• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5 Metodologi Penelitian

Kedalam beaker glass dimasukkan metil ester risinoleat dengan air demineralisasi. Kemudian ditambahkan metanol dan HCl 0,1 M lalu diaduk pada suhu kamar selama 30 menit. Dibuat campuran tertraetilortosilikat (TEOS) dan 3-aminopropiltrimetoksisilana (APMS) diaduk selama 10 menit, lalu campuran tertraetilortosilikat (TEOS) dan 3-aminopropiltrimetoksisilana (APMS) ditambahkan kedalam beaker glass yang berisi campuran metil ester risinoleat, metanol, HCl dan air demineralisasi sambil diaduk pada suhu kamar selama 2 jam. Dilakukan pematangan didalam oven (aging) pada suhu 80oC selama 72 jam. Produk dipisahkan pelarutnya dengan cara disentrifugasi lalu dicuci dan dikeringkan yang kemudian dikalsinasi pada suhu 550oC selama 6 jam. Dilakukan beberapa kondisi reaksi yaitu variasi penambahan metanol. Material silika yang dihasilkan dikarakterisasi menggunakan FT-IR, XRD, BET dan SEM.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Jarak

Tanaman Jarak (Ricinus comunis Linn) termasuk dalam famili Euphorbiaceae, merupakan tanaman tahunan yang terdapat di daerah tropik maupun subtropik dan dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 m diatas permukaan laut. Minyak jarak (castor oil) merupakan suatu senyawa trigliserida yang dapat dibedakan dengan gliserida lainnya dari komposisi asam lemaknya, viskositas, bilangan asetil dan kelarutannya dalam alkohol yang sangat tinggi. Biji jarak (Ricinus comunis Linn) mengandung 54% minyak yang disusun oleh beberapa jenis asam lemak sebagai trigliserida diantaranya asam risinoleat (75-87,5%), oleat (7-15%), linoleat (3,5-8%), asam palmitat (2-5%), asam stearat (0,5-2%), asam linolenat (0,5-2%) (Ketaren, 2008).

Minyak jarak berwarna kuning pucat, tetapi setelah dilakukan proses refining dan bleaching warna tersebut hilang sehingga menjadi hampir tidak berwarna. Minyak jarak ini dapat disimpan dan tidak mudah menjadi tengik. Kelarutannya dalam alkohol relatif tinggi, begitu juga di dalam eter, koloform, dan asam asetat glasial. Minyak jarak tidak larut dalam minyak mineral kecuali kalau dicampur dengan minyak tumbuhan lain.

Minyak jarak hampir keseluruhan berada dalam bentuk trigliserida, terutama risinolenin dengan asam risinoleat sebagai komponen asam lemaknya (Weiss, 1983).

Minyak jarak adalah minyak non edible yang memiliki potensi untuk menjadi bahan baku dalam bidang industri farmasi dan pertanian. Di samping itu, minyak jarak yang diperoleh dari biji Ricinus comunis merupakan sumber penting dalam produksi biodiesel. Biji jarak dapat menghasilkan 40-60% minyak jarak. Minyak jarak adalah minyak yang unik di antara minyak nabati karena satu-satunya sumber asam lemak terhidroksilasi (asam risinoleat) (Salihu, 2012).

Minyak jarak biasanya diperoleh melalui cara pengepresan atau ekstraksi pelarut terhadap biji tanaman jarak. Minyak jarak juga mempunyai sedikit sifat racun. Racun

tersebut terdapat dalam bentuk risin (suatu protein), risinin (suatu alkaloid) dan heat-stable allergen yang dikenal dengan CB-IA. Kandungan asam lemak esensialnya juga sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak makan dan bahan pangan (Kusumaningsih, 2006).

