• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses dan pencapaian tujuan akhir kebijakan (output), hal ini juga didukung oleh Merrile Grindle dalam Agustino (2008) yang mengatakan bahwa “pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat kepada action program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.

Suatu model implementasi kebijakan merupakan suatu upaya menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih sederhana yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan implementasi dengan faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).

Diantara model implementasi kebijakan tersebut adalah :

a. Implementasi Kebijakan Publik Model Donal Van Metter dan Carl Van Horn. Kedua pakar ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan membuat suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja (performance). Kedua ahli ini juga menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. (Wahab.S.A, 2012).

Ada 6 Variable menurut Van Meter dan Van Horn yng mempengaruhi kinerja kebijakan publik :

1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya

3. Karakteristk agen pelaksana

4. Sikap/kecendrungan (Disposition) para pelaksana 5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik

b. Implementasi Kebijakan Pulik Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier Model kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Mereka

berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi.

Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama (independen variable) yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.:

1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap (tractability), meliputi : a). Kesukaran kesukaran teknis, b). Keberagaman perilaku yang diatur, c). Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran, d) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.

2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat (Statutory). Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara : a). Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b). Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan, c) Ketepatan alokasi sumber dana, d) Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, e). Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, f). Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, dan g). Akses formal pihak- pihak luar

3. Variabel-variabel di luar Undang-undang / kebijakan yang mempengaruhi implementasi (Non Statutory), seperti : a).Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi, b). Dukungan publik, c). Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d). Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.

c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III (1980)

Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan ini Edward III mengemukakan 4 variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu :

1. Komunikasi

Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a). Transmisi, b) Kejelasan, dan c). Konsistensi,.

2. Sumberdaya .

Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen yaitu : a) Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten dibidangnya, b). Informasi, informasi tentang cara melaksanakan kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c) Wewenang, kewenangan harus bersifat formal, dan d). Fasilitas (sarana dan prasarana)

3. Disposisi / sikap dari pelaksana kebijakan

Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati dalam variable ini menurut Edward III adalah : a) Pengangkatan Birokrat, dan b) Insentif

4. Struktur Birokrasi

Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja struktur birokrasi / organisasi kearah yang lebih baik adalah : a). melakukan Standard Operating Procedures (SOPs) dan b). melaksanakan Fragmentasi

d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle.

Grindle (1980), mengemukakan model implementasi kebijakan yang dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process. Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes), pengukuran keberhasilan imlementasi ini dapat dilihat dari 2 hal, yaitu:

1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai dengan yang sudah ditentukan (design), dengan merujuk kepada aksi kebijakannya.

2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok, dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat implementability yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy

1) Content of policy menurut Grindle adalah : a). Interest Affected ( kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b). Type of Benefits (Tipe manfaat), c). Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai), d).Site of Decission Making (letak pengambilan keputusan), e).Program Implementation (Pelaksana program), dan f). Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan).

2) Context of policy menurut Grindle adalah : a). Power, Interest, and Strategy of actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari actor yang terlibat), b). Institution and Regime Characteristic ( Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan c). Compliance and Responsivness ( tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana) Disamping itu dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012) juga ada pendapat dari Sabatier (1986). Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi kebijakan, yaitu :

1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten, 2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan,

3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran,

4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan, 5. Dukungan para stakeholder,

2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi. a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi.

Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012), suatu implementasi yang sangat sempurna (perfect implementation) tidak akan pernah terwujud karena :

1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat kebijakan maupun imlementatornya.

2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai

3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai. Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah publik.

4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat langsung

5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan sumberdaya manusia yang berkualitas dll.

6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies.

7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

b. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain

Makinde (2005) dalam (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) telah mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi, sehingga menimbulkan kegagalan, seperti penelitiannya di Nigeria mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh : 1) Kelompok sasaran (target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasi program, 2) program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi lingkungan seperti sosial, ekonomi dan politik, 3) Adanya korupsi, 4) Sumber

Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5) Tidak adanya koordinasi dan monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM (Sumberdaya Manusia) yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana.

Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1) Ketidakjelasan tujuan kebijakan, 2) Komitmen politik, 3) Struktur pemerintahan, 4) Sentralisasi kewenangan, 5) Sumberdaya, dan 6) Ketergantungan pada bantuan asing.

Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor (2013) juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1) Tujuan yang tidak realistis, 2) Korupsi, 3) Politik (dana digunakan untuk politisasi),4) Kurang mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat sebelum membuat kebijakan (program kemiskinan tidak berbasis lokal), 5) Kurangnya partisipasi kelompok sasaran ( proses kebijakan publiknya selalu top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi)

c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia

Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) yaitu :

1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi, dll.

2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). Menurut Wildavsky, besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau program, menunjukkan seberapa besar political will / komitmen pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan.

3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis, hibah peralatan/barang tertentu, subsidi, dll

4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, dukungan SDM, pengawasan, koordinasi, dll).

5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran ( apakah individu, kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll).

6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana implementasi tersebut dilakukan.

2.2. Keamanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pemerintah RI, 2012).

Pada Konferensi Internasional FAO/WHO tahun 1992 tentang gizi, dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang” (Badan POM RI a, 2011).

2.2.1. Definisi Keamanan Pangan

Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Menurut FAO/WHO (1997) Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC), Kemanan pangan adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua tahap dalam rantai makanan (Badan POM RI&FKM UI, 2011).

Dokumen terkait