• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan kebijakan pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pilihan kebijakan pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

EMI ROSLINDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasioanal Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Emi Roslinda

(4)

RINGKASAN

EMI ROSLINDA. Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dilakukan oleh pemerintah melalui Balai TNDS. Sampai saat ini kegiatan pengelolaan belum mencapai tujuan yang diharapkan yaitu kelestarian kawasan dan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan tunggal oleh pemerintah tidak mampu untuk mencapai tujuan pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan, sehingga diperoleh pilihan kebijakan yang lebih baik secara ekonomi (pengetahuan nilai ekonomi juga manfaat yang dihasilkan), lebih baik secara sosial (mengurangi konflik, secara kultural cocok) dan lebih baik secara kebijakan (governance: efisien/efektif, less cost). Tujuan tersebut akan dicapai melalui beberapa kajian yaitu: 1) menduga manfaat dan potensi nilai ekonomi total TNDS; 2) menganalisis pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS; 3) menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan 4) menganalisis kebijakan pengelolaan TNDS.

Penelitian dilaksanakan di kawasan TNDS Provinsi Kalimantan Barat. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan pendekatan/teknik: 1) penelusuran dokumen, 2) wawancara, 3) observasi langsung. Jumlah contoh untuk masyarakat ditetapkan secara quota sebanyak 60 rumah tangga pada setiap lokasi penelitian (3 SPTN) yang ditentukan secara random sampling. Untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari para responden, dilakukan wawancara dengan informan kunci pada setiap lokasi penelitian. Sementara untuk pemangku kepentingan yang lain dilakukan wawancara tersendiri yang dilakukan dengan cara snowball. Analisis data dilakukan secara kuantitatif (kategorisasi) dan kualitatif .

TNDS menghasilkan berbagai manfaat dengan NET yang tinggi. NET TNDS sebesar Rp 139,1 milyar per tahun. Hasil ini bila dibandingkan dengan besarnya biaya pengelolaan TNDS sebesar Rp 6,7 milyar pada tahun 2010, berarti hanya 4,82 persen dari manfaat yang dihasilkan. Berarti TNDS sebagai kawasan konservasi yang selama ini dianggap sebagai pusat pengeluaran (cost center) adalah tidak benar. Potensi nilai ekonomi TNDS ini bisa menjadi nyata dengan menerapkan mekanisme insentif dalam pengelolaan TNDS, dimana untuk saat ini mekanisme insentif yang mungkin untuk dijalankan adalah dari jasa lingkungan air untuk rumah tangga. Berbagai manfaat yang dihasilkan dan tingginya nilai ekonomi yang terkandung di TNDS menarik berbagai pemangku kepentingan untuk memanfaatkan serta mengelolanya.

Terdapat 18 pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS, yang terdiri dari pihak pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Penelitian. Berdasarkan pengaruh dan kepentingannya, pemangku kepentingan tersebut berkedudukan sebagai subject, key players,

(5)

kepentingan ini membawa konsekuensi pengelolaan yang dilakukan di TNDS perlu mengalami perubahan dari pengelolaan tunggal oleh pemerintah menjadi pengelolaan yang melibatkan pemangku kepentingan. Adapun bentuk pelibatan pemangku kepentingan dapat dilihat dari modal sosial pada tingkat masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam mengelola TNDS.

Modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS yang dinilai dari kepercayaan (trust), norma dan jaringan sosial (social networks) menunjukkan kuat/tingginya modal sosial masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap peran tokoh masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih mematuhi apa yang diperintahkan oleh pemimpin mereka. Norma-norma yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam baik yang tertulis dan tidak tertulis sangat memperhatikan kelestarian, dan karena sudah dilakukan secara turun temurun maka sangat jarang terjadi pelanggaran. Sementara jaringan sosial yang terbentuk ditujukan untuk kesejahteraan bersama dan lebih pada kepentingan ekonomi. Apa yang sudah ada di masyarakat ini menunjukkan bahwa semua tatanan pengelolaan sudah berjalan secara fungsional di masyarakat dan terjamin keberlanjutannya. Sementara kapabilitas pemerintah yang diukur dari indikator karakteristik intrinsik dan indikator hubungan antar negara dan masyarakat menunjukkan rendahnya kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah secara tunggal tidak mampu untuk mengelola TNDS. Berarti ada permasalahan dalam kebijakan yang diterapkan dalam pengelolaan TNDS saat ini.

Ada 31 (tiga puluh satu) buah kebijakan (regulasi) yang digunakan oleh Balai TNDS sebagai dasar pengelolaan TNDS saat ini. Regulasi tersebut berupa Undang-undang (UU) yang terkait, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri, Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Daerah (Perda), Keputusan dan Peraturan Direktur Jenderal, Keputusan Bupati. Umumnya masih bersifat sentralistik, berbentuk perintah dan pengawasan (command and control) dan seragam untuk semua kawasan konservasi. Kondisi ini menjadi penyebab tidak efektifnya pengelolaan, oleh karena itu perlu perubahan kebijakan pengelolaan yang spesifik lokasi kawasan konservasi.

Devolusi pengelolaan TNDS diperlukan karena akan lebih mengefektifkan pengelolaan sumberdaya alam dan memberikan keadilan kepada masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Mensinkronkan kepentingan masyarakat dan pemerintah dalam kawasan TNDS merupakan solusi yang optimal dalam kegiatan pengelolaan. Kolaborasi pengelolaan TNDS akan meminimalkan beban biaya pengelolaan yang ditanggung pemerintah dan pada saat yang sama akan membangkitkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan TNDS. Kata kunci: devolusi pengelolaan, modal sosial, kapabilitas pemerintah,

(6)

SUMMARY

EMI ROSLINDA. Management Policy Options of Danau Sentarum National Park West Kalimantan Province. Supervised by DUDUNG DARUSMAN, DIDIK SUHARJITO, DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Management of Danau Sentarum National Park (DSNP) is conducted through DSNP Unit. Until now, the management has not achieved the expected objectives, namely the preservation of the area and welfare of the community. This condition indicates the single management by the government is not able to achieve the management objectives. This study aims to formulate the policy options of DSNP management through economic, social and policy approaches, in order to obtain better policy options economically (knowledge of economy as well as benefits generated), socially (reducing conflicts, culturally appropriate), and policy (governance; efficient/effective, less cost). These goals will be achieved through several studies, namely: 1) suspecting benefits and total economic potential of DSNP; 3) analyzing the stakeholders in the management of DSNP; 3) outlining the government’s social capital and capabilities in the management of DSNP; and 4) analyzing policy of DSNP management.

The research had been conducted in the area of DSNP in the West Kalimantan Province. The data was collected using the techniques of: 1) Document research, 2) interview, 3) direct observation. The number of community samples quota is 60 (sixty) households in each location (3 SPTN) which was determined by random sampling. To comply with information obtained from the respondents, interviews were conducted with key informants in each study site. As for other stakeholders, the interviews were carried out with a snowball method. The data were analyzed quantitatively (categorization) and qualitatively.

There were many kind of benefits in DSNP with high economic value. The TEV of DSNP covers Rp 139 billion per year. This result when compared with the cost of managing DSNP that covered Rp 6.7 billion in 2010 shows that only 4.82 percent of the benefits generated. It means that DSNP as conservation area that have been considered as a cost center is not true. This potential economic value of DSNP could be real by implementing incentive mechanism in the management of DSNP, where for the current time the incentive mechanism that is likely to run is water for environmental service for households. Various benefits and the high economic value contained in DSNP attract various stakeholders to utilize and manage them.

(7)

involvement can be seen from social capital at the community level and capability of the government in managing DSNP.

