• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metodologi Rekayasa Sosial dan Teori Ekonomi Kelembagaan

DAFTAR LAMPIRAN

Taman 1 dapat didefinisikan sebagai tempat yang menyenangkan atau kawasan yang ditanami berbagai macam tumbuhan sebagai tempat untuk

3.3. Metodologi Rekayasa Sosial dan Teori Ekonomi Kelembagaan

Pasar sebagai institusi penggerak kegiatan ekonomi yang menciptakan kesejahteraan namun juga menimbulkan polusi, sebab dalam pemikiran klasik dan neoklasik tersimpan cacat filosofis dalam wujud asumsi-asumsi yang melatarinya. Ekonomi kelembagaan mencoba mengkiritisinya. Kubu ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economic) secara ekstrem menganggap bahwa seluruh asumsi ekonomi klasik dan neoklasik merupakan falsifikasi yang fatal sehingga harus dibatalkan. Kubu ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic) menyatakan bahwa sebagian asumsi ekonomi klasik dan neoklasik layak dibuang namun sebagian lainnya tetap dapat diadopsi. Asumsi yang tidak realistis adalah bahwa tidak ada biaya transaksi (zero transaction costs) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Individu bekerja menurut insentif ekonomi dengan mengesampingkan dinamika perilaku yang dipengaruhi beragam aspek (misalnya sosial, politik, budaya, hukum, dsb (Yustika 2006). Dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987). Menurut Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964), diacu dalam Howell

et al. (1987) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari manfaat (benefit). Manfaat dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan.

Seperti penjelasan North bahwa ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan non pasar dengan fondasi teori ekonomi neoklasik, sehingga masih memakai asumsi dasar teori neoklasik tentang ‘kelangkaan dan kompetisi’ tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental. Oleh karena itu ‘ekonomi kelembagaaan baru’ mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dll) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (Yustika 2006). ). Untuk pemahaman lebih rinci, Hodgson (1998) dalam Yustika (2006) menegaskan bahwa:

1) Terdapat derajat pemberian penekanan pada faktor kelembagaan dan budaya. 2) Analisis kelembagaan bersifat interdisiplin,

3) Tidak ada sumber-sumber untuk menyusun model agen dan atau pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan.

4) Teknik matematis dan statistik dianggap sebaagai pelayan teori ekonomi daripada esensi teori ekonomi sendiri.

5) Analisis tidak diawali dengan membangun model-model matematis, namun diawali dari gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab akibat.

6) Pemanfaatan harus dibuat dari bahan empiris historis dan komparatif mengenai kelembagaan sosio-ekonomi.

Pernyatan-pernyataan tersebut merupakan basis kerangka metodologis ekonomi kelembagaan. Dengan demikian struktur dan perilaku masyarakat (dalam perspektif ekonomi kelembagaan) harus mendapat ruang yang lebar dalam setiap analisis ekonomi (Yustika 2006).

Ekonomi kelembagaan tidak berupaya mempelajari perilaku rasional tetapi berusaha untuk mengenali bentuk-2 perilaku (misal perilaku tradisional individu atau kelompok) yang merupakan pola yang mendonorkan stabilitas dan keseragaman yang dapat dilembagakan (Kapp 1988). Ekonomi kelembagaan mencakup dua arus hubungan antara ekonomi (economics) dan kelembagaan (institutions). Maksudnya pendekatan ini menguliti dampak kelembagaan terhadap ekonomi, dan sebaliknya pengembangan kelembagaan untuk merespon pengalaman ekonomi (Kasper and Streit, 1998). Dapat disimpulkan bahwa antara ekonomi dan kelembagaan mempunyai hubungan resiprokal. Dalam mengambil kesimpulan, ekonomi kelembagaan memilih pendekatan induktif. Ekonomi kelembagaan tidak membangun manusia ekonomi, tetapi mengenai apa yang manusia lakukan dan pikirkan (Yustika 2006). Teori ekonomi kelembagaan menggunakan pendekatan multidisipliner untuk mengkaji fenomena ekonomi, yakni dengan memasukkan aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis. Pada aras ini teori ekonomi kelembagaan paralel dengan sifat asasi dari ilmu sosial yang punya dua dimensi yaitu: 1) berkaitan dengan (persoalan) negara, dan 2) bersinggungan dengan (urusan) masyarakat. Pesan penting yang diusung ilmu sosial adalah ‘tidak ada kebenaran tunggal’ (Yustika 2006).

