• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 UMUM"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 UMUM

Bagian ini merupakan sumber referensi dan acuan dalam proses perhitungan dan analisis pada tahap-tahap selanjutnya. Dalam studi pustaka ini dipaparkan beberapa dasar teori dan wacana yang berhubungan dengan proses analisis yang akan dilakukan pada bab-bab selanjutnya.

Teori-teori yang dipaparkan dalam studi pustaka ini berkaitan dengan: - Teori Dasar Lalu Lintas

- Simpang Bersinyal - Simpang Tak Bersinyal - Jalan Perkotaan (Urban Road) - Simpang Tak Sebidang

- Jalinan

2.2 TEORI DASAR ARUS LALU LINTAS

Teori dasar lalu lintas adalah arus, kecepatan, dan kerapatan. Karakterisitik arus dinyatakan dengan tingkat arus yang akan ditekankan pada pola variasi dalam waktu, ruang dan jenis kendaraan. Karakteristik kecepatan menganalisis kecepatan kelompok kendaraan yang melintas suatu titik pengamat atau suatu potongan jalan pendek selama periode waktu tertentu. Karakteristik kerapatan dinyatakan sebagai sejumlah kendaraan yang menempati suatu potongan jalan. Selengkapnya mengenai ukuran arus, ukuran kecepatan dan ukuran kerapatan dijelaskan berikut ini.

2.2.1 Ukuran Arus

Ukuran arus lalu lintas meliputi besaran-besaran seperti di bawah ini, yaitu:

a. Volume (Q) adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada saat tertentu. Besaran volume ini menyatakan hasil pengamatan arus lalu lintas yang sebenarnya, yang dapat dinyatakan dalam periode, tahunan, harian, jam, atau satuan yang lebih kecil lagi. Jadi satuan yang dipakai biasanya adalah kendaraan/tahun, kendaraan/bulan, kendaraan/hari, atau kendaraan per dua jam

(2)

b. Besar arus (q) adalah besaran jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu dalam satu jam. Berbeda dengan volume yang merupakan pengamatan saat tertentu, untuk besar arus ini merupakan ukuran arus tapi diekivalensikan ke dalam interval satu jam.

c. Waktu antara (ht) atau time headway adalah selisih waktu antara dua buah

kendaraan yang berturut-turut yang melewati suatu titik tertentu. Waktu antara biasanya biasanya dinyatakan dalam satuan detik.

d. Waktu antara rata-rata ht adalah rata-rata dari semua waktu antara yang dinyatakan dalam detik per kendaraan.

e. Adapun hubungan antara ht , dan q adalah sebagai persamaan (2.1): t h = q Q T 3600 3600 = (2.1)

Di mana T adalah jam pengamatan.

2.2.2 Ukuran Kecepatan

Kecepatan (V) adalah jarak tertentu yang ditempuh sebuah kendaraan per satuan waktu. Satuan yang dipakai adalah km/jam atau m/detik.

Jenis kecepatan yang ada berupa:

a. Time mean speed (Vt ) adalah rata-rata dari kecepatan-kecepatan kendaraan

selama suatu jangka waktu pada suatu titik tertentu. Vt didasarkan pada

kecepatan masing-masing kendaraan yang merupakan distribusi dalam waktu. b. Spot Speed adalah kecepatan seketika dari kendaraan pada suatu tempat

tertentu.

c. Space mean Speed (Vs) adalah rata-rata dari kecepatan-kecepatan kendaraan di berbagai tempat pada suatu saat tertentu. Vs didasarkan pada kecepatan

masing-masing kendaraan yang merupakan distribusi dalam ruang.

d. Travel Time adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu kendaraan dari arus lalu lintas untuk bergerak dari suatu titik ke titik yang lain.

e. Total Travel Time adalah jumlah dari masing-masing waktu perjalanan dari semua kendaraan dari arus lalu lintas untuk bergerak dari satu titik ke titik yang lain.

f. Running Speed adalah kecepatan rata-rata dari suatu kendaraan pada suatu potongan jalan selama sedang bergerak dan dihitung dari jarak yang ditempuh dibagi waktu pergerakan (running time).

(3)

2.2.3 Ukuran Kerapatan

Kerapatan (k) adalah jumlah kendaraan per satuan panjang lajur pada saat tertentu. Satuan dari kerapatan adalah kendaraan per kilometer.

Jarak antara (hd) adalah jarak antara ujung depan suatu kendaraan dengan ujung

depan kendaraan berikutnya yang bergerak searah dalam arus lalu lintas dan dinyatakan dalam meter.

Jarak antara rata-rata (hd ) adalah rata-rata dari semua jarak antara pada sepotong jalan tertentu dan dinyatakan dalam meter per kendaraan.

Harga hd dapat ditentukan dari kerapatan, k, atau dari waktu antara rata-rata, ht

pada kecepatan, V, yang konstan, seperti pada persamaan (2.2) dibawah ini:

1000 1000 3600 d t h h V k = = × × (2.2)

Ketiga parameter arus lalu lintas di atas mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya yang dinyatakan dalam persamaan (2.3) berikut ini:

q = k • Vs (2.3)

di mana:

q = besar arus (kendaraan per jam) k = kerapatan (kendaraan per kilometer)

s

V = kecepatan rata-rata ruang (kilometer per jam)

2.2.4 Variasi Lalu Lintas Menurut Waktu

Volume lalu lintas yang lewat tidak konstan dan selalu berubah-ubah menurut suatu pola yang dapat dikatakan teratur. Beberapa faktor yang mempengaruhinya, adalah : iklim, cuaca, fisik jalan, pola siang malam, pola penggunaan tanah. Demikian juga dengan faktor-faktor sosial ekonomi. Ditinjau dari periode waktu, maka dikenal korelasi dalam satu jam, korelasi jam dalam sehari, korelasi harian dalam seminggu, atau korelasi bulanan dalam setahun.

Variasi lalu lintas menurut waktu dapat digolongkan dalam tiga jenis, yaitu: a. Perubahan akibat pertumbuhan lalu lintas

Pertumbuhan ini biasanya dinyatakan dalam besaran persen per tahun. Pertumbuhan ini terdiri dari empat macam, yaitu:

(4)

i. Pertumbuhan normal, yaitu naiknya jumlah kendaraan yang berada di jalan atau naiknya jumlah perjalanan (trip) akibat perkembangan normal. ii. Diverted Traffic, yaitu lalu lintas yang merubah rute perjalanan dari jalan

raya yang satu ke jalan raya yang lain karena sesuatu alasan tertentu (biasanya lebih ekonomis).

iii. Converted Traffic, yaitu lalu lintas yang terjadi karena adanya angkutan barang dan atau penumpang yang berganti alat angkutnya; yang sebelumnya tidak melewati jalan raya, sekarang melewati jalan raya.

iv. Generated Traffic atau Induced Traffic, yaitu lalu lintas yang terjadi karena adanya pembangunan atau perbaikan jalan; lalu lintas angkutan ini tidak ada sebelumnya dan tidak akan terjadi tanpa pembangunan atau perbaikan jalan tersebut.

b. Variasi berkala

Perubahan arus lalu lintas terjadi secara teratur , misal dalam sehari ada jam-jam tertentu terjadi arus lalu lintas yang padat atau pada hari-hari tertentu dalam seminggu terjadi perubahan arus lalu lintas.

c. Variasi tak berkala

Perubahan arus lalu lintas yang terjadi tidak teratur, misalnya seperti akibat bencana alam, perayaan setempat, dan sebagainya.

2.2.5 Satuan Mobil Penumpang (SMP)

Arus lalu lintas yang terjadi di lapangan bervariasi. Sejumlah kendaraan dengan berbagai jenis dan sifatnya membentuk suatu arus lalu lintas. Setiap jenis kendaraan mempunyai geometrik, ukuran, dan percepatan yang beragam, sehingga akan membentuk karakteristik lalu lintas yang berbeda untuk setiap komposisi. Perbedaan dari setiap jenis kendaraan menentukan pula pengaruhnya terhadap arus lalu lintas secara keseluruhan. Oleh sebab itu perlu diambil suatu konsep atau besaran yang akan menyatakan pengaruh sebuah jenis kendaraan terhadap arus lalu lintas keseluruhan. SMP atau PCU (Passenger Car Unit) merupakan sebuah konsep atau besaran yang diperlukan untuk menyatakan ekivalensi pengaruh setiap jenis kendaraan.

Nilai ekivalensi mobil penumpang untuk jalan perkotaan dapat dilihat pada

(5)

Tabel 2.1 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi Arus Lalu

Lintas emp

Total Dua Arah KB SM

(kend/jam) Lebar Jalan WCe (m)

Jenis Jalan : Jalan tak terbagi

≤ 6 ≥ 6

0 1,3 0,50 0,40

Dua-lajur tak terbagi (2/2 UD)

≥ 1800 1,2 0,35 0,25 0 1,3 0,40 Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD)

≥ 3700 1,2 0,25

(Sumber : MKJI 1997)

Tabel 2.2 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Terbagi dan

Satu Arah

Jenis Jalan : Arus Lalu Lintas emp Jalan satu arah dan Total Dua Arah

jalan terbagi (kend/jam) KB SM Dua-lajur satu arah (2/1) dan 0 1,3 0,40

Empat-lajur terbagi (4/2 D) ≥ 1050 1,2 0,25 Tiga-lajur satu arah (3/1) dan 0 1,3 0,40

Enam-lajur terbagi (6/2 D) ≥1100 1,2 1,25 Keterangan : KB = Kendaraan Berat; SM = Sepeda Motor

(Sumber : MKJI 1997)

2.3 SIMPANG BERSINYAL (SIGNALIZED INTERSECTION)

Metodologi untuk analisa simpang bersinyal yang merupakan prinsip – prinsip utama akan diuraikan satu – persatu pada sub bab berikut.

