• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH

Pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah yang mementingkan kepentingan konservasi lebih banyak menimbulkan konflik diantara pemangku kepentingan, walaupun Balai TNDS sebagai key players ternyata tidak mampu memainkan perannya dengan baik. Hal ini diduga kedudukan key players yang dimiliki oleh Balai TNDS bersifat semu belaka, yang disebabkan oleh legalitas yang dimiliki, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk memaksa masyarakat mematuhinya. Berarti ada kekuatan lain di dalam masyarakat yang lebih berperan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS.

Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat

Unsur-unsur pembentuk modal sosial yang diidentifikasi pada masyarakat di dalam kawasan TNDS berdasarkan konsep Putnam 1993, meliputi: kepercayaan, norma sosial, dan jaringan sosial. Penilaian terhadap unsur-unsur pembentuk

modal sosial masyarakat menggunakan 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Kepercayaan

Penilaian terhadap tingkat kepercayaan masyarakat TNDS meliputi tingkat kepercayaan terhadap orang di sekitar komunitas dengan etnis yang sama, orang di sekitar komunitas dengan etnis yang berbeda, aparat pemerintah (BTNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan), tokoh masyarakat/agama, pihak luar (LSM), tingkat kepercayaan terhadap manfaat SDA, tingkat kepercayaaan masyarakat dalam menjaga kelestarian SDA, tingkat kepercayaan untuk bekerjasama serta tingkat kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan. Tingkat kepercayaan responden di TNDS dapat dilihat pada Tabel 17.

Selang nilai tingkat kepercayaan dengan Xmax = 27, Xmin = 9 dan N = 3 adalah 6, sehingga tingkat kepercayaan dapat dibagi menjadi:

76

a. Tingkat kepercayaan rendah jika skor < 15 b. Tingkat kepercayaan sedang jika skor 15 – 21 c. Tingkat kepercayaan tinggi jika skor 22 – 27

Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa rata-rata masyarakat memiliki tingkat kepercayaan dalam kategori tinggi (skor 22). Masyarakat (94,44 persen) menilai orang-orang di sekitarnya dari etnis yang sama dapat dipercaya, ini berarti masyarakat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap anggota komunitas yang sama etnisnya. Tingkat kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari masih menunjukkan tingkat yang positif diantara sesama etnis, namun sebaliknya jika berkaitan dengan etnis yang berbeda, masyarakat sangat berhati-hati dalam berinteraksi sehingga tingkat kepercayaan masyarakat untuk orang-orang di sekitarnya dari etnis yang berbeda masuk dalam kategori rendah (87,22 persen). Ini selaras dengan pernyataan Putnam et al. 1993), bahwa kepercayaan dibentuk atas dasar ikatan genealogis dan identitas yang sama dan kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu. Tabel 17 Tingkat kepercayaan responden di TNDS

No

Sub unsur kepercayaan Tingkat Jumlah (orang)

Persentase

(%) Skor Rata-rata 1 Kepercayaan terhadap orang di sekitar

dengan etnis yang sama

1 2 3 0 10 170 0 5,56 94,44 Jumlah 180 100,00 530 2,94 ≈ 3

2 Kepercayaan terhadap orang di sekitar dengan etnis yang berbeda

1 2 3 157 23 0 87,22 12,78 0 Jumlah 180 100,00 203 1,13 ≈ 1

3 Kepercayaan terhadap aparat pemerintah (Balai TNDS, Pemda Kabupaten, Pihak Kecamatan) 1 2 3 67 83 30 37,22 46,11 16,67 Jumlah 180 100,00 323 1,79 ≈ 2

4 Kepercayaan terhadap tokoh masyarakat/agama 1 2 3 0 0 180 0 0 100,00 Jumlah 180 100,00 540 3

5 Kepercayaan terhadap pihak luar (LSM) 1 2 3 44 84 52 24,44 46,67 28,89 Jumlah 180 100,00 368 2,04 ≈ 2

6 Kepercayaan terhadap manfaat SDA 1 2 3 0 5 175 0 2.78 97,22 Jumlah 180 535 2,97 ≈ 3

7 Kepercayaan dalam hal menjaga kelestarian SDA 1 2 3 17 31 132 9,44 17,22 73,34 Jumlah 180 100,00 475 2,64 ≈ 3

8 Kepercayaan untuk bekerjasama 1 2 3 7 18 155 3,89 10,00 86,11 Jumlah 180 508 2,82 ≈ 3

9 Kepercayaan untuk menjaga keeratan hubungan 1 2 3 2 12 166 1,11 6,67 92,22 180 524 2.91 ≈ 3

Jumlah skor: 4006 dan rata-rata skor 22,26 ≈ 22

Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 27, Xminimum: 9 dan jumlah kelas:3

