PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR
PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KECAMATAN GAR0GA KABUPATEN
TAPANULI UTARA
TESIS
Oleh
RUDYANTO SINAGA
097003046/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K
O L A
H
P A
S C
A S A R JA
N
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR
PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KECAMATAN GAR0GA KABUPATEN
TAPANULI UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUDYANTO SINAGA
097003046/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA KABUPATEN TAPANULI UTARA
Nama Mahasiswa : Rudyanto Sinaga Nomor Pokok : 097003046
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, MS) Ketua
(Dr. Murni Daulay, SE. M.Si) (Kasyful Mahalli, SE. M.Si) Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr.lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof.Dr.Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 18 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MS
Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, M.Si
2. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
3. Drs. Rujiman, MA
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA
KABUPATEN TAPANULI UTARA
ABSTRAK
Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dimana telah didirikan 1 (satu) unit Sekolah Baru SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.
Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan partisipasi masyarakat Kecamatan Garoga dalam memberikan lokasi tanah dan bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk peran modal sosial. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis peran modal sosial terhadap pendidikan dan pengembangan wilayah. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif dan uji regresi sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial yang ditemukan dalam sektor pendidikan adalah : 1) saling percaya (kejujuran dan kemurahan hati). 2) jaringan sosial (partisipasi, solidaritas dan kerjasama) dan 3) pranata sosial. Disamping itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Batak merupakan sarana yang efektif untuk menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan sekolah dan pendidikan yang berkualitas, sehingga ketergantungan akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Peran modal sosial secara nyata memberi pengaruh positif signifikan terhadap pengembangan wilayah,
THE ROLE OF SOCIAL CAPITAL IN PROMOTING EDUCATION SECTOR AND REGIONAL DEVELOPMENT AT GAROGA SUB REGENCY IN NORTH
TAPANULI REGENCY
ABSTRACT
In improving human resources in North Tapanuli, people at Garoga sub regency, at Saribu Gonting Garoga Village and Parinsoran Village each has given grants of land area of 2 ha site free of charge to the Government of North Tapanuli, which has been established one unit New High School in 2007 at Saribu Gonting Garoga village and one unit Junior High School in Parinsoran Village in 2008 which funds come from the state budget to work with self-management system involving the local community.
Construction of school buildings carried out by local people with relatively fewer wages than the wages of an ordinary construction worker. Cooperation and community participation in providing location Garoga sub regency land and worked together in the construction of school buildings suggests a role of social capital. The purpose of this study is to analyze the role of social capital to education and regional development. The research method using descriptive analysis and simple regression test.
The results showed that the role of social capital found in the education sector are: 1) mutual trust (honesty and generosity). 2) social networks (participation, solidarity and cooperation) and 3) social institutions. In addition, cultural values and local wisdom Batak society is an effective means to cultivate self-supporting community in school development and quality education, so that dependence on the government's role in development will be minor and will be able to create a community self-reliance. The role of social capital is significantly positive influence significantly to the development of the region,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan. Tesis yang berjudul
“Peran Modal Sosial dalam Mendorong Sektor Pendidikan dan Pengembangan
Wilayah di Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara” merupakan syarat dalam
memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Pedesaan (PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini merupakan sebuah karya yang mendapat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu tidak lupa penyusun sampaikan ucapan terima kasih
yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MS selaku Ketua Komisi
Pembimbing dan Ibu Dr. Murni Daulay, SE.M.Si., dan Bapak Kasyful Mahalli,
S.E. M.Si., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberi saran,
dukungan, pengetahuan dan bimbingan kepada penyusun hingga tesis ini selesai.
Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku mantan Ketua Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak/Ibu Dosen Pembanding yang telah memberikan banyak masukan dan
5. Seluruh Dosen Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan
Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala
keikhlasannya dalam memberikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya.
6. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam hal Bappeda Provinsi Sumatera
Utara yang telah memberikan dukungan pembiayaan melalui program Beasiswa
bagi Staf Perencana Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara
7. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dalam hal ini Bupati Tapanuli Utara
Bapak Torang Lumbantobing, Sekdakab Tapanuli Utara Bapak Drs. Sanggam
Hutagalung, MM, Kepala Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara, Drs. Parsaoran
Hutagalung dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara Drs.
Joskar, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti program pendidikan
pascasarjana dengan memberikan izin belajar serta kelonggaran waktu kepada
penulis dalam pekerjaan guna mengikuti perkuliahan
8. Seluruh mahasiswa PWD Kelas Khusus Bappeda Angkatan 2009 yang sudah
seperti satu komunitas keluarga serta staf administrasi atas keramah tamahan,
bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama ini.
9. Isteriku tercinta Herta Ulima Manurung dan anak-anak tersayang yang selama
ini dengan penuh kesabaran telah memberi dukungan dan semangat kepada
penyusun.
10. Ibunda tersayang Rumata Hutauruk yang juga telah banyak membantu dalam
memberikan semangat moril dan material serta doa
11. Saudara-saudaraku, Muller Tambunan/kel, Apet Sipahutar/kel dan Tagor
Sirait/kel yang juga telah banyak memberikan bantuan moril dan material
sehingga penulis lebih semangat dalam menyelesaikan pendidikan
12. Keluargaku dari pihak Istri, Mertua serta abang ipar dan kakak ipar yang juga
Penyusun menyadari bahwa tesis yang dikerjakan sebatas kemampuan ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan sehat,
saran dan masukan dari semua pihak. Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi semua kalangan.
Medan, Agustus 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Rudyanto Sinaga lahir di Tarutung pada tanggal 5 Mei 1970, dari Ayah Herry
Sinaga (alm) dan Ibunda Rumata Hutauruk, anak ke-3 dari 5 bersaudara dengan
saudara Parlindungan Sinaga, Margaretha Sinaga, Taruli Megawaty Sinaga dan
Robertha Sinaga.