2.3.1 Geometri

Pada prinsipnya, tiap bagian dari simpang dianalisis masing-masing dari tiap pendekatnya. Satu lengan simpang dapat terdiri lebih dari satu pendekat, yaitu dipisahkan menjadi dua atau lebih sub-pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok kanan dan/atau belok kiri mendapat sinyal hijau pada fase yang berlainan dengan lalu lintas yang lurus, atau jika dipisahkan secara fisik dengan pulau-pulau lalu lintas dalam pendekat.

Untuk masing-masing pendekat atau sub-pendekat, terdapat suatu ketentuan dimana untuk setiap lebar efektif (W) ditetapkan dengan mempertimbangkan

(6)

denah dari suatu simpang dan termasuk juga distribusi dari gerakan-gerakan membelok.

2.3.2 Arus Lalu Lintas Simpang

Arus lalu-lintas (Q) untuk setiap gerakan (belok-kiri [QLT], lurus [QST], dan

belok-kanan [QRT] dikonversi dari kendaraan per-jam menjadi satuan mobil

penumpang (smp) per-jam dengan menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing pendekat terlindung dan terlawan..

Tabel 2.3 di bawah ini adalah tabel ekivalensinya: Tabel 2. 3 Ekivalensi MKJI

EMP untuk tipe pendekat Jenis kendaraan Terlindung Terlawan Kendaraan ringan (LV) 1 1 Kendaraan berat (HV) 1,3 1,3 Sepeda motor (MC) 0,2 0,4

(Sumber : MKJI 1997)

2.3.3 Model Dasar

Kapasitas suatu pendekat simpang bersinyal dapat diyatakan sebagai dengan persamaan di bawah ini:

g C S c = (2.4) di mana: C = Kapasitas (smp/jam)

S = Arus jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat selama sinyal hijau (smp/jam = smp per-jam hijau)

g = Waktu hijau

c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama).

Oleh karena itu perlu ditentukan waktu sinyal dari simpang agar dapat menghitung kapasitas dan parameter-parameter lalu lintas lainnya.

Satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa pada rumus (2-4) di atas, arus jenuh dianggap tetap selama waktu hijau. Meskipun demikian dalam kenyataannya, arus

(7)

berangkat mulai dari 0 pada awal waktu hijau dan mencapai nilai puncaknya setelah 10-15 detik. Nilai ini akan stabil besarnya sebelum menurun sedikit sampai akhir waktu hijau. Arus berangkat juga terus berlangsung selama waktu kuning dan merah-semua hingga turun menjadi 0, yang biasanya terjadi 5-10 detik setelah awal sinyal merah.

Permulaan arus berangkat menyebabkan terjadinya apa yang disebut sebagai ‘kehilangan awal’ atau ‘starting delay’ dari waktu hijau aktual, sedangkan arus berangkat setelah akhir waktu hijau menyebabkan suatu ‘tambahan akhir’ dari waktu hijau aktual. Jadi besarnya waktu hijau efektif, yaitu lamanya waktu hijau dimana arus berangkat terjadi dengan besaran tetap sebesar S, dapat dihitung menurut hubungan:

Waktu hijau efektif = Tampilan waktu hijau – Kehilangan awal +Tambahan akhir (2.5)

Pada umumnya, sesuai dengan rumus (2-5) di atas, besarnya waktu hijau efektif sama dengan waktu hijau yang ditampilkan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya ekivalensi antara waktu kehilangan awal dan tambahan akhir. Hal ini menunjukkan bahwa tampilan waktu hijau dan besar arus jenuh puncak yang diamati di lapangan untuk masing-masing lokasi, dapat digunakan pada rumus (2-4) di atas, untuk menghitung kapasitas pendekat tanpa penyesuaian dengan kehilangan awal dan tambahan akhir.

Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So)

yaitu arus jenuh pada keadaan standard, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.3.3.1 Faktor Penyesuaian Metoda MKJI

1 2 3 ....

o n

S =S × ×F F ×F × ×F (2.6)

Untuk pendekat terlindung, arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari lebar efektif pendekat (Weff):

600

o eff

S = ×W (2.7)

Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini: a. Ukuran kota; CS, jutaan penduduk;

b. Hambatan samping; SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor;

(8)

c. Kelandaian; G, % naik (+) dan turun (-);

d. Parkir; P, jarak garis henti – kendaraan parkir pertama; e. Gerakan membelok; RT, % belok kanan; LT, % belok kiri.

Untuk semua faktor di atas besar penyesuaiannya didapat dari tabel-tabel dan grafik yang ditentukan oleh MKJI.

Untuk pendekat terlawan, keberangkatan dari antrian sangat dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sopir-sopir di Indonesia tidak menghormati “aturan hak jalan” dari sebelah kiri, yaitu kendaraan-kendaraan belok kanan memaksa menerobos lalu-lintas lurus yang berlawanan. Model-model dari negara Barat tentang keberangkatan ini, yang didasarkan pada teori “penerimaan celah” (gap-acceptance), tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini, diperlukan pengembangan suatu model penjelasan yang didasarkan pada pengamatan perilaku pengemudi yang bersangkutan. Apabila terdapat gerakan belok-kanan dengan rasio tinggi, umumnya menghasilkan kapasitas-kapasitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan model Barat yang sesuai. Nilai-nilai smp yang berbeda untuk pendekat terlawan juga digunakan seperti diuraikan di atas.

2.3.4 Teori Dasar Lampu Lalu Lintas

Lampu lalu lintas mempunyai berbagai macam cara dalam mengalokasikan waktu mulai dari pretimed mode dua fase yang paling sederhana sampai multiphase actuated mode yang paling kompak.

Pergerakan adalah aliran sekumpulan kendaraan yang ditandai sifat-sifat arah, penggunaan lajur dan ketentuan prioritas.

Fase adalah suatu kelompok pengaturan dalam siklus yang diberikan pada satu atau dua arus secara tersendiri. Pengaturan fase, seperti yang sudah dibahas sebelumnya tergantung dari bentuk geometri simpang dan tingkat arus kendaraan yang berbelok dari masing-masing kendaraan.

Aspek yang penting dalam perencanaan sistem fase adalah pertimbangan arus membelok yang terlawan (oppossed) dan terlindung (protected). Untuk volume arus belok kanan yang relatif sedang dapat digunakan metode hijau awal atau metoda hijau akhir yang pada intinya sama yaitu mengurangi atau menghilangkan peluang terjadinya konflik antara kendaraan yang belok kanan dengan kendaraan pada arah berlawanan yang bergerak lurus. Dalam hal ini pengaruhnya telah

(9)

dijelaskan pada bagian sebelum ini mengenai penghitungan faktor penyesuaian untuk berbagai jenis arus.

Adapun pengertian konflik sendiri adalah titik pertemuan antara dua jalur/lintasan kendaraan yang dimungkinkan terjadi akibat arah geraknya yang berlawanan (180 derajat) atau tegak lurus (90 derajat). Pada umumnya konflik terjadi pada persimpangan antara dua atau lebih jalan.

Berikut ini adalah gambar konflik yang terjadi simpang empat lengan secara umum (Gambar 2.1).

Sumber : MKJI 1997

Gambar 2.1 Konflik yang Terjadi di Simpang Empat Lengan

Siklus adalah urutan lengkap dari seluruh fase lampu lalu – lintas.

c = ∑IG + ∑g (2.8)

di mana:

c = waktu siklus ( detik )

IG = waktu intergreen antara fase ( detik ) g = waktu hijau aktual ( detik )

(10)

Waktu intergreen adalah waktu akhir hijau suatu fase dengan awal waktu hijau fase berikutnya. Waktu ini terdiri dari waktu kuning dan all red. Kedua waktu tambahan ini berguna untuk membersihkan simpang dari kendaraan yang masih berada di simpang pada saat fase setelahnya segera akan dimulai. Waktu hilang ( lost time ) adalah waktu dimana pada simpang tidak terjadi pergerakan yang efektif. Rumusnya adalah demikian:

LTI = ∑(MERAH SEMUA+KUNING) = ∑IG (2.9)

di mana:

IG = waktu intergreen antara fase ( detik )

2.3.5 Penentuan Waktu Sinyal

Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali waktu menggunakan metode MKJI untuk meminimumkan tundaan total pada suatu simpang dinyatakan sebagai berikut di bawah ini. Tahap pertama adalah penentuan waktu siklus (c), selanjutnya waktu hijau (gi) pada masing-masing fase (i).

2.3.5.1 Waktu siklus 1,5 5 1 ua crit LTI c FR + = −

(2.10) dimana:

cua = Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (detik);

LTI = Jumlah waktu hilang per siklus (detik);

FR = S Q jenuh Arus Arus = (2.11) FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu

fase sinyal;

FRcrit = Rasio arus simpang = Jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus

tersebut.

Waktu siklus yang terlalu panjang akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. Jika nilai

FRcrit mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut adalah

lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif.