Analisis ilmu ekonomi dibagi dalam empat cakupan (Miller 1988 dalam Yustika 2006): 1) Alokasi sumberdaya; 2) Pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga; 3) Distribusi pendapatan; 4) Struktur kekuasaan. Pendekatan klasik dan neoklasik lebih banyak memakai tiga instrumen pertama. Pendekatan kelembagaan lebih menekankan instrumen terakhir untuk menganalisis fenomena ekonomi. Ekonomi kelembagaaan baru mempunyai beberapa cabang ilmu, yang dapat dibagi kedalam dua kategori: 1) Sejarah ekonomi baru dan aliran pilihan publik (fokus pada analisis makro); 2) Teori ekonomi biaya transaksi dan informasi ekonomi (fokus pada analisis mikro) dan bentuk-bentuk tata kelola aktivitas ekonomi (Yustika 2006).

Dua pendekatan penelitian ilmu sosial yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Konstruksi penelitian kuantitatif berdiri atas tiga premis: general, obyektif, dan terukur (prediktif); Sebaliknya penelitian kualitatif berdiri atas tiga premis: partikular, subyektif, dan non prediktif. Premis-premis ini sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan. Metode penelitian kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik (Meetoo and Temple 2003). Pendekatan kuantitatif yakin bahwa fenomena sosial berlaku universal, peneliti dan obyek tidak dibebani nilai, setiap tindakan individu merupakan derivasi dari perlakuan kumpulan individu. Menurut epistemologinya, metode penelitian kualitatif bersandar pada pendekatan interpretatif (Meetoo and Temple 2003). Jika pendekatan interpretatif dikaitkan dengan pelaku penelitian (atau peneliti) maka fokusnya adalah persoalan subyektivitas; jika dikaitkan dengan obyek penelitian (yang diteliti) maka fokusnya adalah masalah partikularitas. (Yustika 2006).

Pada dasarnya setiap pendekatan penelitian punya kelemahan dan kelebihan yang diakibatkan oleh perbedaan metode maupun orientasi yang diinginkan. Setiap penelitian harus berurusan dengan representasi (yaitu pilihan dan jumlah sampel yang dipakai). Penelitian kualitatif dapat langsung menunjuk satu daerah, komunitas, kelompok, keluarga, bahkan individu sebagai sampel penelitian. Hal ini dapat terjadi karena penelitian kualitatif tidak berorientasi kepada hasil yang memiliki daya prediksi, melainkan fokus pada proses penggambaran yang berujung pada penjelasan. Prosedur agar subyektivitas penelitian kualitatif tetap dituntun oleh pagar akademis sehingga dapat menjaga

nilai ilmiah, adalah: 1) penelitian kualitatif dibuat secara bertingkat sehingga hal- hal yang subyektif mengalami obyektivikasi melalui pendalaman-pendalaman analisis; 2) mengurangi intervensi peneliti terhadap ungkapan responden dengan menyalin tuturan asli responden (Yustika 2006).

Pendekatan ekonomi kelembagaan berhubungan dengan metode penelitian kualitatif. Ekonomi kelembagaan dalam analisisnya sangat mementingkan struktur kekuasaan (ekonomi, sosial, politik, hukum, dll) yang hidup dalam masyarakat yang seterusnya mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dalam pertukaran atau transaksi. Penelitian kualitatif peduli dengan seluruh aspek yang melekat dalam fenomena sosial. Kompleksnya struktur sosial membutuhkan penjelasan dan interpretasi mendalam, dan analisis seperti itu hanya diperoleh jika metode yang digunakan berorientasi pada pengenalan situasi interaksi sosial. Nah pada titik ini ekonomi kelembagaan memberi jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks dan penelitian kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akibat dari proses sosial tersebut (Yustika 2006).

Landasan teori yang mementingkan peran institusi terletak pada masalah kerjasama kemanusiaan. Keberadaan institusi adalah untuk menurunkan ketidakpastian yang tercakup dalam interaksi manusia. Sumber ketidakpastian adalah kompleksitas masalah yang hendak diselesaikan dan software penyelesaian masalah yang dimiliki individu (North 1991). Kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yang beroperassi pada dua level (Pejovich, 1995): 1) Pengembangan dan spesifikasi kelembagaan yang menyangkut aturan main (rules of the game). 2) Kegiatan ekonomi yang menyangkut interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia, yang menyangkut permainan itu sendiri (game) (Yustika 2006).

Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa jenis pengetahuan ada tiga yaitu pengetahuan tentang nilai, pengetahuan tentang bukan nilai (value-free positivistic knowledge), pengetahuan tentang preskripsi (fungsi dari jenis pengetahuan nilai dan bukan nilai) (Johnson, 1986). Keberhasilan suatu preskripsi merupakan fungsi pengetahuan nilai dan bukan nilai; dan uji keberhasilannya bersifat ex post

kelembagaan menghasilkan performance yang diharapkan. Dampak alternatif perubahan institusi terhadap kelembagaan ditentukan oleh kemampuan kelembagaan mengendalikan sumber interdependensi antar individu dalam masyarakat.

Rekayasa sosial dipandang sebagai proses evolusi (disamping memahami hubungan sebab akibat, juga untuk memahami proses learning). Penelitian rekayasa sosial menghasilkan preskripsi yang memberikan rekomendasi apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya diputuskan oleh pengambil keputusan, maka penelitian rekayasa sosial ditentukan oleh orientasi metodologi (tepatnya adalah orientasi metodologi pragmatisme dengan workability sebagai kaidah uji obyektivitasnya). Sumber interdependensi ditentukan oleh karakteristik inheren dari komoditas seperti inkompatibilitas, high exclusion cost goods, eksternalitas, skala ekonomi, joint impact goods,ongkos transaksi, surplus, dan interdependensi antar generasi (Pakpahan, 1989). Selanjutnya Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa konteks suatu penelitian rekayasa sosial adalah masalah nyata yang merupakan penelitian problem solving. Dengan demikian output penelitian adalah suatu preskripsi atau suatu resep. Rekayasa sosial merupakan upaya memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat melalui perubahan kelembagaan sehingga mengatur perubahan dalam batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property rights), dan aturan representasi. Rekayasa sosial adalah restrukturisasi kelembagaan maka disiplin ekonomi kelembagaan digunakan sebagai kerangka analitik.

Dua jenis penelitian ekonomi kelembagaan (Schmid 1979 dalam Pakpahan, 1989): 1) Penelitian ekonomi kelembagaan untuk menjelaskan dan memprediksi perubahan kelembagaan (developmental institutional economics); 2) Penelitian tentang dampak dari perubahan kelembagaan terhadap performance (institutional impact analysis). Dengan memperoleh pengetahuan mengenai dampak alternatif perubahan struktur kelembagaan terhadap performance maka dapat disajikan cook book tentang alternatif perubahan tersebut. Yustika (2006) menjelaskan bahwa dampak alternatif kelembagaan terhadap performance sangat berguna untuk melakukan evaluasi tentang alternatif kelembagaan yang sesuai. Dengan demikian perubahan kelembagaan adalah perubahan rule of the game.

Oleh karena itu output penelitian rekayasa sosial adalah pengetahuan tentang preskripsi (resep) untuk memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat atau orang. Bagian-bagian penting dari proses rekayasa sosial adalah: 1) Analisis tentang dampak batas yurisdiksi, 2) Kepemilikan, dan 3) Aturan representasi dalam pembuatan keputusan (Pakpahan, 1989).

Yustika (2006) menjelaskan bahwa konsep kontrak dalam ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menurut Richter adalah konsep mengenai hak kepemilikan. Asumsi dasarnya adalah masing-masing jenis pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Binner 1999) dan Tipe kontrak dapat dipilah kedalam tiga jenis: yaitu teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak relasional. (Furubotn and Richter 2000). Dua tipe penegakan kesepakatan atau kelembagaan yang eksis, yaitu tipe aturan formal dan tipe aturan informal.

