam diperbanyak secara vegetatif dan pada ketiga lahan pertanaman tersebut diproduksi bibit tanaman nilam, serta belum diketahui status kesehatan nilam yang berasal dari lokasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang deteksi dan identifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada pertanaman nilam di ketiga lokasi tersebut serta metode deteksi beberapa virus secara simultan.
Tujuan Penelitian
1. Mendeteksi dan mengidentifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada tanaman nilam.
2. Mengoptimasi metode multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR)untuk mendeteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan CymMV.
Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan mendapatkan informasi jenis – jenis virus yang menginfeksi nilam sebagai dasar pengambilan tindakan pengendalian yang tepat serta metode deteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan CymMV.
Hipotesis
1. Gejala mosaikpada nilam dapat disebabkan oleh lebih dari satu jenis virus. 2. Multiplex RT-PCR dapat diterapkan untuk mendeteksi virus – virus pada
3
TINJAUAN PUSTAKA
Budidaya Tanaman Nilam
Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak nilam, yang dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai
patchouli oil, merupakan bahan pengikat aroma wangi yang tidak dapat digantikan dengan zat sintetis lain. Selain minyak nilam yang bermanfaat, limbah hasil penyulinganpun dapat dipergunakan sebagai bahan baku pupuk organik, karena memiliki kadar hara yang tinggi. Dengan teknologi pengomposan yang cepat dan efisien, akan menghasilkan pupuk organik yang bermutu tinggi (Suhirman 2011).
Di Indonesia, terdapat tiga jenis nilam, yaitu Pogostemon cablin Benth (nilam Aceh), P. heyneanus (nilam jawa) dan P. hortensis (nilam sabun), dimana hanya nilam jawa yang berbunga. Selain bunga, ketiga jenis tanaman nilam tersebut dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak, serta ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik. Nilam Aceh merupakan jenis nilam yang paling banyak dibudidayakan karena kadar minyaknya lebih tinggi dan kualitas minyaknya lebih bagus dibandingkan nilam jawa dan nilam sabun (Nuryani 2006).
Nilam Aceh diperkirakan masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu, diduga berasal dari Filipina atau Semenanjung Malaysia. Berdasarkan pengamatan tanaman nilam Aceh, ditemukan perbedaan baik karakter morfologi, kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak serta ketahanannya terhadap penyakit dan kekeringan. Hal ini diduga karena telah lama dibudidayakan di beberapa daerah, menyebabkan terjadinya perubahan dari sifat – sifat asalnya. Nilam Jawa berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berbunga, yang dapat dibedakan dengan nilam Aceh berdasarkan visual daunnya. Daun nilam Jawa permukaannya kasar dengan tepi bergerigi runcing, sedangkan daun nilam Aceh permukaannya halus dengan tepi bergerigi tumpul. Nilam Jawa lebih tahan terhadap serangan nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan nilam Aceh, namun kualitas minyaknya kurang bagus (Nuryani 2006). Nilam sabun, seperti halnya nilam Jawa, memiliki kualitas minyak yang kurang bagus dibandingkan nilam Aceh. Pada zaman dulu, daun nilam sabun digunakan untuk mencuci pakaian. Daun nilam sabun tidak berbulu, permukaannya mengkilap, dan lebih tipis dari daun nilam Aceh (Mangun 2002).
Tanaman nilam termasuk tanaman herba yang mudah dibudidayakan. Nilam dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 sampai 400 m dpl, namun masih mampu tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 1 200 m dpl. Pertumbuhan tanaman nilam membutuhkan curah hujan berkisar antara 2 000 sampai 2 500 mm/th, suhu optimum 24 sampai 28 oC, intensitas penyinaran 75 sampai 100%, serta kelembaban lebih dari 75% (Nuryani et al.
2005).