(11)

Waktu siklus yang disesuaikan (c) berdasarkan pada waktu hijau yang diperoleh adalah sesuai dengan rumus (2.8)

2.3.5.2 Waktu hijau

Berikut adalah persamaannya:

(

)

crit i crit c LTI FR i g FR − × =

(2.12) di mana:

gi = Tampilan waktu hijau pada fase i (detik)

Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumnya lebih peka terhadap kesalahan-kesalahan dalam pembagian waktu hijau untuk fase-fase yang ada dibandingkan dengan kesalahan dalam penentuan waktu siklus. Penyimpangan kecil saja dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dari rumus (2-10) dan (2-12) di atas akan menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada simpang tersebut.

2.3.6 Kapasitas Pendekat Dan Derajat Kejenuhan

Kapasitas pendekat diperoleh dengan mengalikan arus jenuh dengan rasio hijau (g/c) pada masing-masing pendekat, lihat rumus (2.1) di atas.

Secara singkat derajat kejenuhan diperoleh sebagai berikut:

Q Q c DS C S g ⋅ = = ⋅ (2.13) dimana: DS = derajat kejenuhan

Q = arus lalu lintas (smp/jam) C = kapasitas (smp/jam)

g = waktu hijau (detik)

S = arus jenuh (smp/jam) c = waktu siklus (detik)

(12)

2.3.7 Parameter Lalu Lintas (Kualitas Lalu Lintas)

Berbagai ukuran parameter lintas dapat ditentukan berdasarkan pada arus lalu-lintas (Q), derajat kejenuhan (DS) dan waktu sinyal (c dan g) sebagaimana diuraikan di bawah ini:

2.3.7.1 Panjang antrian

Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp yang

datang selama fase merah (NQ2):

(

)

(

)

2

(

)

1 8 0,5 0, 25 1 1 DS NQ C DS DS C ⎤ ⎢ ⎥ = − + − + ⎢ ⎥ ⎣ ⎦ (2.14) jika DS>0,5 ; selain dari itu NQ1 = 0

2 1 1 3600 GR Q NQ c GR DS − = × × − ⋅ (2.15) di mana:

NQ1 = Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau sebelumnya

NQ2 = Jumlah smp yang datang selama fase merah

DS = Derajat kejenuhan GR = Rasio hijau

c = Waktu siklus (det)

C = Kapasitas (smp/jam) = Arus jenuh x Rasio hijau = S x GR Q = Arus lalu-lintas pada pendekat tersebut (smp/det)

Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian NQ dengan luas rata-rata yang dipergunakan per smp (20 m2) dan pembagian dengan lebar masuk:

max 20 masuk QL NQ W = × (2.16) 2.3.7.2 Angka henti

Angka henti (NS) merupakan jumlah terhentinya rata-rata per-kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang, dihitung dengan rumus berikut 0,9 NQ 3600 NS Q c = × × × (2.17) di mana:

(13)

c = waktu siklus (detik)

Q = arus lalu lintas (smp/jam) dari pendekat yang ditinjau.

2.3.7.3 Rasio kendaraan terhenti

Rasio kendaraan terhenti (psv) merupakan rasio kendaraan yang harus berhenti

akibat sinyal merah sebelum melewati suatu simpang i, yang dihitung menurut hubungan:

(

)

min ,1 sv p = NS (2.18) di mana:

NS = angka henti dari suatu pendekat.

2.3.7.4 Tundaan

Tundaan pada suatu simpang dapat dibedakan menjadi dua hal:

a. Tundaan lalu lintas (DT) karena interaksi lalu-lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang.

b. Tundaan geometri (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan/atau terhenti karena lampu merah.

Dengan demikian tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dapat dihitung sebagai penjumlahan dari kedua macam tundaan di atas:

j j j

D =DT +DG (2.19)

di mana:

Dj = Tundaan rata-rata untuk pendekat j (detik/smp;

DTj = Tundaan lalu-lintas rata-rata untuk pendekat j (detik/smp)

DGj = Tundaan geometri rata-rata untuk pendekat j (detik/smp)

.

Tundaan lalu-lintas rata-rata pada suatu pendekat j dapat ditentukan dari rumus berikut:

(

)

2 1 2 0,5 1 3600 1 GR NQ NQ c GR DS C ⋅ − = × × − × (2.20) dimana:

DTj = Tundaan lalu-lintas rata-rata pada pendekat j (det/smp);

GR = Rasio hijau (g/e); DS = Derajat kejenuhan; C = Kapasitas (smp/jam);

(14)

c = Waktu siklus yang disesuaikan

Adakalanya terdapat faktor-faktor unpredictable yang mempengaruhi perhitungan tundaan diatas. Apabila hal ini terjadi hasil perhitungan di atas tidak berlaku lagi. Contoh pengaruh-pengaruh unpredictable dia atas ialah jika kapasitas simpang dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti terhalangnya jalan keluar akibat kemacetan pada bagian hilir, pengaturan oleh polisi secara manual dan sebagainya. Tundaan geometri rata-rata pada suatu pendekat j dapat diperkirakan sebagai berikut:

(

)

6 1 4 j sv T sv DG = −p p + P (2.21) dimana:

DGj = Tundaan geometri rata-rata pada pendekat j (det/smp);

psv = Rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat;

pT = Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat.

Nilai normal 6 detik untuk kendaraan belok tidak berhenti dan 4 detik untuk yang berhenti dengan didasarkan asumsi:

a. Kecepatan = 40 km/jam;

b. Kecepatan belok tidak berhenti = 10 km/jam; c. Percepatan dan perlambatan = 1,5 m/detik2;

d. Kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan.

2.4 SIMPANG TAK BERSINYAL (UNSIGNALIZED INTERSECTION)

2.4.1 Prinsip Umum

Simpang tak bersinyal diatur oleh hak utama (priority rule). Metode dan prosedur untuk perhitungan dan analisis simpang tak bersinyal mempunyai dasar empiris. Alasannya adalah bahwa perilaku lalulintas pada simpang tak bersinyal dalam hal aturan memberi jalan, disiplin lajur dan aturan antri sangat sulit digambarkan dalam suatu model perilaku seperti model berhenti/beri jalan yang berdasarkan pada pengambilan celah.

Metode ini memperkirakan pengaruh terhadap kapasitas dan ukuran-ukuran terkait lainnya akibat kondisi geometri, lingkungan dan kebutuhan lalulintas.

(15)

2.4.2 Arus Lalulintas

Dalam perhitungan selanjutnya diperlukan referensi mengenai komposisi lalu lintas, yaitu saat melakukan proses up dating matriks asal tujuan. Dari MAT yang diperoleh selanjutnya di-up date dengan tingkat pertumbuhan lalulintas, nilai komposisi berfungsi untuk membagi antara kendaraan ringan (LV) dengan sepeda motor (MC) untuk kota dengan jumlah penduduk tertentu.

Tabel 2.4 Nilai Normal Komposisi Lalulintas Ukuran Kota

Komposisi Lalu Lintas Kendaraan Bermotor(%)

Rasio Kendaraan (Juta

Penduduk) Kend Ringan Kend Berat Sepeda Motor Tak Bermotor

LV HV MC (UM/MV) >3 60 4,5 35,3 0,01 1 s.d. 3 55,5 3,5 41 0,05 0,5 s.d. 1 40 3 57 0,14 0,1 s.d. 0,5 63 2,5 34,5 0,05 <0,1 83 2,5 34,5 0,05 (Sumber: MKJI 1997)

Sedangkan untuk melakukan perhitungan terhadap rasio belok dan rasio arus jalan minor ditunjukkan dalam Gambar 2.2.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.2 Variabel Arus Lalulintas Untuk Perhitungan

Rasio Belok dan Jalan Minor

Nilai masing-masing variabel dalam Gambar 2.2 dapat diketahui dengan menggunakan persamaan-persamaan di bawah ini.

(16)

TOT MI MI Q Q P = / TOT LT LT Q Q P = / TOT RT RT Q Q P = / TOT TM UM Q Q P = /

A, B, C, dan D menunjukkan arus lalulintas dalam smp/jam. Rasio arus jalan minor:

Rasio arus belok kiri dan kanan total:

(2.27) (2.28)

Rasio antara arus kendaraan tak bermotor dengan kendaraan bermotor:

(2.29)

2.4.3 Model Dasar

Dalam bagian ini dijelaskan beberapa model dasar dalam perhitungan simpang tak bersinyal. Model-model dasar tersebut adalah:

2.4.3.1 Kapasitas

Kapasitas total untuk seluruh lengan simpang adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (C0) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor-faktor

penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas. Kapasitas di sini adalah banyaknya volume kendaraan yang dapat masuk ke dalam simpang tak bersinyal tersebut, pengertian ini berlaku di Indonesia dengan kondisi lalulintas yang masih jauh dari keteraturan.

Bentuk model kapasitas menjadi sebagai berikut:

(2.23)

(2.24) (2.25)

(17)

MI RT LT RSU CS M W F F F F F F F C C = 0 × × × × × × × (2.30)

Variabel-variabel masukan untuk perkiraan kapasitas (smp/jam) dengan menggunakan model tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.5 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas

Tipe Variabel Uraian Variabel dan Nama Masukan

Faktor Model

Geometri Tipe simpang IT

Lebar rata-rata pendekat Wi Fw

Tipe median jalan utama M FM

Lingkungan Kelas ukuran kota CS FCS

Tipe lingkungan jalan RE

Hambatan samping SF

Rasio kendaraan tak bermotor PuM FRSU Lalu Lintas Rasio belok-kiri PLT FLT

Rasio belok-kanan PRT FRT

Rasio arus jalan minor QMI/QTOT FMI (Sumber: MKJI 1997)

2.4.3.2 Lebar Rata-Rata Pendekat

Untuk menentukan lebar rata-rata pendekat untuk setiap lengan simpang tak bersinyal diilustrasikan dalam gambar di bawah ini, dilanjutkan dengan persamaan-persamaan yang berguna untuk mendapatkan nilai dari setiap variabel yang ditampilkan pada Gambar 2.3.

