ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN JAJANAN
ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS
AHMAD RAFQI
NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN
JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
AHMAD RAFQI
NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN ASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
Nama : Ahmad Rafqi
Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi, 19 Agustus 1968
Alamat : Marbella Residence Blok C2-28 Batam kota, Batam Status Keluarga : Menikah
Riwayat Pendidikan:
1. SD Negeri 25 Bukittinggi , lulus tahun 1981 2. SMP Negeri I Bukittinggi, lulus tahun 1984 3. SMA Negeri 1 Bukittinggi, lulus tahun 1987
4. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Jurusan Farmasi, lulus tahun 1993
5. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Profesi Apoteker, lulus tahun 1995
Riwayat Pekerjaan.
1. April 1997 – November 2008 : PNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Samarinda
2. November 2008 – sekarang : PNS Balai Pengawas Obat dan Makanan di Batam
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister
Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.
Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.
drh.Wiku Adisasmito, MSc., PhD. selaku pembimbing yang dengan penuh
kesabaran membimbing, memberikan masukan dan saran hingga selesainya tesis
ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Anhari Achadi, SKM.DSc, selaku penguji dalam seminar proposal,
seminar hasil dan ujian tesis, serta bapak Dr. Pujianto SKM. MKes selaku
penguji dalam ujian tesis yang banyak memberikan masukan dalam tesis ini.
2. Dra . Cendikia Sri Murwani Apt. MKM dan Dra. Deksa Presiana Apt. Mkes
yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir sebagai penguji luar
pada ujian tesis penulis dan telah memberikan masukan dan saran untuk
perbaikan tesis ini.
3. Seluruh pengajar program pasca sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia yang telah memberikan pendidikan dan pelajaran yang
menghantarkan penulis menyelesaikan masa pendidikan ini.
4. Informan di Badan POM RI, Balai POM di Batam, Dinas Kesehatan kota
Batam, Dinas Pendidikan kota Batam, Dinas Perindag dan ESDM kota Batam,
Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM kota Batam,
Bappeda kota Batam, SD 002 Batam Kota, SD 006 Sekupang, MUI kota
Batam, DPRD kota Batam, yang telah menyediakan waktu dan banyak
memberikan keterangan dalam penelitian ini.
5. Orang tua, Mertua, Kakak, Adik adik, Ipar, Uncu, Pak gaek dan Tante yang
telah banyak memberi dukungan dan doa untuk menyelesaikan pendidikan ini,
semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik.
6. Istri tercinta Fowpi Chaira, dan anak anakku tersayang Hanna Nabilla dan
Najwa Nur Faizah, terima kasih atas pengorbanan, doa dan dukungannya,
pendidikan ini.
8. Teman teman seperjuangan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang
telah banyak membantu penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Kritik dan saran
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini
membawa manfaat.
Depok, Januari 2015
Penulis
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Analisis Faktor faktor yang Mempengaruhi Berjalannya Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota Batam
Anak usia sekolah yang sehat merupakan asset pembangunan bangsa. Keberadaan makanan di sekolah sangat penting , karena akan memenuhi 25-36% kebutuhan energi harian anak. Kebiasaan makan yang tidak sehat (kurang gizi) dapat menyebabkan stunting (perlambatan pertumbuhan anak); penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas. Hasil pengujian Badan POM tahun 2008-2010, menunjukkan 40-44% jajanan anak sekolah secara nasional tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Kebijakan Aksi Nasional menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman bermutu dan bergizi, merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu pangan jajanan anak sekolah dengan cara memberdayakan komunitas sekolah secara mandiri mengawasi pangan jajanan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam beserta efektitasnya dengan menggunakan analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier.
Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi dokumen..
Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam sudah terlaksana cukup baik namun tidak berjalan efektif, karena ketidaktepatan dalam menentukan indikator kinerja, tidak ada NSPK terkait peran, tugas dan tanggung jawab kelompok pelaksana, tidak ada strukturisasi pelaksanaan kebijakan tersebut, dan tidak ada dukungan langsung dari DPRD dan Pemerintah kota Batam. Komitmen dari pemerintah daerah kota Batam masih kurang, karena pengawasan pangan jajanan anak sekolah ini belum menjadi prioritas dalam pembangunan kota Batam.