Kondisi tersebut dibuktikan dari tingkat kepercayaan masyarakat secara umum (73,33 persen) akan kepatuhan dan kemampuan warga dalam menjaga

kelestarian SDA dan hutan. Hanya 9,44 persen yang tidak percaya akan kepatuhan dan kemampuan menjaga kelestarian SDA dan hutan, lebih dikarenakan perbedaan etnis dan budaya di dalam pemanfaatan SDA. Hal ini tampak jelas ditemui di SPTN Lanjak karena terdapat 2 suku yang hidup di SPTN ini, yaitu etnis Melayu dan etnis Dayak. Dimana terdapat kecurigaan antara dua suku ini dan berpotensi konflik, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada. Hal ini mendukung hasil penelitian Yasmi et al. 2010 yang mengemukakan bahwa terdapat konflik dalam pengelolaan sumber perikanan di TNDS.

Kemampuan bekerjasama dan menjaga keeratan hubungan masih menunjukkan tingkat yang positif di setiap SPTN. Hal ini dikarenakan anggota masyarakat yang tinggal dalam satu kampung adalah orang-orang yang telah dikenal lama baik karena hubungan kekerabatan ataupun karena kesamaan asal- usul. Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan tingkat kepercayaan yang tinggi untuk orang-orang dalam satu kampung yang memiliki latar belakang/etnis yang sama, tetapi bila berkaitan dengan orang luar yang berbeda etnis tingkat kepercayaan cenderung menjadi rendah.

Berdasarkan Tabel 17 diketahui responden lebih percaya kepada tokoh masyarakat/adat dan tokoh agama daripada kepada aparat pemerintah. Aparat pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten apalagi propinsi dinyatakan tidak pernah sampai ke kampung mereka, aparat hanya datang ketika akan dilaksanakan pemilahan umum untuk menggalang suara. Begitu pula dengan pihak Dinas terkait, seperti Dinas Perikanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya berkunjung saat mereka memiliki kegiatan di wilayah TNDS, jadi tidak bisa dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat. Sementara dengan pihak Balai TNDS masyarakat juga tidak begitu percaya, masyarakat hanya percaya kepada orang-orang tertentu dari pihak Balai, tapi tidak dengan Balai TNDS nya. Hal ini diungkapkan oleh responden bahwa pihak Balai sebagai aparat pemerintah seringkali membatasi gerak mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di TNDS. Selain itu terungkap pula bahwa yang datang ke kampung mereka hanya staf biasa, tapi tidak kepala kantornya. Menurut masyarakat, mereka tidak dianggap penting oleh pihak pemerintah.

Berdasarkan kondisi ini, maka sebenarnya usaha pemerintah yang menempatkan perwakilannya untuk mengelola suatu kawasan akan sia-sia, karena terbukti tidak dipercaya oleh masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengelolaan yang government oriented tidak akan berjalan efektif. Penelitian ini memperkuat pernyataan Kusdamayanti (2008) yang menyatakan selama masih ada dominasi negara dalam pengelolaan kawasan mengakibatkan tidak seimbangnya peran dan kekuatan yang ada antara negara dan masyarakat. Pemberian kesempatan kepada tokoh masyarakat dengan memperkuat kapasitasnya dan kapabilitasnya akan mampu untuk bekerja mengelola kawasan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga baik negara dan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari yang dikelolanya.

Sementara itu kepercayaan masyarakat terhadap pihak luar terutama LSM yang bekerja di TNDS pada kategori sedang (46,67 persen) karena berbeda selangnya di setiap SPTN. 50 persen responden di Lanjak memiliki tingkat kepercayaan yang rendah dengan LSM dikarenakan LSM dianggap hanya mengobral janji dan menjadikan masyarakat sebagai alat kepentingan program

78

kerja mereka. Sementara di Semitau 75 persen responden tingkat kepercayaaannya pada kategori sedang karena LSM belum begitu tampak perannya bagi kemajuan masyarakat. Berbeda dengan di SPTN Selimbau, 63 persen responden memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan keberadaan LSM karena masyarakat Selimbau telah merasakan manfaat pendampingan yang dilakukan oleh LSM mengenai pengelolaan madu yang telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Kepercayaan masyarakat akan timbul, jika hasil nyata sudah diperoleh, tidak hanya sekedar janji belaka, disini masyarakat perlu bukti tidak hanya janji-janji semata.