Sumber: MKJI 1997

(18)

Untuk mendapatkan nilai dari variabel di atas, digunakan persamaan-persamaan di bawah ini.

(

A C

)

/

2

AC

W

W

W

=

+

(2.31)

(

B D

)

/

2

BD

W

W

W

=

+

(2.32)

(

W

W

W

W

)

n

W

1

=

A

+

C

+

B

+

D

/

(2.33)

Dengan n adalah jumlah lengan simpang.

2.4.3.3 Jumlah Lajur

Untuk menentukan jumlah lajur dalam setiap lengan simpang tak bersinyal didasarkan pada lebar rata-rata pendekat minor dan utama. Untuk lebih lengkapnya dijelaskan dalam Gambar 2.4 dan Tabel 2.6.

Sumber : MKJI .1997

Gambar 2.4 Jumlah Lajur dan Lebar Rata-rata

(19)

Tabel 2.6 Penentuan Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Rata-rata Pendekat Minor dan Utama

Lebar rata-rata pendekat minor dan utama WAC, WBD

Jumlah lajur (total untuk kedua arah) WBBD B = (b+d/2)/2 < 5,5 2 ≥ 5,5 4 WBAC B = (a/2+c/2)/2 < 5,5 2 ≥ 5,5 4 (Sumber : MKJI .1997) 2.4.3.4 Tipe Simpang

Simpang tidak bersinyal memiliki beberapa tipe yang ditentukan berdasarkan jumlah lengan dan jumlah lajur untuk setiap lengannya. Secara lebih lengkap, tipe-tipe simpang tak bersinyal ditampilkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Kode Tipe Simpang

Kode IT Jumlah lengan simpang Jumlah lajur jalan minor Jumlah lajur jalan utama 322 3 2 2 324 3 2 4 342 3 4 2 422 4 2 2 424 4 2 4 (Sumber : MKJI .1997) 2.4.3.5 Kapasitas Dasar

Kapasitas simpang tak bersinyal ditentukan salah satunya oleh kapasitas dasar (smp/jam) yang besarnya tergantung pada tipe simpang yang telah didefinisikan sebelumnya.

Tabel 2.8 Kapasitas Dasar Menurut Tipe Simpang

Kode IT Jumlah lengan simpang Jumlah lajur jalan minor Jumlah lajur jalan utama 322 3 2 2 324 3 2 4 342 3 4 2 422 4 2 2 424 4 2 4 (Sumber : MKJI .1997)

(20)

C

Q

DS

=

smp

2.4.4 Perilaku Lalulintas

Perilaku lalulintas merupakan parameter-parameter kinerja lalulintas suatu simpang tak bersinyal, di bawah ini dijelaskan lebih detail mengenai perilaku lalulintas untuk simpang tak bersinyal yaitu:

2.4.4.1 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan untuk seluruh simpang, (DS), dihitung sebagai berikut:

(2.34) di mana:

Qsmp = Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut:

Qsmp = Qkend × Femp

Femp = Faktor emp

C = Kapasitas (smp/jam)

2.4.4.2 Tundaan

Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab, yaitu:

a. Tundaan Lalulintas (DT) akibat interaksi lalulintas dengan gerakan yang lain dalam simpang.

b. Tundaan Geometrik (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tak-terganggu.

Tundaan lalulintas seluruh simpang (DT), jalan minor (DTMI) dan jalan utama (DTMA), ditentukan dari kurva tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variabel bebas.

(21)

(

TOT MA MA

)

MI

MI Q DT Q DT Q

DT = × 1 − × /

Sumber : MKJI .1997

Gambar 2.5 Tundaan Lalulintas Jalan Utama Terhadap Derajat Kejenuhan

Sedangkan untuk kurva tundaan lalu lintas simpang terdapat pada Gambar 2.6.

Sumber: MKJI .1997

Gambar 2.6 Tundaan Lalulintas Simpang Terhadap Derajat Kejenuhan

Untuk penentuan tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI), dilakukan sebagai

berikut:

(2.35) Tundaan geometrik (DG) dihitung dengan rumus:

(22)

Untuk DS < 1,0:

(2.36) Untuk DS ≥ 1,0: DG = 4

dimana:

DS = Derajat kejenuhan.

PT = Rasio arus belok terhadap arus total.

6 = Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang tak-terganggu

(det/smp).

4 = Tundaan geometrik normal untuk kendaraan yang terganggu (det/smp).

2.4.4.3 Peluang Antrian

Peluang antrian ditentukan dari kurva peluang antrian/derajat kejenuhan secara empiris, dengan menggunakan kurva Gambar 2.7.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.7 Rentang Peluang Antrian (QP %)

Terhadap Derajat Kejenuhan

(

1−

)

×

(

×6+

(

1−

)

×3

)

+ ×4

= DS PT PT DS

(23)

2.5 RUAS JALAN PERKOTAAN

2.5.1 Prinsip Umum

Segmen jalan perkotaan/semi perkotaan adalah suatu segmen jalan yang mempunyai perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh atau hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, apakah berupa perkembangan lahan atau bukan. Jalan di atau dekat pusat perkotaan dengan penduduk lebih dari 100.000 selalu digolongkan dalam kelompok ini. Jalan di daerah perkotaan dengan penduduk kurang dari 100.000 juga digolongkan dalam kelompok ini jika mempunyai perkembangan samping jalan yang permanen dan menerus (MKJI 1997).

Indikasi lebih lanjut tentang daerah perkotaan atau semi perkotaan adalah karakteristik arus lalu lintas puncak pada pagi hari dan sore hari, secara umum lebih tinggi dan terdapat perubahan komposisi lalu lintas (dengan persentase kendaraan pribadi dan sepeda motor yang lebih tinggi dan persentase truk berat yang lebih rendah dalam arus lalu lintas). Peningkatan arus yang berarti pada jam puncak biasanya menunjukkan perubahan distribusi arah lalu lintas (tidak seimbang), dan karena itu batas segmen jalan harus dibuat antara segmen jalan luar kota dan jalan semi perkotaan. Dengan cara yang sama, perubahan arus yang berarti biasanya juga menunjukkan batas segmen. Indikasi lain yang membantu (walaupun tidak pasti) yaitu keberadaan kereb; jalan luar kota jarang dilengkapi kereb.

Tipe jalan dalam kota adalah sebagai berikut: a. Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD)

b. Jalan empat-lajur dua-arah

i. tak-terbagi (yaitu tanpa median) (4/2 UD) ii. terbagi (yaitu dengan median) (4/2 D) c. Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D) d. Jalan satu-arah.

Karakteristik jalan pada jalan perkotaan adalah:

a. Tipe jalan: berbagai tipe jalan akan menunjukkan kinerja berbeda pada pembebanan lalu lintas tertentu. Berbagai tipe jalan seperti disebutkan diatas. b. Lebar jalur lalu lintas: kecepatan arus bebas dan kapasitas meningkat dengan

pertambahan lebar jalur lalu lintas.

c. Kereb: kereb sebagai batas antara jalur lalu lintas dan trotoar berpengaruh terhadap dampak hambatan samping pada kapasitas dan kecepatan.

(24)

d. Bahu: jalan perkotaan tanpa kereb pada umumnya mempunyai bahu pada kedua sisi jalur lalu lintasnya. Lebar dan kondisi permukaannya mempengaruhi penggunaan bahu, berupa penambahan kapasitas, dan kecepatan pada arus tertentu, akibat pertambahan lebar bahu, terutama karena pengurangan hambatan samping yang disebabkan kejadian di sisi jalan seperti kendaraan angkutan umum berhenti, pejalan kaki dan sebagainya.

e. Median: median yang direncanakan dengan baik bisa mengoptimalkan kapasitas.

f. Alinyemen jalan: lengkung horizontal dengan jari-jari kecil mengurangi kecepatan arus bebas. Tanjakan yang curam juga mengurangi kecepatan arus bebas. Dikarenakan secara umum kecepatan arus bebas di daerah perkotaan adalah rendah maka pengaruh ini diabaikan.

Untuk masing-masing tipe jalan tersebut, prosedur perhitungan dapat digunakan untuk analisa operasional, perencanaan dan perancangan jalan perkotaan (sering disebut jalan kota). Untuk setiap tipe jalan yang ditentukan, prosedur perhitungan dapat digunakan hanya pada kondisi berikut:

a. Alinyemen datar atau hampir datar.

b. Alinyemen horisontal lurus atau hampir lurus.

c. Pada segmen jalan yang tidak dipengaruhi antrian akibat simpang, atau arus iringan kendaraan yang tinggi dari simpang bersinyal.

Prosedur digunakan untuk perhitungan segmen jalan tertentu. Segmen jalan didefinisikan sebagai panjang jalan yang mempunyai karakteristik yang seragam sepanjang jalan.

