• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6. Metodologi Penelitian

1. Penelitian dilakukan secara eksperimen laboratorium.

2. Pembuatan kitosan perak dilakukan dengan cara menimbang kitosan dan dilarutkan dalam asam asetat 1 % lalu dicampurkan dengan larutan AgNO3 0,5 M dengan rasio 2:1 dan selanjutnya diteteskan dalam larutan NaOH 2 M hingga terbentuk bead. Kemudian didiamkan satu malam lalu dicuci dengan aquadest dan dikeringkan. Produk di analisis dengan Spektrofotometer FTIR.

3. Sampel terlebih dahulu dipreparasi dan didestruksi basah dengan menggunakan HNO3(p)

4. Uji Kuantitatif untuk penentuan kandungan logam Fe dan Zn sebelum dan sesudah diserap kitosan perak dilakukan dengan metode SSA dengan λspesifik = 248,3 nm dan λspesifik = 213,9 nm berdasarkan variasi waktu kontak (30, 45, dan 60 menit)

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Variabel terikat meliputi :

Volume sampel Air Sungai Desa Torong yang digunakan pada penyerapan adalah 50 mL

2. Variabel tetap meliputi :

a. Volume sampel Air Sungai Desa Torong yang digunakan pada penyerapan adalah 50 mL

b. Volume Asam asetat 1% yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah 100 mL

3. Variabel bebas meliputi :

Waktu kontak yang digunakan pada proses penyerapan adalah 30, 45, dan 60 menit.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kitosan

Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin yang diisolasi dari limbah perikanan, seperti kulit udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 %. Sumber bahan baku kitosan yang lain diantaranya adalah kalajengking, jamur, cumi, gurita, serangga, laba-laba dan ulat sutera dengan kandungan kitin antara 5-45 %. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan basa natrium hidroksida atau melalui proses enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna dan tidak diserap oleh tubuh. Sifat menonjol kitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak hingga 4-5 kali beratnya (Rismana, 2006).

Kitosan adalah poli - (2-amino-deoksi-β(1-4)-D-glukopiranosa) dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan juga dijumpai secara alamiah di beberapa organisme. Kitosan bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang dideasetilasi sebagian dengan derajat polimerisasi yang berbeda. Struktur polimer kitosan dapat dilihat pada gambar (Gambar 2.1.) dibawah ini :

O

Gambar 2.1. Struktur polimer kitosan (Sugita, 2009)

Proses deasetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara kimiawi maupun enzimatik. Proses kimiawi menggunakan basa misalnya NaOH dan dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi, yaitu mencapai 85-93%

(Tsigos et al., 2000). Namun proses kimiawi menghasilkan kitosan dengan bobot

molekul yang beragam dan deasetilasi juga sangat acak, sehingga sifat fisik dan kimia kitosan tidak seragam (Martinou et al., 1995). Selain itu proses kimiawi juga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, sulit dikendalikan, dan melibatkan banyak reaksi samping yang dapat menurunkan rendemen (Chang et al., 1997).

Proses enzimatik dapat menutupi kekurangan proses kimiawi. Pada dasarnya deasetilasi secara enzimatik bersifat selektif dan tidak merusak struktur rantai kitosan, sehingga menghasilkan kitosan dengan karakteristik yang lebih seragam agar dapat memperluas bidang aplikasinya. (Tokuyasu et al., 1997).

2.1.1 Sifat Fisika-Kimia Kitosan

Kitosan memiliki sifat unik yang dapat digunakan dalam berbagai cara serta memiliki kegunaan yang beragam, antara lain sebagai perekat, aditif untuk kertas dan tekstil, penjernih air minum, serta untuk mempercepat penyembuhan luka, dan memperbaiki sifat pengikatan warna. Kitosan merupakan pengkelat yang kuat untuk ion logam transisi. Kitosan mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi logam dan membentuk kompleks kitosan dengan logam (Robert, 1992)

Sifat dan penampilan produk kitosan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi seperti jenis pelarut, konsentrasi, waktu, dan suhu proses ekstraksi. Kitosan dapat diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau semikristalin (Harianingsih, 2010).