Dalam upaya peningkatan produksi dan produktifitas serta mutu minyak nilam, perlu memperhatikan bahan tanaman yang digunakan, teknologi budidaya, lingkungan tumbuh, baik abiotik maupun abiotik, serta panen dan pasca panen. Dalam pemilihan bahan tanaman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti
4
(1) varietas, harus berasal dari varietas unggul. Varietas yang direkomendasikan yaitu Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan; (2) Tanaman induk, benih harus berasal dari tanaman induk yang sehat (bebas hama dan penyakit) dan tanpa gejala kekurangan unsur hara; (3) Lokasi asal benih, untuk benih dari lokasi dengan kondisi agroklimat yang berbeda, perlu dilakukan penyesuaian (Ditjenbun 2011).
Salah satu kendala budidaya pada tanaman nilam adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Hama utama pada tanaman nilam adalah Aphis gossypii, ulat pemakan daun, ulat penggulung daun (Sylepta sp.), walang sangit, tungau merah, belalang dan rayap (Mardiningsih et al. 2011). Selain berperan sebagai hama, A. gossypii juga berperan sebagai vektor beberapa virus, diantaranya yaitu Broad bean wilt virus 1 (BBWV1) (Belliure et al. 2009), dan Potyvirus. BBWV1 dan Potyvirus ditemukan menginfeksi tanaman nilam, yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam (Noveriza et al. 2012a).
Penyakit penting pada tanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang diakibatkan oleh Ralstonia solanacearum, penyakit merah dan kuning yang disebabkan oleh nematoda, penyakit budok yang diakibatkan oleh cendawan
Synchytrium sp., dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus (Wahyuno et al.
2011). Infeksi virus menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kadar
patchouli alcohol pada beberapa varietas tanaman nilam (Noveriza et al. 2012b). Virus – Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam
Potyvirus
Potyvirus tergolong ke dalam famili Potyviridae yang memiliki anggota spesies paling banyak dibandingkan genus lain (Fauquet et al. 2005). Beberapa anggota genus ini menyebabkan kehilangan secara nyata pada tanaman holtikultura, tanaman hias, tanaman pangan dan padang rumput (Chen et al.
2001).
Genom Potyvirus terdiri dari satu RNA utas tunggal positif sense, berukuran kira – kira 8.5 sampai 10 kb, dengan bagian – bagian : (1) 5’ VPg
(genome-linked viral protein) (24kDa); (2) 5’ non coding region, berukuran 144 nukleotida yang kaya dengan basa A dan U, (3) ORF tunggal berukuran besar, yaitu 9 161 nukleotida yang mengkode 3 000 asam amino (340 kDa), terdiri dari P1-Pro, HC-Pro, P3, CI (cylindrical inclusion), NIa dan NIb (nuclear inclusion a dan b), serta CP (coat protein), (4) 3’ untranslated region, berukuran 190 basa, sebelum poly A (van Regenmortel et al. 2000; Hull 2002) (Gambar 1). Partikel
Potyvirus berbentuk benang lentur, tanpa amplop, berdiameter 11 sampai 15 nm, dengan panjang 650 sampai 900 nm (Fauquet et al. 2005).
Pada umumnya spesies anggota genus ini memiliki kisaran inang yang sempit, namun beberapa spesies memiliki lebih dari 30 famili tanaman sebagai inangnya. Potyvirus ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, serta bisa ditularkan secara mekanis. Bagian genom, yaitu helper component dan bagian asam amino triplet (DAG untuk beberapa spesies Potyvirus) dibutuhkan dalam penularan dengan kutudaun. Penularan melalui kutudaun pada beberapa isolat tidak efisien, bahkan ada yang tidak bisa ditularkan oleh kutudaun (van Regenmortel et al. 2000).
5
Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam diidentifikasi sebagai Peanut stripe virus (PStV) di India yang menyebabkan gejala mosaik pada daun nilam (Singh et al. 2009), Patchouli mottle virus (PatMoV) di Jepang, dengan gejala berkisar antara tanpa gejala sampai belang lemah (Natsuaki et al. 1994) dan
Telosma mosaic virus (TeMV) di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Jawa Barat yang menyebabkan gejala mosaik dengan beberapa variasi (Noveriza et al.