Titik di mana karakteristik jalan berubah secara berarti menjadi batas segmen walaupun tidak ada simpang di dekatnya. Perubahan kecil dalam geometrik tidak perlu dipersoalkan (misalnya perbedaan lebar jalur lalulintas kurang dari 0,5 m), terutama jika perubahan tersebut hanya sebagian.

Prosedur yang dijelaskan di bawah untuk jalan perkotaan dan semi perkotaan berlaku untuk segmen tanpa pengaruh simpang, dan karena itu sebagian besar data empiris dikumpulkan dari rute utama perkotaan dan semi perkotaan dan bukan dari jalan kota. Pada jalan kota, Di mana banyak simpang utama, kapasitas dan kinerja sistem jalan akan tergantung terutama pada simpang (dan bagian jalinan) dan bukan pada segmen jalan di antara simpang.

Kondisi yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya berlaku untuk kondisi ruas di dalam wilayah kajian. Sebagian besar ruas di dalam wilayah kajian memiliki

(25)

panjang ruas yang pendek, sehingga kinerja lalulintas di ruas tersebut dipengaruhi oleh simpang di ujung-ujungnya.

2.5.2 Perilaku Lalu Lintas

Dalam ruas perkotaan terdapat beberapa perilaku lalulintas yang dapat dijadikan patokan kinerja ruas tersebut, perilaku lalulintas tersebut adalah sebagai berikut:

2.5.2.1 Kecepatan Arus Bebas

Kecepatan arus bebas (FV) didefinisikan sebagai kecepatan pada tingkat arus 0 (nol), yaitu kecepatan yang akan dipilih pengemudi jika mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.8 Bentuk Umum Hubungan Kecepatan dan Arus

Persamaan untuk penentuan kecepatan arus bebas untuk kondisi lapangan yang ditinjau memiliki bentuk umum sebagai berikut:

(

FV

FV

W

)

FFV

SF

FFV

CS

FV

=

0

+

×

×

(2.37)

di mana:

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam). FV0 = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan yang diamati

(lihat pada tabel 2.8).

FVW = Penyesuaian kecepatan untuk lebar jalan (km/jam).

FFVSF = Faktor penyesuaian untuk hambatan samping dan lebar bahu atau jarak

kereb penghalang.

(26)

Tabel 2.9 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FV0) untuk daerah perkotaan.

Tipe Jalan Kecepatan Arus

Kendaraan Ringan LV Kendaraan Berat HV Sepeda Motor MC Semua kendaraan (rata-rata) Enam-lajur terbagi (6/2 D) atau 61 52 48 57

Tiga-lajur satu arah (3/1) Empat-lajur terbagi (4/2 D) atau 57 50 47 55

Dua-lajur satu arah (2/1)

Empat-lajur tak terbagi (4/2 UD) 53 46 43 51 Dua-lajur tak terbagi (2/2 UD) 44 40 40 42 (Sumber: MKJI 1997 )

Untuk nilai-nilai faktor penyesuaian terdapat di Manual Kapasitas Jalan Indonesia untuk bagian Ruas Jalan Perkotaan.

2.5.2.2 Kapasitas

Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam dalam kondisi tertentu. Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur.

Persamaan dasar penentuan kapasitas adalah sebagai berikut: CS SF SP W

FC

FC

FC

FC

C

C

=

0

×

×

×

×

(2.38) di mana: C = Kapasitas (smp/jam) C0 = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCW = Faktor penyesuaian lebar jalan.

FCSP = Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak terbagi).

FCSF = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb.

FCCS = Faktor penyesuaian ukuran kota.

Nilai dari masing-masing variabel di atas terdapat dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia pada bagian Ruas Jalan Perkotaan.

(27)

2.5.2.3 Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak.

smp Q DS C = (2.39) di mana:

Qsmp = Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut:

Qsmp = Qkend × Fsmp

Fsmp = Faktor smp

C = Kapasitas (smp/jam)

2.5.2.4 Kecepatan dan Waktu Tempuh

Kecepatan didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan (LV) sepanjang segmen jalan, dapat menggunakan Gambar 2.9 (jalan dua lajur tak terbagi) atau Gambar 2.10 (jalan banyak lajur atau jalan satu arah).

Sumber: MKJI 1997

(28)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.10 Kecepatan sebagai fungsi DS untuk jalan banyak lajur

dan satu arah

Waktu tempuh rata-rata untuk kendaraan ringan dalam jam dapat menggunakan rumus sebagai berikut.

Waktu tempuh rata-rata TT = L V (2.40)

di mana:

V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam) L = Panjang segmen (km)

TT = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen jalan (jam)

2.6 KONFIGURASI DAN DESAIN AWAL SIMPANG TAK SEBIDANG

2.6.1 Tipe-Tipe Konfigurasi Simpang Tak Sebidang

Terdapat beberapa bentuk dasar simpang tak sebidang atau jalan penghubung (ramp) untuk gerakan membelok pada simpang tak sebidang. Aplikasi bentuk tersebut pada tempat tertentu ditentukan oleh jumlah kaki simpang, volume menerus dan belok, topografi, dan trend. Simpang tak sebidang memerlukan desain khusus untuk menyesuaikan dengan keadaan namun model dari simpang tak sebidang sepanjang jalan sebaiknya merupakan tipe umum yang sama sehingga pengemudi menjadi terbiasa dengan model simpang tak sebidang yang umum dan letak pintu keluar. Ramp seharusnya menjadi model yang konsisten. Hal ini seharusnya dibuat untuk desain semua simpang tak sebidang sepanjang rute tersebut dengan cara melengkapi pintu keluar tunggal di kiri. Ketidak konsistensian

(29)

model ramp disebabkan oleh ekonomi, topografi, atau pertimbangan lain, sehingga tanda khusus mungkin diperlukan.

Simpang tak sebidang diklasifikasikan sebagai tipe yang dibatasi oleh jumlah dan jalan yang ada. Beberapa pembatasan harus dipertimbangkan pemakaiannya dan dimengerti oleh para perencana. Ada banyak variasi dari tiap tipe dan banyak kombinasi tipe. Macam-macam tipe simpang tak sebidang adalah sebagai berikut : a. Tipe T (Trumpet) dan Y

Pada dasarnya, kedua tipe ini hampir sama dan dapat digunakan pada hampir semua simpang susun yang mempunyai cabang/kaki tiga, hanya tergantung pada sudut pertemuan antar cabang-cabangnya.

Untuk menyesuaikan antara besarnya volume lalu lintas dengan pelayanan yang akan diberikan, kedua ramp dapat dipindah-pindah tergantung pada prioritas arah mana yang diutamakan. Tipe ini dapat dikembangkan dan digunakan pada simpang susun bercabang empat dalam bentuk double trumpet.

Gambar 2.11 Simpang Tak Sebidang Tipe T dan Y

b. Diamond, bentuk paling sederhana diantara dua jalan raya yang saling melintas. Memerlukan sedikit lahan dan hanya mempunyai satu titik keluar dan masuk pada tiap jalan dari jalan mayor. Keuntungan tipe ini adalah semua lalu lintas dapat masuk dan keluar simpang tak sebidang dalam kecepatan tinggi melalui ramp langsung sederhana, di samping itu kebutuhan ROW nya relatif kecil. Untuk memberikan pelayanan yang optimal pada pengoperasiannya, tipe ini harus dilengkapi dengan rambu pada simpang keluar masuk ramp dengan arteri.

Gambar 2.12 Simpang Tak Sebidang Tipe Diamond

c. Four Quadrant Cloverleaf, bentuk dari simpang tak sebidang ini menghilangkan semua konflik simpang yang ditemukan pada diamond; tetapi memerlukan lahan yang lebih luas. Dua titik masuk dan keluar ditemukan pada tiap jalan menerus dan suatu konflik gabung antara kendaraan yang

(30)

mempergunakan putaran belok kiri yang masuk dan meninggalkan jalur menerus.

d. Four Quadrant Cloverleaf with Collector Roads, bentuk simpang tak sebidang ini memindahkan konflik tersebut di atas pada jalan kolektor yang hanya dipergunakan oleh kendaraan yang membelok. Karena hanya ada satu titik keluar pada tiap jalan menerus, tanda yang mengarahkan pada jalur kecepatan tinggi disederhanakan. Tetapi, jalan kolektor menambah biaya suatu simpang tak sebidang, Keperluan lahan lebih, perkerasan lebih dan suatu struktur pemisah panjang.

e. Two Quadrant Cloverleaf, kadang-kadang digunakan sebagai tahap pertama pada pelaksanaan bertahap sebuah Four Quadrant Cloverleaf yang terakhir, tetapi kadang-kadang sebagai desain akhir, yang melayani baik di mana hampir semua lalu lintas meninggalkan satu jalan berputar pada kaki yang sama dari jalan simpang. Ada beberapa konflik simpang pada jalan melintang tetapi pengaruh ini hanya pada pergerakan membelok minor.

Selain hal tersebut di atas terdapat pula apa yang dinamakan persilangan jalan (fly over), di mana jalan-jalan tidak bertemu melainkan saling bersilang sehingga tidak ada kemungkinan untuk berbelok dari jalan yang satu ke jalan yang lainnya.