Study Program : Public Health
Title : Analysis of Factors Affecting Progress in Food Control Policy Snacks School Children in Batam
Healthy school-age children is a nation-building assets. The presence of food in schools is very important, because it will meet 25-36% of daily energy needs children. Unhealthy eating habits (malnutrition) may cause stunting (slowing the growth of children); cardiovascular disease, cancer, diabetes and osteoporosis, while in the short term can lead to dental caries, anemia, overwight and obesity. Test results of Badan POM RI (National Agency of Drug and Food control) in 2008-2010, showed 40-44% of school children nationwide snacks do not meet food safety requirements. National Action policy toward food snacks schoolchildren (PJAS) quality safe and nutritious, is one effort to improve the quality of food hawker school children by empowering school community independently oversee hawker food in the environment. This study aims to look at the factors that influence the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city and along efektitasnya by using analysis of policy implementation Mazmanian and Sabatier.
The study was conducted with qualitative methods, data collection is done through in-depth interviews and document ..
Results of the study showed that the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city has done quite well, but is not effective, because of inaccuracy in determining the performance indicators, no NSPK related roles, duties and responsibilities of the executive, there is no structuring the implementation of the policy, and there is no direct support from the parliament and the Government of the city of Batam. The commitment of the local government of Batam city is still lacking, because the snack food supervision of school children has not been a priority in the development of the city of Batam.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……… ii
LEMBAR PENGESAHAN ……… iii
SURAT PERNYATAAN ……… iv
RIWAYAT HIDUP ……… v
KATA PENGANTAR ……… vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ………viii
ABSTRAK ………. ix
ABSTRACT ……… x
DAFTAR ISI ………. xi
DAFTAR GAMBAR ………. xiv
DAFTAR TABEL ………. xv
DAFTAR LAMPIRAN ………. xvi
I PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Rumusan Masalah ……… 10
1.3. Pertanyaan Penelitian ……… 10
1.4. Tujuan Penelitian ……… 11
1.4.1 Tujuan Umum……… 11
1.4.2. Tujuan khusus ……… 11
1.5. Manfaat Penelitian ……… 11
1.6. Batasan Penelitian ……… 12
II TINJAUAN PUSTAKA ……… 13
2.1. Kebijakan Publik ……… 13
2.1.1. 13 2.1.2 Sistem dan Komponen Kebijkan ……… 14
2.1.3 15 2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik ……… 16
2.1.4.1. Teknik Implementasi ……… 16
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebija 19 Definisi Kebijakan Publik ………
2.2.2 Jenis Bahaya dalam Pangan ………..…………25
2.2.3. Determinan Keamanan Pangan ……… 26
2.3. Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)………28
2.3.1. Latar Belakang ……… 28
2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS ……… 30
2.3.3. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……… 31
2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten / Kota ……… 34
2.3.3.2. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi …… 34
2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah 35 2.3.3.4. Jenis-jenis Intervensi pada SD/MI ……… 38
2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah …………...……… 39
2.4.1 Paradigma makanan sekolah ……… 39
2.4.2 Kebijakan Pangan di Sekolah di Negara lain …………...… 40
2.5. Penelitian Kebijakan ……… 45
2.5.1. Metode Penelitian Kebijakan ……… 45
2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif ……… 46
2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif …… 46
2.5.2.2 Teknik Pengumpulan Data ……… 47
2.5.2.3. Analisa Data Kualitatif ……… 49
2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data ……… 50
2.6. 51 III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ………57
3.1. Kerangka Teori ……… 57
3.2. Kerangka Konsep ………61
3.3. Definisi Operasional ……… 65
IV METODE PENELITIAN ……… 69
4.5. Analisis Data ……… 73
V. HASIL PENELITIAN ……… 74
5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian ……… 74