Menyelesaikan pendidikan pada SD Nomor 174530 Siambolas Kecamatan
Siborongborong tahun 1983, SMP Negeri 3 Siborongborong pada tahun 1986 dan
SMA Negeri Siborongborong tahun 1989. Meraih gelar Sarjana Ekonomi
(Manajemen) di Universitas Sisingamangaraja Tapanuli pada tahun 1999.
Menikah pada bulan September 2001 dengan istri tercinta Herta Ulima
Manurung, A.Md.Keb., dan telah dikarunia 3 orang anak yang cantik dan ganteng
yaitu Celindita Yemima Sinaga, Jens Jeremias Sinaga dan Lidya Juliana Sinaga.
Pada tahun 1991 menerima SK sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil pada
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dan ditempatkan pada Kantor Departemen
Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara.
Pada tahun 2009 mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
di Sekolah Pascasarjana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD)
Universitas Sumatera Utara Medan. Sampai saat ini masih aktif sebagai Pegawai
DAFTAR ISI
2.8. Modal Sosial dalam Pengembangan Wilayah ... 32
2.9. Penelitian Sebelumnya ... 36
2.11. Hipotesis ... 39
BAB III METODE PENELITIAN ... 40
3.1. Lokasi Penelitian ... 40
3.2. Populasi dan Sampel ... 43
3.3. Teknik Pengambilan Sampel ... 43
3.4. Jenis dan Sumber Data ... 44
3.5. Teknik Analisis Data ... 44
3.6. Definisi Operasional ... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Utara ... 46
4.2. Gambaran Umum Kecamatan Garoga ... 52
4.3. Peran Modal Sosial terhadap Pendidikan ... 57
4.4. Peran Modal Sosial terhadap Pengembangan Wilayah ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
5.1. Kesimpulan ... 77
5.2. Saran ... 78
DAFTAR TABEL
Populasi dan Sampel Responden ………...
Luas Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Berdasarkan Tingkat Ketinggian di Atas Permukaan Laut ……….
Luas Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Berdasarkan Tingkat Kemiringan/Lereng Tanah ………
Banyaknya Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Tapanuli Utara ………..
Angka Indeks Kemiskinan per Kecamatan di Kabupaten
Tapanuli Utara ………...
Banyaknya Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Garoga Tahun 2009 …..
Jumlah Sekolah Menurut Desa dan Jenjang Sekolah di
Kecamatan Garoga Tahun 2010 ………
Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang dan Putus Sekolah Siswa SD, SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2006/2007 ………..
Jumlah Lulusan, Siswa Mengulang dan Putus Sekolah Siswa SD, SMP dan SMA Tahun Pelajaran 2009/2010 ………..
Tanggapan Masyarakat tentang Saling Percaya Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………...
Tanggapan Masyarakat tentang Kejujuran Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………...
Tanggapan Masyarakat tentang Kemurahan Hati Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah
4.12.
Tanggapan Masyarakat tentang Partisipasi Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………....
Tanggapan Masyarakat tentang Solidaritas Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………....
Tanggapan Masyarakat tentang Kerjasama Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga……….
Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-nilai Agama Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah
Kecamatan Garoga ……….
Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah
Kecamatan Garoga ……….
Tanggapan Masyarakat tentang Norma-norma Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga ………
Tanggapan Masyarakat tentang Kearifan Lokal Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah
Kecamatan Garoga ……….
Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa Bila Ada Sekolah yang Rusak di Daerah Kecamatan Garoga ……….
Tanggapan Masyarakat tentang Keinginan Masyarakat Desa dalam Memajukan Wilayahnya di Sektor Pendidikan …………..
Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa dapat Meningkatkan Pendidikan di Kecamatan Garoga ………
Tanggapan Responden tentang Modal Sosial pada Pembangunan Pendidikan ……….
Hasil Analisis Regresi Sederhana ………..
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1.
3.1.
4.1.
4.2.
4.3.
Kerangka Pemikiran ………..………
Peta Lokasi Penelitian ………..
Peta Administrasi Kabupaten Tapanuli Utara ………..
Peta Administrasi Kecamatan Garoga ………..
Rangkuman Hasil Wawancara dengan Responden ………..
39
42
47
53
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1.
2.
3.
4
5
Kuesiner Penelitian ………...
Tabulasi Data ………
Tabulasi Data Interval ………..
Hasil Analisis Regresi Linier ………
Dokumentasi Penelitian ………
82
87
89
92
PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDORONG SEKTOR PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH DI KECAMATAN GAROGA
KABUPATEN TAPANULI UTARA
ABSTRAK
Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, dimana telah didirikan 1 (satu) unit Sekolah Baru SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.
Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan partisipasi masyarakat Kecamatan Garoga dalam memberikan lokasi tanah dan bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu bentuk peran modal sosial. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis peran modal sosial terhadap pendidikan dan pengembangan wilayah. Metode penelitian menggunakan analisis deskriptif dan uji regresi sederhana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran modal sosial yang ditemukan dalam sektor pendidikan adalah : 1) saling percaya (kejujuran dan kemurahan hati). 2) jaringan sosial (partisipasi, solidaritas dan kerjasama) dan 3) pranata sosial. Disamping itu, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Batak merupakan sarana yang efektif untuk menumbuh kembangkan keswadayaan masyarakat dalam pembangunan sekolah dan pendidikan yang berkualitas, sehingga ketergantungan akan peran pemerintah dalam pembangunan akan semakin berkurang dan akan mampu menciptakan kemandirian masyarakat. Peran modal sosial secara nyata memberi pengaruh positif signifikan terhadap pengembangan wilayah,
THE ROLE OF SOCIAL CAPITAL IN PROMOTING EDUCATION SECTOR AND REGIONAL DEVELOPMENT AT GAROGA SUB REGENCY IN NORTH
TAPANULI REGENCY
ABSTRACT
In improving human resources in North Tapanuli, people at Garoga sub regency, at Saribu Gonting Garoga Village and Parinsoran Village each has given grants of land area of 2 ha site free of charge to the Government of North Tapanuli, which has been established one unit New High School in 2007 at Saribu Gonting Garoga village and one unit Junior High School in Parinsoran Village in 2008 which funds come from the state budget to work with self-management system involving the local community.