2.6.2 Desain Awal Simpang tak sebidang

Setelah terpilih konfigurasi dan struktur simpang tak sebidang yang optimal, maka tahap berikutnya adalah perancangan (desain awal) dari simpang tak sebidang tersebut. Desain tersebut khususnya menyangkut bagian-bagian simpang tak sebidang sebagai berikut:

a. Jalur Utama (Main Lane)

Yaitu jalur untuk lalu lintas utama, yang biasanya menerus ataupun kadang-kadang membelok

b. Jalur Kolektor/Distributor

Yaitu jalur yang terpisah dari jalur utama, tetapi searah dengannya dan berfungsi untuk menampung arus lalu lintas yang memasuki atau meninggalkan jalur utama. Jalur ini bersatu dengan jalur utama pada ujung-ujungnya melalui jalur perlambatan/percepatan

c. Jalur Penghubung (Ramp)

Yaitu jalur yang menghubungkan dua jalur utama.

d. Jalur Perlambatan/Percepatan (Deceleration/Acceleration Lane atau Speed Change Lane)

(31)

Yaitu suatu jalur yang terbatas panjangnya dan terletak di sebelah jalur cepat (sebagai pelebaran jalur cepat) dan berfungsi sebagai tempat kendaraan menyesuaikan kecepatan dari situasi di belakang ke situasi di depannya.

e. Jalur Penampung (Frontage Road)

Yaitu jalur lokal yang terletak di samping jalur utama dan berfungsi untuk melayani kebutuhan setempat.

Dalam perencanaan simpang tak sebidang, terdapat beberapa hal-hal khusus yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Jenis-jenis ramp (direct, indirect, loop)

b. Jalur-jalur tambahan (Auxiliary lane) yang terdiri dari lajur percepatan dan perlambatan (Acceleration dan deceleration lanes)

c. Tempat keluar masuk jalur utama (Exit dan Entry terminal)

d. Penggunaan sumbu acuan perancangan antara centre line di jalan utama dengan base line di ramp

e. Standar geometric yang digunakan

f. Landai ramp bisa diijinkan sampai cukup besar, misalnya 6-8% untuk lajur percepatan dan perlambatan

g. Ruang bebas berkaitan dengan tinggi minimum jembatan yang berkisar antara 4,5-5,0 m

h. Konsistensi bentuk simpang suisun dan jarak antara simpang tak sebidang berturutan yang biasanya berkisar antara minimum 2-3 km

i. Pembangunan bisa dilkukan secara bertahap, sesuai dengan batasan yang ada misalnya biaya, kondisi lalu lintas dan keterbatasan daerah

j. Keseimbangan jalur di jalan utama dan di simpang tak sebidang

k. Dari sisi struktur, perlu dipilih jenis struktur yang mampu menahan beban dengan baik serta pelaksanaannya sesedikit mungkin mengganggu lalu lintas. l. Fasilitas hidrologi harus didesain dengan baik agar tidak menimbulkan masalah

banjir di sekitar lokasi simpang tak sebidang

m. Lingkungan sekitar (dan di bawah) simpang tak sebidang harus di tata, agar tidak tumbuh menjadi areal yang kumuh.

Keseimbangan jumlah lajur harus dicek berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Pada jalur masuk, jumlah jalur di luar jalur lalu lintas yang menyatu, tidak boleh kurang dari jumlah semua jalur lalu lintas pada jalur yang menyatu dikurangi satu, tapi bisa sama dengan jumlah jalur lalu lintas pada jalur yang menyatu.

b. Pada jalur keluar, jumlah dari lajur yang mendekati pada jalan utama harus sama dengan jumlah jalur pada jalan utama setelah jalur keluar, ditambah jumlah jalur pada jalur keluar, dikurangi satu. Berikut contohnya:

(32)

Gambar 2.13 Keseimbangan Jumlah Lajur Pada Simpang Susun

Keuntungan simpang tak sebidang adalah adalah sebagai berikut:

a. Kapasitas dari jalan menerus dalam simpang tak sebidang dapat dibuat pendekatan atau sama dari luar simpang tak sebidang.

b. Peningkatan keselamatan dilengkapi untuk menerus dan pembelokan lalu lintas ke kiri, pergerakan pembelokan ke kanan membuat manuver yang sama seperti pada simpang sebidang tetapi umumnya, pada tipe fasilitas yang lebih tinggi. Hal ini juga mempunyai keselamatan terbesar.

c. Berhenti dan perubahan kecepatan terasa dihilangkan dari pergerakan menerus. Pengemudi membuat pergerakan berbelok biasanya kecepatannya diturunkan, tetapi tidak terlalu pada fasilitas yang didesain cukup. Kemampuan untuk menjaga hasil pergerakan menghasilkan penghematan yang besar terhadap waktu dan biaya operasi kendaraan (BOK) dan tambahan yang dapat diukur sebagai kenyamanan dan kenikmatan pengendara.

d. Jalan simpang tak sebidang fleksibel dalam desain dan mungkin untuk disesuaikan pada hampir semua kondisi seperti sudut dan posisi jalan simpang.

e. Simpang tak sebidang adalah sebuah bagian terpenting dari tipe tertinggi dari jalan raya, jalan cepat atau jalan bebas hambatan.

Kerugian terpenting dari simpang tak sebidang berasal dari pertimbangan biaya dan aspek praktis dari perlengkapan desain yang diinginkan pada daerah dengan terbatasnya ruang milik jalan (right of way/ROW) dan pada daerah sulit adalah sebagai berikut:

a. Jalan susun dan simpang tak sebidang mahal. Perencanaan, ROW, konstruksi pemeliharaan, dengan beberapa kecil pengecualian, membutuhkan biaya lebih dibandingkan dengan suatu tipikal desain simpang sebidang.

b. Simpang tak sebidang tidak jelas sekali pada arah arus lalu lintasnya. Rancangannya mungkin membingungkan (terutama dimana tidak ada sebuah tambahan lengkap ramp) untuk para pengemudi, khususnya yang tidak terbiasa. Walaupun demikian pengemudi yang berpengalaman dengan simpang tak sebidang telah banyak, sehingga penggunaannya dapat lebih baik.

(33)

c. Pembangunan simpang tak sebidang pada masa konstruksi sangatlah mengganggu arus lalu lintas pada lintasan bawahnya, sehingga agar lebih ekonomis pembangunan struktur atas hendaknya dapat memikul volume lalu lintas untuk beberapa tahun mendatang.

d. Suatu tipe simpang tak sebidang sederhana tidak mudah diadaptasi untuk sebuah simpang banyak lengan dengan lima atau lebih approach. Pada kasus khusus ini mungkin perlu untuk menggabungkan beberapa jalan diluar daerah simpang tak sebidang sendiri atau untuk melengkapi sebuah tipe simpang tak sebidang multistruktur.

2.7 JALINAN

Bagian jalinan dibagi dua tipe utama yaitu bagian jalinan tunggal dan bagian jalinan bundaran. Ukuran kinerja jalinan baik tunggal dan bundaran dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Ukuran kinerja jalinan Ukuran Kinerja Tipe bagian jalinan

Tunggal Bundaran

Kapasitas ya ya

Derajat Kejenuhan ya ya

Tundaan tidak ya

Peluang Antri tidak ya

Kecepatan ya tidak

Waktu Tempuh ya tidak (Sumber: MKJI 1997)

Metode pada dasarnya empiris dan oleh karenanya harus digunakan dengan hati-hati dan dengan pertimbangan teknik lalu-lintas yang matang apabila digunakan di luar rentang variasi untuk variabel data empiris yang ditunjukkan dalam Tabel

(34)

Tabel 2.11 Rentang variasi data empiris untuk variabel masukan

Variabel Bundaran Tunggal

Min Rata-rata Maks Min Rata-rata Maks

Lebar pendekat 6 9 11 8 906 11 Lebar jalinan 9 12,6 20 8 11,5 20 Panjang Jalinan 21 33,9 50 50 96 183 Lebar/panjang 0,22 0,43 0,80 0,06 0,13 0,20 Rasio Jalinan 0,32 0,76 0,94 0,32 0,74 0,95 % kendaraan ringan 35 60 75 49 63 81 % kendaraan berat 0 2 3 0 3 13 % sepede motor 20 33 55 16 32 45

Rasio kendaraan tak bermotor

0,01 0,05 0,18 0 0,02 0,06 (Sumber: MKJI 1997)

Metode ini menerangkan pengaruh rata-rata dari kondisi masukan yang diasumsikan. Penerapan dalam rentang keadaan darimana metode diturunkan, kesalahan perkiraan kapasitas biasanya kurang dari 15%. Pada keadaan tertentu pengaruh salah satu variabel atau lebih mungkin sangat berbeda dari perkiraan model. Variabel lain juga ada yang mungkin penting bagi kapasitas.

Metode ini berlaku untuk derajat kejenuhan lebih kecil dari 0,8 - 0,9. Pada arus lalu-lintas yang lebih tinggi perilaku lalu-lintas menjadi lebih agresif dan ada risiko besar bahwa bagian jalinan tersebut akan terhalang oleh para pengemudi yang berebut masuk ruang terbatas pada area konflik.

Metode ini diturunkan dari lokasi, yang beroperasi dengan perilaku lalu-lintas Indonesia umumnya pada tahun 1991-1992. Jika perilaku ini berubah, misalnya melalui penerapan rencana pengaturan lalu-lintas di bagian jalinan, atau melalui penegakan hak jalan dari kiri oleh polisi, maka metode ini akan menjadi kurang sesuai.

