• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Peran Modal Sosial terhadap Pendidikan

Diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberikan peluang bagi daerah (kabupaten dan kota) untuk menciptakan kemandirian dalam rangka membangun daerahnya dengan berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi, partisipasi dan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Lokal menurut pemahaman Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pada tataran mikro artinya istilah lokal untuk menyebut kawasan daerah tingkat satu/propinsi, daerah tingkat dua/ kabupaten atau kota, dan dimungkinkan lokal untuk menyebut yang lebih spesifik yaitu kecamatan dan desa. Jadi institusi lokal merupakan asosiasi komunitas setempat yang bertanggung jawab atas proses kegiatan pembangunan setempat, seperti rukun tetangga, arisan trah, kelompok pengajian, kelompok ronda dan sejenisnya dan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat. Institusi lokal dalam komunitas harus dilihat sebagai suatu sistem yang saling silang menyilang dan institusi lokal telah menyediakan jaring pengaman sosial (sosial safety net)ketika komunitas lokal berada dalam situasi krisis. Kehadiran institusi lokal bukan atas kepentingan pribadi/individu tetapi atas kepentingan bersama, sehingga institusi lokal lama kelamaan menduduki posisi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Rasa saling percaya warga komunitas lokal yang digalang dan diasah melalui institusi ini semakin hari semakin didambakan sebagai modal sosial (sosial capital).

Hasil penelitian tanggapan responden terhadap peran modal sosial terhadap pendidikan disajikan pada Tabel 4.9 sampai dengan Tabel 4.21.

Tabel 4.9. Tanggapan Masyarakat tentang Saling Percaya Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Percaya Tidak Percaya

Tidak memberikan Jawaban

59 0 3 95 0 5 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang saling percaya masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 59 responden (95%) menjawab percaya, sedangkan 3 responden (5%) tidak memberikan jawaban. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa 3 responden yang tidak menjawab memiliki status sosial sebagai LSM, Wartawan dan Petani.

Tabel 4.10. Tanggapan Masyarakat tentang Kejujuran Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Jujur Tidak Jujur

Tidak memberikan jawaban

46 0 16 74 0 26 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang kejujuran masyarakat desa terhadap pembangunan

gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 46 responden menjawab jujur, sedangkan 16 responden tidak memberikan jawaban. Berdasarkan hasil wawancara bahwa 16 responden tersebut tidak terlibat dalam pembangunan gedung sekolah karena memiliki status sebagai pedagang antar kecamatan, LSM, Wartawan dan Petani

Tabel 4.11. Tanggapan Masyarakat tentang Kemurahan Hati Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Bermurah hati Tidak bermurah hati

Tidak memberikan jawaban

39 0 23 63 0 37 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang kemurahan hati masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 39 responden menjawab bermurah hati, sedangkan 23 responden tidak memberikan jawaban. Hal ini disebabkan karena 23 responden yang tidak memberikan jawaban adalah merupakan penduduk pendatang yang tidak memiliki garis turunan (marga) dari pemilik lahan.

Tabel 4.12. Tanggapan Masyarakat tentang Partisipasi Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Berpartisipasi Tidak berpartisipasi

Tidak memberikan Jawaban

48 0 14 77 0 23 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang partisipasi masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 48 responden menjawab berpartisipasi, sedangkan 14 responden tidak memberikan jawaban. Hal ini disebabkan karena 14 responden memiliki aktivitas sebagai supir luar kota, LSM, Wartawan dan Petani sehingga sehari-hari tidak dapat memberikan partisipasi dalam pembangunan gedung sekolah.

Tabel 4.13. Tanggapan Masyarakat tentang Solidaritas Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Solidaritas Tidak solidaritas

Tidak memberikan Jawaban

46 0 16 74 0 26 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang solidaritas masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 46 responden

menjawab solidaritas, sedangkan 16 responden tidak memberikan jawaban. Ke-16 responden tidak menjawab karena berasal dari ekonomi yang sangat sulit (miskin).

Tabel 4.14. Tanggapan Masyarakat tentang Kerjasama Masyarakat Desa terhadap Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Bekerjasama Tidak bekerjasama

Tidak memberikan Jawaban

45 0 17 73 0 27 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang kerjasama masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 45 responden menjawab bekerjasama, sedangkan 17 responden tidak memberikan jawaban. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa 17 responden yang tidak memberikan jawaban karena pada saat sosialisasi mereka tidak dapat hadir, sehingga proses pelaksanaan pembangunan sekolah tidak mereka ketahui dilaksanakan secara swakelola.