Social capital in the community within the area of DSNP which is assessed from trust, norms and social networks shows the strong/high of social capital of the community. Public trust to the role of community leaders in managing natural resources is very high, which indicates that more people obey what is commanded by their leader. The norms governing the management of natural resources both written and unwritten are very concerned about sustainability, and since they have been done for generations that the infraction rarely happens; while social networks are formed to gain common welfare and more to the interest of economy. What already exists in the community shows that all orders are running a functional management and secure its sustainability. Meanwhile, the capability of the government measured from the intrinsic characteristic indicators and relation between state and community indicators shows the weak capability of the government in managing DSNP. It shows the fact that government is not able to manage DSNP, and it means there are problems in the policies implemented in the management of DSNP today.

There are 31 (thirty-one) policies/regulations used by DNSP Unit as a foundation in DSNP management. The regulations are in the forms of relevant Statute, Government Regulation, Ministerial Regulation, Presidential Decree, Ministerial Decree, Regional Regulation, Decree and Regulation of Directorate General, and Decree of the Head of District. These regulations are mostly centralized, in the forms of command and control, and all the same for the whole conservation areas. The condition causes the ineffective of the management, therefore the management policies need to be changed specifically at location in the conservation areas.

Devolution of the management of DSNP is necessary because it will further streamline the management of natural resources and will provide justice to the community as the stakeholder. Synchronizing the interests of community and government in the areas of DSNP is indeed an optimal solution in the activities of management. Collaboration in managing DSNP will minimize management cost borne by the government and in the same time will generate a sense of responsibility of the community in the management of DSNP.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN

TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc F Trop. Prof. Dr.Ir.Sambas Basuni, MS

(11)

Judul Disertasi : Pilihan Kebijakan Pengelolan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat

Nama : Emi Roslinda NIM : E161090011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA Ketua

Dr Ir Didik Suharjito, MS Anggota

Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2011 ini berjudul Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA, Dr Ir Didik Suharjito, MS. dan Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan dan penyempurnaan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan berserta segenap jajarannya yang telah banyak membantu dan memfasilitasi penulis selama menempuh pendidikan di SPs-IPB.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi melalui beasiswa yang diberikan, SEAMEO-BIOTROP, Universitas Tanjungpura dan Pemda Provinsi Kalimantan Barat atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemda Kapuas Hulu, Kepala Balai TNDS beserta staf, WWF KalBar, teman-teman LSM dan masyarakat TNDS yang menjadi responden dan sumber data bagi penulis, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus secara khusus disampaikan kepada suami (Sarwo Sugeng, SH), anak (Tsaqif dan Mahira), orang tua dan adik-adik, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin.

Bogor, Mei 2013

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Novelty 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengelolaan Kawasan Konservasi 6

Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam 11

Konsep Pemangku Kepentingan 14

Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 16

Konsep Kapabilitas Pemerintah 19

Konsep Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam 20

3 METODE 22 Kerangka Pemikiran 22

Pendekatan Penelitian 23

Tempat dan Waktu Penelitan 25

Pengumpulan Data 25

Lingkup Kajian 27

4 KEADAAN UMUM TNDS 35 Letak dan Luas 35

Potensi TNDS 36

Kondisi Masyarakat 39 Pengelolaan TNDS Saat Ini 42

5 MANFAAT DAN NILAI EKONOMI TNDS 46

Manfaat TNDS 46

Nilai Ekonomi TNDS 49 Nilai Ekonomi Total TNDS 57

6 PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN TNDS 62

Identifikasi Pemangku Kepentingan 63

Pengelompokkan dan Pengkategorian Pemangku Kepentingan 66

Hubungan antara Pemangku Kepentingan 71

7 MODAL SOSIAL MASYARAKAT DAN KAPABILITAS PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN TNDS 75

Unsur-unsur Pembentuk Modal Sosial Masyarakat 75

(14)

8 KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS 96

Peraturan Perundangan Pengelolaan TNDS 96

Kewenangan Pengelolaan TNDS 103

Perkembangan Kebijakan Pengelolaan TNDS 104

Kebijakan Pengelolaan TNDS 107

9 PILIHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TNDS 109 Mekanisme Insentif Jasa Ekosistem 110

Pelibatan Pemangku Kepentingan 113

Devolusi PengelolaanTNDS 121

Pilihan Kebijakan Pengelolaan TNDS 123

10 SIMPULAN DAN SARAN 130 Simpulan 130

Saran 131

DAFTAR PUSTAKA 132

LAMPIRAN 144-163

(15)

DAFTAR TABEL

1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi 8 2 Tujuan penelitian, variabel, teknik pengumpulan dan sumber data 26 3 Jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian 26 4 Metode dan macam nilai ekonomi yang dihitung 28 5 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku

kepentingan 29

6 Variabel, indikator dan kategori modal sosial 31 7 Variabel,indikator dan kategori kapabilitas pemerintah 32 8 Definisi operasional unsur-unsur indikator kapabilitas pemerintah 32 9 Jenis ikan yang umum ditangkap dan diperdagangkan dari perairan

TNDS 50

10 Hasil penjualan madu dari hasil tikung di TNDS melalui APDS 51

11 Kondisi pemanfaatan air di TNDS 54

12 Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS 58 13 Ringkasan hasil perhitungan nilai ekonomi total TNDS tanpa nilai

simpanan karbon 59

14 Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TNDS 63 15 Tingkat kepentingan pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS 65 16 Tingkat pengaruh pemangku kepentingan pada pengelolaan TNDS 66

17 Tingkat kepercayaan responden di TNDS 76

18 Tingkat norma sosial responden di TNDS 79

19 Tingkat jaringan sosial responden di TNDS 85

20 Tingkat modal sosial masyarakat di dalam kawasan TNDS 89 21 Tingkat karakteristik intrinsik pemerintah dalam pengelolaan TNDS 90 22 Rekapitulasi sebaran pegawai Balai TNDS tahun 2010 91 23 Tingkat hubungan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan

TNDS 93

24 Tingkat kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS 95 25 Peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan TNDS 96 26 Point kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan TNDS 102 27 Penilaian tingkat kekuatan pemangku kepentingan 115 28 Strategi pengelolaan berdasarkan kekuatan dan pengaruh 116

29 Luas wilayah kerja periau per zona di TNDS 126

30 Pilihan pola pengelolaan TNDS 127

DAFTAR GAMBAR

1 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis 12 2 Hubungan antara modal sosial dan kapabilitas pemerintah 19

3 Skema alur pemikiran penelitian 24

4 Matriks pengaruh dan kepentingan analisis pemangku kepentingan 29

5 Proses metodologi penelitian 34

6 Peta wilayah seksi pengelolaan 35

7 Profil dan tipe hutan di kawasan TNDS 36

(16)

9 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian 42 10 Klasifikasi jenis barang dan jasa yang dihasilkan oleh TNDS

berdasarkan kegunaan dan pasar yang tersedia 48 11 Produksi madu dari hasil tikung anggota periau di TNDS 51 12 Data perkembangan jumlah pengunjung TNDS 2007-2010 53 13 Biaya dan nilai manfaat ekonomi pengelolaan TNDS 60 14 Nilai ekonomi TNDS berdasarkan penggunaannya 61 15 Matriks kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan 67 16 Matriks hubungan antara pemangku kepentingan 74

17 Peta kerja periau yang ada di TNDS 82

18 Jaringan sosial antara tengkulak dan nelayan di TNDS 88 19 Diagram sebaran pegawai Balai TNDS berdasarkan pendidikan 92

20 Peta rencana zonasi TNDS 106

21 Hirarki kebijakan pengelolaan TNDS provinsi Kalimantan Barat 108 22 Matriks kekuatan dan pengaruh pemangku kepentingan 115 23 Posisi pemangku kepentingan berdasarkan pengaruh, kepentingan dan

kekuatan 117

24 Tahapan pengembangan mekanisme insentif 120

25 Tumpang tindih rencana zonasi TNDS dengan wilayah kerja periau

APDS 125

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan nilai ekonomi perikanan tangkap 144

2 Perhitungan nilai ekonomi karet 145

3 Perhitungan nilai ekonomi padi ladang 146

4 Perhitungan nilai ekonomi kayu bakar 147

5 Perhitungan nilai ekonomi air rumah tangga 148

6 Perhitungan nilai ekonomi air transportasi 149

7 Perhitungan nilai ekonomi air untuk perikanan budidaya 150

8 Perhitungan nilai ekonomi simpanan karbon 151

9 Perhitungan nilai ekonomi nilai pilihan 152

10 Aturan nelayan Pulau Majang 153

11 Aturan pengelolaan sumberdaya alam di kampung Kedungkang 155

(17)

Latar Belakang

Pengelolaan taman nasional (TN) di Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang mengancam kelestariannya. Masalah pengelolaan TN di Indonesia terkait erat dengan berbagai aspek seperti masalah kelembagaan, masalah kawasan, konflik kawasan serta rendahnya komitmen para pihak dalam mendukung keberhasilan kegiatan konservasi (Kementerian Kehutanan, 2011).