Construction of school buildings carried out by local people with relatively fewer wages than the wages of an ordinary construction worker. Cooperation and community participation in providing location Garoga sub regency land and worked together in the construction of school buildings suggests a role of social capital. The purpose of this study is to analyze the role of social capital to education and regional development. The research method using descriptive analysis and simple regression test.
The results showed that the role of social capital found in the education sector are: 1) mutual trust (honesty and generosity). 2) social networks (participation, solidarity and cooperation) and 3) social institutions. In addition, cultural values and local wisdom Batak society is an effective means to cultivate self-supporting community in school development and quality education, so that dependence on the government's role in development will be minor and will be able to create a community self-reliance. The role of social capital is significantly positive influence significantly to the development of the region,
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu proses terencana dilakukan oleh golongan
tertentu dengan tujuan tertentu seperti meningkatkan kesejahteraan, menciptakan
perdamaian. Ciri yang paling mendasar dalam pembangunan yakni direncanakan dan
adanya campur tangan dari pihak tertentu. Kalau dalam negara pihak yang merancang
konsep, melaksanakan, intervensi terhadap pembangunan yakni Pemerintah dengan
objek pembangunan masyarakat.
Pembangunan selama ini, modal ekonomi sudah banyak yang diinvestasikan
bangsa ini baik, natural resources maupun capital resources. Namun hasilnya tidak
optimal. Bahkan, return on invesment-nya tidak memadai melihat kondisi ini, ada
sebuah keyakinan bahwa bangsa ini masih memerlukan modal lain yaitu modal
manusia dan modal sosial. Dalam konteks modal manusia adalah mengoptimalkan
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini
pendidikan merupakan proiritas, di mana pendidikan masih diyakini salah satu media
dalam mencerdaskan sebuah bangsa. Melalui pendidikan yang holistik, Indonesia
sebagai suatu bangsa akan mampu dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas bangsa ini tidak akan
Selain itu pendidikan juga mampu membangun kesadaran akan hakekat
pembangunan modal sosial. Negara-negara yang yang memiki modal sosial yang kuat
terbukti sangat mementingkan pendidikan bagi rakyatnya. Selanjutnya, modal sosial
yang baik akan mendukung pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pembanguan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan
partisipasi masyarakat sehingga bersifat demokratis dan sesuai dengan issu politik
global dalam pembangunan. Badaruddin (2008) menyebutkan bahwa sebagai
makhluk sosial, setiap masyarakat atau komunitas seharusnya memiliki modal sosial,
tentu dengan derajat modal sosial yang berbeda antara satu masyarakat (komunitas)
dengan satu masyarakat (komunitas) yang lainnya.
Membangun pendidikan berkualitas sangat berperan besar dalam membentuk
kualitas individu ataupun masyarakat dan bangsa secara keseluruhan. Dalam ruang ini
pendidikan perlu didudukkan sebagai sebuah nilai yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Jika nilai pengetahuan menjadi dominan dalam setiap gerak masyarakat,
dengan sendirinya masyarakat akan termotivasi dalam menuntut dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Bila keinginan untuk mendapatkan pengetahuan
demikian tinggi di masyarakat, akan berakibat pada motivasi anak untuk memasuki
lembaga pendidikan dengan bekal, keinginan untuk mengetahui yang mengakar.
Disisi lain, membangun motivasi guru sebagai pendidik untuk terpanggil sebagai
media dalam proses pendidikan.
Dahulu proses pendidikan sangat melibatkan peran dari masyarakat mulai dari
proses pendirian gedung, penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung, pemberian
masyarakat secara bergantian mengolah kebun atau ladang yang hasilnya secara rutin
digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan. Apabila terjadi kerusakan pada
bangunan sekolah atau terjadi sarana pendukung yang belum tersedia, maka
masyarakat sekitar lokasi sekolah bergotong-royong memberikan bantuan yang
diperlukan untuk memastikan bahwa sekolah tersebut bisa berjalan sebagaimana
mestinya.
Namun demikian, proses pembangunan selama ini tampaknya telah
menyebabkan pemisahan peran serta masyarakat atas tanggung jawab dalam
penyelenggaraan proses pendidikan dan kemudian diambil alih oleh pemerintah.
Akibatnya ketika sekolah mengalami masalah, masyarakat sekitar mengabaikan
masalah tersebut karena merasa bukan tanggung jawab mereka lagi. Kondisi
semacam ini harus diubah total. Masyarakat setempat harus ikut bertanggung jawab
atas proses pendidikan dan penyelenggaraan sekolah yang berlangsung di sekitar
mereka.
Strategi kebijakan pembangunan pemerintah harus diarahkan bagaimana
modal sosial masyarakat harus ditingkatkan, karena mengingat kekayaan alam yang
terus dieskploitasi akan habis pada suatu saat, maka penyiapan secara dini untuk
membangun karakter masyarakatnya harus dilakukan segera. Kualitas sumber daya
manusia yang berkarakter, mempunyai spirit kerja tinggi, mandiri, adalah bekal yang
membawa kejayaan bangsa di masa depan. Spirit budaya bangsa seperti ini tidak akan
Pendidikan yang berkualitas di Indonesia hanya dapat diwujudkan, jika semua
elemen bangsa, khususnya pemerintah, masyarakat, swasta secara sadar
menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, hal ini beralasan dengan sektor
pendidikan memperoleh anggaran 20% dari anggaran pendapatan belanja Negara
(APBN).