Kepercayaan yang terjalin dalam hubungan bermasyarakat membuat masyarakat dapat menjalin keharmonisan hubungan dan integrasi sosial di antara mereka. Pada konteks pengelolaan dan kelestarian sumberdaya alam dan hutan, kepercayaan yang dimiliki masyarakat dapat membantu mengurangi terjadinya kompetisi yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan hutan yang ada. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sektor perikanan dan hutan masih berada dalam koridor aturan-aturan pengelolaan sumberdaya perikanan dan hutan yang mereka percayai dan dijalankan sejak jaman leluhur mereka.

Kondisi perairaan yang dimanfaatkan dan yang dikelola di lokasi penelitian relatif dalam keadaan yang lestari. Hal ini dibuktikan dengan hasil tangkapan ikan yang masih tetap melimpah yang diperoleh masayarakat. Berkurangnya hasil tangkapan yang terjadi saat ini, sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh degradasi lingkungan tapi juga karena adanya tekanan jumlah penduduk, dimana semakin banyaknya manusia/orang yang ikut mencari ikan di TNDS. Ini dapat dilihat dari pertambahan jumlah kampung nelayan dan jumlah penduduk yang semakin bertambah di TNDS. Begitu juga kondisi hutan yang dikelola oleh masyarakat Iban di Kedungkang relatif masih dalam keadaan baik. Hutan adat, hutan simpanan dan hutan keramat masih dijaga dengan baik, menunjukkan kelestarian hutan tetap dijaga. Memang telah ada hutan produksi mereka yang telah ditebangi dan terbuka, akan tetapi hutan tersebut ditebang karena adanya kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh pihak luar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tingkat kepercayaan yang tinggi (nilai skor 22) di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaan yang tinggi (high trust), atau memiliki spectrum of trust

yang lebar (panjang), maka akan memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki kapabilitas kepercayaaan yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of trust yang sempit (pendek), maka akan memiliki potensi modal sosial yang lemah. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kepercayaan dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah) dari suatu masyarakat. Ini dapat dilihat dari kasus yang terjadi di TNDS, karena tingkat kepercayaan yang tinggi diantara masyarakat nelayan dan masyarakat peladang di TNDS, maka mereka dapat memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (perikanan dan perladangan) secara bersama. Dan bila dicermati semua aktifitas tersebut mengarah pada kegiatan perekonomian. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Putnam (1993), bahwa kepercayaan memiliki kekuatan mempengaruhi prinsip-prinsip yang melandasi kemakmuran sosial dan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh suatu komunitas

atau bangsa. Oleh karena itu, kepercayaan sebagai sesuatu yang amat besar dan sangat bermanfaat bagi penciptaan tatanan ekonomi diantara masyarakat.

Norma Sosial

Norma sosial adalah aturan yang mengatur masyarakat baik formal maupun non formal. Norma formal bersumber dari lembaga masyarakat yang resmi dan tertulis, sedangkan norma informal umumnya tidak tertulis yang berisikan aturan- aturan dalam bermasyarakat. Tingkat norma sosial dapat dilihat pada Tabel 18.

Selang nilai tingkat norma sosial dengan Xmax = 18, Xmin = 6 dan N = 3 adalah 4, sehingga tingkat norma sosial dapat dibagi menjadi:

a. Tingkat norma sosial rendah jika skor < 10 b. Tingkat norma sosial sedang jika skor 10 – 14 c. Tingkat norma sosial tinggi jika skor 15 – 18. Tabel 18 Tingkat norma sosial responden di TNDS

No Sub unsur norma sosial Tingkat Jumlah (orang)

Persentase

(%) Skor Rata-rata 1 Pemahaman terhadap aturan tidak

tertulis (norma/adat istiadat)

1 2 3 18 111 51 10,00 61,67 28,33 Jumlah 180 100,00 393 2,18 ≈ 2

2 Pemahaman terhadap aturan tertulis 1 2 3 25 89 66 13,89 49,44 36,67 Jumlah 180 100,00 401 2,23 ≈ 2

3 Pemahaman terhadap kebiasaan di masyarakat (kejujuran, kesopanan, kerukunan dalam pergaulan sehari- hari) 1 2 3 0 106 74 0,00 58,89 41,11 Jumlah 180 100,00 434 2,41 ≈ 2