Tabel 2.1. Spesifikasi kitosan

Parameter Ciri – ciri

Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk

Kadar air (%) ≤ 10,0

Kadar abu (%) ≤ 2,0

Warna larutan Tidak berwarna

N-deasetilasi (%) ≥ 70,0 Kelas viskositas (cps) :

- - Rendah < 200

- Medium 200799

- - Tinggi pelarut organik 800200

(Sugita, 2009)

8

Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan dengan rotasi spesifik [α]D11 -3 hingga -10˚ (pada konsentrasi asam asetat 2%). Kitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut air, alkohol, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO3, kitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.

Kitosan bersifat hidrofilik, menahan air dalam strukturnya dan membentuk gel secara spontan. Pembentukan gel berlangsung pada pH asam dan sedikit asam, disebabkan sifat kationik kitosan. Viskositas juga meningkat dengan meningkatnya derajat deasetilasi. Gel kitosan terdegradasi secara berangsur-angsur, seperti halnya kitosan melarut (Muzzarelli, 1977).

Kitosan tidak larut dalam H2SO4 pada berbagai konsentrasi, sedangkan didalam H3PO4 tidak larut pada konsentrasi 1% sementara pada konsentrasi 0,1%

sedikit larut. Perlu kita ketahui, bahwa kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifiknya yang beragam bergantung pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya (Sugita, 2009).

Tabel 2.2. Kelarutan kitosan pada berbagai pelarut asam organik Konsentrasi asam organik Konsentrasi asam organik (%)

10 50 >50

Asam asetat + ± -

Asam adipat - - -

Asam sitrat + - -

Asam format + + +

Asam laktat + - -

Asam maleat + - -

Asam malonat + - -

Asam oksalat + - -

Keterangan : + larut; - tidak larut; ± larut sebagian (Sugita, 2009)

Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, pengkelat, anti bakteri dan dapat terbiodegradasi. Kualitas kitosan dapat dilihat dari sifat intrinsiknya, yaitu kemurniaannya, massa molekul, dan derajat deasetilasi.

Umumnya kitosan mempunyai derajat deasetilasi 75-100%. Massa molekul kitosan dan distribusinya berpengaruh terhadap sifat-sifat fisika-kimia polisakarida, seperti sifat reologi kitosan, fleksibilitas rantai. Derajat deasetilasi dan massa molekul kitosan hasil deasetilasi kitin pada dasarnya dipengaruhi oleh konsentrasi alkali/basa, rasio larutan terhadap padatan, suhu, dan waktu reaksi, lingkungan/kondisi reaksi selama deasetilasi. Konsentrasi alkali, rasio padatan dan larutan yang tinggi dapat memfasilitasi proses deasetilasi menghasilkan kitosan yang memiliki sifat fisika-kimia yang mempengaruhi syarat untuk berbagai aplikasi (Ramadhan, dkk.2010).

2.1.2 Kegunaan Kitosan

Di bidang industri, kitosan berperan antara lain sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam, mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak, tanin, PCB (poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentuk film dan membran mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan produk tekstil (Sugita, 2009).

Selain itu, kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang biokimia, obat-obatan, farmakologi, pertanian, pangan dan gizi, mikrobiologi, penanganan air limbah serta keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai adsorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi, dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein tunggal (Suptijah, dkk.2012).

Salah satu aplikasi kitosan yang paling berpotensi di bidang lingkungan adalah sebagai adsorben yang digunakan untuk mengurangi zat pencemar pada lingkungan. Kitosan lazimnya disintesis dari deasetilasi kitin yang berasal dari limbah kulit udang dan kepiting. Oleh karena itu, penggunaan kitosan sejak awal telah berperan dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Manfaat kitosan di bidang

10

lingkungan adalah untuk menjerap logam berat maupun zat warna yang banyak dihasilkan oleh industri tekstil atau kertas. Logam berat merupakan limbah yang sangat berbahaya. Hal tersebut dikarenakan logam berat menyebabkan toksisitas akut pada manusia maupun habitat yang ada di lingkungan perairan (Sugita, 2009).

