• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Mitigasi

2.3.1. Definisi Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman.

Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster) maupun bencana non alam. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa dan atau kerugian harta benda

yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk mendefenisikan rencana atau srategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian risiko (risk assessmement).

Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kegiatan bencana, yang seringkali datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.

2.3.2. Tujuan Mitigasi

Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai berikut : a. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi

penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi (economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.

b. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.

c. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe) (PP No. 21, 2008).

2.3.3. Jenis - Jenis Mitigasi

Mitigasi pada prakteknya dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan

memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif efisien untuk daerahnya.

2.3.4. Pencegahan Infeksi Nosokomial

Komite pengendalian infeksi dari suatu rumah sakit umum yang besar, misalnya rumah sakit kelas A dan kelas B, hendaknya mempunyai perwakilan dari semua bagian dan SMF utama yang bersangkutan dengan pengendalian infeksi, yakni medis, keperawatan, kesehatan okupasi, bagianenginering, IFRS, bagian suplai, sentra strelisasi, katering, mirobiologi, administrasi, kesehatan masyarakat, dan juga tim pengendali infeksi.

Rumah sakit dalam upaya pencegahan penularan infeksi melibatkan berbagai unsur, mulai dari peran pimpinan sampai tenaga kesehatan sendiri. Peran pimpinan adalah penyediaan sistem, sarana, dan pendukung lainnya. Peran tenaga adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan infeksi. Dengan berpedoman pada perlunya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya, maka perlu dilakukan pelatihan yang menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan tenaga dalam pencegahan infeksi di rumah sakit. Dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit yang dilaksanakan oleh semua instalasi, meliputi kualitas pelayanan, manajemen risiko, clinical govermance, serta kesehatan dan keselamatan kerja.

Salah satu strategi yang sudah terbukti bermanfaat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan tenaga kesehatan dalam melalui penerapan universal precaution atau yang disebut kewaspadaan universal yaitu cara penanganan terbaru dalam meminimalkan pajanan cairan tubuh dari pasien ke petugas kesehatan tanpa memperdulikan status infeksi. Dasar kewaspadaan universal adalah cuci tangan secara benar, penggunaan alat pelindung, desinfeksi dan mencegah alat tusukan tajam, dalam upaya mencegah transmisi mikroorganisme melalui darah dan cairan tubuh (Pusat Informasi Penyakit Infeksi Indonesia, 2009). 2.3.5. Sarana dan Prasarana Pencegahan Infeksi Nosokomial

a. Sarana Cuci Tangan

Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan mekanisme atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit (Nursalam, 2007).

Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi. Tujuan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi mikroba.

Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan pemeriksaan terhadap pasien (Nursalam, 2007). Adapun langkah-langkah

mencuci tangan yang benar dan efektif dalam mengurangi infeksi nosokomial sebagai berikut:

1) Gunakan wastafel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun biasa atau sabun antimicrobial, lap tangan kertas atau pengering,

2) Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan tangan. Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.

3) Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar,

4) Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan kutikula,

5) Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh wastapel, 6) Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau dorong

pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu. 7) Hindari percikan air mengenai seragam,

8) Atur aliran air sehinnga suhu hangat,

9) Basahi tangan dan lengan bawah dan seksama sebelum mengalirkan air hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah dari pada siku selama mencuci tangan,

10) Taruh sedikit atau sabun antimicrobial cair pada tangan, sabuni dengan seksama. 11) Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 – 15 detik. Jalin jari-jari

tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan gerakan sirkuler paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme,

12) Jika daerah dibawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang satunya, dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih,

13) Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya letak tangan dibawah siku,

14) Ulangi langkah 10 sampai 12 namun tambah periode mencuci tangannya 1,2, 3 detik,

16) Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas (tisu) atau pengering,

17) Tutup air dengan kaki dan pedal lutut. (Swearingen, 2000) b. Alat Pelindung Diri

Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir tenaga dari risiko pejajanan darah, semua jenis cairan tubuh, secret atau ekskret, kulit yang tidak utuh dan selaput lender pasien. Jenis tindakan yang berisiko mencakup tindakan rutin. Jenis alat pelindung seperti sarung tangan, masker, topi, apron/celemek, kacamata dan sepatu boot. Tidak semua alat pelindung tubuh harus dipakai, tetapi tergantung pada jenis tindakan yang akan dikerjakan (Nursalam, 2007).