2012a).
Gambar 1 Peta genom secara umum anggota genus Potyvirus. P1-Pro, berukuran 35K, yaitu protein dengan aktifitas proteolitik; HC-Pro berukuran 52K yaitu protein dengan aktifitas helper component; P3 berukuran 50K; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; CI berukuran 71 K, membentuk badan inklusi silindris; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; NIa dan NIb berukuran 21, 27 dan 58K merupakan protein pembentuk badan inklusi (small dan large) dan CP sebagai pembentuk selubung protein berukuran 30K (van Regenmortel et al. 2000)
Cucumber mosaic virus (CMV)
CMV tergolong ke dalam genus Cucumovirus, famili Bromoviridae. CMV merupakan tipe spesies dari Cucumovirus, dengan bentuk partikel spherical
berdiameter 26 sampai 35 nm dan panjang 30 sampai 85 nm. Virus ini memiliki kisaran inang yang luas, menginfeksi 85 famili tanaman, dan lebih dari 1 000 spesies. CMV ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, dan dapat ditularkan juga secara mekanis (Fauquet et al. 2005).
Genom CMV memiliki 3 utas tunggal RNA positif sense, yaitu RNA 1 (3 357 nukleotida), RNA 2 (3 050 nukleotida), dan RNA 3 (2 116 nukleotida), serta 2 subgenomik RNA, yaitu RNA 4 dan RNA4A (1 027 nukleotida). RNA 1 dan
RNA 2 mengkode gen replikasi. Selain itu, pada 3’ sequence RNA 2, mengkode
protein yang berperan dalam perpindahan jarak jauh CMV, melalui subgenomik RNA4A. RNA 3 mengkode movement protein dan protein selubung (CP), dimana gen CP tersebut diekspresikan dari RNA 4 sebagai subgenomik (Gambar 2) (Hull 2002; Roossinck 2001; Gal-On et al. 2000 dalam Feng et al. 2006).
Gambar 2 Organisasi genom CMV. 1a dan 2a : protein replikasi berukuran 109K dan 14K; protein 2b overlap dengan protein 2a sebanyak 69 kodon; 3a : movement protein berukuran 32K dan 3b : selubung protein (CP) berukuran 24K (Hull 2002)
(A)n3’
VPg
RNA1 RNA2 RNA3
RNA4
1a 3a 3b
2b 2a
6
CMV terdeteksi secara serologi menginfeksi pertanaman nilam di Cianjur dan Bogor, Jawa Barat. Infeksi CMV bersama – sama dengan Potyvirus
menyebabkan gejala mosaik. Berdasarkan hasil ELISA, antiserum Potyvirus
bereaksi lebih kuat dengan sampel dibandingkan dengan antiserum CMV (Sukamto et al. 2007).
Fabavirus
Fabavirus tergolong ke dalam famili Comoviridae, dilaporkan menginfeksi tanaman yang memiliki arti penting secara ekonomi diantaranya bush basil (Ocimum basilicum) (Sanz et al. 2001), gentian (Gentiana scabra) (Kobayashi et al. 2005), Mikania micrantha (Compositae) (Wang et al. 2008), dan cabai (Capsicum annum) (Lee et al. 2000). Di lapangan, Fabavirus ditularkan oleh kutudaun secara non persisten. Broad bean wilt virus 1 ditularkan secara efektif oleh Myzus persicae dan Aphis gossypii (Belliure et al. 2009), serta BBWV pada basil juga ditularkan oleh M. persicae dan A. gossypii (Sanz et al. 2001).