Asam risinoleat merupakan komposisi utama dari trigliserida minyak jarak yang memiliki struktur yang unik dibandingkan dengan asam lemak lainnya, yaitu turunan asam oleat (C18:1) yang jada posisi ɷ-7 memiliki gugus hidroksil serta mengandung ikatan π pada posisi ɷ-9 (Miller, 1984).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan senyawa atau zat dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Ekstraksi merupakan metode yang paling populer diantara berbagai jenis metode pemisahan karena metode ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro maupun mikro. Pada ekstraksi bertahap, setiap tahap ekstraksi digunakan pergantian pelarut sampai ekstraksi selesai. Jenis ekstraksi ini menggunakan alat berupa corong pisah (Yazid, 2005).

Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu:

1. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara merendam sampel dalam cairan penyari dan pengadukan pada temperatur kamar.

Cairan penyari akan menembus dinding sel atau masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam sel dengan yang diluar sel. Larutan yang lebih cepat (didalam sel) didesak keluar sel masuk kedalam larutan diluar sel. Peristiwa tersebut berulang sehigga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah pekerjaan dan peralatan yang digunakan cukup sederhana.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang baru dan umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah serbuk ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi skat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas kebawah melalui serbuk kemudian melarutkan zat aktif dari sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah suatu metode pemisahan komponen dengan cara penyaringan berulang menggunakan pelarut sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi. Metode sokletasi berlangsung secara kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Refluks

Metode refluks umumnya digunakan untuk sintesa senyawa anorganik dengan menggunakan pelarut senyawa yang volatil. Prinsip dari metode refluks ini adalah pelarut volatil mudah menguap pada temperatur yang tinggi, tetapi bila didinginkan dengan kondensor, pelarut yang tadi menguap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi kedalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung (Sarker, 2006).

2.3 Esterifikasi

Esterifikasi adalah salah satu jenis reaksi dimana reaksi tersebut untuk menghasilkan ester. Ester merupakan sebuah hidrokarbon yang diturunkan dari asam karboksilat. Sebuah asam karboksilat mengandung gugus –COOH, dan pada sebuah ester, hidrogen di gugus ini digantikan oleh sebuah gugus hidrokarbon dari beberapa jenis. Reaksi langsung antara alkohol dengan asam karboksilat secara umum dibantu dengan katalis asam dapat berlangsung baik jika dilakukan pada suhu tinggi (Otera, 2003).

Reaksi esterifikasi akan berjalan lambat jika dilakukan tanpa menggunakan katalis. Untuk mendapatkan konversi yang tinggi dengan waktu yang relatif singkat

perlu adanya bantuan katalis. Reaksi dapat dijalankan dengan adanya katalis asam, katalis basa maupun enzimatik (Kimmel, 2004).

Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi dari minyak atau lemak dengan alkohol untuk membentuk ester dan gliserol. Transesterifikasi tersiri dari tiga reaksi reversibel yaitu konversi trigliserida menjadi digliserida, digliserida menjadi monogliserida dan monogliserida menjadi metil ester dan gliserol (Frank, 2004).

Transesterifikasi dari minyak nabati menjadi metil ester asam lemak secara umum dapat menggunakan katalis basa seperti NaOH, KOH, dan alkoksidanya. Katalis basa mempunyai banyak keuntungan yaitu tidak korosif, ramah lingkungan dan menghasilkan sedikit masalah pembuangan. Sementara itu, lebih mudah memisahkannya dari larutan produk dan dapat dirancang untuk memberikan aktivitas tertinggi, selektivitas dan katalis dengan daya tahan yang lebih lama (Viswanathan, 2005).

2.4 Metil Ester Risinoleat

Asam risinoleat (asam 12-hidroksi-9-cis-oktadekanoat) merupakan salah satu asam lemak tak jenuh yang dapat diperoleh dari minyak biji tanaman jarak. Biji tanaman jarak dapat mengandung 40-60% minyak jarak dengan kandungan utama asam risinoleat hampir 90% (Salihu, 2012). Sumber lain asam risinoleat terdapat pada tanaman Alternanthera sessilis (Linn) R. Dengan kandungan sekitar 22,1% (Hosamani, 2003).