Karena adanya gugus amino, kitosan merupakan polielektrolit kationik (pKa = 6,5), hal yang sangat jarang terjadi secara alami. Karena sifatnya yang basa ini, maka kitosan :

a. Dapat larut dalam media asam encer membentuk larutan kental, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan gel dalam beberapa variasi konfigurasi seperti butiran, membran, pelapis kapsul, serat dan spons.

b. Membentuk kompleks yang tidak larut dalam air dengan polielektrolit anion yang dapat juga digunakan untuk pembuatan butiran gel, kapsul dan membran.

c. Dapat digunakan sebagai pengekelat ion logam berat dimana gelnya menyediakan sistem proteksi terhadap efek destruksi dari ion (Kaban, 2009).

2.2 Modifikasi Kitosan

Dewasa ini, modifikasi kitosan sebagai adsorben dapat berada dalam berbagai bentuk, antara lain bentuk butir, serpih, hidrogel, dan membran (film). Kitosan sebagai adsorben sering dimanfaatkan untuk proses adsorpsi ion logam berat.

Besarnya afinitas kitosan dalam mengikat ion logam sangat bergantung pada karakteristik makrostruktur kitosan yang dipengaruhi oleh sumber dan kondisi pada saat proses isolasi.

Perbedaan bentuk kitosan sangat berpengaruh pada luas permukaannya.

Semakin kecil ukuran kitosan, maka luas permukaan kitosan akan semakin besar, dan proses adsorpsi pun dapat berlangsung lebih baik. Modifikasi kimia kitosan menjadi gel kitosan dapat meningkatkan kapasitas jerapnya. Keunggulan ini disebabkan oleh bentuk butiran gel mempunyai volume pori yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk serpihan, tetapi daya absorpsi butiran gel kitosan dipengaruhi oleh kestabilan sifat gel yang dibentuk. Kestabilan gel sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi, pH, suhu, polielektrolit, dan keberadaan hidrokoloid lainnya.

Disamping faktor-faktor tersebut, butiran gel kitosan juga dipengaruhi oleh bobot molekulnya. Kitosan dengan bobot molekul yang tinggi akan menghasilkan larutan dengan viskositas (kekentalan) yang tinggi pula (Rao et al., 1993).

2.3 Destruksi

Destruksi merupakan suatu cara perlakuan (perombakan) senyawa menjadi unsur-unsur sehingga dapat dianalisa. Metode destruksi yang selama ini dikenal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1. Destruksi Basah 2. Destruksi Kering

Destruksi basah memiliki prinsip yaitu penggunaan asam nitrat untuk mendestruksi zat organik pada suhu rendah dengan maksud menghindari kehilangan mineral akibat penguapan. Pada umumnya digunakan untuk menganalisa logam arsen, timah hitam, timah putih, seng, dan tembaga.

Destruksi kering merupakan penguraian (perombakan) senyawa organik dalam sampel menjadi senyawa anorganik dengan cara jalan pengabuan sampel dan memerlukan suhu pemanasan tertentu (Raimon, 1992).

2.4 Adsorpsi

Secara umum, adsorpsi merupakan suatu proses pemisahan komponen-komponen tertentu dalam fasa cair atau gas melewati suatu permukaan padat yang disebut adsorben, sedangkan komponen yang diserap disebut adsorbat.

Proses adsorpsi disebabkan oleh gaya tarik molekul permukaan adsorben.

Adsorpsi berbeda dengan absorpsi, karena pada absorpsi zat yang diserap masuk kedalam absorben. Berkat selektivitasnya yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan konsenrasi yang kecil dan campuran yang mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Adsorpsi digunakan dalam pengolahan air buangan industri, terutama untuk mengurangi komponen-komponen organik misalnya warna, fenol, detergen, zat-zat toksik dan zat-zat organik yang sukar diurai (Mc. Cabe, 1999).

Proses adsorpsi meliputi tiga tahap mekanisme, yaitu : 1. Pergerakan molekul adsorbat menuju permukaan adsorben

12

2. Penyebaran molehul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben 3. Penarikan molekul-molekul adsorbat oleh permukaan aktif membentuk

ikatan, yang berlangsung sangat cepat (Metcalf, 1979).