3.4. Partisipasi

Pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat sehingga partisipasi dapat dimaknai sebagai ambil bagian atau share

dalam suatu aktivitas pembangunan (Syahyuti, 2006). Partisipasi dapat dibedakan berdasarkan bentuk partisipasi itu sendiri yaitu dalam tingkatan atau levelnya. Arstein (1969) dalam Setyowati (2006) mengidentifikasi partisipasi berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada partisipan sebagai berikut: a. Manipulasi (non level partisipasi), b. Terapi (non level partisipasi), c. Informasi, d. Konsultasi, e. Placation, f. Kemitraaan, g. Pendelegasian wewenang dan h. Kontrol masyarakat. Pada level manipulasi dan terapi (non level partisipasi) dimana inisiatif pembangunan tidak bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tetapi membuat pemegang kekuasaan menyembuhkan atau mendidik masyarakat. Kemudian pada level berikutnya yaitu level informasi dan konsultasi yang disebut pula dengan sebutan tokenisme dimana masyarakat memperoleh informasi dan menyuarakan pendapat tapi tidak dijamin bahwa pendapat tersebut diakomodasi. Pada level

placation yang merupakan level tertinggi dari tokenisme dimana masyarakat dapat memperoleh informasi dan memberikan informasi kepada pemegang kekuasaan

tetapi kewenangan tetap ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Level berikutnya adalah kemitraan dimana masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Kemudian pada level terakhir adalah pendelegasian dan kontrol masyarakat dimana masyarakat yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan.

Partisipasi dapat dibagi dalam delapan tahapan yaitu (UNCD 1996): 1)

Manipulation, 2) Information, 3) Consultation, 4)Consensus-building, 5)Decision- making, 6) Risk-sharing, 7)Partnership, 8) Self-management. Pengertian masing- masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Manipulation: Tahap terendah dari partisipasi (non partisipasi) yang dibangun sebagai peluang non doktrin.

b. Information: Tahap partisipasi dimana stakeholder diberikan informasi tentang hak, tanggungjawab dan pilihan. Tahapan pertama yang penting adalah menuju pada keihlasan atau kesadaran untuk berpartisipasi. Pada tahapan ini terjadi satu arah komunikasi dengan jaringan atau sumber negosiasi

c. Consultation: Pada tahapan ini terjadi komunikasi dua arah. Stakeholder memiliki kesempatan untuk mengutarakan saran dan pemikiran, tetapi saran dan pemikirannya tidak dijamin akan digunakan atau dimplementasikan dalam tujuan tertentu.

d. Consensus-building: Pada tahap ini, stakeholders berinterakasi untuk dapat memahami dan bernegosiasi satu dengan lainnya dalam kelompok. Secara umum kelemahannya adalah kerentanan individu dan kelomppk yang cenderung diam atau menyetujui secara pasif..

e. Decision-making: Ketika konsensus dilaksanakan melalui keputusan kolektif, maka ditandai dengan inisiasi pembagian tanggungjawab terhadap hasil dari aktvitas tersebut. Negosiasi pada tahapan ini merefelksikan perbedaan tingkat kemampuan dari individu dan kelompok

f. Risk-sharing: Tahapan partisipasi dimana terjadi pembagian manfaat dan resiko sebagai konsekuensi dalam pengambilan keputusan..

g. Partnership: Tahapan partisipasi yang menunjukkan terjadinya hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah dibangun bersama.

h. Self-management: Tahapan puncak dari partisipasi. Stakeholder berinteraksi dalam proses pembelajaran yang memberikan manfaat.

Warner (1997) membedakan tiga model partisipasi yaitu: 1) popular partisipation model, memiliki tujuan pemberdayaan (kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi); 2) selective partisipation model, memiliki tujuan keberlanjutan institusi; dan 3) consensus partisipation model, memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan. Probst et al. ( 2003) membagi empat tipe partisipasi sebagai berikut : 1) Contractual participation yaitu aktor sosial memberikan hak pengambilan keputusan pada aktor sosial lainnya; 2)

Consultative participation yaitu Sebagaian besar keputusan dipegang oleh satu kelompok stakeholder tetapi penekananannya adalah pada konsultasi dan mengumpulkan informasi dari yang lain; 3) Collaborative participation yaitu aktor yang berbeda berkolaborasi dan mengutamakan kesamaan hak melalui pertukaran pengetahuan, kontribusi dan distribusi kekuatan dalam pengambilan keputusan; 4) Collegiate partisipation yaitu aktor yang berbeda berkerjasama sebagai kolega atau parner.

Menurut Inoue (1998) bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut :

1) Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan,

2) Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group partipation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong,

3) Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya,

4) Partisipasi upah kerja (wage labor partipation) adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah.