Tidak seperti asam lemak lainnya, asam risinoleat memiliki gugus fungsional hidroksil pada C-12 yang membuatnya lebih polar daripada kebanyakan asam lemak (Shombe, 2015). Untuk memisahkan asam risinoleat dengan asam lemak lainnya yang masih berada dalam bentuk trigliseridanya maka terlebih dahulu minyak jarak dimetilesterkan secara esterifikasi maupun interesterifikasi (Bailey’s, 1996).

Metil ester merupakan bahan yang dihasilkan dari reaksi kimia antara minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol.Alkohol yang paling banyak digunakan adalah metanol dan etanol. Reaksi yang melibatkan katalis umumnya basa kuat seperti natrium dan kalium hidroksida dan menghasilkan senyawa kimia baru disebut dengan metal ester yang kemudian dikenal sebagai biodiesel (Meher, 2004).

Metil risinoleat merupakan produk antara yang dapat diproses lebih lanjut untuk berbagai kegunaan dalam industri. Untuk mendapatkan metil risinoleat tersebut perlu dilakukan esterifikasi lemak/minyak. Esterifikasi dapat dilakukan dengan cara mereaksikan trigliserida atau asam lemak dengan alkohol (alkoholisasi) dengan bantuan katalis asam atau basa (Eckey, 1956).

Gambar 2.1 Struktur Metil Ester Risinoleat (Xu, 2015)

2.5Silika (SiO2)

Silika terdiri dari satu atom Si dan dua atom O, dimana Si memiliki nomor atom 14 dengan konfigurasi elektron [Ne] 3s23p2 sedangkan atom O memiliki nomor atom 8 dengan konfigurasi elektron 1s22s22p4 (Sudirham dan Utari, 2010).

Tabel 2.1. Sifat – sifat Silika (Iler, 1979)

Silika terbentuk melalui ikatan kovalen yang kuat serta memiliki struktur berupa empat atom oksigen yang terikat pada posisi sudut tetrahedral di sekitar atom pusat atom silikon (Cestari, 2000). Silika tersedia melimpah di bumi berupa senyawa murni maupun terikat pada oksida membentuk silikat. Dalam variasi bentuk amorf, silika sering digunakan sebagai desiccant, adsorben, filler, dan komponen katalis. Silika merupakan baha baku utama pada industri gelas, keramik, dan industri refraktori dan bahan baku yang penting untuk produksi larutan silikat, silikon dan alloy (Kirk-Othmer, 1967).

Silika juga dapat dibentuk dengan mereaksikan silikon dengan oksigen atau udara pada suhu tinggi (Iler, 1979).

2.6 Material Mesopori Silika

Material mesopori pertama sekali ditemukan oleh Kuroda Group dan Mobil Company awal tahun 1990 yaitu mensintesis material zeolit tunggal dengan melarutkan molekul organik dan ion logam sebagai pola (template) (Wang and Zhao, 2007).

Material yang dihasilkan menarik perhatian bagi peneliti-peneliti lain. Hal ini disebabkan ukuran pori melebihi zeolit konvensional dan dapat digunakan dalam berbagai bidang seperti katalisis dalam reaksi senyawa organik dan lain-lain.

Material mesopori silika untuk pertama kalinya disintesis pada tahun 1992 oleh para peneliti dari Mobile Corporation. Material tersebut akhirnya diberi nama Mobile Crystalline of Materials. Karakteristik material tersebut antara lain memiliki pori berbentuk heksagonal yang seragam (Alfaruqi, 2008). Interaksi antara komponen anorganik dan organik menentukan karakteristik struktur material silika. Jenis interaksinya tergantung pada tipe surfaktan yang digunakan, dapat berupa ikatan non kovalen lemah seperti ikatan hidrogen, gaya Van der Waals, dan ikatan elektrofalen

Sintesis material mesopori berdasarkan pada kimia sol-gel.Dalam sistem sintesis, bahan anorganik (seperti tetraetilortosiliat, TEOS) pertama mengalami hidrolisis dan selanjutnya mengalami kondensasi ke dalam bentuk sol silika oligomer yang diikuti dengan transisi sol-gel yang menyebabkan kondensasi yang berkelanjutan, digabung dengan self-assembly surfaktan dan bahan anorganik membentuk mesostruktur.