Bagian jalinan tunggal adalah bagian jalinan jalan antara dua gerakan lalu lintas yang menyatu dan memencar. Bagian jalinan bundaran adalah suatu sistem arus satu arah yang melingkari suatu pulau di mana arus masuk diatur dengan prioritas tanda untuk mengalah (giveway sign) dan prioritas diberikan pada arus yang datang dari kanan.

Faktor keselamatan sangat bergantung dari kemampuan pengendara untuk memasuki arus melingkar. Bundaran akan beroperasi dengan baik pada simpang dengan arus lalu lintas yang merata di setiap lengan, akan tetapi biaya konstruksi

(35)

akan menjadi mahal karena bundaran membutuhkan lahan yang lebih luas dibandingkan dengan simpang lainnya.

Kemampuan untuk mengatasi tingginya arus U turn adalah merupakan salah satu keuntungan dari suatu bundaran. Akan tetapi dengan meningkatnya arus masing-masing lengan akan mengakibatkan suatu kondisi mengunci (locking) yang mengakibatkan kemacetan total pada bundaran tersebut.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.14 Tipe dan Ukuran bagian jalinan

2.7.1 Prinsip Umum

Metode dan prosedur yang akan diuraikan berikut ini mempunyai dasar empiris. Alasannya adalah bahwa perilaku lalu lintas pada bagian jalinan dalam hal aturan memberi jalan, disiplin lajur dan antri tidak memungkinkan penggunaan suatu model yang berdasarkan pada pengambilan celah. Perilaku pengemudi sangat berbeda dengan yang ditemukan di kebanyakan negara maju, yang menjadikan pengambilan metode dari manual kapasitas lainnya menjadi sulit. Metode yang digunakan disesuaikan dari rumus konsep Wardrop, yang diturunkan pada tahun lima puluhan di Inggris untuk prioritas lalu lintas masuk. Alasan penyesuaian rumus Wardrop adalah bahwa bagian jalinan di Indonesia beroperasi dengan pola yang sama dengan pengoperasian bagian jalinan di Inggris sebelum berubah menjadi peraturan prioritas off side di Inggris.

Metode ini memperkirakan pengaruh terhadap kapasitas dan ukuran terkait lainnya akibat kondisi lapangan sehubungan dengan geometri, lingkungan dan kebutuhan lalu lintas.

(36)

2.7.2 Arus Lalu Lintas

Kondisi lalu-lintas dapat ditentukan menurut Lalu-lintas Harian Rata-rata Tahunan (LHRT) dengan faktor-k yang sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi arus per jam (umum untuk perancangan), atau menurut Arus Lalu-lintas Jam Rencana QDH. Sketsa arus lalu-lintas memberikan informasi lalu-lintas lebih rinci dari yang diperlukan untuk analisa bagian jalinan.

Tabel 2.12 Nilai Normal Variabel Umum Lalu Lintas (faktor k) Lingkungan jalan Faktor k - Ukuran Kota

> 1 juta < 1 juta

Jalan di daerah komersial dan jalan arteri 0,07-0,08 0,08-0,10 Jalan di daerah permukiman 0,08-0,09 0,09-0,12 (Sumber: MKJI 1997)

Nilai normal rasio jalinan PW rasio belok pada bundaran dan faktor-smp berikut dapat digunakan jika informasi yang lebih baik tidak tersedia, lihat Tabel 2.13.

Tabel 2.13 Nilai Normal Lalu Lintas Umum

Ukuran kota Komposisi lalu lintas kendaraan bermotor %

Rasio Kendaraan tak bermotor Juta penduduk Kend. Ringan LV Kend. Berat HV Sepeda Motor MC (UM/MV) > 3 J 60 4,5 35,5 0,01 1-3 J 55,5 3,5 41 0,05 0,5-1 J 40 3,0 57 0,14 0,1-0,5 J 63 2,5 34,5 0,05 <0,1 J 63 2,5 34,5 0,05 (Sumber: MKJI 1997)

Perhitungan rasio jalinan dan rasio kendaraan tak bermotor pada jalinan dapat dihitung dengan rumus yang akan dijelaskan berikut ini.

(37)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.15 Variabel Lalu Lintas Jalinan 4 Lengan

Tabel 2.14 Perhitungan Rasio Menjalin untuk 4 Lengan Termasuk U Turn

Bagian Jalinan

Arus masuk bundaran Qmasuk

Arus masuk bagian

jalinan Qtot Arus menjalin QW

Rasio menjalin

PW AB A=ALT+AST+ART+AUT A+D-DLT+CRT+CUT+BUT A-ALT+DST+CRT+BUT QWAB/QAB

BC B=BLT+BST+BRT+BUT B+A-ALT+DRT+DUT+CUT B-BLT+AST+DRT+CUT QWBC/QBC

CD C=CLT+CST+CRT+CUT C+B-BLT+ART+AUT+DUT C-CLT+BST+ART+DUT QWCD/QCD

DA D=DLT+DST+DRT+DUT D+C-CLT+BRT+BUT+AUT D-DLT+CST+BRT+AUT QWDA/QDA Keterangan : LT = Belok kiri; ST = Lurus; RT = Belok kanan; UT = Putaran U

(Sumber: MKJI 1997)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.16 Variabel Lalu Lintas Jalinan Tunggal

TOT W NW W NW

(38)

W W W TOT A D p Q + = (2.42)

A, B, C, dan D menyatakan arus lalu lintas.

2.7.3 Model Dasar

Dalam bagian ini dijelaskan beberapa model dasar dalam perhitungan jalinan. Model-model dasar tersebut adalah:

2.7.3.1 Kapasitas

Kapasitas total bagian jalinan adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (C0)

yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor-faktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas. Bentuk model kapasitas (smp/jam) menjadi sebagai berikut:

1,5 0,5 1,8 1,3 135 1 E 1. w3 1 w w CS RSU w w p W W C W F F W L ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ = × × +⎜ ⎟ ×⎜ ⎟ × +⎜ ⎟ × × ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ (2.43)

Variabel-variabel masukan untuk perkiraan kapasitas (smp/jam) dengan menggunakan model tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 2.15 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas

Tipe Variabel Variabel dan nama masukan Faktor Model Geometri Lebar masuk rata-rata WE

Lebar jalinan WW

Panjang Jalinan LW

Lebar/panjang WW/LW

Lingkungan Kelas ukuran kota CS Tipe lingkungan jalan RE FCS

Hambatan samping, dan SF Rasio kend. Bermotor PUM FRSU

Lalu lintas Rasio jalinan PW

(39)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.17 Ukuran dan Tipe Bagian Jalinan

Kapasitas bundaran pada keadaan lalu lintas lapangan (ditentukan oleh hubungan antara semua gerakan) dan kondisi lapangan, didefinisikan sebagai arus lalu lintas total pada saat bagian jalinan yang pertama mencapai kapasitasnya.

Faktor-faktor pada perhitungan kapasitas dapat dibantu dengan menggunakan grafik.

Sumber: MKJI 1997

(40)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.19 Faktor WE/WW =(1+WE/WW)1,5

Sumber: MKJI 1997

(41)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.21Faktor WW/LW =(1+WW/LW)-1.8

Faktor Penyesuaian Ukuran Kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduk kota (juta jiwa).

Tabel 2.16 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS)

Ukuran Kota (CS) Penduduk juta Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCS) Sangat kecil < 0,1 0,82 Kecil 0,1-0,5 0,88 Sedang 0,5-1,0 0,94 Besar 1,0-3,0 1,00 Sangat besar >3,0 1,05 (Sumber: MKJI 1997)

Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasio kendaraan tak bermotor ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.17. Tabel tersebut berdasarkan anggapan bahwa pengaruh kendaraan tak bermotor terhadap kapasitas adalah sama seperti kendaraan ringan, yaitu empUM = 1,0.

(42)

Tabel 2.17 Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping dan Rasio Kendaraan Tak Bermotor

Kelas tipe lingkungan

jalan

Kelas hambatan

samping Rasio kendaraan tak bermotor (PUM)

RE SF 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥0,25 Komersial Tinggi 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 Sedang 0,94 0,89 0,85 0,8 0,75 0,70 Rendah 0,95 0,9 0,86 0,81 0,76 0,71 Permukiman Tinggi 0,96 0,91 0,86 0,82 0,77 0,72 Sedang 0,97 0,92 0,87 0,82 0,77 0,73 Rendah 0,98 0,93 0,88 0,83 0,78 0,74

Akses terbatas tinggi/sedang/rendah 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 (Sumber: MKJI 1997)

2.7.3.2 Tipe Bundaran

Buku ”Standar Perencanaan Geometrik untuk Jalan Perkotaan” (Direktorat Jenderal Bina Marga, Maret 1992) mencantumkan panduan umum untuk perencanaan simpang sebidang. Informasi lain yang berhubungan terutama tentang marka terdapat pada buku ”Produk Standar untuk Jalan Perkotaan” (Direktorat Jenderal Bina Marga, Maret 1987)

Dokumen ini menentukan parameter perencanaan berbagai kelas simpang jalan tetapi tidak menentukan tipe simpang khusus. Karena ini sejumlah jenis bundaran di tunjukkan pada Gambar 2.22 dan Tabel 2.18 di bawah untuk penggunaan khusus. Semua bundaran dianggap mempunyai kerb dan trotoar yang cukup, dan ditempatkan di daerah perkotaaan dengan hambatan samping sedang. Semua gerakan membelok dianggap diperbolehkan.