Masalah pengelolaan yang berakar pada masalah kelembagaan ditemui di beberapa TN di Indonesia seperti di TN Komodo, TN Siberut, TN Tanjung Putting, TN Leuser; dan TN Boganani Nani Wartabone (Iskandar 1992; Soekmadi 2002; Wiratno et al. 2004). Sementara terkait permasalahan kawasan/alokasi ruang ditemui di TN Gunung Halimun Salak, TN Kelimutu, TN Batang Gadis, TN Lore Lindu, TN Gunung Merapi, TN Kayan Mentarang dan TN Wasur (Harada et al. 2001; Muda 2005; Ikhsan et al.2005; Golar 2007; Kuswijayanti et al. 2007; Kosmaryadi 2012).

Pengelolaan TN tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan yang sudah diterapkan dalam pengelolaan TN mengacu pada Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 yang menyatakan sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem zonasi lebih mengatur hal yang bersifat teknis, padahal permasalahan pengelolaan di TN tidak semata masalah teknis saja. Tetapi juga menyangkut interaksi antara masyarakat yang ada di dalam kawasan misalnya menyangkut hak penguasaan (property right) dan pengelolaan sumberdaya alam, antara pemerintah dan masyarakat lokal (Padge et al. 2006; Telfer & Garde 2006; Golar 2007).

Untuk mengakomodir sifat non teknis dan menyadari banyaknya kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi, serta sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan kehutanan dan fungsi kawasan yang dilindungi, maka di TN diperkenalkan dan diterapkan pengelolaan kolaborasi ( co-management). Hal ini didukung dengan dikeluarkannya kebijakan berupa Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Namun demikian, pendekatan yang digunakan masih dengan cara pandang bahwa masyarakat adalah sebagai obyek pengelolaan atau berperan sebagai partisipan dalam pencapaian tujuan konservasi formal.Pengelolaan kolaborasi semacam ini sudah diterapkan di beberapa TN, seperti TN Bunaken, TN Komodo dan TN Lore Lindu. Namun sampai saat ini pengelolaan kolaborasi (co-management) belum memberikan hasil yang memuaskan. Kendala utama yang dihadapi pada umumnya adalah lemahnya dukungan kebijakan pemerintah, lemahnya koordinasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), keterbatasan sarana prasarana dan dana, dan adanya tekanan pihak luar, sehingga masih terus diuji cobakan dan dikembangkan (Purwanti 2008; Kassa 2009).

(18)

2

pedoman pelaksanaannya, sehingga belum ada TN yang bisa mandiri. Kemudian dimunculkan kebijakan pengelolaan TN berbasis resort, mencontoh sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi.

Apapun kebijakan pengelolaan yang diterapkan, ternyata sampai saat ini pengelolaan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan dalam pembentukan TN yaitu kelestarian kawasan. Bila dikaji ternyata kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diambil oleh pemerintah adalah menerapkan pendekatan yang seragam dimana satu kebijakan diterapkan untuk semua kondisi dan keadaan. Ini dirasakan tidak tepat, karena beda situasi, kondisi dan tempat tentunya memerlukan perlakuan dan kebijakan pengelolaan yang berbeda pula.

Kondisi ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa TN pada daerah kelola masing-masing yang sudah menunjukkan keberhasilannya (best practise). Sebagai contoh: sistem pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi TN Laut Wakatobi (Arafah 2009), tata ruang masyarakat Sinduru di TN Lore Lindu (Andriani 2007 diacu dalam Pokja Kebijakan Konservasi 2008), konsep hutan rarangan di TN Batang Gadis (Ikhsan et al.2005), konsep keseimbangan alam pada masyarakat Malind-anim dan masyarakat Dayak di TN Kayan Mentarang (Kosmaryandi 2012). Lebih spesifik dalam pengelolaan hutan, kehutanan lokal mampu mewujudkan keseimbangan sosial, daya tahan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dan konservasi hutan (Darusman 2001; Anshari et al. 2005; Golar 2007; Arafah 2009). Hal ini menunjukkan masyarakat memiliki kemampuan yang perlu dipertimbangkan dalam berperanserta mengelola hutan/sumberdaya alam.

Pengelolaan TN oleh pemerintah belum berjalan secara efektif, belum dapat memberikan kontribusi yang berarti untuk meningkatkan kehidupan masyarakat lokal. UU No 5 tahun 1990 sebagai UU pokok dalam pengelolaan TN, masih sangat konservatif, lebih berat kepada perlindungan sistem penyangga kehidupan serta pengawetan plasma nutfah. Sementara pengaturan aspek pemanfaatan belum mendapat perhatian yang cukup. Pola pengelolaan yang dominan pemerintah, tidak membuka peluang kerjasama atau pengelolaan oleh berbagai pemangku kepentingan terhadap TN. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya peluang pemanfaatan potensi ekonomi TN bagi kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan beban negara untuk membiayai pengelolaan TN. Sementara itu sumberdaya pemerintah sangat terbatas, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial, sehingga TN dianggap sebagai cost centre.

Situasi tersebut terjadi juga di TN Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat, menyusul ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi1. Masyarakat dalam kawasan yang umumnya adalah nelayan dan periau2 yang memanfaatkan dan mengelola danau, sungai dan hutan sebagai sumber mata

1

Kawasan Danau Sentarum ditunjuk sebagai kawasan konservasi awalnya sebagai Cagar Alam dengan luas 80 ha berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No 2240/DJ/I/1981 tgl 15 Juni 1981; pada 12 Oktober 1982 berdasarkan SK Menteri Pertanian No 757/Kpts-II/Um/10/1982, status kawasan tsb ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa; dan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 34/Kpts-II/1999 tgl 4 Pebruari 1999, kawasan Danau sentarum ditetapkan sebagai Taman Nasional dengan luas 132.000 ha.

2

(19)

pencaharian dan urat nadi perekonomian menjadi terbatas ruang geraknya. Keberadaan masyarakat dan aktivitas kehidupannya menjadi sesuatu hal yang salah atau illegal dalam kawasan konservasi, padahal mereka telah lebih dahulu ada, sebelum kawasan tersebut ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Akibatnya aktivitas ekonomi terhambat dan kesejahteraan masyarakat terabaikan. Padahal, masyarakat dengan kelembagaan yang mereka miliki telah memiliki aturan, sanksi, nilai-nilai serta kepercayaan yang kuat dan dipatuhi di antara mereka dalam mengelola sumberdaya alam dan terbukti mampu menjaga kelestarian sumberdaya alam yang ada (Basuni 2003; Flint dan Liloff 2005; Pagde

et al. 2006).