Dalam hal ini yang paling penting adalah bagaimana menyusun prioritas
penggunaan anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya sekedar
bangunan fisik yang kurang berguna, atau bahkan menjadi terbuang percuma karena
tidak didasarkan pada kebutuhan yang nyata bagi rakyat. Hal terpenting yang harus
disadari adalah bagaimana pembangunan modal sosial (sosial capital), sebagai kunci
utama bagi pembangunan berkelanjutan, dapat sepenuhnya dilaksanakan, sehingga
tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak bukti menunjukkan bahwa
masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang modal sosialnya tinggi, yaitu
tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis, saling memberi, ada kebersamaan
dan saling percaya serta terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal yang mirip dilontarkan oleh Francis Fukuyama, yang
memfokuskan kepada ciri budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan
dalam persaingan global. Dalam bukunya Fukuyama percaya bahwa keunggulan
suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad ke-21, adalah ditentukan
oleh faktor sosial capital (modal sosial) yang tinggi, yaitu high trust society. Negara
yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa
saling memberi. Selanjutnya dikatakan bahwa hal ini bisa terwujud kalau
masing-masing individu dan golongan masyarakat menjunjung tinggi rasa saling hormat,
kebersamaan, toleransi, kejujuran dan menjalankan kewajibannya.
Dalam suatu pembangunan sosial, modal sosial (sosial capital) adalah salah
satu faktor penting yang menentukan pembangunan pendidikan masyarakat. Daryanto
(2004) menyatakan bahwa pembentukan modal sosial dapat menyumbang pada
pembangunan pendidikan karena adanya jaringan (networks), norma (norms), dan
kepercayaan (trust) didalamnya yang menjadi kolaborasi (koordinasi dan kooperasi)
sosial untuk kepentingan bersama.
Kabupaten Tapanuli Utara secara geografis didiami suku batak (homogen)
yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal. Dengan kearifan lokal ini diharapkan
bagaimana Pemerintah Kabupaten dapat menuangkannya dalam strategi kebijakannya
dalam bidang pendidikan dan pembangunan masyarakat lainnya, yang terfokus dalam
meningkatkan modal sosial masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara.
Pendidikan merupakan sektor yang sangat menentukan dalam meningkatkan
sumber daya manusia (SDM). Dengan SDM yang ada baik dari segi kualitas dan
kuantitas yang tinggi diharapkan menjadi motor penggerak dan pelaksana
pembangunan di Kabupaten Tapanuli Utara. Dalam mewujudkannya indikator dari
keberhasilan sektor pendidikan salah satunya dapat dilihat dari peningkatan angka
partisipasi sekolah dari tahun ke tahun. Peningkatan ini harus didukung oleh
Untuk menjawab peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten
Tapanuli Utara, khususnya di Kecamatan Garoga, Pemerintah Kabupaten Tapanuli
Utara telah mendirikan SD/MI sebanyak 29 unit, SMP/MTs sebanyak 6 unit dan
SMA sebanyak 2 unit.
Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara merupakan indikasi yang
sangat nyata sebagai upaya Pemerintah Indonesia dalam peningkatan mutu
sumberdaya manusia agar mampu bersaing dalam era keterbukaan dan globalisasi.
Dalam meningkatkan sumber daya manusia di Kabupaten Tapanuli Utara, masyarakat
di Kecamatan Garoga Desa Saribu Gonting Garoga dan Desa Parinsoran
masing-masing telah memberikan hibah lokasi tanah seluas 2 ha secara cuma-cuma kepada
Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, untuk mendirikan 1 (satu) Unit Sekolah Baru
SMA tahun 2007 di Desa Saribu Gonting Garoga dan tahun 2008 1 (satu) unit
Sekolah Baru SMP di Desa Parinsoran, yang dananya berasal dari APBN dengan
pekerjaan sistem swakelola dengan melibatkan masyarakat setempat.
Pembangunan gedung sekolah dilakukan oleh masyarakat setempat dengan
upah relatif lebih sedikit dari upah biasa seorang pekerja bangunan. Kerjasama dan
bergotong royong dalam pembangunan gedung sekolah menunjukkan adanya suatu
bentuk peran modal sosial.
I.2. Perumusan Masalah
Untuk mendudukkan modal sosial sebagai pilar dalam mendorong sektor
pendidikan dalam konteks pengembangan wilayah di Kabupaten Tapanuli Utara,
maka disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana peran modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan di Kecamatan
Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.
2. Bagaimana peran modal sosial dalam pengembangan wilayah di Kecamatan
Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.
I.3. Tujuan Penelitian.
1. Untuk menganalisis peran modal sosial dalam mendorong sektor pendidikan di
Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.
2. Untuk menganalisis peran modal sosial dalam pengembangan wilayah di
Kecamatan Garoga Kabupaten Tapanuli Utara.
I.4. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis penelitian ini berkaitan dengan studi tentang modal sosial yang
dimiliki oleh perkumpulan adat/budaya lokal di Kabupaten Tapanuli Utara.
Diharapkan penelitian ini bermanfaat dalam memberikan kontribusi terhadap
2. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atau
sumbangan dalam bentuk data-data yang dapat digunakan bagi kajian-kajian atau
penelitian yang berkaitan.
3. Bagi peneliti hasil penelitian diharapkan dapat memperdalam dan memperkaya
wawasan dan pengetahuan khususnya tentang modal sosial dalam mendorong
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Modal Sosial
Semua kelompok masyarakat (suku bangsa) di Indonesia pada hakekatnya
mempunyai potensi-potensi sosial budaya yang kondusif dan dapat menunjang
pembangunan (Berutu, 2002). Potensi ini terkadang terlupakan begitu saja oleh
kelompok masyarakat sehingga tidak dapat difungsionalisasikan untuk tujuan-tujuan
tertentu. Tetapi banyak juga kelompok masyarakat yang menyadari akan
potensi-potensi sosial budaya yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi-potensi-potensi tersebut dapat
dimanfaatkan secara arif bagi keperluan kelompok masyarakat itu sendiri. Salah satu
potensi sosial budaya tersebut adalah modal sosial. Secara sederhana modal sosial
merupakan kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam
memperjuangkan tujuan mereka.
Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh
masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial ini memberi kekuatan atau daya
dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat.
Sebenarnya dalam kehidupan manusia dikenal beberapa jenis modal, yaitu
natural capital, human capital, physical capital dan financial capital. Modal sosial
akan dapat mendorong keempat modal di atas dapat digunakan lebih optimal lagi.