Pengaturan hak jalan dianggap berlaku untuk semua pendekat yaitu tidak ada pengaturan beri jalan dengan maksud untuk mendapat prioritas bagi kendaraan yang telah masuk ke dalam bundaran (prioritas dalam) seperti umumnya di Eropa.

(43)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.22 Ilustrasi tipe bundaran

Tabel 2.18 Definisi Tipe Bundaran Tipe Bundaran Jari-jari bundaran (m) Jumlah lajur masuk Lebar lajur masuk WI (m) Panjang jalinan LW (m) Lebar jalinan WW (m) R10-11 10 1 3,5 23 7 R10-22 10 2 7,0 27 9 R14-22 14 2 7,0 31 9 R20-22 20 2 7,0 43 9 (Sumber: MKJI 1997)

Pada umumnya bundaran dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari kiri) digunakan di daerah perkotaan dan pedalaman bagi simpang antara jalan dengan arus lalu lintas sedang. Pada arus lalu lintas yang tinggi dan kemacetan pada daerah keluar simpang, bundaran tersebut mudah terhalang yang memungkinkan menyebabkan kapasitas terganggu pada semua arah.

(44)

Di daerah perkotaan dengan arus pejalan kaki yang tinggi menyebrang bundaran jalan yang tidak sebidang (jembatan atau terowongan) disarankan untuk memberikan keselamatan bagi pejalan kaki.

Bundaran paling efektif jika digunakan untuk simpang antara jalan dengan ukuran dan tingkat arus yang sama. Karena bundaran sangat sesuai untuk simpang antara jalan dua lajur atau empat lajur. Untuk simpang antara jalan yang lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah terjadi dan keselamatan bundaran menurun. Meskipun dampak lalu lintas bundaran berupa tundaan selalu lebih baik dari tipe simpang yang lainnya misalnya simpang bersinyal, pemasangan sinyal masih lebih disukai untuk menjamin kapasitasnya dapat dipertahankan, bahkan dalam keadaan arus jam puncak.

Perubahan dari simpang bersinyal atau tak bersinyal menjadi bundaran dapat juga didasari oleh keselamatan lalu lintas, untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas antara kendaraan yang berpotongan. Bundaran mempunyai keuntungan yaitu untuk mengurangi kecepatan semua kendaraan yang berpotongan dan membuat mereka hati-hati terhadap resiko konflik dengan kendaraan lain. Hal ini mungkin terjadi bila kecepatan dari pendekat ke simpang tinggi dan atau jarak pandang untuk gerakan lalu lintas yang berpotongan tidak cukup akibat rumah atau pepohonan yang dekat dengan sudut simpang.

2.7.4 Perilaku Lalu Lintas

Untuk analisis perencanaan dan operasional bundaran sudah ada, tujuan analisis biasanya untuk membuat perbaikan kecil pada geometri simpang agar dapat mempertahankan perilaku lalu lintas yang diinginkan sepanjang rute atau jaringan jalan. Karena resiko penutupan bundaran oleh kendaraan yang menjalin dari berbagai arah, perilaku lalu lintas berupa derajat kejenuhan lebih besar 0,75 selama jam puncak disarankan dihindari. Antrian pada daerah keluaran bundaran menutup daerah sirkulasi arus juga penting untuk dihindari.

Perilaku lalulintas merupakan parameter-parameter kinerja lalulintas suatu jalinan, di bawah ini dijelaskan lebih detail mengenai perilaku lalulintas untuk jalinan yaitu:

2.7.4.1 Derajat Kejenuhan

(45)

smp Q DS C = (2.44) di mana:

Qsmp = Arus total (smp/jam) dihitung sebagai berikut:

Qsmp = Qkend × Fsmp

Fsmp = Faktor smp

C = Kapasitas (smp/jam)

2.7.4.2 Tundaan pada bagian jalinan bundaran

Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab, yaitu:

a. Tundaan Lalu lintas (DT) akibat interaksi lalulintas dengan gerakan yang lain dalam simpang.

b. Tundaan Geometrik (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tak-terganggu.

Tundaan lalu lintas bagian jalinan (DT) adalah tundaan rata-rata lalu lintas per kendaraan yang masuk ke bagian jalinan. Tundaan lalu lintas ditentukan dari hubungan empiris antara tundaan lalu lintas dan derajat kejenuhan dapat dilihat pada Gambar 2.23.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.23 Tundaan Lalu Lintas Bagian Jalinan vs Derajat Kejenuhan

(46)

Tundaan rata-rata bagian jalinan dihitung sebagai berikut: di mana:

D = tundaan rata-rata bagian jalinan (det/smp )

DT = tundaan lalu-lintas rata-rata bagian jalinan (det/smp ) DG = tundaan geometrik rata-rata hagian jalinan (det/smp)

Tundaan lalu-lintas pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variabel masukan.

D=DT +DG (2.45)

Tundaan Geometrik pada bagian jalinan ditentukan sebagai berikut:

(

1

)

4 4 4

DG= −DS × +DS× = (2.46)

Tundaan rata-rata bundaran dihitung sebagai berikut:

(

)

; 1...

R i i masuk

D =

Q ×DT Q +DG i = n (2.47)

di mana:

Dr = tundaan bundaran rata-rata (det/smp ). i = bagian jalinan i dalam bundaran. n = jumlah bagian jalinan dalam bundaran.

Qi = arus total lapangan pada bagian jalinan i (smp/jam ).

DTi = tundaan lalu-lintas rata-rata pada bagian jalinan i (det/smp). Qmasuk = jumlah arus total yamg masuk bundaran ( smp/jam ) DG = tundaan rata-rata geometrik pada bagian jalinan (det/smp).

Nilai-nilai tundaan yang didapat dengan cara ini dapat digunakan bersama dengan nilai tundaan dan waktu tempuh yang didapat dengan cara lain untuk menentukan waktu tempuh sepanjang rute didalam jaringan jalan. Selanjutnya tundaan geometrik pada simpang harus disesuaikan bagi kecepatan ruas jalan sesungguhnya. Nilai normal kecepatan yang digunakan adalah 40 km/jam, tundaan geometrik kendaraan tidak terhambat 4 detik dan percepatan./perlambatan 15 m/s2. Pada tugas akhir ini tundaan pada bagian jalinan bundaran tidak dihitung.

2.7.4.3 Peluang Antrian pada bagian jalinan bundaran

Peluang antri QP% pada bagian jalinan ditentukan berdasarkan kurva antrian empiris, dengan derajat kejenuhan sebagai variabel masukan.

Peluang antri bundaran ditentukan sebagai berikut:

(

)

% . % ; 1...

QP =Maks dari QP i= n (2.48)

di mana:

(47)

n = jumlah bagian jalinan dalam bundaran.

Peluang antrian dihitung dari hubungan empiris antara peluang antrian dengan derajat kejenuhan dapat dilihat pada Gambar 2.24. Pada tugas akhir ini peluang antrian pada bagian jalinan bundaran tidak dihitung.

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2-24 Peluang Antrian vs Derajat Kejenuhan

2.7.4.4 Kecepatan Tempuh pada bagian jalinan tunggal

Kecepatan tempuh (km/jam) sepanjang bagian jalinan dihitung dengan rumus empiris berikut:

(

)

(

0,5

)

0,5 1 1 o V =V × × + −DS (2.49) di mana:

V0 = kecepatan arus bebas (km/jam), dihitung sebagai: Vo = 43 x (1-PW /3)

di mana:

Pw = rasio arus jalinan/arus total DS = Derajat kejenuhan

Kecepatan arus bebas yaitu nilai faktor PW = 43 x (1-PW /3) dapat dilihat pada

(48)

Sumber: MKJI 1997

Gambar 2.25 Faktor PW = 43 x (1-P

W /3)

Variabel-variabel kecepatan tempuh dapat ditentukan dengan bantuan grafik dapat dilihat pada Gambar 2.26.

Sumber: MKJI 1997

Gambar

Gambar 2.1 Konflik yang Terjadi di Simpang Empat Lengan  Siklus  adalah urutan lengkap dari seluruh fase lampu lalu – lintas
Gambar 2.2 Variabel Arus Lalulintas Untuk Perhitungan  Rasio Belok dan Jalan Minor
Tabel 2.5 Ringkasan Variabel-variabel Masukan Model Kapasitas  Tipe Variabel  Uraian Variabel dan Nama Masukan
Gambar 2.4 Jumlah Lajur dan Lebar Rata-rata  Pendekat Minor dan Utama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah keseluruhan 32 macam ini adalah hadits shahih, hasan, dha’if, marfu', maqthu’, musnad, muttashil, musalsal, ‘aziz, masyhur, mu’an’an, mubham, ‘ali, nazil, mauquf,

Skripsi berjudul Hubungan Penyakit Gondok dengan Tingkat Intelegensia Pada Siswa Sekolah Dasar di (SDN) Darsono 2 Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember telah diuji

digunakan adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa metode dakwah dalam memotivasi kerja masyarakat petani cabai di Kelurahan

Berdasarkan hasil pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai kinerja sentra industri kerajinan kayu di Kecamatan Kepanjenkidul yang diukur

selanjutnya adalah pemasaran. Disinilah letak kegiatan yang sangat penting. Berhasil tidaknya produk baru ini diterima pasar bergantung dari proses pemasaran produk

Kota Malang merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Timur di Indonesia yang memliki banyak potensi untuk dijadikan sebagai destinasi wisata yang dapat

Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien TB paru dan dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien dalam minum obat anti tuberkulosis di