Penetapan kawasan konservasi yang pengelolaannya dipegang oleh pemerintah dengan sistem zonasi, ternyata tidak menjadikan kawasan menjadi lebih baik. Dari berbagai hasil penelitian dan kajian, terbukti selalu ada konflik antara masyarakat dan pemerintah di dalam kawasan konservasi, yang berakibat juga terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan tersebut. Penerapan pola pengelolaan TN oleh pemerintah sebagai state property regimes terbukti tidak mampu untuk mengelola sumberdaya alam secara optimal dan memunculkan berbagai permasalahan pengelolaan. Sebagai contoh di TNDS mengalami berbagai permasalahan pengelolaan yang mendasar yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS dan yang berkenaan dengan pengelolaan. Bertambahnya penduduk dalam kawasan, masih adanya kegiatan penebangan, terjadinya konversi hutan, perubahan kualitas air, penurunan populasi ikan, terjadinya introduksi spesies eksotik, seringnya terjadi kebakaran lahan dan hutan, kegiatan perburuan liar, perubahan iklim global dan adanya rencana pembangunan bendungan merupakan permasalahan yang berkaitan dengan kondisi biofisik TNDS (Yuliani et al. 2007; Heri et al. 2010; Balai TNDS 2011). Sementara permasalahan dalam pengelolaan, Balai TNDS 2011 menyatakan masih lemahnya Rencana Pengelolaan (RP) yang dibuat baik dalam bentuk RPJP dan RPJM, selain itu antara RKL dan RKT seringkali tidak sinkron dan ini diakui sebagai kelemahan pusat dan daerah, kurangnya SDM, konflik pemanfaatan kawasan karena beberapa sebab (belum ditetapkannya zonasi, batas kawasan masih belum mantap, batas digugat pihak lain, pal batas hilang/dipindahkan/dirusak, dan atau tidak diakui masyarakat), konflik kontradiksi kebijakan (antara kebijakan pusat dan kebijakan daerah), perlengkapan yang belum memadai, lemahnya penegakan hukum, keterisolasian kawasan dan penelitian yang masih terbatas dilakukan.

(20)

4

modal sosial untuk membahas modal sosial masyarakat dan konsep kapabilitas pemerintah untuk melihat kemampuan pemerintah dalam mengelola TNDS.

Perumusan Masalah

Seiring dengan terjadinya perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya hutan yang memperhatikan masalah ekologis, ekonomi dan sosial, serta berjalannya desentralisasi dalam pengelolaan negara maka muncul berbagai permasalahan antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS. Permasalahan pada sisi ekonomi ekologi adalah adanya kontradiksi antara fungsi TNDS yang memiliki manfaat ekonomi dan juga manfaat ekologi. Danau sentarum dari sisi ekologi berfungsi sebagai bendungan alam, sementara dari sisi ekonomi menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat dan sumber untuk memacu pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Kapuas Hulu. Kepentingan yang sama terhadap sumberdaya TNDS menimbulkan berbagai konflik, sehingga perlu diketahui nilai ekonomi manfaat kawasan untuk menjawab masalah ekonomi ekologi ini.

Pada aspek sosial penetapan pengelolaan TNDS secara tunggal oleh pemerintah menyebabkan keberadaan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terabaikan. Kenyataannya masyarakat nelayan di TNDS di setiap kampungnya memiliki rukun nelayan, yaitu institusi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sementara masyarakat peladang juga memiliki aturan-aturan dalam pengelolaan SDA berupa lahan dan hutan. Masyarakat mengelola sumberdaya di TNDS sebagai sumberdaya bersama (common pool resources), dengan tetap mengakui hak-hak individu. Hak-hak untuk memanfaatkan SDA diputuskan melalui musyawarah, dan bersifat dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Aturan-aturan tersebut terbukti sudah mampu untuk mengelola SDA yang ada, yang sebenarnya merupakan modal untuk pengelolaan yang berkelanjutan. Namun ada kesulitan dalam menjatuhkan sanksi adat karena aturan-aturan adat tersebut belum diakui secara resmi oleh pemerintah. Tanpa pengakuan pemerintah, aturan-aturan adat secara perlahan mengalami degradasi, dan menyebabkan melemahnya kemampuan masyarakat adat sebagai institusi untuk mengantisipasi perubahan-perubahan akibat kemajuan teknologi dan pola hidup yang konsumtif. Lemahnya institusi adat akan berdampak terhadap tingkat pengelolaan SDA, yang kemungkinan mempercepat proses-proses tanpa aturan atau open access.

(21)

Dengan berbagai potensi dan permasalahan yang telah diuraikan, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah pilihan kebijakan pengelolaan yang bagaimana yang harus diterapkan dalam pengelolaan TNDS agar pengelolaan menjadi efektif dan optimal? Pilihan kebijakan pengelolaan dalam penelitian ini akan didekati dengan melakukan pendugaan manfaat dan NET TNDS sebagai dasar dalam menentukan kebijakan pengelolaan dari sisi kepentingan ekonomi ekologi, modal sosial masyarakat dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan yang kemudian dilakukan analisis bersama dengan kebijakan yang berjalan selama ini dalam membentuk pilihan kebijakan pengelolaan TNDS. Berdasarkan uraian diatas maka pertanyaan penelitian ini adalah: a) Berapa potensi nilai ekonomi total dari kawasan ekosistem TNDS?; b)Bagaimana keterlibatan dan kedudukan pemangku kepentingan dalam pengelolaan di TNDS?; c) Bagaimana kondisi modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS; dan d) Kebijakan apa yang saat ini diterapkan pada pengelolaan TNDS sehingga masih menyebabkan tujuan dari pembentukan TNDS tidak tercapai?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan pilihan kebijakan pengelolaan TNDS melalui pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Tujuan umum dicapai melalui beberapa kajian dengan tujuan khusus, yaitu: 1 Menduga potensi nilai ekonomi total TNDS.

2 Menjelaskan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TNDS.

3 Menguraikan modal sosial dan kapabilitas pemerintah dalam pengelolaan TNDS.

4 Mengkaji kebijakan dalam pengelolaan TNDS.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat pada aspek ilmu pengetahuan berupa pengayaan dalam metodologi penilaian sumberdaya alam, analisis pemangku kepentingan, kajian modal sosial, kajian kapabilitas pemerintah dan pengelolaan TN. Pada aspek praktis pengelolaan TN diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk mengakui/melegalkan pemangku kepentingan dalam pengelolaan TN, menerapkan pola pengelolaan berdasarkan kondisi yang ada dan dalam pengelolaan TN didukung dengan kebijakan yang berbasis insentif dan kebijakan daerah (Peraturan Daerah).

Novelty

(22)

6

kawasan konservasi, dengan menggunakan pendekatan ekonomi, sosial dan kebijakan. Dilakukan melalui penggalian manfaat dan pendugaan nilai ekonomi kawasan, menganalisis pemangku kepentingan, menggali modal sosial masyarakat yang tinggal di dalam kawasan, mengukur kapabilitas pemerintah serta analisa kebijakan yang berjalan saat ini untuk menghasilkan pilihan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi yang optimal. Pilihan kebijakan pengelolaan kolaborasi, pemerintah dan masyarakat merupakan ragam pengelolaan yang diambil berdasarkan keadaan spesifik lokal, mensikronkan kepentingan pemerintah dan masyarakat, meminimalkan resistensi dan memaksimalkan sinergitas pemangku kepentingan diharapkan dapat diimplementasikan dalam mendukung pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Kawasan Konservasi

Ada tiga perbedaan utama pengelolaan SDA, yaitu preservationist,

conservationist, dan exploiter. Menurut preservationist, SDA sebanyak mungkin harus dilindungi dan dilestarikan tanpa ada kegiatan pembangunan, alam sebaiknya dibiarkan untuk mengatur dirinya. Sebaliknya bagi para exploiter, SDA dimanfaatkan sebagai sumber energi dan sumber ekonomi. Sedangkan paham konservasi berada pada kedua paham tersebut di atas, dimana konservasi menghendaki pemanfaatan SDA yang arif sesuai dengan tuntutan kelestarian tatanan ekosistem dan lingkungannya. Hal ini berarti perlu pendekatan ekologi dan ekonomi yang berimbang dalam pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga dapat dikatakan conservationist mengembangkan advokasi pengelolaan dengan prinsip-prinsip kelestarian (Alikodra 2000).