Digunakan katalis asam atau basa untuk hidrolisis dan kondensasi prekursor silika, sehingga secara umum reaksi ini dilakukan pada kondisi asam atau basa.Sintesis mesopori silika dapat berhasil dipengaruhi oleh pemilihan surfaktan, kounter ion prekursor anorganik dan kondisi reaksi (Vasant, 1995).

Prinsip dasar kimia dalam proses sol-gel adalah transformasi Si-OR dan Si-OH menjadi senyawa siloksan melalui reaksi kondensasi. Dalam reaksi hidrolisis gugus Si-OR akan diubah menjadi Si-OH sedangkan dalam reaksi kondensasi terjadi pelepasan alkohol dan air (Schubert and Husing, 2005). protonasi. Densitas elektron ditarik dari atom pusat silika sehingga lebih elektrofilik dan membuatnya lebih mudah diserang oleh air dalam reaksi hidrolisis atau oleh gugus silanol dalam reaksi kondensasi.

2.7 Karakterisasi Material Silika

2.7.1 Spektroskopi FT-IR (Fourier Transform Infra Red)

Spektroskopi inframerah telah digunakan untuk analisis bahan di laboratorium selama lebih dari tujuh puluh tahun. Spektrum inframerah merupakan sidik jari dari sampel dengan puncak serapan yang sesuai dengan frekuensi getaran antara ikatan atom yang membentuk materi. Karena setiap perbedaan material adalah kombinasi unik dari atom, sehingga tidak ada dua senyawa menghasilkan spektrum inframerah yang sama.

Oleh karena itu, spektroskopi inframerah dapat menghasilkan identifikasi positif

(analisis kualitatif) dari setiap jenis materi yang berbeda. Selain itu, ukuran puncak dalam spektrum merupakan indikasi langsung dari jumlah material (Setyawan, 2013).

Teknik spektroskopi IR digunakan untuk mengetahui gugus fungsional, mengidentifikasi senyawa, menentukan struktur molekul, mengetahui kemurnian dan mempelajari reaksi yang sedang berjalan. Senyawa yang dianalisa berupa senyawa organik maupun anorganik. Hampir semua senyawa dapat menyerap radiasi inframerah (Mudzakir, 2013).

Metode spektroskopi IR banyak digunakan karena : - Cepat dan relatif murah

- Dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsional dalam molekul - Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah

khas dan oleh karena itu dapat menyajikan sebuah finger print (sidik jari) untuk senyawa tersebut (Setyawan, 2013).

Pancaran infra merah pada spektroskopi infra mera terbatas di antara 4000 cm-1 dan 400 cm-1 (2,5 – 15,0 μm), diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi energi getaran molekul. Penyerapan ini juga tercantum, namun spektrum getaran tampak bukan sebagai garis-garis melainkan berupa pita-pita. Letak pita dalam spektrum inframerah disajikan sebagai bilangan gelombang atau panjang gelombang. Satuan bilangan gelombang yaitu per sentimeter (cm-1). Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan-bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang terkandung dalam suatu campuran (Silverstein, 1986).