Menurut Swearingen (2000), terdapat dua bentuk pencegahan yaitu: tindakan pencegahan standart, didesain untuk semua perawatan pasien di rumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis mereka atau status infeksi sebelumnya. Tindakan pencegahan transmisi, yang dibagi dalam kategori udara, droplet dan kontak dan digunakan pada pasien yang diketahui atau dicurigai terinfeksi atau terkolonisasi

pathogen secara epidemiologis dapat ditularkan melalui udara dan kontak, baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung. Tindakan pencegahan standar diterapkan untuk darah, sekresi, dan ekresi cairan tubuh tanpa memerhatikan kandungan darah yang terlihat pada membran mukosa. Tindakan pencegahan berdasarkan transmisi dirancang untuk pasien yang telah didokumentasikan mengalami atau dicurigai terinfeksi yang dapat ditransmisikan melalui udara atau droplet, organisme yang penting secara epidomiologis, temasuk proteksi penyakit menular (Patricia, 2005).

c. Kontrol atau Eliminasi Agen Infeksius

Tenaga kesehatan yang melakukan pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi objek yang terkontaminasi untuk mengurangi atau memusnahkan mikroorganisme. Pembersihan adalah membuang sampah material asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek. Desinfeksi menggambarkan proses yang memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati. Biasanya menggunakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah. Sterilisasi adalah pemusnahan seluruh mikroorgnisme termasuk spora. Alat-alatharus dalam keadaan streil pada saat pembeliannya atau bila mungkin disterilkan dengan otoklaf untuk menghindari kontaminasi dengan mikroorganisme yang berasal dari air seperti mikrobakteria (Nursalam, 2007).

d. Kontrol atau Eliminasi Reservoir

Tenaga kesehatan yang melakukan eliminasi reservoir dengan membersihkan cairan tubuh, drainase, atau larutan yang merupakan tempat mikroorganisme. Tenaga

kesehatan juga membuang sampah dengan hati-hati alat yang terkontaminasi material infeksius. Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk membuang mater sampah infeksius menurut kebijakan lokal dan Negara (Nursalam, 2007). Sampah cair dituang ke dalam sistem pembuangan kotoran tertutup. Sampah medis dan nonmedis dilakukan insemerasi (pembakaran) atau dikubur. Sampah tajam dilakukan enkapsulisasi atau disemenkan.

e. Kontrol Terhadap Portal Keluar

Tenaga kesehatan yang melakukan praktek pencegahan dan kontrol ntuk meminimalkan atau mencegah organisme yang keluar melalui saluran pernafasan, tenaga kesehatan harus selalu menghindari berbicara langsung terhadap pasien. Tenaga kesehatan harus selalu menggunakan sarung tangan sekali bila pakai menangani eksudat. Masker, gown dan kacamata jika terdapat kemungkinan adanya percikan dan kontak cairan. Kegunaan APD ini yaitu topi untuk menutupi rambut yang berguna agar tidak jatuh kedalam luka, kacamata berguna untuk mencegah percikan cairan tubuh atau darah ke dalam mata, masker untuk mencegah terciumnya bau bila tenaga kesehatan yang demam ringan namun tetap bekerja harus memakai masker, khususnya bila mengganti balutan atau melakukan prosedur steril, apron/celemek berguna untuk mencegah percikan cairan tubuh, sarung tangan untuk mencegah penularan infeksi melalui tangan, dan sepatu boot untuk mencegah trauma atau tusukan jarum.

Tenaga kesehatan juga bertanggung jawab mengajarkan klien untuk melindungi organ lain pada saat bersin dan batuk. Cara lain mengontrol keluarnya

mikroorganisme adalah penanganan yang hati-hati terhadap eksudat. Cara yang terkontaminasi dapat dengan mudah terpecik saat dibuang di toilet atau dibak sampah (Nursalam, 2007).

f. Pengendalian Penularan

Tenaga kesehatan yang melakukan pengendalian infeksi secara efektif, dengan tetap waspada tentang jenis penularan dan cara mengotrolnya. Bersihkan dan sterilkan semua peralatan yang reversibel. Teknik yang paling penting adalah mencuci tangan dengan aseptik. Untuk mencegah penularan mikroorganisme melalui kontak tidak langsung, peralatan dan bahan yang kotor harus dijaga supaya tidak bersentuhan langsung dengan baju tenaga kesehatan (Nursalam, 2007).

g. Kontrol Terhadap Portal Masuk

Tenaga kesehatan yang melakukan harus mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa menurunkan kemungkinan penjamu. Tenaga kesehatan harus berhati-hati terhadap resiko jarum suntik. Tenaga kesehatan harus menjaga kesterilan alat dan tindakan invasive. Klien, tenaga kesehatan dan tenaga kebersihan berisiko mendapat infeksi dari tusukan jarum secara tidak sengaja. Pada saat pembersihan luka tenaga kesehatan menyeka bagian dalam dulu kemudian bagian luar (Nursalam, 2007).