Partikel Fabavirus berbentuk icosahedral berdimeter sekitar 30 nm, memiliki genom 2 RNA utas tunggal berukuran antara 6.0 sampai 6.3 kb (RNA1) dan 3.9 sampai 4.5 kb (RNA2), di mana masing – masing RNA terenkapsidasi secara terpisah (Kobayashi et al. 2005). Prediksi runutan poliprotein yang dikode oleh RNA 1 PatMMV dihasilkan untuk protease cofactor (39K), NTP-binding protein (66K), VPg (3K), cysteine protease (23K) dan RNA-dependent RNA
polymerase (79K). Protease diperlukan untuk memecah poliprotein pada virus yang menggunakan polyprotein processing sebagai strategi translasi. ORF panjang dari RNA2 PatMMV, menunjukkan Movement Protein (MP) berukuran 52K, Large Coat Protein (LCP) berukuran 44K dan Small Coat Protein (SCP) berukuran 22K (Gambar 3A dan 3B) (Ikegami et al. 1998; 2001).
(A) RNA1
(B) RNA2
Gambar 3 Struktur genom RNA 1 (A) dan RNA 2 (B) PatMMV. Pro-C=
protease cofactor, NTB= nucleotide tri-phosphate binding protein,
VPg= viral protein genome-linked, C-Pro : cystein protease, RdRp :
RNA dependent RNA polymerase, MP : movement protein, LCP :
Large Coat Protein, SCP : Short Coat Protein (Ikegami et al. 1998; 2001)
Genus Fabavirus memiliki empat spesies definitif yaitu : BBWV 1 dan 2,
Lamium mild mosaic virus (LMMV) dan PatMMV (van Regenmortel et al. 2000). Saat ini ditemukan virus baru yang tergolong Fabavirus juga, yaitu Gentian mosaic virus (Kobayashi et al. 2005).
Fabavirus yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam di Jepang dilaporkan disebabkan oleh PatMMV. Virus ini memiliki kemiripan
poly A poly A Pro-C NTB VPg C-Pro RdRp SCP LCP MP
7 morfologi partikel, berat molekul CP dan hubungan serologi dengan BBWV dan LMMV. Namun demikian, PatMMV menunjukkan perbedaan kisaran inang dan gejala pada tanaman Vicia faba dan Nicotiana tabacum. Perbedaan ini yang menyebabkan PatMMV dikategorikan sebagai spesies baru anggota Fabavirus
(Natsuaki et al. 1994).
Potexvirus
Genus Potexvirus dinamakan setelah Potato virus X (PVX), memiliki banyak anggota yang menginfeksi beberapa tanaman di seluruh dunia. Salah satu anggota genus ini yang terkenal adalah Cymbidium mosaic virus (CymMV) yang menyebabkan kehilangan besar secara ekonomi pada tanaman anggrek. Gejala yang disebabkan Potexvirus umumnya mosaik dan tanaman kerdil. Potexvirus
memproduksi sejumlah besar partikel virus pada sitoplasma sel yang terinfeksi (Agrios 2005).
Partikel Potexvirus berbentuk flexuous rod, dengan panjang antara 470 sampai 580 nm, dan berdiameter antara 11 sampai 13 nm. Genom Potexvirus
adalah RNA positif utas tunggal, berukuran 5.8 sampai 7.0 kb dan memiliki lima
Open Reading Frame (ORF). ORF1 mengkode protein yang berhubungan dengan replikasi virus, ORF2 sampai 4 berfungsi sebagai Triple Gene Block (TGB) dan mengkode gen yang berhubungan dengan perpindahan virus dari sel ke sel. ORF5 mengkode coat protein virus (Gambar 4) (Agrios 2005; van der vlugt dan Barendsen 2002).