2.7.2 Difraksi Sinar – X (XRD)

Difraksi sinar-x (X-Ray diffraction/XRD) merupakan salah satu metode karakterisasi material. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkaan

ukuran partikel. Difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Dasar penggunaan difraksi sinar-x untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg (Cullity, 1978) :

n.λ = 2.d.sin θ ; n =1,2,…

Dimana :

λ : panjang gelombang sinar-x yang digunakan d : jarak antara dua bidang kisi

θ : sudut antara sinar datang dengan bidang normal n : bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan

Berdasarkan persamaan Bragg, ketika seberkas sinar-x menumbuk sampel kristal, maka bidang kristal itu akan mendifraksi sinar-x yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal. Semakin banyak jumlah elektron yang terdapat disekeliling atom pada suatu bidang, makin besar intensitas pantulan yang disebabkan oleh bidang tersebut dan menyebabkan makin jelas spot yang terekam pada film. Dengan menggunakan suatu metoda yang dikenal dengan nama metoda sintesis Fourier, kita dapat menghubungkan intensitas spot dengan kepekatan distribusi elektron yang terdapat dalam unit sel. Dengan mengamati kepekatan distribusi elektron dalam unit sel, kita dapat menduga letak atom dalam unit sel tersebut. Atom akan terletak pada daerah-daerah yang mempunyai kepekatan distribusi elektron maksimum (Bird, 1993).

Persamaan Bragg dapat digambarkan seperti berikut :

Gambar 2.2 Refleksi Sinar X pada Hukum Bragg (Eisenberg, 1979)

Dimana :

Teori BET adsorpsi multilayer untuk menentukan luas permukaan (S) dikembangkan oleh Brunauer, Emmet dan Teller. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses lapisan dengan lapisan (layer-by-layer), permukaan secara energetik dianggap homogen, medan adsorpsi sama dalam setiap tempat permukaan, serta proses adsorpsi dianggap tidak bergerak (setiap molekul yang diadsorpsi pada sisi dasar permukaan).

Lapisan pertama molekul yang diadsorpsi memiliki energi interaksi dengan medan adsorp (Ea0) dan interaksi vertikal antara molekul setelah lapisan pertama (EL0) sama terhadap panas liqufaksi adsorbat dan molekul yang diadsorpsi tidak berinteraksi secara menyamping (Roque-Malherbe, 2007).

Metode BET tidak tepat untuk perhitungan mikropori, karena ketika metode ini diterapkan pada adsorben mikro maka akan terjadi penyerapan pada tekanan yang relatif rendah sehingga memungkinkan volume monolayer yang dihitung lebih dari satu lapisan terserap. Jika nilai ini diubah menjadi luas permukaan BET maka nilai yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Meskipun metode BET tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, namum metode ini yang lebih umum digunakan untuk analisa isoterm adsorpsi. Ini disebabkan metode BET relatif sederhana dan dianggap memberikan kapasitas adsorpsi yang baik dari adsorben yang digunakan (Kanellopoulos, 2011).

Untuk menentukan luas permukaan, didasarkan dari data isoterm physorption, menggunakan persamaan BET berikut ini (Gregg, 1982):

1

W[(PoP)-1)]

=

WmC1

+

WmC(C-1)

.

ppo...(1)

Dimana :

W = Berat gas yang diserap (adsorbed) pada tekanan relatif P/P0

Wm = Berat gas nitrogen (adsorbate) yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat.

versus P/Po. Prosedur standar multipoint BET diperlukan minimal 3 titik kisaran tekanan relatif yang tepat. Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan tipis monolayer (Wm) dapat ditentukan dari slope (s) dan intersep (i) pada grafik BET dari persamaan Selanjutnya pada aplikasi metode BET adalah menghitung luas permukaan.

Untuk itu perlu diketahui luas permukaan cross section dari molekul gas nitrogen

Luas permukaan spesifik (S) dapat dihitung dari luas permukaan total (St) dibagi dengan berat cuplikan (bc) sehingga didapat persamaannya sebagai berikut :

S=St

bc ...(6) Dimana :

St = Luas permukaan total (m2/g) S = Luas permukaan spesifik (m2/g) bc = Berat cuplikan (g)

Tipe adsorpsi isoterm dapat dikelompokkan menjadi enam tipe seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.3 Klasifikasi Isoterm Adsorpsi

Isoterm tipe I merupakan karakteristik untuk material mikropori.Tipe II merupakan tipe untuk material nonpori, mikropori dan makropori. Tipe III menunjukkan karakteristik material yang interaksi antara adsorbat dan adsorben nya sangat lemah.