Dalam UU no.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sistem pengelolaan TN dilaksanakan oleh pemerintah dan dikelola dengan sistem zonasi. Ada tiga zonasi dalam pengelolaan TN, yaitu : 1 Zona inti yaitu bagian kawasan TN yang mutlak dilindungi dan tidak

diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.

2 Zona pemanfaatan yaitu bagian dari kawasan TN yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; dan

3 Zona lain diluar kedua zona tersebut karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan traditional, zona rehabilitasi, dan sebagainya.

(23)

Adanya zonasi diharapkan pemanfaatan SDA dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan dari suatu kawasan konservasi (Salm et al. 2000).

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip yang harus diadopsi dalam pengelolaan TN adalah: prinsip kemantapan kawasan, kelestarian fungsi ekologi, kelestarian fungsi ekonomi sumberdaya, dan kelestarian fungsi sosial budaya. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan menjadi dimensi hasil yang kemudian dinyatakan sebagai kriteria kinerja pencapaian pengelolaan TN lestari (WWF 2006).

Desentralisasi telah membawa implikasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dimana masyarakat setempat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi (Tabel 1) terjadi setelah implementasi UU No.22 tahun 1999 (kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah. Sebenarnya proses desentralisasi telah dimulai pada awal tahun 1990-an ketika Dirjen PHKA mengadopsi konsep Integrated Conservation and Development Program (ICDP). Program ICDP didanai oleh USAID, Bank Dunia dan beberapa LSM internasional yang mengkaitkan program konservasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan dengan merangkul seluruh pemangku kepentingan dan mengakomodasi seluruh dimensi pembangunan yang menjadi tujuan bersama (Well et al. 1999).

Konsep ICDP merupakan pendekatan pengelolaan secara multidisiplin yang mengaitkan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan lindung dengan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat (Wiratno et al. 2004). Sebelumnya, konservasi dan pembangunan dianggap sebagai dua hal yang terpisah bahkan saling bertentangan. Konsep ini diterima dengan baik karena menawarkan pendekatan alternatif bagi pengelolaan kawasan lindung yang layak secara politis, dan memberi kontribusi bagi pencapaian tiga sasaran utama agenda pembangunan berkelanjutan yaitu konservasi keanekaragaman hayati yang efektif, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam konservasi dan pembangunan, serta pengembangan ekonomi masyarakat miskin di pedesaan (Well et al. 1999; Wiratno et al. 2004). Hal ini disikapi pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA.

Co-management atau pengelolaan kolaboratif menurut Borrini-Feyerabend (2000) diartikan sebagai kesepakatan dua atau lebih pemangku kepentingan untuk membagi informasi, peran, fungsi dan tanggung jawab dalam suatu hubungaan dan mekanisme kemitraan (partnership) yang disetujui secara bersama.

Co-management dalam mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang

(24)

8

Tabel 1 Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi

Topik Paradigma lama Paradigma baru

Tujuan - Hanya untuk tujuan konservasi semata - Nilai utamanya : wild life - About protection

- Mencakup tujuan konservasi dan ekonomi

- Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah, ekonomi dan budaya - Dikelola bersama masyarakat

setempat

- Mencakup juga nilai budaya dan wild life yang dilindungi - Also about restoration,

rehabilitation and socio-economic purposes

Pengelolaan - Oleh pemerintah pusat - Melibatkan para pihak yang berkepentingan ‗jaringan‘ (Protected Area Network) merupakan koridor jalur hijau Persepsi - Dipandang utamanya sebagai

asset nasional (milik

Pendanaan - Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer) pemerintah

- Dikelola oleh ilmuwan dan para ahli sumberdaya

Sumber : dimodifikasi dari IUCN dalam Purwanti 2008

(25)

juga terjadi di beberapa bagian Amerika Serikat tempat asal muasal pengelolaan eksklusif kawasan konservasi yang mulai bergeser menuju co-management. Peranserta masyarakat yang meluas dan tidak sekedar simbolik ternyata menunjukkan hasil yang baik dimana produktifitas tercapai tanpa menyampingkan kepentingan kelestarian lingkungan dan eksistensi masyarakat sekitar. Pemerintah di Negara India dan Nepal, berkeyakinan bahwa masyarakat berkemampuan, memiliki pengetahuan, dan kearifan yang handal untuk mengelola sumberdaya alam secara produktif dan lestari. Kolaborasi dengan masyarakat adalah merupakan kebutuhan dan keharusan, karena tujuan produksi dan pelestarian dapat dicapai secara lebih efektif dan pada saat yang sama tercipta suatu mekanisme resolusi konflik yang interaktif dan dialogis (Means et al. 2002).

Beberapa contoh co-management yang telah berhasil dilaksanakan dalam pengelolaan TN (disarikan dari Merrill dan Effendi 2001 dan Putro et al. 2012) diantaranya adalah:

Co-management di TN Bunaken, Sulawesi Utara yang wadahnya dikenal

dengan Dewan Pengelolaan TN Bunaken (DPTNB). Salah satu hasil rumusannya adalah penentuan tiket masuk TN Bunaken dan pendistribusian hasil pungutan tiket masuk tersebut yang diperkirakan sekitar Rp 750 juta per tahun. Pendistribusian tersebut yakni: 5 persen untuk dana pembangunan propinsi, 5 persen untuk pembiayaan pembangunan daerah-kota, 5 persen untuk pusat yang diperuntukkan untuk pembangunan KSDA dan ekosistemnya melalui Dephut cq. Ditjen PKA), dan 85 persen untuk dana pendukung pengelolaan TN Bunaken.

Co-management di TN Kutai, Kalimantan Timur yang dikenal dengan Mitra Kutai, berhasil memberikan kontribusi bantuan keuangan bagi pengelolaan TN Kutai melalui rencana kerja tahunan senilai US$ 100.000 – US$150.000 per tahun.

Co-management di TN Kayan Mentarang, Kalimantan Timur, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya TN yang secara legal dinyatakan sebagai TN Kolaboratif, dan mempresentasikan hubungan formal antara pemerintah dengan pemerintah kabupaten, serta perwakilan masyarakat adat dalam proses pengambilan kebijakannya. Implementasi pengelolaan kolaboratif TNKM adalah diperolehnya peta tata guna lahan 10 wilayah adat dan menjadi konsep awal zonasi, dilakukan devolusi pengelolaan kepada Badan Pengelola Tanah Ulen (BPTU), kesepakatan menyatukan zonasi versi negara dan versi masyarkat adat dan membangun kesepakatan mengenai tema pengelolaan TNKM.

Co-management di TN Gunung Halimun Salak, Jawa Barat dalam

(26)

10

Co-management di TN Bukit Duabelas, Jambi dalam usaha pelestarian

kehidupan Orang Rimba. Sejak tahun 2002, LSM WARSI, Balai TNBD, dan BKSDA Jambi memfasilitasi pembentukan lembaga kemandirian Orang Rimba. Capaian yang diperoleh adalah hak wilayah hidup Orang Rimba seluas 60.500 ha telah diakui, ―hompongan‖ (bentuk penataan ruang dan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforestri berbasis tanaman karet) sangat efektif untuk menahan tekanan perambahan dan menjadi sumber ekonomi orang rimba, dukungan riil dari pemda berupa pemberian fasilitas kartu sehat, bantuan bibit dan alat pertanian serta pembangunan wanatani untuk desa.

Co-management di Great Barrier Reef Marine Park, Australia yang dikelola oleh badan otorita khusus dengan mempekerjakan ratusan orang dan memperoleh lebih dari 1 (satu) juta Dollar Australia setiap tahunnya. Dalam pengelolaan TN ini Kepala TN selalu berkonsultasi dengan kelompok-kelompok yang berkepentingan termasuk masyarakat di sekitar TN yang kehidupannya tergantung dari sumberdaya TN tersebut. Selain itu workshop diantara para kelompok yang berkepentingan sering pula dilaksanakan untuk menyetujui keputusan pengelolaan yang spesifik seperti pengaturan peruntukan (zoning). Keberhasilan co-management tersebut akhirnya diikuti oleh Kakadu National Park dan Coburg National Park.

