• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Dasar

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 UMUM (Halaman 38-50)

2.11. Metode ini menganggap alinyemen datar

2.7.3 Model Dasar

= (2.42)

A, B, C, dan D menyatakan arus lalu lintas.

2.7.3 Model Dasar

Dalam bagian ini dijelaskan beberapa model dasar dalam perhitungan jalinan. Model-model dasar tersebut adalah:

2.7.3.1 Kapasitas

Kapasitas total bagian jalinan adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor-faktor penyesuaian

(F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas. Bentuk model kapasitas (smp/jam) menjadi sebagai berikut:

1,5 0,5 1,8 1,3 135 1 E 1. w3 1 w w CS RSU w w p W W C W F F W L ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ = × × + × × + × × ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ (2.43)

Variabel-variabel masukan untuk perkiraan kapasitas (smp/jam) dengan menggunakan model tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.15 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas

Tipe Variabel Variabel dan nama masukan Faktor Model Geometri Lebar masuk rata-rata WE

Lebar jalinan WW

Panjang Jalinan LW

Lebar/panjang WW/LW

Lingkungan Kelas ukuran kota CS Tipe lingkungan jalan RE FCS

Hambatan samping, dan SF Rasio kend. Bermotor PUM FRSU Lalu lintas Rasio jalinan PW

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.17 Ukuran dan Tipe Bagian Jalinan

Kapasitas bundaran pada keadaan lalu lintas lapangan (ditentukan oleh hubungan antara semua gerakan) dan kondisi lapangan, didefinisikan sebagai arus lalu lintas total pada saat bagian jalinan yang pertama mencapai kapasitasnya.

Faktor-faktor pada perhitungan kapasitas dapat dibantu dengan menggunakan grafik.

Sumber: MKJI 1997

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.19 Faktor WE/WW =(1+WE/WW)1,5

Sumber: MKJI 1997

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.21Faktor WW/LW =(1+WW/LW)-1.8

Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduk kota (juta jiwa).

Tabel 2.16 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS) Ukuran Kota (CS) Penduduk juta Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS) Sangat kecil < 0,1 0,82 Kecil 0,1-0,5 0,88 Sedang 0,5-1,0 0,94 Besar 1,0-3,0 1,00 Sangat besar >3,0 1,05 (Sumber: MKJI 1997)

Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.17. Tabel tersebut berdasarkan anggapan bahwa pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan ringan, yaitu empUM = 1,0.

Tabel 2.17 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaraan Tak Bermotor

Kelas tipe lingkungan

jalan

Kelas hambatan

samping Rasio kendaraan tak bermotor (PUM) RE SF 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25 Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Sedang 0,94 0,89 0,85 0,8 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,9 0,86 0,81 0,76 0,71 Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72 Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 (Sumber: MKJI 1997)

2.7.3.2 Tipe Bundaran

Buku ”Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan” (Direktorat Jenderal Bina Marga, Maret 1992) mencantumkan panduan umum untuk perencanaan simpang sebidang. Informasi lain yang berhubungan terutama tentang marka terdapat pada buku ”Produk Standar untuk Jalan Perkotaan” (Direktorat Jenderal Bina Marga, Maret 1987)

Dokumen ini menentukan parameter perencanaan berbagai kelas simpang jalan tetapi tidak menentukan tipe simpang khusus. Karena ini sejumlah jenis bundaran di tunjukkan pada Gambar 2.22 dan Tabel 2.18 di bawah untuk penggunaan khusus. Semua bundaran dianggap mempunyai kerb dan trotoar yang cukup, dan ditempatkan di daerah perkotaaan dengan hambatan samping sedang. Semua gerakan membelok dianggap diperbolehkan.

Pengaturan hak jalan dianggap berlaku untuk semua pendekat yaitu tidak ada pengaturan beri jalan dengan maksud untuk mendapat prioritas bagi kendaraan yang telah masuk ke dalam bundaran (prioritas dalam) seperti umumnya di Eropa.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.22 Ilustrasi tipe bundaran

Tabel 2.18 Definisi Tipe Bundaran Tipe Bundaran Jari-jari bundaran (m) Jumlah lajur masuk Lebar lajur masuk WI (m) Panjang jalinan LW (m) Lebar jalinan WW (m) R10-11 10 1 3,5 23 7 R10-22 10 2 7,0 27 9 R14-22 14 2 7,0 31 9 R20-22 20 2 7,0 43 9 (Sumber: MKJI 1997)

Pada umumnya bundaran dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari kiri) digunakan di daerah perkotaan dan pedalaman bagi simpang antara jalan dengan arus lalu lintas sedang. Pada arus lalu lintas yang tinggi dan kemacetan pada daerah keluar simpang, bundaran tersebut mudah terhalang yang memungkinkan menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah.