Tipe IV merupakan tipe material berpori yang mana pada tekanan yang lebih tinggi akan menunjukkan hysteresis loop. Tipe V merupakan karakteristik material yang interaksi antara adsorbat dan adsorben nya sangat lemah tetapi pada tekanan yang lebih tinggi

akan menunjukkan hysteresis loop. Tipe VI ditujukan untuk material yang adsorpsi nya terjadi pada setiap lapisan permukaan material tersebut.

Klasifikasi hysteresis loop dibagi menjadi 4 tipe seperti pada gambar 2.3

Gambar 2.4 Klasifikasi Hysteresis Loop Adsorpsi

Tipe H1 merupakan tipe untuk material dengan ukuran pori yang seragam. Tipe H2 merupakan tipe material dengan bentuk dan/atau ukuran pori yang tidak seragam, contohnya silika gel atau logam oksida. Tipe H3 menunjukkan material yang memiliki pori berbentuk celah. Hal ini dikarenakan adanya aglomerat dari partikel yang berbentuk plat. Tipe H4 hampir sama dengan H3 tetapi memiliki plat yang lebih horizontal/tipis yang artinya material tersebut merupakan mikropori (Bjork, 2013).

2.7.4 Metode Barret-Joyner-Halenda (BJH)

Metode BJH digunakan untuk menentukan distribusi ukuran pori/particle size distribution (PSD). Tekanan relatif awal proses desorpsi dalam metode Barret-Joyner-Halenda (BJH) berlangsung pada range 0,9< P/Po < 0,95 dan semua pori telah diisi fluida adsorbat. Pada tahap pertama (j=1) dalam proses desorpsi hanya melibatkan pemindahan kondensasi kapiler. Tahap berikutnya melibatkan pemindahan kondensat

dari inti pori dan penipisan multilayer dalam pori yang lebih besar (misalnya pori telah siap dikosongkan dari kondesat).

Distribusi ukuran pori Barret-Joyner-Halenda (BJH-PSD) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini (Roque-Malherbe, 2007).

Vpn=( rpn

rKn+ ∆tn 2

)

2

(∆V(n)-∆tn∑ Acn-1j=1 j) ……….. (7)

Keterangan :

Vpn : volume pori pada berbagai tekanan relatif rP : jari-jari pori

rK : jari-jari inti

∆V : perubahan volume pada berbagai tekanan relatif

∆𝑡: ketebalan lapisan yang diserap Ac : area terbuka pori yang kosong

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2018 sampai September 2018 di Laboratorium Kimia Anorganik FMIPA USU, Medan. Analisa FT-IR di lakukan di Laboratorium Organik FMIPA Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Analisa BET di lakukan di Laboratorium Terpadu Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Analisa XRD dan SEM dilakukan di Laboratorium Teknik Material Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

 Peralatan Gelas Pyrex

 Furnace 1100oC Fischer

 Oven 360oC

 Hotplate Stirrer

 Neraca Analitis AS 220/C/2 Radwag

 Kertas Saring N0. 42 Whatmann

 Centrifuge

 Magnetic Bar

 Difraktometer Sinar-X PW 1710 Philip

 Spektrofotometer FT-IR 983 Prestige 21 Shimadzu

 Surface Area Meter Sorptomatic 1800

 Scanning Electron Microscopy JSM-7000F JEOL

3.2.2Bahan

 Minyak jarak yang diperoleh dengan cara ekstraksi maserasi langsung dari biji jarak risinus yang diperoleh dari Dolok Sanggul, Sumatera Utara