4 Pelanggaran oleh pribadi responden 1 2 3 0 27 153 0,00 15,00 85,00 Jumlah 180 100,00 513 2,85 ≈ 3

5 Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain dalam suku yang sama

1 2 3 0 18 162 0,00 10,00 90,00 Jumlah 180 100,00 522 2,90 ≈ 3

6 Pelanggaran oleh anggota masyarakat lain oleh suku yang berbeda

1 2 3 41 43 96 22,78 23,89 53,33 Jumlah 180 100,00 415 2,31≈ 2

Jumlah skor: 2678 dan rata-rata skor: 14,87 ≈ 15

Keterangan: Jumlah responden 180 orang dengan nilai 1 (rendah), 2 (sedang), dan 3 (tinggi) dengan Xmaksimum: 18, Xminimum: 6 dan jumlah kelas:3

Berdasarkan pada Tabel 18 di atas terlihat bahwa tingkat norma sosial pada masyarakat di dalam kawasan TNDS pada tingkat yang tinggi (skor 15). Terhadap aturan tertulis tidak semua warga masyarakat memahami aturan-aturan yang berlaku. Hanya 36,677 persen responden memahami sepenuhnya aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam, sedangkan 49,44 persen responden kurang memahami, sementara 13,89 persen responden tidak memahami aturan-aturan yang berlaku. Terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya alam baik perikanan maupun hutan, seluruh responden mengaku tidak melanggarnya karena sudah disepakati bersama. Sebagian besar (85 persen) responden menganggap anggota masyarakat lain masih benar-benar taat terhadap aturan, tidak pernah terjadi pelanggaran, sedangkan 15 persen lainnya mengatakan bahwa pernah terjadi pelanggaran aturan oleh anggota masyarakat tetapi jarang di dalam

80

masyarakat mereka masing-masing. Dinyatakan oleh masyarakat (53,33 persen) bahwa pelanggaran terjadi dikarenakan oleh suku lain, masyarakat melayu menyatakan yang melanggar adalah masyarakat Iban, dan masyarakat iban menyatakan bahwa mereka tidak melanggar aturan yang ada. Disinilah tampak ada potensi konflik diantara masyarakat berbeda suku. Hal ini kemungkinan besar dipicu belum adanya komunikasi yang jelas diantara suku, jadi peraturan yang ada di masing-masing wilayah hanya dihormati oleh kalangan sendiri jadi masih kuat dalam aturan internal saja tapi belum untuk eksternal. Norma sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan, karena norma adalah alat yang digunakan untuk menjaga konsinstensi antara status dan peran yang dalam fungsi secara keseluruhan memelihara struktur sosial dalam masyarakat (Putnam, 1993).

Pada masyarakat nelayan di 3 SPTN terdapat nilai-nilai, norma-norma, dan tata kelakuan lainnya yang menjadi pedoman bertindak warga masyarakatnya. Tata kelakuan yang diuraikan di sini terbatas pada aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Sementara bagi masyarakat peladang terdapat nilai-nilai, norma-norma dan aturan pengelolaan sumberdaya hutan. Masing-masing kampung nelayan memiliki aturan yang merupakan hasil kesepakatan bersama yang mengatur tentang penggunaan alat tangkap, tentang jenis-jenis ikan tertentu, tentang hal yang berkaitan dengan manusia dan lain-lain. Sebagai contoh adalah aturan yang ada di masyarakat nelayan Pulau Majang berdasarkan hasil keputusan rapat nelayan pada 1 Januari 2007 dan wawancara dengan bapak Hassanuddin Ketua Nelayan Desa Pulau Majang (26/12/2011) selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.

Selain aturan tertulis, masih ada tradisi-tradisi lainnya mengenai pengelolaan danau dan sungai yang tidak tertulis yang biasa dilakukan oleh seluruh masayarakat nelayan di TNDS, yaitu berupa:

Aturan jala (labuh) zakat

Kegiatan jala zakat adalah kegiatan menangkap ikan yang dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok nelayan. Penentuan sungai untuk dilakukan

jala zakat ditentukan oleh masing-masing ketua nelayan. Setelah keluar dari sungai. Waktu pemasangan empang ditentukan dalam rapat nelayan. Jala zakat

dilakukan pada musim kemarau, berapa kali jala zakat dilakukan dalam satu musim kemarau tergantung dari keperluan dan banyaknya ikan yang ada. Dalam melakukan jala zakat, setiap keluarga hanya boleh membawa 1 buah sampan (luan). Sebelum jala zakat dilakukan, ada ritual nelayan berupa mantera-mantera yang dibacakan oleh ketua nelayan, setelah itu baru kegiatan jala zakat dilakukan bersama-sama oleh peserta dengan menebar jala secara bersama-sama di sungai yang telah ditetapkan. Kegiatan jala zakat ini dilakukan selama 4-5 jam tergantung dari hasil yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari jala zakat ini untuk masing-masing keluarga. Setelah setiap keluarga mendapatkan hasil yang cukup, baru memberikan iuran kepada kelompok nelayan, yang besarnya beragam untuk setiap kelompok nelayan, namun rata-rata adalah sebesar Rp 20.000 untuk satu sungai.

Aturan kerinan

Kerinan merupakan tanah lokasi baik berupa genangan air menyerupai kolam alam tempat berkumpulnya ikan di saat musim kemarau, hal ini dikarenakan debit air yang cukup stabil disaat musim kemarau. Kegiatan kerinan

dalam satu rukun nelayan. Berbeda dengan jala zakat hasil dari kerinan ini ditujukan untuk dinikmati bersama-sama dan sebagian dijual untuk mengisi kas kampung (senampun). Kas kampung ini digunakan untuk dana keagamaan, olahraga, kegiatan pemuda dan kepentingan kampung lainnya. Tempat melakukan

kerinan adalah sungai/lubuk yang sudah ditutup sebelumnya, jadi menangkap ikannya tidak langsung di atas sampan tetapi di darat. Sungai yang ditutup tersebut lalu dipasangi banyak kerinan (bambu untuk merangkap ikan) sesuai dengan jumlah warga yang ikut ngerinan. Masyarakat secara bersama-sama menangkap ikan dengan menyebar jala pada kerinan yang sudah dipasangi

kerinan. Biasanya dalam satu kerinan dikerjakan oleh 3 KK.Penangkapan ikan harus dimulai secara bersama-sama, siapa yang mendahului akan dikenakan sanksi berupa denda uang karena dianggap sama dengan pencurian. Lama kegiatan kerinan ini 4-5 jam, tergantung pada hasil yang ingin diperoleh. Sekali kerinan bisa mencapai 800 kilogram ikan, atau kalau dalam rupiah bisa sampai 3 juta rupiah. Setelah ditangkap ikan yang ada lalu dibersihkan untuk selanjutnya ada yang dibuat ikan asin, kerupuk basah, dan lain-lain. Ikan yang sudah dibersihkan lalu ditimbang hasilnya, dan semua hasilnya ditujukan untuk kas kampung masing-masing. Ikan dalam kerinan tidak boleh diambil/dikuras semuanya, harus ada bagian yang disisakan agar ikan tidak habis (wawancara dengan ketua nelayan Semangit : Abang Astiar tanggal 8/10/2011). Dinyatakan bahwa kegiatan kerinan merupakan tradisi sejak lama sejak zaman kerajaan Selimbau. Di masa lalu, kerinan biasanya didahului dengan ritual bebantar, yaitu memberi ―makan‖ atau sesaji kepada danau. Sajian berupa buah-buahan, gandum, dan tiruan bentuk ikan. Namun tradisi itu sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat Danau Sentarum yang sebagian besar adalah masyarakat melayu yang memeluk agama Islam, yang tidak memperbolehkan ritual sesajian seperti itu.

Peraturan mengenai sungai ini bila dikaji merupakan kejelasan property right tesntang penguasaan areal kerja, sehingga tidak terjadi konflik antara masyarakat dalam wilayah kerja masing-masing. Aturan seperti ini dalam konteks kebijakan lingkungan, dapat mempengaruhi sikap terhadap lingkungan sampai batas tertentu bahkan menyebabkan perilaku terhadap lingkungan (Miller & Buys 2008). Sementara kegiatan seperti jala zakat dan ngerinan merupakan gambaran kegiatan bersama masyarakat dalam menjalin kekompakan bersama dan juga merupakan ajang silaturahmi.

Masyarakat peladang juga memiliki aturan dan norma dalam mengelola SDA dan hutan yang mereka miliki. Sebagai contoh adalaah pada masyarakat dayak Iban yang tinggal di Kedungkang. Untuk aturan pengelolan sumberdaya alam dan hutan yang berlaku pada masyarakat Dayak Iban di Kedungkang berdasarkan hasil wawancara dengan pak Lom Kadus Kedungkang (25/11/2011) dan buku Tusun Tunggu Adat Iban Perbatasan Kalimantan Barat (22 /1/2007) berisikan hal-hal yang mengatur pengelolaan ladang dan pengaturan penangkapan ikan, yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11.