Tabel 4.15. Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-nilai Agama Masyarakat Desa dalam Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Baik Tidak baik

Tidak memberikan Jawaban

59 0 3 95 0 5 Jumlah 62 100

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang nilai-nilai agama masyarakat desa dalam pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 59 responden menjawab baik, sedangkan 3 responden tidak memberikan jawaban. Ke 3 orang responden menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara nilai-nilai agama dengan pembangunan gedung sekolah, karena gedung yang dibangun bukanlah tempat ibadah.

Tabel 4.16. Tanggapan Masyarakat tentang Nilai-nilai Budaya Masyarakat Desa dalam Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Baik Tidak baik

Tidak memberikan Jawaban

59 0 3 95 0 5 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang nilai-nilai masyarakat desa dalam pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 59 responden menjawab baik, sedangkan 3 responden tidak memberikan jawaban. Pada umumnya responden yang tidak memberikan jawaban adalah penduduk pendatang yang tidak tinggal menetap pada desa tersebut.

Tabel 4.17. Tanggapan Masyarakat tentang Norma-norma Masyarakat Desa dalam Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Baik Tidak baik

Tidak memberikan Jawaban

57 0 5 92 0 8 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang norma-norma masyarakat desa dalam pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 57 responden menjawab baik, sedangkan 5 responden tidak memberikan jawaban. Pada umumnya 5 orang responden yang tidak memberikan jawaban adalah penduduk pendatang yang tidak tinggal menetap pada desa tersebut.

Tabel 4.18. Tanggapan Masyarakat tentang Kearifan Lokal Masyarakat Desa dalam Pembangunan Gedung Sekolah di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%) Baik

Tidak baik

Tidak memberikan Jawaban

56 0 6 90 0 10 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang kearifan lokal masyarakat desa terhadap pembangunan gedung sekolah di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 56 responden menjawab baik, sedangkan 6 responden tidak memberikan jawaban, hal ini disebabkan mereka tidak terlibat dalam pembangunan gedung sekolah.

Tabel 4.19. Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa Bila Ada Sekolah yang Rusak di Daerah Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Memperbaiki Tidak memperbaiki

Tidak memberikan Jawaban

49 0 13 79 0 21 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang peran masyarakat desa bila ada sekolah yang rusak di daerah Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 49 responden menjawab memperbaiki sekolah bila ada yang rusak, sedangkan 13 responden tidak memberikan jawaban. Berdasarkan data penduduk, bahwa 13 responden yang diwawancarai tidak memiliki pengetahuan tentang bangunan.

Tabel 4.20. Tanggapan Masyarakat tentang Keinginan Masyarakat Desa dalam Memajukan Wilayahnya di Sektor Pendidikan

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Berkeinginan Tidak berkeinginan

Tidak memberikan Jawaban

48 0 14 77 0 23 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang keinginan masyarakat desa memajukan wilayahnya di sektor pendidikan menunjukkan bahwa, 48 responden menjawab berkeinginan memajukan wilayahnya di sektor pendidikan, sedangkan 14 responden tidak memberikan jawaban. Berdasarkan wawancara dengan 14 orang responden yang

tidak memberikan jawaban diketahui bahwa mereka pada umumnya tidak pernah tamat SD, sehingga pendidikan dianggap kurang dapat memberikan jaminan kehidupan.

Tabel 4.21. Tanggapan Masyarakat tentang Peran Masyarakat Desa Dapat Meningkatkan Pendidikan di Kecamatan Garoga

Tanggapan Responden Jumlah Responden Persentase (%)

Berperan Tidak berperan

Tidak memberikan Jawaban

43 6 13 69 10 21 Jumlah 62 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Wawancara yang dilakukan terhadap 62 orang responden untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang peran masyarakat desa dapat meningkatkan pendidikan di Kecamatan Garoga menunjukkan bahwa, 43 responden menjawab peran masyarakat dapat meningkatkan pendidikan di Kecamatan Garoga, 6 responden peran masyarakat tidak dapat meningkatkan pendidikan di Kecamatan Garoga. memberikan jawaban, sedangkan 13 responden tidak memberikan jawaban. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, bahwa ke 13 responden yang tidak menjawab menganggap bahwa peningkatan pendidikan adalah merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan masyarakat.