Paradigma pembangunan selama ini lebih memusatkan pada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan faktor produksi dan kapital, dipengaruhi oleh dua teori penting yang diusung Rostow dan Harold-Domar, berimplikasi pada konsumsi yang tak terbatas yang diikuti oleh deplesi SDA sebagai sumber input dan pendukung kehidupan (Mubyarto, 2005; Todaro, 1989; Amien 2005; Siahaan, 2007). Hasil pembangunan (Todaro,1989) antara lain dicirikan oleh meningkatnya ketergantungan terhadap SDA. Paradigma pembangunan yang demikian bersifat

top down karena kurang melihat interdepensi antara elemen-elemen pembangunan yang begitu kompleks dan masyarakat diletakkan pada subordinat pembangunan (Amin, 2005).

Pendekatan dan pemikiran yang kontradiktif yaitu model pendekatan bottom up dengan pendekatan keharusan pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan secara aktif melalui berbagai bentuk partisipasinya mengingat bahwa masyarakatlah yang menjadi subjek (bukan objek) dari pembangunan. Pendekatan ini dicirikan oleh adanya proses partisipasi dan terjadinya pembelajaran sosial. Menurut Maarleveld dan Danbegnon (1999), diacu dalam Wollernberg et al. (2005) bahwa pembelajaran sosial dalam pengelolaan SDA merupakan kombinasi pengelolaan adaptif yang melibatkan pembelajaran secara sadar dari eksperimen kebijakan dan politik yang didefinisikan sebagai konflik antara pemangku kepentingan dengan SDA. Model pembangunan yang demikian dikenal sebagai model partisipatif.

Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan (Karky 2001). Menurut Howell at al. (1987) bahwa terlibatnya masyarakat dalam pengambilan keputusan publik didasarkan pada adanya hak dan kewajiban (baik formal ataupun nonformal) yang dimiliki oleh masyarakat serta penilaian ekonomi sebagai faktor pendorong yang kuat. Keterlibatan seseorang dalam pembangunan juga dipengaruhi oleh adanya harapan penghargaan (reward) dari berbagai sumber termasuk pihak pemerintah, swasta dan kelompok atau anggota masyarakat. Kenneth dalam Dasgupta dan Serageldin (1999) mengungkapkan bahwa penghargaan dapat meningkatkan interaksi antara masyarakat bukan karena motif

ekonomi, tapi masyarakat lebih pada membangun jaringan pertemanan atau persabahatan. Mengingat bahwa pertukaran sosial merupakan jaminan yang bersifat non formal, maka penghargaan sifatnya baku dan tidak ada jaminan bagi pihak tertentu untuk dapat mengajak seseorang terlibat dalam pembangunan. Faktor lainnya yang mendorong proses pelibatan masyarakat dalam program pembangunan adalah kepercayaan. Howell et al. (1987) mengungkapkan bahwa banyak kegagalan implementasi pelibatan masyarakat dalam program pembangunan diakibatkan oleh hilangnya legitimasi atau kepercayaan masyarakat.

Munculnya konsep pembangunan partisipatif di Indonesia terjadi seiring isu desentralisasi dengan pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara bersama sehingga menunjang pencapaian pembangunan berkelanjutan (Hardy dan Lloyd 1994 ; Clement dan Hansen 2001). Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi. Dari uraian Fahmi et.al, 2003 dapat disimpulkan bahwa perencanaan partisipatif dalam pengelolaan kawasan hutan sesungguhnya memiliki konsep perlindungan kawasan itu sendiri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (meminimumkan dampat negatif yang ditimbulkan. Berdasarkan identifikasi kepentingan masyarakat lokal (first appropriators), lingkungan eksternal (second appropriators), dan policy makers dan hubungan- hubungan diantara ketiganya tersebut maka dapat disusun model perencanaan pengelolaan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan masyarakat di sekitar kawasan hutan, Suharjito (2004) menemukan dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi (dalam menyampaikan aspirasi) yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan diimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya, seperti pembuatan kompos dan pemeliharaan kambing. Namun masyarakat masih tergantung pada hutan sebagai sumber

pendapatan rumah-tangganya, aktivitas non farm dan off farm belum dikembangkan oleh masyarakat dan masyarakat enggan berpartisipasi pada kelembagaan ekonomi (koperasi) karena pengalaman masa lalu yang dianggap kurang menguntungkan.