2.5 Logam Berat

Logam berat (heavy metal) atau logam (toxic metals) adalah bentuk umum yang digunakan untuk menjelaskan sekelompok elemen-elemen logam yang kebanyakan tergolong berbahaya bila masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Logam berat yang terdapat baik di lingkungan maupun di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi yang sangat rendah disebut sebagai Trace Metals, seperti Cadmium (Cd), Timbal (Pb), dan Merkuri (Hg) (Nugroho, 2006).

Logam berat adalah komponen alamiah lingkungan yang mendapatkan perhatian berlebih akibat ditambahkan ke dalam tanah dalam jumlah yang semakin meningkat dan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Logam berat merujuk pada logam yang mempunyai berat jenis lebih tinggi dari 5 atau 6 g/mL. Namun pada kenyataannya dalam pengertian logam berat ini, dimasukkan pula unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berbahaya seperti logam berat sehingga jumlah seluruhnya mencapai lebih kurang 40 jenis. Beberapa logam berat yang beracun tersebut adalah As, Cd, Cr, Cu, Pb, Hg, Ni, dan Zn (Palar, 2004).

Kandungan logam berat di lingkungan dapat dikurangi dengan cara menjerapnya yaitu dengan menggunakan kitosan. Beberapa contoh logam berat adalah Hg, Zn, Cd, Cu, Co, Pb, dan Cr. Proses penjerapan logam berat pada kitosan dan modifikasinya berlangsung secara spontan (Karthikeyan et al., 2004).

2.5.1 Logam Besi (Fe)

Logam Fe ditemukan dalam inti bumi berupa hematit. Fe hampir tidak dapat ditemukan sebagai unsur bebas. Fe diperoleh dalam bentuk tidak murni sehingga harus melalui reaksi reduksi guna untuk mendapatkan Fe murni. Fe berperan penting dalam system imunitas (Widowati, 2008). Kandungan besi di dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kedalaman air didalam tanah. Semakin dalam air yang meresap, akan semakin tinggi kelarutan besi, rendahnya pH air dan suhu yang

tinggi menyebabkan kadar berkurangnya O2 dalam air menguraikan kadar besi (Atmaningsih, 2007).

Untuk mengurangi pencemaran dari limbah serta meningkatkan nilai ekonomi, limbah yang mengandung unsure Al, Fe dan Cu dapat dijadikan bahan baku yang lebih bermanfaat seperti tawas, ferosulfat, dan logam Cu. Untuk mengurangi pencemaran Fe, dapat digunakan teknologi fitoremidasi, mikroorganisme bioremoval, menaikkan pH larutan, saringan pasir aktif dan Advanced Oxidation Processes (AOPs), yaitu oksidasi menggunakan H2O2 sebagai oksidator (Widowati, 2008).

Kelebihan zat besi (Fe) menyebabkan keracunan, dimana terjadi muntah, diare dan kerusakan usus. Kelebihan zat besi juga dapat menyebabkan hemokromatis. Hemokromatis merupakan penyakit kelebihan zat besi (Fe) yang bisa berakibat fatal tetapi mudah diobati, dimana penyakit ini banyak menyerang lebih dari 1 juta orang di Amerika Serikat (Ahmad, 2004).

2.5.2 Logam Zink (Zn)

Zink (Zn) adalah logam dengan warna keabu-abuan, yang dalam kedaan murni setelah dilap tampak putih kebiru-biruan, berkilat. Logam ini cukup mudah ditempa pada suhu 100-150°C, mudah melentur, meleleh pada suhu 4200C , dan mendidih pada suhu 9070C. Selain itu seng adalah logam yang memiliki karakteristik cukup reaktif. Zn diperlukan tubuh untuk proses metabolisme, tetapi dalam kadar tinggi dapat bersifat racun.(Gabriel, 2001).

Zink (Zn) bukan merupakan senyawa toksik dan merupakan unsur essensial bagi pertumbuhan semua jenis hewan dan tumbuhan. Zn akan bersifat toksik ketika berada dalam bentuk ionnya. Meskipun logam ini merupakan logam yang essensial namun jika dikonsumsi dalam dosis yang tinggi akan berbahaya dan bersifat toksik.