Berdasarkan hasil rangkuman wawancara dengan masyarakat pada Desa Gonting Garoga dan Desa Parinsoran Kecamatan Garoga sebanyak 62 responden dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4.3. Rangkuman Hasil Wawancara dengan Responden

Tabel 4.22. Tanggapan Responden tentang Modal Sosial pada Pembangunan Pendidikan

Jenis Tanggapan Persentese Jawaban Responden Kepercayaan masyarakat

terhadap pembangunan sekolah

Percaya: 95% Tidak percaya: 0% Tidak menjawab: 5%

Kejujuran masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Jujur: 74% Tidak jujur: 0% Tidak menjawab:

26% Kemurahan hati masyarakat

terhadap pembangunan sekolah Bermurah hati: 63% Tidak bermurah hati: 0% Tidak menjawab: 37%

terhadap pembangunan sekolah 77% berpartisipasi: 0% 23% Solidaritas masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Solidaritas: 74% Tidak Solidaritas:

0% Tidak menjawab: 26% Kerjasama masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Bekerjasama: 73% Tidak bekerjasama:

0%

Tidak menjawab: 27%

Pengaruh nilai-nilai agama terhadap pembangunan sekolah

Baik: 95% Tidak baik:0% Tidak menjawab: 5%

Pengaruh nilai-nilai budaya masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Baik: 95% Tidak baik:0% Tidak menjawab: 5%

Norma-norma masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Baik: 92% Tidak baik:0% Tidak menjawab: 8%

Kearifan lokal masyarakat terhadap pembangunan sekolah

Baik: 90% Tidak baik:0% Tidak menjawab:

10%

Peran masyarakat desa bila ada sekolah yang rusak

Memperbaiki: 79% Tidak memperbaiki:

0% Tidak menjawab: 21% Keinginan dalam memajukan wilayah di sektor pendidikan

Berkeinginan: 77% Tidak berkeinginan:

0%

Tidak menjawab: 23%

Peran masyarakat desa dapat meningkatkan pendidikan di Kecamatan garoga

Berperan: 69% Tidak berperan:

10%

Tidak menjawab: 21%

Berdasarkan tanggapan masyarakat tentang peran modal sosial terhadap pendidikan dapat disimpulkan bahwa masyarakat di daerah penelitian dalam meningkatkan pendidikan menunjukkan adanya suatu peran modal sosial masyarakat untuk dapat bersama-sama membangun gedung sekolah dengan cara memberikan lahan kosong dan berkerjasama (partisipasi) dalam proses pembangunan gedung

sekolah. Sehingga hasil penelitian yang telah dilakukan mempertegas kembali hasil penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2006), dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa eksistensi suatu institusi dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan elemen modal sosial.

Modal sosial termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, gotong royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pembangunan pendidikan melalui beragam mekanismenya, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, dan menguatnya keserasian masyarakat. Menurut Suharto (2008) pengukuran modal sosial jarang melibatkan pengukuran terhadap interaksi itu sendiri, melainkan hasil dari interaksi tersebut seperti terciptanya atau terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat.

Strategi kebijakan pembangunan pemerintah harus diarahkan bagaimana modal sosial masyarakat harus ditingkatkan, karena mengingat kekayaan alam yang terus dieskploitasi akan habis pada suatu saat, maka penyiapan secara dini untuk membangun karakter masyarakatnya harus dilakukan segera. Kualitas sumber daya manusia yang berkarakter, mempunyai spirit kerja tinggi, mandiri, adalah bekal yang membawa kejayaan bangsa di masa depan. Spirit budaya bangsa seperti initidak akan pernah habis, bahkan akan menjadi rahmat besar di masa depan.

Pendidikan yang berkualitas di Indonesia hanya dapat diwujudkan, jika semua elemen bangsa, khususnya pemerintah, masyarakat, swasta secara sadar menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Peran dominan orangtua terutama

pada saat anak-anak mereka berada dalam masa pertumbuhan hingga menjadi orang dewasa. Pada masa pertumbuhan orangtua harus memenuhi kebutuhan pokok demi menjamin perkembangan yang sehat dan baik. Menurut Russel (1993), orangtua harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar anaknya. Sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia, kita ingin generasi masa depan Bangsa Indonesia yaitu Manusia Yang Seutuhnya, Manusia yang Beriman dan Bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Berahlak Mulia, Sehat, Berilmu, Cakap, Kreatif, mandiri dan menjadi Warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas 2003). Sekaitan dengan hal tersebut, Pemerintah telah menempatkan sektor pendidikan menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa sehingga secara bertahap telah mengalokasikan dana untuk sektor pendidikan sebesar 20% melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota

Dalam hal ini yang paling penting adalah bagaimana menyusun prioritas penggunaan anggaran tersebut sedemikian rupa sehingga tidak hanya sekedar bangunan fisik yang kurang berguna, atau bahkan menjadi terbuang percuma karena tidak didasarkan pada kebutuhan yang nyata bagi rakyat. Hal terpenting yang harus disadari adalah bagaimana pembangunan modal sosial (sosial capital), sebagai kunci utama bagi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat sepenuhnya dilaksanakan, sehingga tercapai masyarakat yang cerdas dan sejahtera. Banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat yang makmur adalah masyarakat yang modal

sosialnya tinggi, yaitu tercermin dari kehidupan sosialnya yang harmonis, saling memberi, ada kebersamaan dan saling percaya serta terdapat tingkat toleransi yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang mirip dilontarkan oleh Francis Fukuyama, yang memfokuskan kepada ciri budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan dalam persaingan global. Dalam bukunya Fukuyama percaya bahwa keunggulan suatu masyarakat dan negara yang dapat survive dalam abad ke-21, adalah ditentukan oleh faktor sosial capital (modal sosial) yang tinggi, yaitu high

trust society. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang

mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta saling memberi. Penguatan masyarakat secara institusional dapat diartikan sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praktis mengenai semua hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, termasuk didalamnya jejaring, pengelompokan sosial yang mencakup rumah tangga