Konsep modal sosial yang dijadikan fokus kajian, pertama kali dikemukakan
struktur hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan
nilai-nilai baru. Putnam dalam (Lubis, 2001) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut
mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust),
norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan
efisiensi dalam suatu masyarakat.
Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua
arti berbeda, yakni modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti
kolektif. Menurutnya seorang individu bisa juga memiliki suatu modal sosial yang
berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat, juga
memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya.
Putnam dalam Lubis (2001) mendefinisikan modal sosial mengacu pada
organisasi sosial dengan jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial yang
dapat menjembatani terciptanya kerjasama dalam komunitas sehingga terjalin
kerjasama yang saling menguntungkan.
Putnam dalam Lubis (2001) menemukan bahwa modal sosial berkorelasi
positif dengan kehidupan demokrasi di negara Amerika Serikat. Norma-norma dan
jaringan sosial yang disepakati bersama telah mempengaruhi kualitas kehidupan
masyarakat dan kualitas kinerja lembaga-lembaga sosial. Hubungan sosial yang telah
tercipta tersebut menghasilkan baiknya mutu sekolah, pembangunan ekonomi yang
pesat, penurunan tingkat kejahatan dan bahkan berpengaruh terhadap kinerja
Dalam pandangan ilmu ekonomi, modal adalah segala sesuatu yang dapat
menguntungkan atau menghasilkan. Modal itu sendiri dapat dibedakan atas (1) modal
yang berbentuk material seperti uang, gedung atau barang; (2) modal budaya dalam
bentuk kualitas pendidikan; kearifan budaya lokal; dan (3) modal sosial dalam bentuk
kebersamaan, kewajiban sosial yang diinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan
bersama, peran, wewenang, tanggungjawab, sistem penghargaan dan keterikatan
lainnya yang menghasilkan tindakan kolektif. Modal sosial menjadi perekat bagi
setiap individu, dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaring kerja, sehingga terjadi
kerjasama yang saling menguntungkan, untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial
juga dipahami sebagai pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki bersama oleh
komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok individu
melakukan satu kegiatan yang produktif. Menurut Lesser (2000), modal sosial ini
sangat penting bagi komunitas karena (1) memberikan kemudahan dalam mengakses
informasi bagi anggota komunitas; (2) menjadi media pembagian kekuasaan dalam
komunitas; (3) mengembangkan solidaritas; (4) memungkinkan mobilisasi sumber
daya komunitas; (5) memungkinkan pencapaian bersama; dan (6) membentuk
perilaku kebersamaan dan berorganisasi komunitas. Modal sosial merupakan suatu
komitmen dari setiap individu untuk saling terbuka, saling percaya, memberikan
kewenangan bagi setiap orang yang dipilihnya untuk berperan sesuai dengan
tanggungjawabnya. Sarana ini menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan
Sebagaimana dikatakan Jamaluddin Ancok, bahwa tanpa adanya kerukunan
dan kerja sama yang sinergistik akan semakin sulit bagi berkembangnya ekonomi
suatu masyarakat. Modal sosial secara umum dapat dikategorikan dalam dua
kelompok. Pertama, yang menekankan pada jaringan hubungan sosial (network) yang
diikat antara lain oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan
kesamaan nilai serta saling mendukung. Kedua, lebih menekankan pada karakteristik
(traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam
interaksi sosial sebagai kemampuan orang untuk bekerja bersama untuk satu tujuan
bersama di dalam grup dan organisasi.
Keberadaan kedua jenis modal sosial tersebut telah ada dalam masyarakat
Indonesia dalam bentuk gotong royong dan solidaritas kolektif. Bila analisis
dilanjutkan pada dimensi yang lebih dalam, modal sosial tersebut sesungguhnya juga
dapat menciptakan ketahanan pangan yaitu berupa usaha mandiri dan solidaritas
kolektif dalam menghadapi problem kemiskinan dan lemahnya ketahanan pangan
yang dihadapi masyarakat tersebut. Inilah konsep yang selama ini kurang dipahami
oleh berbagai introduksi kebijakan pembangunan yang selama ini ada.
Di era globalisasi (globalisation) dan perekonomian dunia yang pro pasar
bebas (freemarket) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan
non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang oleh
Coleman (Portes, 2000). Para stakeholder yang bekerja di dalam sistem
perekonomian semakin yakin bahwa modal tidak hanya berwujud alat-alat produksi
capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human
capital, yaitu ‘pengetahuan’ dan ‘ketrampilan’ manusia.
Kandungan lain dari human capital selain pengetahun dan ketrampilan adalah
‘kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain’.
Kemampuan ini akan menjadi modal penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi
akan tetapi juga bagi setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Modal yang demikian
ini disebut dengan ‘modal sosial’ (social capital), yaitu kemampuan masyarakat
untuk bekerja bersama demi mencapai tujuan bersama dalam suatu kelompok dan
organisasi oleh Coleman (Portes, 2000). Oleh karena itu tidak salah apabila Bourdieu
mengemukakan kritiknya terhadap terminologi modal (capital) di dalam ilmu
ekonomi konvensional. Dinyatakannya modal bukan hanya sekedar alat-alat
produksi, akan tetapi memiliki pengertian yang lebih luas dan dapat diklasifikasikan
kedalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a) modal ekonomi (economic capital), (b) modal
kultural (cultural capital), dan (c) modal sosial (social capital). Modal ekonomi,
dikaitkan dengan kepemilikan alat-alat produksi. Modal kultural, terinstitusionalisasi
dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Modal sosial, terdiri dari kewajiban - kewajiban
sosial.
Sejumlah kejanggalan dan kegagalan tersebut muncul di permukaan karena
para ekonom penganut mazab neo-klasik menganggap bahwa faktor-faktor kultural
dari perilaku (behavior) manusia sebagai makluk rasional dan memiliki kepentingan
Tingkat kehidupan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, dimana
kebudayaan membentuk seluruh aspek manusia, termasuk perilaku ekonomi dengan
sejumlah cara yang kritis.