55’ (A)n
Gambar 4 Genom CymMV, salah satu anggota genus Potexvirus. RdRp :
RNA-dependent RNA polymerase, TGB : triple gene block, MP :
movement protein, CP : coat protein (Ajjikuttira dan Wong 2009) Anggota genus Potexvirus yang menginfeksi tanaman nilam dilaporkan adalah Patchouli virus X (PatVX). Secara serologi, virus ini berhubungan dekat dengan Papaya mosaic virus (PapMV), PVX, Viola mottle virus (VMV), White clover mosaic virus (WClMV) dan Lily virus X (LVX). PatVX tidak ditularkan melalui pemangkasan, benih atau vektor, namun ditularkan dengan efektif secara mekanis. Pada tanaman nilam, infeksi PatVX hanya menyebabkan gejala laten (Filho et al. 2002). CP 5’ RdRp 160K 3’ 24K 10K 13K 26K MP TGB
8
Deteksi dan Identifikasi Virus
Deteksi dan identifikasi secara tepat virus penyebab penyakit merupakan langkah penting pertama untuk menentukan strategi pengendalian penyakit. Pengendalian setelah terjadi infeksi virus sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian virus lebih efektif jika dilakukan sebelum terjadi infeksi. Penggunaan bahan tanaman bebas virus merupakan pendekatan pengendalian yang paling efektif. Salah satu bagian penting untuk memproduksi bahan tanaman bebas virus adalah tersedianya metode diagnosis yang sensitif (Makkouk dan Kumari 2006).
Teknik deteksi dan identifikasi virus terbagi dalam dua kategori yaitu : berdasarkan sifat-sifat biologi yang berhubungan dengan interaksi virus dengan inang dan atau vektor dan berdasarkan bagian dari partikel virus, yaitu asam nukleat dan CP (Naidu dan Hughes 2003). Deteksi dan identifikasi berdasarkan sifat biologi virus adalah berdasarkan tipe gejala yang muncul, kisaran inang, penularan melalui vektor, sifat-sifat fisik virus (titik panas inaktivasi, titik batas pengenceran dan ketahanan in vitro), dan pengamatan partikel virus dengan mikroskop elektron. Sedangkan berdasarkan CP dan asam nukleat bisa dilakukan dengan uji serologi dan teknik molekuler.
Pengamatan Partikel Virus Menggunakan Mikroskop Elektron
Mikroskop elektron merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengamati bentuk partikel virus, sebagai dasar identifikasi virus tertentu yang belum diketahui identitasnya. Dengan mikroskop elektron identitas virus dapat diketahui dengan mengamati bentuk partikel virus, panjang partikel virus, dan morfologinya. Partikel virus yang akan diamati akan lebih jelas apabila dipurifikasi terlebih dahulu. Pengamatan partikel virus dari sap tanaman yang belum dipurifikasi biasanya merupakan ekstrak sap yang kasar sehingga pada hasil pengamatan akan terlihat kotoran sap disekitar partikel virus (Doi et al. 1969; Djikstra dan De Jagger 1998).
Penggunaan transmission electron microscope (TEM) selama tahun 1970 sampai 1980 telah berkontribusi pada penemuan beberapa virus penting pada manusia, seperti Adenovirus, Entrovirus, Paramyxovirus dan Reovirus yang diisolasi dari sel. Pada masa itu, TEM digunakan sebagai teknik rutin dalam deteksi virus. Setelah teknik ELISA dan PCR ditemukan, penggunaan TEM pada deteksi virus telah bergeser dari teknik rutin menjadi teknik penunjang dalam deteksi agen infeksius yang belum diketahui, karena teknik ELISA dan PCR lebih sensitif. Selain itu, TEM tidak bisa digunakan untuk deteksi cepat virus pada sampel yang banyak, relatif mahal baik alatnya maupun perawatannya, sehingga banyak insitusi penelitian pertanian yang tidak mampu memilikinya. Namun demikian, TEM masih digunakan untuk mempelajari siklus hidup virus pada sel inangnya, dan deteksi cepat patogen baru atau yang belum diketahui misalnya pada kasus bioterorisme. Dengan menggunakan TEM, maka akan terlihat semua morfologi patogen pada sampel yang diamati (Roingeard 2008; Naidu dan Hughes 2003).