Di daerah perkotaan dengan arus pejalan kaki yang tinggi menyebrang bundaran jalan yang tidak sebidang (jembatan atau terowongan) disarankan untuk memberikan keselamatan bagi pejalan kaki.

Bundaran paling efektif jika digunakan untuk simpang antara jalan dengan ukuran dan tingkat arus yang sama. Karena bundaran sangat sesuai untuk simpang antara jalan dua lajur atau empat lajur. Untuk simpang antara jalan yang lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah terjadi dan keselamatan bundaran menurun. Meskipun dampak lalu lintas bundaran berupa tundaan selalu lebih baik dari tipe simpang yang lainnya misalnya simpang bersinyal, pemasangan sinyal masih lebih disukai untuk menjamin kapasitasnya dapat dipertahankan, bahkan dalam keadaan arus jam puncak.

Perubahan dari simpang bersinyal atau tak bersinyal menjadi bundaran dapat juga didasari oleh keselamatan lalu lintas, untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas antara kendaraan yang berpotongan. Bundaran mempunyai keuntungan yaitu untuk mengurangi kecepatan semua kendaraan yang berpotongan dan membuat mereka hati-hati terhadap resiko konflik dengan kendaraan lain. Hal ini mungkin terjadi bila kecepatan dari pendekat ke simpang tinggi dan atau jarak pandang untuk gerakan lalu lintas yang berpotongan tidak cukup akibat rumah atau pepohonan yang dekat dengan sudut simpang.

2.7.4 Perilaku Lalu Lintas

Untuk analisis perencanaan dan operasional bundaran sudah ada, tujuan analisis biasanya untuk membuat perbaikan kecil pada geometri simpang agar dapat mempertahankan perilaku lalu lintas yang diinginkan sepanjang rute atau jaringan jalan. Karena resiko penutupan bundaran oleh kendaraan yang menjalin dari berbagai arah, perilaku lalu lintas berupa derajat kejenuhan lebih besar 0,75 selama jam puncak disarankan dihindari. Antrian pada daerah keluaran bundaran menutup daerah sirkulasi arus juga penting untuk dihindari.

Perilaku lalulintas merupakan parameter-parameter kinerja lalulintas suatu jalinan, di bawah ini dijelaskan lebih detail mengenai perilaku lalulintas untuk jalinan yaitu:

2.7.4.1 Derajat Kejenuhan

smp Q DS C = (2.44) di mana:

Qsmp = Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut: Qsmp = Qkend × Fsmp

Fsmp = Faktor smp

C = Kapasitas (smp/jam)

2.7.4.2 Tundaan pada bagian jalinan bundaran

Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab, yaitu:

a. Tundaan Lalu lintas (DT) akibat interaksi lalulintas dengan gerakan yang lain dalam simpang.

b. Tundaan Geometrik (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tak-terganggu.

Tundaan lalu lintas bagian jalinan (DT) adalah tundaan rata-rata lalu lintas per kendaraan yang masuk ke bagian jalinan. Tundaan lalu lintas ditentukan dari hubungan empiris antara tundaan lalu lintas dan derajat kejenuhan dapat dilihat pada Gambar 2.23.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.23 Tundaan Lalu Lintas Bagian Jalinan vs Derajat Kejenuhan

Tundaan rata-rata bagian jalinan dihitung sebagai berikut: di mana:

D = tundaan rata-rata bagian jalinan (det/smp )

DT = tundaan lalu-lintas rata-rata bagian jalinan (det/smp ) DG = tundaan geometrik rata-rata hagian jalinan (det/smp)

Tundaan lalu-lintas pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variabel masukan.

D=DT +DG (2.45)

Tundaan Geometrik pada bagian jalinan ditentukan sebagai berikut:

(

1

)

4 4 4

DG= −DS × +DS× = (2.46)

Tundaan rata-rata bundaran dihitung sebagai berikut:

( )

; 1...

R i i masuk

D =

Q ×DT Q +DG i = n (2.47)

di mana:

Dr = tundaan bundaran rata-rata (det/smp ). i = bagian jalinan i dalam bundaran. n = jumlah bagian jalinan dalam bundaran.

Qi = arus total lapangan pada bagian jalinan i (smp/jam ).

DTi = tundaan lalu-lintas rata-rata pada bagian jalinan i (det/smp). Qmasuk = jumlah arus total yamg masuk bundaran ( smp/jam ) DG = tundaan rata-rata geometrik pada bagian jalinan (det/smp).