Ditegaskan oleh Smith bahwa motivasi ekonomi sebagai sesuatu yang sangat
kompleks tertancap dalam kebiasaan - kebiasaan serta aturan - aturan yang lebih luas.
Oleh karenanya aktivitas ekonomi merepresentasikan bagian yang krusial dari
kehidupan sosial dan diikat bersama oleh varietas yang luas dari norma-norma,
aturan-aturan, kewajiban-kewajiban moral, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang
bersama-sama membentuk masyarakat (Muller, 2002). dan organisasi (Coleman,
2009). Secara lebih komperehensif Burt (2002) mendefinsikan, modal sosial adalah
kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan
ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.
Fukuyama (2005) mendifinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai
atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu
kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox
(2005) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkian proses hubungan antar
manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang
memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan
dan kebajikan bersama.
Sejalan dengan Fukuyama dan Cox, Partha dan Ismail S. (2009)
norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat
dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga
kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow
(2009) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat mendorong kemampuan dan
kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi
besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Adapun menurut Cohen dan Prusak L. (2001), modal sosial adalah sebagai
setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling
pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang
mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat
dilakukan secara efisien dan efektif. Senada dengan Cohen dan Prusak L., Hasbullah
(2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan
kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih
baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti
trust (rasa saling mempercayai), ketimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu
masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
2.1.1. Dimensi Modal Sosial
Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan
human capital (Fukuyama, 2005). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan
‘ketrampilan’ manusia. Investasi human capital kovensional adalah dalam bentuk
programmer komputer, atau menyelenggarakan pendidikan yang tepat lainnya.
Sedangkan modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di
dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat
dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan
juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa).
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme - mekanisme kultural seperti
agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Modal sosial dibutuhkan
untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam
kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan
terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya sekaligus
mengadopsi kebajikan-kebajikan. Menurut Burt (2002), kemampuan berasosiasi ini
sangat tergantung pada suatu kondisi dimana komunitas itu mau saling berbagi untuk
mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama. Apabila titik temu
etis-normatif ini diketemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual
akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok.
Bank Dunia (2005) meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang
merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan
norma-norma yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.
Modal sosial bukanlah sekedar deretan jumlah institusi atau kelompok yang
menopang (underpinning) kehidupan sosial, melainkan dengan spektrum yang lebih
luas. Yaitu sebagai perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok
Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya
berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan ke
seharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena itu Adler dan
Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari
keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan
keuntungan-keuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam
masyarakat.
Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang membuat
masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta
didalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi
(Dasgupta dan Serageldin, 1999).
Demensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial dan jaringan sosial
di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial,
menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan
norma-norma, serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut
(Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas
menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani
sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal
sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan
oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan
terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam
bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi
pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka
dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan
penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki
kualitas hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus
menerus. Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat
senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan
bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku, serta berhubungan atau membangun
jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan roh modal sosial antara lain:
sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan
menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan
norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah
kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam
mempertahankan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan
kreasi dan ide-ide baru. Inilah jati diri modal sosial yang sebenarnya.
Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telah dari modal
sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama
membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut
diwarnai oleh suatu pola inter relasi yang timbal balik dan saling menguntungkan
sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh
semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip sikap yang
partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling
percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mendukungnya.
2.1.2. Tipologi Modal Sosial
Mereka yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya
tertarik untuk mengkaji kerekatan hubungan sosial dimana masyarakat terlibat
didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan
sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial.
Bagaimana keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu asosiasi sosial merupakan
hal yang selalu menarik untuk dikaji.
Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan
dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut
konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk bonding/exclusive atau bridging
atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang
dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan
dan pembangunan masyarakat.
2.2. Kepercayaan
Unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) yang
Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerja sama secara lebih efektif
(Fukuyama, 2002). Menurut Pretty dan Ward (Lubis, 2001) sikap saling percaya
merupakan unsur pelumas yang sangat penting untuk kerjasama, yang oleh Putnam
dipercaya sebagai melicinkan kehidupan sosial.
Fukuyama (2002) membahas tentang modal sosial di negara-negara yang
kehidupan sosial dan ekonominya sudah modern dan kompleks. Elemen modal sosial
yang menjadi pusat kajian Fukuyama adalah kepercayaan (trust) karena menurutnya
sangat erat kaitannya antara modal sosial dengan kepercayaan. Fukuyama mengurai
secara mendalam tentang bagaimana kondisi kepercayaan dalam komunitas di
beberapa negara dan mencoba mencari korelasinya dengan tingkat kehidupan
ekonomi negara bersangkutan.
Sukses ekonomi masyarakat negara yang menjadi sampelnya tersebut
disebabkan oleh etika kerja yang mendorong perilaku ekonomi kooperatif. Apa yang
hendak ditegaskan oleh Fukuyama adalah bahwa kita tidak bisa lagi memisahkan
antara kehidupan ekonomi dengan kehidupan budaya. Fukuyama berpendapat bahwa
sekarang ini faktor modal sosial sudah sama pentingnya dengan modal fisik, hanya
masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu
menciptakan organisasi-organisasi bisnis fleksibel berskala besar yang mampu
bersaing dalam ekonomi global.
Solidaritas adalah salah satu faktor perekat dalam gerakan modal sosial.
Karena rasa solidaritas masyarakat bisa menyatukan persepsinya tentang hal yang
Berdasarkan teori Durkheim (Ritzer, 2003) jenis solidaritas pada gerakan
modal sosial bisa saja pada keduanya. Pada solidaritas organis kondisi masyarakat
cenderung sudah sangat kompleks dan heterogen, modal sosial muncul bukan karena
kesamaan pekerjaan, tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh
pendidikan yang layak. Fukuyama (2002) juga berpendapat bahwa jenis solidaritas
yang umum didapati dalam modal sosial dewasa ini adalah solidaritas organis, karena
karakteristik masyarakat sekarang ini cenderung sudah kompleks.