Selain aturan mengenai kerja nelayan dan aturan pengelolaan SDA dan hutan, di TNDS juga diperoleh informasi mengenai aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan dari periau. Karena sudah memiliki asosiasi yang resmi dan tercatat maka sudah ada kesepakatan standar internal APDS (Lampiran 12). Sebelumnya aturan pengelolaan sumberdaya madu hutan masyarakat periau

82

secara tradisional yaitu menyangkut aturan-aturan dan wilayah pengelolaan sebagai berikut :

– Wilayah kelola periau tertentu (bisa dilihat dalam Gambar 17)

– Jenis kayu yang digunakan untuk tikung ( tikung tidak boleh terbuat dari kayu Medang (Litsea sp)

– Aturan pemasangan dan design tikung (Jarak antar tikung tidak boleh terlalu dekat; Tidak boleh memasang tikung di jalur tikung dan di luar periau; Pemasangan tikung di antara dua dahan pohon yang cukup kokoh dengan kemiringan tikung 30 – 40 derajat)

– Kewajiban anggota periau menjaga lingkungan (habitat hutan rawa sebagai sumber pakan lebah)

– Rekrutmen/pendaftaran anggota dan kode anggota pada tikung masing-masing – Jumlah minimal tikung yang harus dimiliki oleh satu orang anggota (Warga

kampung dapat menjadi anggota periau dengan syarat mampu memasang lebih dari 25 tikung)

– Panen harus dilakukan bersama-sama dengan waktu yang ditentukan oleh ketua periau dan tidak boleh mengambil madu di tikung orang lain.

Gambar 17 Peta kerja periau yang ada di TNDS (WWF, 2010).

Selain dalam bentuk tikung, masyarakat di TNDS juga dapat memanen madu dari hasil repak dan lalau. Ada aturan yang berlaku pula untuk memanen hasil madunya. Sampai saat ini orang yang panen madu dari kayu lalau, diharuskan untuk melantunkan timang yang dikenal dengan Timang Badul. Walaupun saat ini tidak lagi orang mensyairkan selengkap timang badul seperti aslinya. Umumnya mulai melantunkan timang mulai dari tiba di pohon lalau dan proses-proses mulai memanjat hingga kembali membawa hasil madu.Ada beberapa timang yang umum dinyanyikan yaitu Tuntung jatak, Minta tutup cahaya di langit, Nepas, Minta madu selusur dahan, Minta angin, Minta tidak disengat, Minta madu, Ngulur madu, dan Pulang.

Berikut salah satu contoh syair timang Minta madu selusur dahan: Minta belacan barang sedikit

Pakai nyulit taruk mawang

Oh..oh..ini dawang aku minta madu Madu mempai selusur dahan

O…o…o…

Timang adalah lagu tradisional yang syairnya berisikan pujaan dan permohonan akan sesuatu dimana terkandung nilai magis di dalamnya. Hikayat cerita dari ritual menyanyikan timang ini adalah pada suatu waktu lalu di kala musim lebah menghasilkan banyak madu, ada seseorang yang bernama Badul yang istrinya sedang hamil dan mengidam ingin makan anak lebah, tetapi si Badul tidak pandai memanjat pohon ―lalau‖ yang relatif tinggi. Namun si Badul tetap

berusaha dan berfikir bagaimana caranya agar ia dapat mengambil anak lebah untuk istrinya. Akhirnya dia mulai melantunkan timang. Syair-syairnya sangat rinci dan beraturan mulai dari awal tumbuhnya sebatang kayu lalau, yaitu dari bunga, buah, kecambah, daun, batang, dahan, seterusnya hingga pertumbuhannya tinggi dan sudah layak untuk dihinggapi lebah serta cukup kuat untuk membuat sarang lebah. Kemudian tahap berikutnya ia mulai melantunkan permohonan agar lebah di pohon lalau tersebut bersedia memberikan madu dan sarangnya kepada Badul. Sembari ia melantunkan timang lalau, pohon tersebut makin lama semakin merunduk (melengkung kebawah) hingga sampai di teras depan pondoknya. Dengan demikian ia dapat dengan mudah memanen madu dan mengambil anak

Dokumen terkait