Berdasarkan contoh co-management yang telah berhasil dilakukan tersebut, dapat diketahui bahwa pengelolaan kolaborasi tidak dapat mencakup semua aspek kegiatan di dalam TN, namun hanya terbatas untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Berarti perlu dukungan bentuk pengelolaan lain agar dapat mengelola TN dengan efektif, bisa berupa pengelolaan oleh masyarakat, pemerintah maupun swasta.

Desentralisasi pengelolaan kawasan konservasi merupakan kebijakan pemerintah untuk mengefektifkan dan mendekatkan pengelolaan SDA ke pemerintah daerah dan masyarakat. Implementasi dari UU No.32 tahun 2004 tentang Pemda telah membuat adanya misinterpretasi atas kewenangan yang diberikan dalam pemanfaatan SDA. Desentralisasi kewenangan kepada daerah bukan merupakan kesempatan untuk meningkatkan pendapatan daerah, namun harus dipandang sebagai pemberian hak dan kewajiban untuk dilaksanakan secara bertanggungjawab dan demi kepentingan masyarakat. Namun, peralihan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi tidak selamanya berjalan lurus mulus. Ketegangan hubungan pusat dan daerah terjadi akibat keengganan penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat menyerahkan kewenangan kepada daerah dan egoisme kedaerahan yang berlebihan ditandai dengan terbitnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum yang berpotensi memicu konflik antara pusat dan daerah serta antara kelompok masyarakat menyangkut hak mereka untuk mendapatkan manfaat, akses dan tanggung jawab atas SDA termasuk hutan (Nurrochmat et al. 2006).

(27)

hirarki teritorial. Berarti dalam desentralisasi terjadi pelimpahan fungsi administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten sampai desa. Selanjutnya Nurrochmat 2006 mengkategorisasikan desentralisasi menjadi dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan privatisasi. Devolusi merupakan penyerahan sebagian wewenang/kekuasaan (power) dari pemerintah pusat kepada otoritas di daerah atau kepada masyarakat. Menurut Suharjito 2009, devolusi memberikan kekuasaan kepada unit kerja yang lebih rendah untuk merencanakan tujuan, mengambil keputusan secara independen, bahkan melakukan tindakan di luar apa yang sudah dirancang oleh pemerintah pusat, bukan hanya melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang sudah dirancang oleh pusat. Desentralisasi dan devolusi merupakan konsep yang menjadi perhatian dalam pengelolaan SDA karena kegagalan pengelolaan yang dilakukan pemerintah dan diharapkan menjadi angin segar dalam pelaksanaan pengelolaan SDA yang berkelanjutan.

Konsep Nilai dan Penilaian Sumberdaya Alam

Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987).

Fauzi (2004) konsep nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Di dalam konsep ekonomi menilai diartikan sebagai melakukan valuasi yang berhubungan dengan perubahan kesejahteraan masyarakat. Anna (2007) menyatakan pengertian nilai atau value bisa saja berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karenanya diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan ―price tag‖ (harga)

(28)

12

Kedapatan untuk dihitung (intangibility)

 Makanan Fungsi ekologis Biodiversity Habitat  Biomassa Pengendali banjir Konservasi habitat Spesies

langka

 Rekreasi Perlindungan badai  Kesehatan

Gambar 1 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis (Munasinghe 1994 yang diadaptasi dari Pearce 1992)

NET didasarkan atas penilaian preferensi manusia. Klasifikasi nilai menurut konsep NET terbagi atas nilai guna dan nilai bukan guna (nilai guna pasif). NET merupakan penjumlahan seluruh macam nilai guna, nilai pilihan dan nilai bukan guna (Pearce dan Turner 1990; Turner et al. 1994).

Pearce dan Moran (1994) menyatakan bahwa nilai total tersebut tidak benar-benar total karena: (1) tidak mencakup keseluruhan nilai, kecuali nilai ekonomi, (2) banyak ahli ekologi menyatakan bahwa nilai ekonomi total belum mencakup semua nilai ekonomi karena ada beberapa fungsi ekologis dasar yang bersifat sinergis sehingga nilainya lebih besar dan nilai fungsi secara tunggal. Hal ini sebelumnya juga telah diungkapkan oleh Manan (1985) dari sudut rimbawan, bahwa hutan mempunyai fungsi serbaguna, paling tidak sebagai penghasil kayu, pengatur tata air, tempat berlindung dan tumbuh kehidupan liar, penghasil pakan, dan tempat rekreasi. Namun sangat sulit menetapkan batas-batas fungsi tersebut secara tegas karena adanya interaksi antara fungsi-fungsi tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini sudah dicoba diminimalisir dengan melakukan penilaian dengan pendekatan sistem (Bahruni 2008).

Penilaian sumberdaya hutan merupakan studi tentang metodologi dan konsep penentuan nilai dari sumberdaya hutan. Seperti telah dijelaskan di muka, langkah pertama untuk untuk memperoleh nilai dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai jenis manfaat yang dihasilkan dari sumberdaya hutan. Keberadaan setiap jenis manfaat ini merupakan indikator adanya nilai yang m enjadi sasaran penilaian. Setiap indikator nilai (komponen sumberdaya hutan) ini dapat berupa barang hasil hutan, jasa dari fungsi ekosistem hutan maupun atribut yang melekat pada hutan

Nilai Ekonomi Total

Nilai Penggunaan Nilai Non Penggunaan

Nilai Nilai Nilai Pilihan Keberadaan Lain-lain Nilai Penggunaan

Langsung

Nilai Penggunaan Tidak Langsung

Nilai masa depan langsung maupun tak langsung

Nilai pengetahuan dan keadaan yang lestari Keuntungan yang

Bersifat Fungsional Hasil yang dapat

(29)

tersebut dalam hubungannya dengan sosial budaya masyarakat. Identifikasi manfaat dapat dilakukan dengan analisis fungsi yaitu menterjemahkan karakteristik ekosisitem ke dalam daftar barang dan jasa (De Groot et al. 2002). Ini berguna untuk melihat dan menentukan ketersediaan saat ini dan potensi ekosistem dalam konteks ekologi dan biofisik.

Langkah kedua dalam penilaian sumberdaya hutan ini adalah melakukan identifikasi kondisi biofisik hutan dan sosial budaya masyarakat karena proses pembentukan nilai sumberdaya hutan berdasarkan pada persepsi individu/ masyarakat dan kualitas serta kuantitas komponen sumberdaya hutan tersebut. Langkah selanjutnya adalah melakukan penilaian sumberdaya hutan melalui proses penilaian biofisik dan sosial budaya yaitu kuantifikasi setiap indikator nilai berupa barang hasil hutan, jasa fungsi ekosistem hutan serta atribut hutan dalam kaitannya dengan budaya setempat. Atas dasar kuantifikasi indikator nilai tersebut dilakukan penilaian ekonomi manfaat hutan, berdasarkan metode penilaian tertentu pada setiap klasifikasi nilai.

Menurut Pearce dan Moran (1994) pada umumnya metode penentuan nilai ekonomi sumber daya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yang mencakup beberapa teknik, yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung mencakup teknik-teknik yang mengupayakan memperoleh penilaian secara langsung dengan menggunakan percobaan dan survey. Teknik survey (kuesioner) terdiri atas dua tipe yaitu rangking (contingent ranking method) dan perolehan nilai, berupa kesediaan membayar (willingnes to pay, WTP) dan kesediaan untuk menerima kompensasi (willingness to accept, WTA).

Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi adalah kesediaan membayar dari individu untuk sumber daya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Pearce dan Moran 1994; Munasinghe 1994; Hufschmidt et al. 1983) atau kesediaan untuk menerima kompensasi akibat adanya kerusakan lingkungan di sekitarnya (Pearce dan Moran 1994; Hufschmidt et a.l 1983). Kesediaan membayar atau menerima, merefleksikan preferensi individu terhadap perubahan suatu lingkungan dari keadaan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1). Kesediaan membayar tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut (Pearce dan Moran 1994):

WTPi = f (Q1– Q0 Pown, Psub,i, Si, Ei) Dimana:

WTPi = kesediaan membayar rumah tangga ke-i

Pown = harga dari penggunaan sumber daya lingkungan

Psub = harga substitusi untuk penggunaan sumber daya lingkungan Si = karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke-i

Ei = galat acak

Kesediaan seseorang untuk membayar sejumlah barang menggambarkan manfaat marginal pada tingkat konsumsi tersebut. Dengan melihat jumlah yang dikonsumsi dan kesediaan membayar maka dapat dibuat kurva fungsi manfaat marginal barang atau jasa tersebut.

(30)

14

Metode kontingensi adalah yang paling populer dimana responden disurvei dan diminta kesediaan mereka untuk membayar (WTP), untuk perbaikan lingkungan atau untuk mencegah beberapa bentuk degradasi lingkungan (Mitchell dan Carson, 1989), yang kemudian disisipkan ke dalam kebijakan lingkungan.

Meskipun popularitas dan pengaruh penilaian kontingensi telah masuk dalam penentuan kebijakan kehutanan, perdebatan terus berlangsung sekitar teknis dan desain aspek metode. Keprihatinan mendasar lainnya yang berkaitan dengan bagaimana individu berpikir tentang lingkungan, dan kebutuhan untuk pendekatan yang berkelanjutan untuk pengambilan keputusan juga menyarankan bahwa penilaian kontingensi mungkin tidak dapat mengatasi beberapa kebutuhan evaluasi kehutanan modern.

Sebagai upaya meminimalisir masalah tersebut dicari alternatif dan metode pelengkap untuk meningkatkan evaluasi kebijakan lingkungan. Sagoff (1998), menyatakan bahwa pendekatan konstruktif, deliberatif dan diskursif bisa menyelesaikan masalah teknis yang rumit seperti yang terdapat dalam metode penilaian kontingensi. Sagoff (1998) menyarankan pembentukan Citizen Jury atau Konsensus Warga yang menekankan metode diskusi informasi, menuju konsensus berdasarkan kepentingan umum mungkin sangat berguna sebagai alternatif atau pelengkap penilaian kontingensi. Tonn et al. (1993) menyoroti topik khusus sebagai sarana untuk meningkatkan kredibilitas yang ada pada teknik penilaian lingkungan.

Berkenaan dengan urgensi penilaian, Nurrochmat (2006) mengemukakan bahwa penilaian SDH berguna sebagai dasar: (1) penyusunan Neraca SDH; (2) pembelian, penjualan, sewa, lelang lahan dan tegakan hutan; (3) peminjaman modal atau kredit, (4) ganti rugi kerusakan hutan (kebakaran, pencemaran lingkungan, dsb); (5) perencanaan dan studi kelayakan investasi publik dan privat dalam pengelolaan SDH; (6) penentuan pilihan tujuan pengelolaan ekosistem hutan pada setiap fungsi hutan; dan (7) perhitungan tariff (dana reboisasi, kompensasi, jaminan kerja, dsb).

Hasil penilaian yang dilakukan memberikan gambaran manfaat yang dihasilkan kawasan, namun masih bersifat potensi. Untuk menjadikan nilai ini menjadi nyata dan dapat menjadikan kawasan mandiri dalam hal pembiayaan maka perlu mekanisme pembiayaan. Powell et al. (2002) dan Landell-Mills dan Porras (2002) menyajikan tiga tipologi mekanisme pembiayaan sesuai dengan tingkat intervensi dan keterlibatan pemerintah, yaitu: skema penawaran swasta (self-organized), skema perdagangan dan skema pembayaran publik. Sementara itu IUCN (2000) dan De Groot et al. (2007) mengusulkan klasifikasi mekanisme pembiayaan berdasarkan sumber-sumber keuangan, yaitu: internasional, nasional, dan lokal (site). Kemungkinan lain untuk mengklasifikasikan mekanisme pembiayaan sesuai dengan jenis layanan yang diberikan ekosistem (Verweij, 2002).

Konsep Pemangku Kepentingan

(31)

mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek. Pemangku kepentingan juga mencakup kategori yang lebih samar dari ‗generasi masa depan‘, ‗ketertarikan nasional‘, dan ‗masyarakat yang lebih luas‘. Pemangku kepentingan menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari mereka sendiri.

Selanjutnya Fletcher et al. 2003 mengelompokkan pemangku kepentingan ke dalam beberapa kelompok, yaitu pemangku kepentingan primer (utama), pemangku kepentingan sekunder (pendukung), dan pemangku kepentingan kunci. Sementara Reed et al. 2009 mengelompokkan pemangku kepentingan berdasar pengaruh dan kepentingannya sebagai key players, context setter, subjects, dan

crowd. Key player merupakan pemangku kepentingan yang aktif karena memiliki

kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu kegiatan.

Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan, oleh karenanya dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau. Subjects

memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah walaupun mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada, namun dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan pemangku kepentingan lainnya. Crowd merupakan pemangku kepentingan yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.

Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki pemangku kepentingan untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan pemangku kepentingan dalam pencapaian output dan tujuan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Dalam suatu kegiatan/proyek/pengelolaan selalu terdapat banyak pemangku kepentingan. Bagaimana model pelibatan pemangku kepentingan selanjutnya harus dilihat lagi dengan kemampuan dari para pemangku kepentingan untuk saling mempengaruhi. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan konsep pengaruh dari Yukl (1994) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu kebijakan pengelolaan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di antara pemangku kepentingan yang terkait. Dimana key players harus optimal, terutama dalam memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter.

Besar kecilnya pengaruh pemangku kepentingan tergantung pada kekuatan yang dimilikinya. Yukl (1994) mengacu pada French & Raven (1959) membagi kekuatan dalam lima kategori berdasarkan sumber-sumbernya yaitu: reward power, coercive power, legitimate power, expert power dan referent power.

Reward power di mana orang yang ditargetkan menjadi patuh agar dapat memperoleh imbalan (reward) yang diyakini dimiliki oleh agen. Coercive power

(32)

16

Konsep Modal Sosial dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Putnam et al. 1993 merumuskan konsep modal sosial sebagai ―semua elemen organisasi sosial seperti kepercayaan, norma-norma, dan jaringan , yang meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memperlancar tindakan terkoordinasi‖. Tetapi Putnam 1993 kemudian merincinya lebih jauh sebagai seperangkat nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan yang mempermudah masyarakat bekerja sama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Definisi modal sosial yang dikemukan Putnam (1993) ini adalah berdasarkan fungsinya seperti juga Coleman (1988) dan Uphoff (1999). Coleman (1998) mendefinisikan modal sosial berdasarkan fungsinya, bukanlah suatu entitas tunggal tetapi terdiri dari sejumlah entitas dengan dua elemen yang sama yaitu: semua terdiri dari aspek struktur-struktur sosial dan memfasilitasi tindakan-tindakan antara orang perorang dalam struktur. Sementara Uphoff (1999) merinci modal sosial menjadi dua kategori yaitu bentuk struktural dan kognitif. Penelitian ini akan menggunakan konsep modal sosial dari Putnam (1993) karena penelitian ini lebih menitik beratkan pada kegiatan ekonomi dan pengelolaan sumberdaya alam.