 Etanol p.a Merck

 Metanol p.a Merck

 KOH p.a Merck

 N-heksan p.a Merck

 3-aminopropiltrimetoksisilana (APMS) p.a Merck

 Tetraetilortosilikat (TEOS) Sigma Aldirch

 HCl p.a Merck

 Deionized Water HACH

3.3 Bagan Penelitian 3.3.1 Ekstraksi Minyak Jarak

3.3.2Esterifikasi Minyak Jarak dengan Metanol Menggunakan Katalis KOH

(Sembiring, 2018)

3.4.3 Pembuatan Material Silila

Dilakukan prosedur yang sama untuk variasi massa metanol : 2,4 g, 3,6 g, 4,8 g dan 6 g.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Material Silika

Material silika yang dibuat dari tetraetilortosillikat (TEOS), metil ester risinoleat, 3-aminopropiltrimetoksisilana (APMS) dengan penambahan HCl 0,1 M dan campuran deionized water dengan metanol sebagai pelarut dilakukan dengan memvariasikan metanol mulai dari 1,2 g, 2,4 g, 3,6 g, 4,8 g, dan 6 g.

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut (Andriayani, 2013) :

Produk material silika yang dihasilkan setelah dikalsinasi pada suhu 550oC berupa padatan putih yang terlihat pada gambar 4.1

a b c

CH3OH

Gambar 4.1 Material Silika Setelah Kalsinasi dengan Variasi Penambahan Metanol (a)1,2 g, (b) 2,4 g, (c) 3,6 g, (d) 4,8 g, (e) 6 g

Pada gambar 4.1 ditunjukkan hasil berupa padatan putih kering yang sudah bebas dari bahan organik (template) yaitu metil ester risinoleat dan gugus amina dari APMS setelah dilakukan kalsinasi material silika pada suhu 550oC. Material silika yang dihasilkan memiliki massa yang ringan, dan tekstur yang berbeda-beda. Berdasarkan gambar 4.1 semakin banyak jumlah metanol yang ditambahkan maka semakin banyak pula massa silika yang dihasilkan dan teksturnya semakin berbentuk bongkahan.

Tabel 4.1 Massa material mesopori silika yang dihasilkan setelah dikalsinasi pada suhu 550oC

Metanol (gram) Material Silika (gram)

1,2 1,63

2,4 1,7

3,6 1,8

4,8 2,03

6 2,1

Hal ini sesuai dengan literatur (Anderson, 1988) yaitu semakin banyak massa metanol yang ditambahkkan maka tetraetilortosilikat akan semakin larut yang menyebabkan meningkatnya laju hidrolisis dan kondendasinya sehingga jaringan silika yang terbentuk semakin banyak.

d e

4.2 Karakterisasi Material Silika

Untuk membuktikan bahwa material yang terbentuk merupakan silika, maka dilakukan beberapa karakterisasi berikut.

4.2.1 Difraksi Sinar-X (XRD)

Material silika yang dihasilkan dikarakterisasi dengan analisa XRD untuk mengidentifikasi bentuk dari material silika yang dihasilkan sehingga diperoleh pola difraksi dari silika pada sudut 2θ seperti yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4.2 Difraktogram XRD Material Silika Perbandingan Metanol 2,4 g (Me 2) dengan Metanol 6 g (Me 5)

Dari gambar 4.2 dapat dilihat difraktogram XRD pada sudut 2θ yang melebar antara 12o sampai 38o. Puncak difraksi yang melebar dari material silika dengan metanol 2,4 g (Me 2) dan metanol 6 g (Me 5) berturut-turut terdapat pada sudut 22,71o dan 22,36o yang menunjukkan bahwa material yang dihasilkan merupakan silika dan

memiliki struktur amorf. Hal ini sesuai dengan data yang dijumpai pada literatur (Bao,

memiliki struktur amorf. Hal ini sesuai dengan data yang dijumpai pada literatur (Bao,

Dokumen terkait