h. Perlindungan Terhadap Penjamu yang Rentan

Tenaga kesehatan yang melakukan tindakan proteksi atau barier termasuk penggunaan pakaian pelindung, sarung tangan, kacamata dan masker serta alat pelindung lainnya. Perawatan semua klien, kewaspadaan berdasarkan penularan

perlukaan untuk mengurangi resiko infeksi untuk klien tanpa memandang jenis sistem proteksi, tenaga kesehatan harus menikuti prinsip dasar yaitu: harus mencuci tangan sebelum masuk dan meninggalkan ruangan, benda yang terkontaminasi harus dibuang untuk mencegah penyebaran mikroorganisme, pengetahuan tentang proses penyakit dan jenis penularan infeksi harus diaplikasikan pada saat menggunakan barier pelindung, semua orang yang kemungkinan terpapar selama perpindahan klien diluar kamar proteksi harus dilindungi. Lingkungan yang protektif yng digunakan untuk proteksi dapat memiliki tekanan udara yang negatif untuk mencegah partikel infeksius mengalir kelur dari ruangan. Ada juga kamar khusus dengan tekanan aliran positif digunakan pada pasien yang rentan seperti resipien transplantasi (Nursalam, 2007).

i. Perlindungan Bagi Tenaga Kerja

Perlindungan barier harus sudah bersedia bagi tenaga kesehatan yang memasuki kamar proteksi, penggunaan gown, sarung tangan, masker dan kacamata pelindung. Tenaga kesehatan mengenakan sarung tangan bila risiko terpapar materi infeksius, khususnya sarung tangan direkomendasikan saat tenaga kesehatan ada goresan atau luka pada kulit, saat melakukan fungsi vena, karena merek berisiko terkena tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya pada tangan, dan bila mereka kurang pengalaman. Centre of Diases Control lebih lanjut merekomendasikan bahwa sarung tangan hanya digunakan sekali pakai.

Menurut Blais et al, 2006 dikutip dalam Bertha, 2010 Konsep pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit tidak dapat dilakukan secara individual, oleh

karena itu dalam pelaksanaannya harus mengacu kepada tenaga kesehatan, bahwa tenaga kesehatan adalah pemberian asuhan yang di pimpin oleh tenaga kesehatan yang professional. Tenaga kesehatan menekankan nilai humanistik dan berespon terhadap kebutuhan pasien dan tenaga kesehatan. Dengan menekankan pada nilai humanistik dan berespon, maka upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit dapat dilakukan secara optimal.

2.3.6. Penerapan Mitigasi Sesuai dengan Prosedur Ketetapan (Protap) di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan

Adapun yang menjadi tindakan-tindakan perawatan kepada pasien sesuai dengan protap mulai dari ruangan UGD, VCT (Voluntary Counselling and Testing) sampai ke Rindu A1 dan Hemodialisa Darah (HD) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah :

a. Protap kebersihan tangan dengan larutan berbahan dasar alkohol (handrab)

Alkohol/handrab merupakan cairan alternatif pengganti cuci tangan berbasis alkohol 60 % - 90 % dicampur dengan emolien (perbandingan 100 ml : 2 ml), penjelasan protap terlampir.

b. Protap memakai dan melepas sarung tangan.

Sarung tangan ini dipakai sewaktu melaksanakan tindakan inpasif, penjelasan protap terlampir.

c. Protap penanganan petugas terpajan jarum suntik yang terkontaminasi dengan penderita HIV/AIDS (terlampir).

e. Protap penanganan tumpahan darah/cairan tubuh di lantai (terlampir).

2.3.7. Penerapan APD Oleh Tenaga Kesehatan dalam Mitigasi Bencana HIV/AIDS di Ruang Perawatan UGD, VCT dan RA 1 dan Hemodialisa Darah (HD).

Tabel 2.1. Penerapan Alat Pelindung Diri (APD) oleh Tenaga Kesehatan dalam Mitigasi Bencana HIV/AIDS di 4 Ruangan RSUP H. Adam Malik Medan Unit Gawat Darurat (UGD) Voluntary Counseling and Testing (VCT) Ruangan HIV/AIDS (RA 1) Hemodialisa Darah (HD) a. Masker 4(penutup mulut) b. Handscoen c. Sepatu boot a. Masker b. Handscoen a. Masker b. Handscoen a. Masker b. Handscoen

Sumber : RSUP H. Adam Malik Medan, 2012

Dokumen terkait