Nilai-nilai tundaan yang didapat dengan cara ini dapat digunakan bersama dengan nilai tundaan dan waktu tempuh yang didapat dengan cara lain untuk menentukan waktu tempuh sepanjang rute didalam jaringan jalan. Selanjutnya tundaan geometrik pada simpang harus disesuaikan bagi kecepatan ruas jalan sesungguhnya. Nilai normal kecepatan yang digunakan adalah 40 km/jam, tundaan geometrik kendaraan tidak terhambat 4 detik dan percepatan./perlambatan 15 m/s2. Pada tugas akhir ini tundaan pada bagian jalinan bundaran tidak dihitung.

2.7.4.3 Peluang Antrian pada bagian jalinan bundaran

Peluang antri QP% pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva antrian empiris, dengan derajat kejenuhan sebagai variabel masukan.

Peluang antri bundaran ditentukan sebagai berikut:

( )

% . % ; 1...

QP =Maks dari QP i= n (2.48)

di mana:

n = jumlah bagian jalinan dalam bundaran.

Peluang antrian dihitung dari hubungan empiris antara peluang antrian dengan derajat kejenuhan dapat dilihat pada Gambar 2.24. Pada tugas akhir ini peluang antrian pada bagian jalinan bundaran tidak dihitung.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2-24 Peluang Antrian vs Derajat Kejenuhan

2.7.4.4 Kecepatan Tempuh pada bagian jalinan tunggal

Kecepatan tempuh (km/jam) sepanjang bagian jalinan dihitung dengan rumus empiris berikut:

( )

(

0,5

)

0,5 1 1 o V =V × × + −DS (2.49) di mana:

V0 = kecepatan arus bebas (km/jam), dihitung sebagai: Vo = 43 x (1-PW /3)

di mana:

Pw = rasio arus jalinan/arus total DS = Derajat kejenuhan

Kecepatan arus bebas yaitu nilai faktor PW = 43 x (1-PW /3) dapat dilihat pada

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.25 Faktor PW = 43 x (1-P

W /3)

Variabel-variabel kecepatan tempuh dapat ditentukan dengan bantuan grafik dapat dilihat pada Gambar 2.26.

Sumber: MKJI 1997

2.7.4.5 Waktu Tempuh pada bagian jalinan tunggal

Waktu tempuh (TT) sepanjang bagian jalinan dihitung sebagai:

3,6 /TT =LW × V (detik) (2.50)

di mana:

LW = Panjang bagian jalinan (m) V = Kecepatan tempuh (km/jam)

Waktu tempuh dari metode ini dapat digabung dengan nilai tundaan dan waktu tempuh dari metode untuk fasilitas lainnya untuk mendapatkan waktu tempuh sepanjang rute pada jaringan jalan.

2.8 MANAJEMEN LALU LINTAS

Manajemen lalu lintas adalah suatu teknik perencanaaan transportasi yang sifatnya langsung penerapan di lapangan dan biasanya berjangka waktu yang tidak terlalu lama. Hal ini akan menyangkut kondisi dari arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya baik pada saat sekarang maupun yang akan direncanakan.

Tujuan dari manajemen lalu lintas adalah:

a. Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh, dengan tingkat aksesibilitas, yang tentunya dengan memikirkan keseimbangan akan permintaan pergerakan dengan sarana penunjang yang tersedia.

b. Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh semua pihak, dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik mungkin.

c. Melindungi dan memperbaiki kondisi lingkungan di mana arus lalu lintas tersebut berada.

Semua tujuan tersebut di atas akan dapat dicapai jika kontrol terhadap kondisi arus lalu lintas dilakukan dengan membatasi pergerakan atau aksesibilitas, yaitu dengan menggunakan berbagai teknik lalu lintas yang terkoordinasi antara prasarana penunjang seperti jalan, simpang, dan tempat parkir, dan juga usaha untuk mendapatkan pola arus lalu lintas yang diinginkan untuk segala macam tujuan secara efisien serta tingkat keselamatan dan pergerakan. Oleh karena itu, dengan kondisi arus lalu lintas pada saat sekarang, sasaran dari manajemen lalu lintas adalah:

a. Mengatur dan menyederhanakan arus lalu lintas, terutama dengan memisahkan berdasarkan tipe, kecepatan dengan pemakai jalan yang berbeda, untuk meminimumkan gangguan.

b. Mengurangi tingkat kemacetan dengan menaikkan kapasitas atau mengurangi volume lalu lintas dari suatu jalan.

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 UMUM (Halaman 38-50)

Dokumen terkait