BAB II ASAL-USUL TRADISI REBA DALAM KONTEKS SEJARAH
2.6 Mitos Asal-usul Tradisi Reba
Pada zaman dahulu ada seorang petani yang bernama Sili pergi mencari air.
Ia membawa wadah pengambil air yang disebut bhoka. Dalamperjalanan tersebut,
Sili menemukan suatu tanaman yang begitu rimbun yang merambat pada sebatang
pohon Reba. Sili mengamati, menelusuri dari ujung hingga ke pangkalnya, tanah
di sekitarnya retak atau terbelah. Sili memotong sebatang aur/bambu (guru butu)
melancipkan ujungnya dan mencoba menggali. Ia menemukan sebuah umbi yang
begitu besar dan panjang yang dalam bahasa Ngadha disebut uwi. Sili kembali
membawa ubi dan air, ubi tersebut dipotong-potong, 4 potong disisihkan untuk
ditanam kembali, sedangkan yang lain direbus lalu ubi dimakan berlaukkan kelapa
kukur.
Keempat potong yang disisihkan ditanam pada sebidang tanah kecil yang
berukuran kira-kira 2x2 m. Bidang tanah tersebut diberi nama mata tewi. Sisi
mata tewi dibatasi dengan potongan kayu Reba sebanyak 3 potong sehingga
sedangkan pada sudut kanan ditanami pisang. Pada bagian tengah diletakan
tempurung kelapa yang sudah diikat kembali dengan sabutnya. Kelapa merupakan
simbol manusia pemiliknya yaitu Sili.
Keempat potong ubi ditanam pada keempat sudut mata tewi bagian luar,
tongkat penopangnya ialah kayu pohon Reba. Batang kayu Reba tidak bisa
bertunas lagi, maka ubi bertumbuh subur, setelah ditanam mereka belum tahu
persis berapa lama ubi itu akan berisi. Yang diingat ialah pada saat menanam ubi,
posisi bulan adalah tegak lurus (wula neno Wae Roa) yang artinya bulan
bercermin pada kali yang bernama Wae Roa). Pada bulan berikutnya ketika bulan
pada posisi seperti di atas, mereka terus mengamatinya. Sampai dengan 12 kali
atau 12 bulan barulah terlihat bahwa ubi itu berisi dan dapat menggalinya untuk
dimasak dan dimakan. Ubi yang digali dapat disimpan lama, bila dilepas begitu
saja ia dapat bertunas. Ubi tidak bertunas lagi bila disimpan di dalam bambu (tuku
leko) atau disimpan dalam dhoka uwi (tempat penyimpanan dalam tanah). Hingga
kini pelestarian ubi mata tewi tetap dipelihara dan dilestarikan. Setiap suku
memiliki tempat untuk mata tewi. Ubi mata tewi inilah yang dipakai pada upacara
Reba selain ditanam di dalam kebun. Aur (guru butu) yang dipakai Sili untuk
menggali ubi hingga kini dijadikan simbol su’a, baik su’a uwi maupun su’a sa’o.
Su’a artinya tova atau tajak. Su’a uwi merupakan simbol bidang tanah untuk
pekerjaan berladang, bertani, seperti terungkap pada syair berikut ini: “ su’a uwi
sewunga wi dua uma, sewunga wi jaga nua,da kedha zele mataraga kedhi bhanga wi noa zanga” artinya tova ubi, sebatang untuk ke kebun, sebatang untuk menjaga
kampung yang diletakan di atas mataraga, agar semua keturunan dapat
melihatnya.
Selanjutnya diceritakan bahwa Sili membagi potongan ubi ke mana-mana
untuk ditanam dan dikembangkan. Sili mengatur semuanya itu agar selalu
diulang, diperingati, maka dikemaslah dalam bentuk adat kebudayaan Reba.
Dalam perayaan Reba, ubi sebagai simbol seluruh tanaman, budaya, dan
kehidupan bagi masyarakat Ngadha, yang diungkapkan secara puitis sebagai
berikut:
Uwi meze go lewa laba: Ubi sebesar gong, sepanjang
gendang
Lobo wi so’i Dewa : Pucuk menjulang kepada Tuhan
Kabu nga role nitu : Akar tertanam memeluk Dewa Bumi
Ladu wai poso : Kayu penyangga poso (nama gunung)
Koba rako lizu : Rambatnya mencapai langit
Uwi sedu peka rua wali : Ubi tetap bertumbuh tunas
Kutu koe dhano ana koe: Meski digali babi landak, tetap selalu
ada
Hui moki, moki bhai moi: Meski disungkur babi hutan tak akan
habis.