Putnam (1993) mendefinisikan kepercayaan sebagai bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang didasari oleh perasaan ‗yakin‘, bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan saling mendukung. Tindakan saling mendukung disini diartikan paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam 1993). Kepercayaan sosial timbul dari kepercayaan yang timbul dan berkembang diantara individu-individu (Putnam et al. 1993). Kepercayaan sosial dapat mempengaruhi tahap awal kebijakan sumberdaya alam. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan individu untuk bertindak secara kolektif (Putnam et al. 1993) dan tingkat untuk bekerjasama secara sukarela yang dikembangkan antara mereka (Gachter et al. 2004). Berkaitan dengan sumberdaya alam, kepercayaan sosial mempengaruhi perilaku individu karena mengarah pada tindakan terhadap barang milik bersama (common good). Warga masyarakat dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang pandangan umum terhadap kegiatan lingkungan yang ada dalam komunitas mereka (Lubell, 2002) dan tingkat kerjasama antar individu untuk penyelesaian masalah kolektif (Bowles dan Gintis, 2002).

(33)

Jaringan sosial dapat dibagi pada hubungan formal (misalnya, partisipasi dalam organisasi) dan informal (misalnya, jaringan hubungan dengan keluarga dan teman) dengan pendiri juga termasuk partisipasi masyarakat (Beugelsdijk & Schaik 2005; Grootaert & van Bastelaer 2002). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan antara individu dalam komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun tingkat lebih tinggi. Jaringan hubungan sosial biasanya akan diwarnai oleh suatu tipologi khas sejalan dengan karakteristik dan orientasi kelompok. Pada kelompok sosial yang biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan (liniage), pengalaman-pengalaman sosial turun temurun (repeated social experiences), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi Ketuhanan (religious belief) cenderung memiliki kohesifitas yang tinggi, tetapi rentang jaringan maupun trust yang terbangun sangat sempit. Sebaliknya, pada kelompok yang dibangun atas dasar kesamaan orientasi dan tujuan dengan ciri pengelolaan organisasi yang lebih modern akan memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik dan memiliki rentang jaringan yang lebih luas. Grootaert et al. (2003) menyatakan bahwa hubungan atau jaringan sosial sebagaimana yang dijelaskan dalam modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga hal: Bonding social capital (atau keterkaitan horisontal); Bridging social capital (atau keterkaitan horisontal dengan pihak yang berbeda karakter); dan Linking social capital (atau keterkaitan vertikal).

Modal sosial melekat dalam asosiasi-asosiasi horizontal yang memiliki efek pada produktifitas komunitas, terciri pada jaringan-jaringan kelompok warga dan norma-norma sosial. Asumsinya, jaringan-jaringan dan norma-norma terasosiasi secara empiris dan berkonsekuensi penting memperlancar koordinasi, dan kerjasama untuk memperoleh manfaat mutual di antara anggota-anggota asosiasi itu. Putnam 1995 mendefinisikan modal sosial sebagai ―the collective value of all „social networks and the inclinations that arise from these networks to do things for each other”. Putnam percaya modal sosial dapat diukur dari besarnya kepercayaan dan timbal balik dalam suatu masyarakat atau di antara individu-individu.

Pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat atau komunal muncul ketika terdapat kesepakatan pemanfaatan bersama di antara anggotanya. Kesepakatan ini bisa terjadi karena terdapat interaksi secara regular dan berkesinambungan antara anggota masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya. Salah satu hal yang terpenting adalah bahwa aksi bersama hanya dimungkinkan jika sejumlah modal sosial tersedia di dalam suatu komunitas (Grootaert et al. 2003).

(34)

18

Interaksi secara regular dalam suatu kondisi sosial dapat mengarah kepada pembentukan institusi yang dapat berfungsi sebagai kendala, sehingga dapat menurunkan insentif bagi pelaku ekonomi untuk menjadi penumpang bebas (free rider).

Modal sosial atau khususnya jaringan, sesungguhnya menghasilkan eksternalitas. Dilihat dari eksternalitas yang dihasilkan, terdapat dua perspektif dalam memandang modal sosial (Birner & Wittmer 2000):

1 Perspektif aktor, yang diformulasikan oleh Bourdieu (1992), di mana modal sosial merupakan sumber daya yang dapat dimobilisasi oleh aktor individual karena keanggotaannya pada suatu jaringan eksklusif. Karena pembentukan jaringan menghasilkan eksternalitas terbatas, maka Dasgupta (2002) menyatakan bahwa modal sosial semacam ini merupakan aspek dari sumber daya manusia (human capital).

2 Perspektif masyarakat (society), seperti penelitian yang dilakukan oleh Putnam (1993), di mana modal sosial adalah barang publik (public good) yang dimiliki oleh organisasi dan jaringan horisontal dalam suatu masyarakat (Rosyadi et al. 2003). Dalam hal ini, modal sosial berkontribusi terhadap eksternalitas publik, dalam arti memberi dampak luas, maka modal sosial merupakan komponen ‗total faktor produktivitas‘ (total factor productivity) (Dasgupta 2002).

Analisis modal sosial dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan pemanfaatan SDA, modal sosial dapat berkontribusi pada pola pemanfaatan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi penggunanya, seperti pencemaran dan/atau produksi yang berlebih. Hasil penelitian mengenai modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Prasetiamartati et al. 2007) membuktikan bahwa modal sosial input yaitu rasa percaya dan modal sosial output berupa aksi bersama terbukti dapat mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan melalui aksi bersama pelarangan kegiatan penangkapan ikan yang merusak.

Penelitian Suharjito dan Saputro (2006) menunjukkan bahwa modal sosial masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul tergolong cukup kuat dalam pengelolaan sumberdaya pertanian-kehutanan yang diukur dari unsur-unsur modal sosial berupa kepercayaan (trust), aturan (rules) dan peranan (roles), dan jejaring sosial (social networks). Modal sosial ini dikombinasikan dengan modal manusia (human capital), modal sumberdaya alam (natural resources capital) dan teknologi dapat mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam (termasuk hutan) yang produktif, adil, dan berkelanjutan. Hutan kemiri di Kabupaten Maros terbangun sebagai wujud dari keterkaitan modal sosial mikro dan modal sosial makro dalam bentuk saling percaya (mutual trust) dan jaringan (networking) secara bersama-sama melahirkan tindakan terkoordinasi membangun hutan kemiri. Dominasi modal sosial mikro (pengakuan masyarakat terhadap hak penguasaan lahan) dalam pengelolaan hutan kemiri sangat kuat menyebabkan masyarakat secara berkelompok membangun hutan kemiri (Suyuti 2007).

Gambar

Gambar 3  Skema alur pemikiran penelitian
Tabel 3  Jenis dan sumber data penunjang yang digunakan dalam penelitian
Tabel 4  Metode dan macam nilai ekonomi yang dihitung
Tabel 5 Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh pemangku
+7

Referensi

Dokumen terkait

Belajar dari alasan tersebut, maka sebaiknya dilakukan sebuah inovasi pada media audio agar siswa tidak mudah merasa bosan dan kemudian cenderung melupakan materi pelajaran

Melalui apa yang dirasakan konsumen mengenai value atau nilai yang akan didapatkan dari produk air minum dalam kemasan botol kaca tersebut, maka. akan mempengaruhi keinginan

Berdasarkan hasil tes kemampuan literasi sains diperoleh rata-rata tertinggi yaitu 88,71 pada indikator keterampilan pemecahan masalah dengan menggunakan kemampuan

Pengertian komunikasi massa pada satu sisi adalah proses dimana organisasi media memproduksi dan menybarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain diartikan sebagai

Pada tahap implementasi ini akan menerapkan hasil dari tahap perancangan yang telah dilakukan dan nantinya dicocokan dengan proses pembuatan sistem informasi layanan surat

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan oleh dewan berpengaruh negatif pada kedua periode dengan ukuran pasar, kompetensi komite audit berpengaruh

Dengan perbandingan yang lebih kecil akan menyebabkan tingginya konsentrasi lignin dan terjadi pengendapan lignin pada pulp Perbandingan cairan pemasak terhadap

Dalam satu kajian yang dijalankan, dua individu X dan Y meminum larutan glukosa yang mempunyai isipadu dan kepekatan yang sama. Graf dalam Rajah 56