(household), organisasi-organisasi sukarela (termasuk Partai Politik), sampai

organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh Negara. Tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara dari Negara disatu pihak dengan individu dan masyarakat dipihak lain. Selanjutnya dikatakan bahwa hal ini bisa terwujud kalau masing-masing individu dan golongan masyarakat menjunjung tinggi rasa saling hormat, kebersamaan, toleransi, kejujuran dan menjalankan kewajibannya.

Kabupaten Tapanuli Utara secara geografis didiami suku batak (homogen) yang sarat dengan kearifan-kearifan lokal. Dengan kearifan lokal ini diharapkan bagaimana Pemerintah Kabupaten dapat menuangkannya dalam strategi kebijakannya dalam bidang pendidikan dan pembangunan masyarakat lainnya, yang terfokus dalam meningkatkan modal sosial masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara. Salah satu yang masih melekat hingga saat ini adalah Budaya Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

memiliki yang cukup sentral dalam suku batak yaitu; dasar penetapan kedudukan seseorang dalam adat dan pergaulan sosial, dasar penetapan sikap dan tingkah laku seseorang dalam adat dan pergaulan sosial, dasar penetapan pimpinan dan peserta musyawarah dalam masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Dalihan Natolu

mempunyai peranan dalam menunjang pembangunan di daerah Tapanuli Utara. Pembangunan yang dilakukan terhadap wilayah kebudayaan satu daerah, baru akan berhasil apabila pembangunan itu terencana dan pelaksanaannya sesuai dengan budaya wilayah itu yang menjadi sikap perilaku oleh pendukung budaya tersebut. Apabila pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan nilai budaya yang terdapat pada satu wilayah, maka akan dapat dipastikan bahwa pembangunan itu tidak akan berhasil. Jadi untuk membangun satu daerah perlu kelayakan wilayah itu diketahui agar pembangunan dimaksud dapat disambut dan didukung oleh budaya satu daerah. Oleh sebab itu, maka akan dapat diketahui apa tujuan pembangunan dan bagaimana system pembangunan serta siapa-siapa yang terlibat pada pembangunan tersebut sesuai dengan apa yang dimiliki oleh daerah-daerah dimaksud.

Dalam masyarakat Batak sangat banyak terdapat beberapa kearifan lokal yang saat ini masih tetap melekat dengan berpijak kepada Budaya Dalihan Natolu. Kearifan lokal tersebut berupa; Marsirimpa yakni bergotong royong dalam mengerjakan fasilitas. Sikap gotong royong yang disebut dengan marsirimpa tetap hidup dengan adanya istilah yang menyatakan hori ihot ni doton, hata do si ingoton

yang artinyaapabila sesuatu janji telah di iyakan, maka janji tersebut wajib dipenuhi. Pada pembangunan pendidikan, ada satu modal dasar yang masih perlu dipertahankan yaitu pandangan yang menyatakan anakkonhi do hamoraon di au, artinya bahwa anak adalah harta yang paling berharga. Ungkapan ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa pembangunan pendidikan di wilayah Batak sungguh merupakan suatu kewajiban sehingga anak yang merupakan harta berharga dapat mengecap pendidikan, terbukti bahwa zaman dulu dari jumlah SD, SMP dan SMA yang terbangun, sebagian besar adalaah merupakan hibah dari masyarakat. Pada awalnya masih berstatus swasta kemudian diusulkan penegerian kepada pemerintah.

Selanjutnya kearifan lainnya adalah marsiadap ari yaitu saling membantu dalam mengerjakan usaha dengan cara saling bertukar tenaga kerja. Biasanya

marsiadap ari lebih banyak dilakukan pada pekerjaan sawah/ladang dan pada saat

masa panen padi. Tumpak yaitu bantuan sukarela dalam pelaksanaan upacara adat, baik adat perkawinan, melahirkan dan pada acara meninggal. Yang tak kalah menarik adalah ikatan paradatan dimana dalam suatu komunitas adat, masing-masing wajib saling membantu dalam bentuk materi (uang atau beras), tenaga dalam pelaksanaan adat istiadat tersebut.

Dokumen terkait