Makna simbolisnya: sumber kehidupan tidak akan habis, suatu budaya tidak akan
punah, manusia pendukungnya tetap berkembang biak bersama alam
lingkungannya, begitu besar dan tinggi maknanya.
Teks Tuturan 3
Ungkapan-ungkapan syair adat di atas dituturkan oleh
Bapak Fransiskus Dhosa (61 tahun), Tokoh Adat dari Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngadha.
Direkam pada tanggal 27 Desember 2012. Oleh Yoseph Karolus Leba (23 tahun)
Dari mitos asal-usul tersebut, tokoh utamanya adalah Sili orang pertama
yang menemukan tanaman ubi Reba, dan sekaligus perintis kebudayaan Reba
melalui tanaman ubi yang ditemuinya. Alur cerita tersebut adalah alur maju,
karena menceritakan peristiwa dari awal sampai akhir cerita. Sedangkan latar
tempat terjadinya peristiwa tersebut yaitu di daerah Kabupaten Ngadha.
Selama pesta Reba, tanaman ubi disanjung-sanjung, dipuja-puja seperti
terungkap dalam syair di atas. Ubi dihias dengan daunnya, diikat gabung dengan
sebatang aur/bambu sepanjang 50 cm kemudian diikat pakai ijuk dengan syarat
harus tiga kali lilitan, dan diarak-arak keliling kampung.
Secara tersirat Reba merupakan sebuah upacara ritual adat pada
masyarakat Ngadha untuk mengingat kembali amanat yang telah ditinggalkan
oleh Sili Ana Wunga, pionir pertama penyelenggara budaya Reba, atau peletak
perayaan adat Reba. Pesta adat Reba sangat spesifik, sebab sukunya masing-
masing secara bergiliran perdesa mengadakan upacara tersebut secara bergantian
sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan. Selama perayaan Reba, tanaman ubi
disebut-sebut, disanjung-sanjung, dan dipuja-puji oleh masyarakat yang
menyelenggarakan upacara tersebut (Djawanai, 5 Januari 2013).
Berkaitan dengan Reba sebagai suatu budaya, ada beberapa pengertian
Daeng (2000), menamakan Reba sebagai perayaan tahun baru tradisional
pada sub kelompok etnik Bajawa, lebih lanjut Daeng menjelaskan masa waktu
selama upacara Reba disebut waktu sakral, suci atau tempus sacrum karena orang
yakin bahwa dahulu telah terjadi peristiwa yang membawa keberuntungan atau
kebahagiaan bagi seluruh anggota kelompok etnik. Pada masa itu ada hal-hal
yang dianggap tabu atau pemali, bila dilanggar akan menimbulkan malapetaka.
Reba adalah upacara adat yang dilaksanakan setiap tahun sesuai kalender
adat dimulai dengan Reba Bena pada akhir Desember dan berakhir pada bulan
Februari yaitu Reba Loga. Upacara ini merupakan upacara ritual yang selalu
dinantikan karena semua anggota keluarga dari seluruh penjuru datang berkumpul
di rumah adat merayakan Reba secara bersama-sama. Upacara Reba terdiri atas 3
rangkaian upacara, yaitu: Kobe Dheke, O Uwi, dan Su’i Uwi yang dilaksanakan
selama 2 sampai 3 hari atau lebih (Wawancara Bapak Fransiskus Dhosa, 27
Desember 2012).
2.7 Rangkuman : Asal-Usul Tradisi Reba dalam Konteks Sejarah dan
Budaya Ngadha
Kehidupan Masyarakat Ngadha memiliki begitu banyak tradisi ritual
dalam berbagai fase kehidupan. Setiap tradisi memiliki nilai-nilai yang
kompleksitas seperti nilai religius, nilai moral, nilai kesenian, nilai ekonomi, dan
nilai pelestarian lingkungan. Dari nilai-nilai itu mendatangkan sebuah tradisi atau
religi, dan aspek-aspek sosial budaya, seperti upacara-upacara adat, dan
keseniaan-kesenian daerah tradisional.
Upacara Reba menggambarkan suatu tradisi Masyarkat Ngadha sebagai
pedoman untuk berinteraksi dalam komunitas sosial maupun berinteraksi dengan
lingkungan alam sekitarnya. Mempelajari Kebudayan Ngadha berarti kita
mempelajari sebuah mitos, dan proses ritual masyarakat Ngadha.
Reba sangat istimewa bagi masyarkat Ngadha karena upacara Reba
merupakan upacara yang sangat penting yang berkaitan dengan pertanian
tradisional masyarkat Ngadha, yang merupakan tradisi bagi Masyarakat Ngadha
untuk tetap mengadakan upacara ini setiap tahun. Upacara ini juga mengisahkan
kembali perjalanan nenek moyang masyarakat Ngadha pada zaman dahulu.