Salah satu teknik penyiapan sampel untuk pengamatan struktur dan ukuran partikel virus di bawah TEM adalah dengan pewarnaan negatif. Pada teknik ini, diperlukan irisan tipis sampel yang berisi partikel virus. Pada irisan tipis jaringan
9 / sel tersebut, akan dapat dilihat interaksi virus-sel, termasuk tahapan replikasi virus. Teknik pewarnaan negatif ini dapat dikombinasikan dengan metode serologi untuk melokalisasi antigen virus (Marshal 2012). Penggabungan TEM dengan metode serologi menggunakan antiserum monoklonal ataupun poliklonal merupakan teknik deteksi virus yang cepat dan akurat. Antiserum VP 664 mampu mengaglutinasi lebih banyak partikel White spot syndrome virus pada kerang laut dengan reaksi antigen – antiserum, sehingga lebih banyak partikel virus yang teramati di bawah TEM (Hipolito et al. 2012). Teknik pewarnaan negatif yang telah dioptimasi, dapat digunakan sebagai protokol umum untuk mempelajari struktur protein di bawah mikroskop elektron, terutama protein highly dynamic
dengan struktur equilibrium-fluctuating (Zhang et al. 2013).
Deteksi dan Identifikasi Virus Berdasarkan Sifat Biomolekuler
Serologi. Beberapa teknik serologi yang bisa digunakan adalah dot immunoblotting assay (DIBA), immunosorbent electron microscopy (ISEM) (Naidu dan Hughes 2003), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan
tissue blot immunoassay (TBIA) (Webster et al. 2004). ELISA merupakan uji serologi yang populer untuk deteksi virus pada materi tanaman, serangga vektor, benih dan bahan tanaman vegetatif (Naidu dan Hughes 2003). Keuntungan dari teknik ELISA adalah memiliki sensitifitas yang tinggi, dapat mendeteksi sampel dalam jumlah besar lebih cepat, hanya membutuhkan antiserum dalam jumlah sediki dan hasilnya kuantitatif (Agrios 2005). Namun demikian, teknik ELISA, seperti teknik serologi lainnya, memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa membedakan virus yang sekerabat, terutama bila yang digunakan antiserum universal genus. Selain itu, beberapa antigenic site dimiliki oleh virus yang tidak sekerabat, sehingga memungkinkan terjadinya reaksi silang (Putnam 1995).
Terdapat dua teknik ELISA, yaitu Double Antibody Sandwich ELISA (DAS-ELISA atau ELISA secara langsung) dan Indirect ELISA (ELISA tidak langsung). Perbedaan pada kedua teknik ini telah dijelaskan oleh Clark dan Adams (1977) serta Koenig (1981), yaitu pada coating microtiter plates-nya dengan antiserum atau antigen. Pada teknik DAS-ELISA, plate langsung dicoating dengan antiserum spesifik yang kemudian berikatan dengan antigennya (virus), sedangkan pada teknik Indirect ELISA, plate dicoating dengan antigen dulu, baru dicoating dengan antiserumnya.
Penggunaan teknik Indirect ELISA untuk mengamati reaktivitas antiserum
Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) menunjukkan bahwa semakin tinggi pengenceran antiserum dan sampel menghasilkan reaksi yang semakin lemah. Sensitifitas teknik ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi, yaitu virus masih terdeteksi pada pengenceran sampel 1/256 dan antiserum 100 000 kali (Temaja et al. 2010). Dengan teknik Indirect ELISA, CymMV dan Odontoglossum ringspot virus (ORSV) terdeteksi pada Dendrobium yang diperbanyak secara vegetatif, dan tidak terdeteksi pada Dendrobium hasil kultur jaringan (Khentry et al. 2006).
Apple mosaic virus (ApMV), Apple stem grooving virus (ASGV) dan Apple chlorotic leaf spot virus (ACLSV) terdeteksi pada tanaman apel, baik varietas hasil koleksi maupun komersial dengan teknik DAS-ELISA menggunakan antiserum komersial (Caglayan et al. 2006).
10
Polymerase chain reaction (PCR). PCR merupakan teknik yang memungkinkan amplifikasi spesifik dan deteksi runutan target DNA dari campuran komplek asam nukleat. Kombinasi primer spesifik dan DNA polymerase, yang digunakan untuk mengamplifikasi runutan target melalui siklus
denaturasi, annealing, dan sintesis DNA yang berulang memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah DNA (Seal dan Coates 1998). Teknik ini memiliki beberapa