Gejala defisiensi Zn antara lain pertumbuhan terhambat, rambut rontok, diare, berkurangnya fungsi indera penglihatan, dan sebagainya. (Widowati, 2008).

2.6 Kemampuan Kitosan Untuk Menyerap Logam

Dalam kondisi asam berair, gugus amino (-NH2) kitosan akan menangkap H+ dari lingkungannya, sehingga gugus aminonya terprotonasi menjadi –NH3+. Gugus

14

NH3+ inilah yang menyebabkan kitosan bertindak sebagai garam, sehingga dapat larut dalam air. Sementara adsorpsi zat warna kationik dan kation logam memanfaatkan keberadaan pasangan elektron bebas pada gugus –OH dan NH2. Oleh karena itu, sebaiknya proses penyerapan dilakukan dalam lingkungan yang tidak asam agar gugus –NH2 akan berperan sebagai ligan yang dapat berinteraksi dengan zat warna kationik atau kation logam melalui mekanisme pembentukan ikatan kovalen koordinasi (Sugita, 2009).

Kitosan bersifat polielektrolit kation yang dapat mengikat logam berat, sehingga dapat berfungsi sebagai adsorben terhadap logam berat dalam limbah.

Prinsip dasar dalam mekanisme pengikatan antara kitosan dan logam berat yang terkandung dalam limbah cair adalah prinsip pertukaran ion. Kitosan sebagai polimer kationik yang dapat mengikat logam dimana gugus amina yang terdapat pada kitosan berikatan dengan logam dapat membentuk ikatan kovalen. Gaya yang bekerja yaitu gaya Van Der Walls dan gaya elektrostatik (Widodo dkk, 2005).

2.7 FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Pancaran infra merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnetik yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro.

Sebagian besar kegunaannya terbatas di daerah antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5-15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra merah dekat, 14290-4000 cm-1 (0,7-2,5 µm) dan daerah infra merah jauh, 700-200 cm-1 (14,3-50 µm) (Silverstein, 1967).

Salah satu hasil kemajuan instrumentasi IR adalah pemrosesan data seperti Fourier Transform Infra Red (FTIR). Teknik ini memberikan informasi dalam hal kimia, seperti struktur dan konformasional pada polimer dan polipaduan, perubahan induksi tekanan dan reaksi kimia. Dalam teknik ini padatan diuji dengan cara merefleksikan sinar infra merah yang melalui tempat kristal sehingga terjadi kontak dengan permukaan cuplikan. Degradasi atau induksi oleh oksidasi, panas, maupun cahaya, dapat diikuti dengan cepat melalui infra merah. Sensitivitas FTIR adalah 80-200 kali lebih tinggi dari instrumentasi dispersi standar karena resolusinya lebih tinggi (Kroschwitz, 1990).

Spektrofotometer FTIR digunakan untuk : 1. Mendeteksi sinyal lemah.

2. Menganalisis sampel dengan konsentrasi rendah.

3. Analisis getaran (Silverstein, 1967).

2.8 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Spektrofotometri serapan atom adalah metoda pengukuran kuantitatif suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penyerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom – atom bentuk gas dalam keadaan dasar.

Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analisis. Fraksi atom – atom yang tereksitasi berubah secara eksponensial dengan temperatur. Teknik ini digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam dalam sampel yang sangat beraneka ragam (Walsh, 2005).

2.8.1 Prinsip dan Teori

Spektrofotometri serapan atom mengikuti Hukum Beer. Dimana absorbansi secara langsung sebanding pada panjang jalur dalam nyala dan konsentrasi pada uap atom dalam nyala. Kedua variabel tersebut sulit untuk diukur, tetapi panjang jalur dapat ditahan hingga konstan dan konsentrasi pada uap atom secara langsung sebanding dengan konsentrasi pada analit dalam larutan yang diaspirasikan. Prosedur yang digunakan adalah untuk preparasi sebuah kurva kalibrasi pada konsentrasi melawan absorbansi (Christian, 2004).

Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada bahwa atom – atom pada suatu unsur dapat mengabsropsi energi sinar pada panjang gelombang tertentu.

Banyak energi sinar yang di absropsi berbanding lurus dengan jumlah atom – atom unsur yang mengabsropsi. Atom terdiri atas inti atom yang mengandung proton bermuatan positif dan neutron berupa pertikel netral, dimana inti atom dikelilingi oleh elektron –elektron bermuatan negatif pada tingkat energi yang berbeda – beda.

Jika energi diabsropsi oleh atom, maka elektron yang berada di kulit terluar (elektron valensi) akan tereksitasi dan bergerak dari keadaan dasar atau tingkat energi yang

16

terendah ke keadaan tereksitasi dengan tingkat energi yang terendah. Jumlah energi yang dibutuhkan untuk memindahkan elektron ke tingkat energi tertentu dikenal sebagai potensial eksitasi untuk tingkat energi tersebut (Clark, 1979).

2.8.2 Instrumentasi

Untuk keperluan analisis kuantitatif dengan spektrofotometer serapan atom, maka sampel harus dalam bentuk larutan. Untuk menyiapkan larutan, sampel harus diperlukan sedemikian rupa yang pelaksanaannya tergantung dari macam dan jenis sampel. Yang penting untuk diingat adalah bahwa larutan yang akan dianalisis haruslah sangat encer.

Ada beberapa cara untuk melarutkan sampel, yaitu:

 Langsung dilarutkan dengan pelarut yang sesuai

 Sampel dilarutkan dalam suatu asam

 Sampel dilarutkan dalam suatu basa atau dilebur dahulu dengan basa kemudian hasil leburan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai

Metode pelarutan apapun yang akan dipilih untuk dilakukan analisis dengan spektrofotometer serapan atom, yang terpenting adalah bahwa larutan yang dihasilkan harus jernih, stabil dan tidak mengganggu zat-zat yang akan dianalisis.

Pelarutan juga dimaksudkan untuk destruksi sampel dimana biasanya digunakan asam-asam seperti asam nitrat pekat (Rohman, 2007)

Komponen penting yang membentuk spektrofotomter serapan atom diperlihatkan pada gambar 2.2 dibawah ini.

2.8.3 Rangkaian Spektrofotometer Serapan Atom

A B C D E F Gambar 2.2. Rangkaian Ringkas Spektrofotometer Serapan Atom

Keterangan Gambar :

A = Lampu Katoda Berongga B = Nyala

C = Monokromator D = Detektor E = Amplifier

F = Recorder (Khopkar, 2007) a. Sumber sinar

Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga. Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda dan anoda (Mulja, 1995)

b. Tempat sampel

Dalam analisis dengan spektofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan asas. Ada berbagai macam yang dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atom yaitu dengan nyala dan tanpa nyala.

1. Nyala (flameless)

Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi.

2. Tanpa nyala (flameless)

Pengatoman dapat dilakukan dalam tungku dari grafit. Sampel diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik grafit.

Akibat pemanasan ini, maka gas yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral (Rohman, 2007).

c. Monokromator

Monokromator memisahkan, mengisolasi dan mengontrol intensitas dari radiasi energi yang mencapai detektor (Haswell, 1991).

18

d. Detektor

Detektor dapat diatur sedemikian rupa pada nilai frekuensi tertentu, sehingga tidak memberikan respon terhadap nilai emisi yang berasal dari eksitasi termal (Khopkar, 2007).

e. Read Out

Merupakan suatu alat petunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem beberapa pencatat hasil (Khopkar, 2007).

2.8.4 Gangguan Pada SSA dan Cara Mengatasinya

Gangguan nyata pada SSA adalah seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel dan faktor kimia karena adanya gangguan molekuler yang bersifat radiasi.

Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi kesalahan pada SSA oleh karena spektrum radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spektrum absorpsi atom netral yang memang akan ditentukan. Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan cara:

1. Menaikkan temperatur nyala agar mempermudah penguraian untuk itu dipakai gas pembakar campuran C2H2 + N2O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.

2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya

2. Menambahkan elemen pengikat gugus atom penyangga, sehingga terikat kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya

Dokumen terkait