• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Modal Sosial

Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang pembangunan (Berutu, 2002). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi-potensi-potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan mereka.

Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.

Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu

natural capital, human capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial akan dapat mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi. Konsep modal sosial yang dijadikan fokus kajian, pertama kali dikemukakan oleh Coleman (Portes, 2000) yang mendefinisikannya sebagai aspek-aspek dari

struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Putnam dalam (Lubis, 2001) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat.

Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua arti berbeda, yakni modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti kolektif. Menurutnya seorang individu bisa juga memiliki suatu modal sosial yang berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat, juga memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya.

Putnam dalam Lubis (2001) mendefinisikan modal sosial mengacu pada organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial yang dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan.

Putnam dalam Lubis (2001) menemukan bahwa modal sosial berkorelasi positif dengan kehidupan demokrasi di negara Amerika Serikat. Norma-norma dan jaringan sosial yang disepakati bersama telah mempengaruhi kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas kinerja lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang telah tercipta tersebut menghasilkan baiknya mutu sekolah, pembangunan ekonomi yang pesat, penurunan tingkat kejahatan dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja pemerintahnya sendiri sebagai representasi dari komunitas masyarakat setempat.

Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas (1) modal yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja, sehingga terjadi kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggungjawab akan kemajuan bersama.

Sebagaimana dikatakan Jamaluddin Ancok, bahwa tanpa adanya kerukunan dan kerja sama yang sinergistik akan semakin sulit bagi berkembangnya ekonomi suatu masyarakat. Modal sosial secara umum dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (network) yang diikat antara lain oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai serta saling mendukung. Kedua, lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam interaksi sosial sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama untuk satu tujuan bersama di dalam grup dan organisasi.

Keberadaan kedua jenis modal sosial tersebut telah ada dalam masyarakat Indonesia dalam bentuk gotong royong dan solidaritas kolektif. Bila analisis dilanjutkan pada dimensi yang lebih dalam, modal sosial tersebut sesungguhnya juga dapat menciptakan ketahanan pangan yaitu berupa usaha mandiri dan solidaritas kolektif dalam menghadapi problem kemiskinan dan lemahnya ketahanan pangan yang dihadapi masyarakat tersebut. Inilah konsep yang selama ini kurang dipahami oleh berbagai introduksi kebijakan pembangunan yang selama ini ada.

Di era globalisasi (globalisation) dan perekonomian dunia yang pro pasar bebas (freemarket) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan

non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang oleh

Coleman (Portes, 2000). Para stakeholder yang bekerja di dalam sistem perekonomian semakin yakin bahwa modal tidak hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, dan mesin-mesin, akan tetapi juga berupa human

capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia.

Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan ketrampilan adalah ‘kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain’. Kemampuan ini akan menjadi modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan organisasi oleh Coleman (Portes, 2000). Oleh karena itu tidak salah apabila Bourdieu mengemukakan kritiknya terhadap terminologi modal (capital) di dalam ilmu ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) modal kultural (cultural capital), dan (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi, dikaitkan dengan kepemilikan alat-alat produksi. Modal kultural, terinstitusionalisasi dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban sosial.

Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul di permukaan karena para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bahwa faktor-faktor kultural dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional dan memiliki kepentingan diri (self interested)menjadi sesuatu yang given/dikesampingkan (Fukuyama, 2002).

Tingkat kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana kebudayaan membentuk seluruh aspek manusia, termasuk perilaku ekonomi dengan sejumlah cara yang kritis.

Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat kompleks tertancap dalam kebiasaan - kebiasaan serta aturan - aturan yang lebih luas. Oleh karenanya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas dari norma-norma, aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang bersama-sama membentuk masyarakat (Muller, 2002). dan organisasi (Coleman, 2009). Secara lebih komperehensif Burt (2002) mendefinsikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.

Fukuyama (2005) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (2005) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama.

Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (2009) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan

norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (2009) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.

Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti

trust (rasa saling mempercayai), ketimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.

2.1.1. Dimensi Modal Sosial

Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan

human capital (Fukuyama, 2005). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia. Investasi human capital kovensional adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan universitas, pelatihan menjadi seorang mekanik atau

programmer komputer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa).

Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan. Menurut Burt (2002), kemampuan berasosiasi ini sangat tergantung pada suatu kondisi dimana komunitas itu mau saling berbagi untuk mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Apabila titik temu etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok.

Bank Dunia (2005) meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama.

Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan ke seharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat.

Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999).

Demensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma, serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut

bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.

Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain.

Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.

Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telah dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai

sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya.

2.1.2. Tipologi Modal Sosial

Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial. Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji.

Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging

atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.

Dokumen terkait