Fukuyama (2002) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang
muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur dan kooperatif
berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang
lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung
kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif.
Perilaku normal yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut
bersama. Jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari
beberapa anggotanya, maka akan sulit mendapat adanya kejujuran dan sifat
kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat
rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.
Fukuyama (2002) yang mengkaji modal sosial dan trust dalam masyarakat
ekonomi kompleks menyebutkan bahwa kepercayaan bermanfaat bagi penciptaan
tatanan ekonomi unggul, karena bisa diandalkan untuk mengurangi biaya. Karena,
bekerja menurut serangkaian norma-norma etis bersama, maka berbisnis hanya
memerlukan sedikit biaya.
Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan kerjasama dan rasa
tanggung jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan
kebajikan-kebajikan individual (Fukuyama, 2002). Hal itulah yang menjadi argumen sentral dari
Weber (2000) tentang etika protestan yang menunjukkan bahwa kaum puritan
memperoleh kekayaan material sebagai hasil dari kepercayaan religiusnya dan telah
mengembangkan kebajikan-kebajikan tertentu seperti kejujuran dan sikap hemat yang
sangat membantu bagi akumulasi modal.
2.3. Jaringan Sosial
Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan (connectedness) antara
individu dan komunitas. Keterkaitan mewujud di dalam beragam tipe kelompok pada
tingkat lokal maupun di tingkat lebih tinggi. Jaringan sosial yang kuat antara sesama
anggota dalam kelompok mutlak diperlukan dalam menjaga sinergi dan kekompakan.
Apalagi jika kelompok sosial kapital itu bentuknya kelompok formal. Adanya
jaringan-jaringan hubungan sosial antara individu dalam modal sosial memberikan
manfaat dalam konteks pengelolaan sumberdaya milik bersama, karena ia
mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat timbal
balik, itulah yang dikatakan Putnam dalam Lubis (2001) tentang jaringan sosial
Badaruddin (2005), menyatakan dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial
yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal, maka terciptalah apa yang disebut
dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’
terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga. Jaringan sosial terdiri dari
lima unsur yang meliputi: adanya partisipasi, pertukaran timbal balik, solidaritas,
kerjasama dan keadilan (Lubis, 2001).
Konsep partisipasi menurut Mikkelsen (Susiana, 2002) dapat diartikan
sebagai alat untuk mengembangkan diri sekaligus tujuan akhir. Keduanya merupakan
satu kesatuan dan dalam kenyataan sering hadir pada saat yang sama meskipun status,
strategi serta pendekatan metodologinya berbeda. Partisipasi akan menimbulkan rasa
harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting
yang menyangkut masyarakat banyak. Partisipasi juga menghasilkan pemberdayaan,
di mana setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut kehidupannya. Dalam jaringan sosial, partisipasi memegang
peranan yang cukup penting, karena kerjasama yang ada dalam komunitas dapat
terjadi karena adanya partisipasi individu-individu.
Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam
sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan
persepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan, Merujuk pada teori Emile
Durkheim (Ritzer, 2003), solidaritas itu terdiri dari dua jenis, yaitu mechanical
adalah sumber dari solidaritas mereka, atau hal apa yang telah menyatukan mereka.
Kuncinya adalah pembagian kerja.
Pada solidaritas organis kondisi masyarakat cenderung sudah sangat
kompleks, masing-masing orang memiliki spesialisasi pekerjaan yang banyak
jumlahnya, modal sosial muncul bukan karena kesamaan pekerjaan/penghidupan,
tetapi lebih pada tujuan lain misalnya perjuangan memperoleh pendidikan yang layak.
Pada solidaritas mekanis, pekerjaan masyarakat cenderung sama dan modal sosial
muncul karena tujuan-tujuan yang berhubungan dengan pekerjaan mereka, misalnya
pada masyarakat petani atau nelayan. Collective Conscience adalah argumen yang
dipakai Durkhein dalam mempertegas perbedaan antara solidaritas mekanis dan
solidaritas organis. Collective Conscience adalah kesadaran kolektif dari anggota
masyarakat bahwa mereka adalah bagian dari kelompok, suku atau bangsa. Apa yang
menyatukan mereka adalah perasaan bahwa pengetahuan dan ide orang perorang
tidak akan menghasilkan manfaat yang signifikan, berangkat dari hal tersebut mereka
menyatukan diri bersama, dengan asumsi bahwa kekuatan pikiran dan ide-ide
bersama akan lebih bermanfaat dan mempunyai presure yang lebih efektif daripada
secara individual.
Unsur lainnya dalam jaringan sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah
jaringan sesuatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia
untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Hampir pada semua kelompok
manusia dapat ditemui adanya pola-pola kerjasama. Kerjasama timbul karena
Cooley (Soekanto, 2003) menggambarkan kerjasama sebagai berikut:
Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup
pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan tersebut kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan-kepentingan-kepentingan yang sama dan
adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang
berguna.
2.4. Pranata Sosial
Pranata sosial merupakan salah satu elemen penting dan modal sosial selain
dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institution) terdiri dari nilai-nilai yang
dimiliki bersama (shared values), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and
sanctions) dan aturan-aturan (rules) (Lubis, 2001).
Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang
memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi
(Soekanto, 2003). Di dalam pranata warga masyarakat dapat berinteraksi satu sama
lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama.
Pranata sosial ini sangat bermacam ragam bentuknya, mulai dari yang
tradisional seperti masyarakat adat, sampai pada pranata yang modern seperti partai
politik, koperasi, perusahaan, perguruan tinggi dan lain-lain. Menurut
1. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan yang
sering disebut domestic institution.
2. Pranata-pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia untuk mata
pencaharian hidupnya.
3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.
4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia, atau sering disebut
scientific institution.
5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk menghayatkan rasa
keindahan.
6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada
Tuhan.
7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mengatur
keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.
8. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup
manusia.
Summer (Soekanto, 2003) mengartikan pranata ini sebagai perbuatan,
cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan bersifat kekal serta bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sosiolog tersebut menyebutkan bahwa
ada 3 (tiga) fungsi pranata ini, yaitu:
1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam
2. Menjaga keutuhan masyarakat.
3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial.
Suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma
yang mengatur. Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara
sengaja maupun secara tidak sengaja. Norma-norma yang ada di dalam masyarakat
mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada pula
yang kuat ikatannya (Soekanto, 2003).
Norma-norma tersebut di atas akan mengalami suatu proses seiring dengan
perjalanan waktu dan pada akhirnya norma-norma itu akan menjadi bagian tertentu
dan pranata sosial. Soekanto (2003) mengatakan proses itu disebut dengan istilah
institutionalization atau proses pelembagaan, yaitu suatu proses yang dilewati oleh
suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu pranata sosial. Pranata
sosial dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta
mengatur perilaku orang-orang di dalam lingkungan pranata itu berada (Soekanto,
2003). Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi
dapat berlanjut lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya
melembaga saja dalam kehidupan masyarakat, namun telah menginternalisasi di
dalam kehidupannya. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai
kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dan
Hubungan antara manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana
diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang mempunyai kekuatan mengikat
yang berbeda-beda. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma
tersebut dikenal ada empat pengertiannya, yaitu: Cara, kebiasaan, tata kelakuan dan
adat (Soekanto, 2003). Masing-masing pengertian tersebut mempunyai dasar yang
lama, yakni merupakan norma-norma kemasyarakatan yang memberikan petunjuk
bagi tingkah laku seseorang di dalam kehidupannya dengan masyarakat.
Dalam masyarakat Batak, onan merupakan pranata yang sudah mapan. Selain
sebagai fungsi perdagangan (tempat transaksi jual beli), juga berfungsi sebagai wadah
pergaulan sosial di antara anggota kelompok suku dan di antara wilayah yang saling
bermusuhan dan bahkan yang secara formal berperang, ditegakkan dan dipertahankan
melalui “kedamaian pasar (onan)”.
2.5. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan dari asal kata “daya”. Daya artinya “kekuatan”. Jadi
pemberdayaan adalah “penguatan”, yaitu penguatan yang lemah. Pemberdayaan
masyarakat menurut versi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
adalah: a) penguatan masyarakat yang lemah, dan b) pengembangan aspek
pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan masyarakat melalui pemberdayaan,
bagaimana masyarakat secara bertahap dapat bergerak dari kondisi tidak tahu, tidak
mau dan tidak mampu menjadi tahu, mau dan mampu.
Menurut Kartasasmita (2000) yang dimaksud dengan pemberdayaan
masyarakat kita yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan
adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and
sustainable" (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 2001).
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih
lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai
upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu.
Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa
yang antara lain oleh Friedman (Kartasasmita, 2001)) disebut alternative
development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic
growth, gender equality and intergenerational equity”.
Menurut Pranarka (2006) mengemukakan pemberdayaan dapat diartikan
sebagai upaya untuk mengubah keadaan seseorang atau kelompok agar yang
bersangkutan menjadi lebih berdaya. Pemberdayaan mendorong terjadinya suatu
proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak
berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal
2.6. Kearifan Lokal
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata:
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols
dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama
dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam
disiplin antropologi dikenal istilah local genius
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal
merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat
maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya
masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun
bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.
Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber
pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh
populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan
budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di
bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan
Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya
lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Jadi untuk melaksanakan pembangunan di suatu daerah, hendaknya
pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada
daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang
tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada
masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah "ikon" atau sumber
pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat di daerah itu. Atau lebih
sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak
mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah
tersebut.
2.7. Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Salah satu tujuan berdirinya negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat). Untuk mencapai tujuan
ini diperlukan pembangunan dunia pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Dalam
arti sederhana, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk membina
kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dalam perkembangannya pendidikan atau paedagogi berarti bimbingan atau
dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh
seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat
hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, 2004).
Tujuan utama yang akan dicapai dalam pendidikan adalah membentuk
manusia secara utuh (holistic) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik,
emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual secara optimal serta lifelong
learners (pembelajar sejati). Dalam pengembangan pendidikan yang berkualitas
terdapat Sembilan (9) pilar karakter yang terkandung dalam nilai-nilai universal,
antara lain:
1. Cinta Tuhan dan Alam Semesta beserta isinya
2. Tanggung jawab Kedisiplinan dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Kasih Sayang, Kepedulian dan Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras dan Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan (Megawangi, 2004)
Pendidikan yang berkualitas sangat berperan besar dalam menentukan kualitas
individu ataupun masyarakat bangsa secara keseluruhan. Di sini perlu mendudukkan
pendidikan sebagai sebuah nilai yang tumbuh di masyarakat. Jika nilai pengetahuan
berjuang untuk menuntut ilmu tanpa mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan
cikal bakal terbangunnya semangat toleransi, keinginan untuk saling berbagi
(reciprosity) dan semangat kemanusiaan (altruism) untuk membangun keselamatan,
muncul perasaan berharga (sense of efficacy), merangsang keinginan untuk menjalin
hubungan dengan orang lain (networking) dan saling mempercayai (trust).
2.8. Modal Sosial dalam Pengembangan Wilayah
Kualitas masyarakat perlu untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi
bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri yang berhubungan dengan kelangsungan
masyarakat itu sendiri. Dahlan, (2003) kualitas masyarakat ditelaah atas beberapa
kelompok dengan detail sebagai berikut:
1. Perihal kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari keserasian sosial,
kesetiakawanan sosial, disiplin sosial dan kualitas komunikasi sosial.
2. Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk
partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana
komunikasi politik, serta keberadaan media massa.
3. Kehidupan kelompok
4. Kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran
institusi dan kualitas, kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian
masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitas pemahaman terhadap hak