5.2. Informan ……… 74
5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah (Tractability Proble 75 5.3.1. Kesukaran teknis ……… 75
5.3.2. Keragaman prilku dari kelompok sasaran ……… 78
5.3.3. Persentase kelompok sasaran ……… 79
5.3.4. Rung lingkup perubahan prilaku ……… 80
5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum) ……… 80
5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten ……… 81
5.4.2. Hubungan kausal yang cukup ……… 86
5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana. ……… 87
5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana ……… 88
5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana …………..……… 89
5.4.6 Rekruitmen pejabat pelaksana ……… 90
5.4.7. Akses formal pihak pihak luar ……… 91
5.5. Aspek Variabel Non-Statutory (Non-Hukum) ……… 91
5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan Politik ……… 91
5.5.2. Dukungan Publik ……… 92
5.5.3. Dukugan Badan / Lembaga yang Berwenang ………...… 92
5.5.4. Komitmen dan Kepemimpinan Pejabat Pelaksana ……… 94
5.6. Pencapaian Tujuan Kebijakan ……… 96
VI. PEMBAHASAN ……… 98
VII KESIMPULAN DAN SARAN……… 108
7.1. Kesimpulan ………108
7.2. Saran ……… 109
Gambar 2.2.: Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu
dan Bergizi……… 32
Gambar 2.3.: Roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……… 32
Gambar 3.1.: Kerangka Analisis implementasi dari Mazmanian
dan Sabatier ……… 58
Gambar 3.2.: Kerangka Konsep Analisis Implementasi Kebijakan Aksi
Tabel 2.2. Hasil Pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS
Tahun 2008 - 2010 ………29
Tabel 2.3. Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Kab/Kota … 35
Tabel 3.1.: Definisi operasional variabel independen ……… 65
Lampiran 2 : Form Data Informan……… 121
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Keberadaan anak usia sekolah sangat memegang peranan dalam
membangun bangsa, untuk menjadi suatu bangsa yang maju, kuat, berjaya dan
dihormati, akan bisa dicapai jika generasi penerusnya mempunyai kapasitas mutu
yang lebih baik dari generasi sebelumnya (Budiono, 2011).
Kebijakakan makanan berbasis sekolah sangat besar bagi persiapan
generasi mendatang, seperti pada negara-negara miskin (Ashe.L & Sonnino R,
2013), mereka melakukan intervensi kepada makanan sekolah untuk memerangi
kelaparan, kekurangan gizi mikro dan meningkatkan akses pedidikan seperti di
Bangladesh, Burundi (Bennett,J, 2003) Mali, Jamaika Pakistan dan Kamboja (
Bundy D, et al, 2009), sedangkan pada Negara-negara berkembang seperti Brazil,
China, Malaysia, Meksiko Afrika Selatan dan Thailand, menurut Doak.C (2003)
memanfaatkan makanan sekolah untuk mengatasi obesitas dan penyakit nutrisi
lainnya serta membangun budaya mengkonsumsi makanan sehat ( Ashe.L &
Sonnino.R, 2013).
Menurut perkiraan World Food Programme (2009), ada 400 juta
anak-anak kelaparan di dunia saat ini, dengan satu anak-anak meninggal setiap 6 detik karena
lapar. Selanjutnya, 146 juta anak di negara-negara berkembang underweight
(Chettiparamb, Angelique, 2009). Dalam upaya pengentasan kemiskinan
internasional, maka dalam Millennium Development Goals (MDGs), makan siang
(mid day meal) , pencapaian pendidikan dasar secara universal dan
mempromosikan kesetaraan gender, dapat berkontribusi untuk pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan (Chettiparamb, Angelique , 2009)
Pentingnya program makanan disekolah ini tercermin juga dengan
kampanye global pemberian makanan di sekolah yang dilakukan oleh World
Food Programme pada tahun 2000 untuk mengatasi kemiskinan anak
di sekolah seperti Brazil telah menjamin hak universal untuk memperoleh
makanan sekolah gratis (Sidaner et al, 2013), India juga melaksanakan program
“Mid-day Meal” (Chettiparamb, Angelique , 2009), Amerika dengan programnya
“Nasional School Lunch Program” / NSLP (Chesser.V.L, 2013 ;
http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy), dan penyediaan makan
siang di sekolah di Korea (Jee-hoon.R et.al , 2011)
Pelaksanaan program penyediaan makanan di sekolah sangat tepat, dimana
anak anak dan remaja menghabiskan sekitar 6 jam perhari dan makan 1-2 kali
disekolah, banyak kebiasaan hidup yang negatif dan positif akan mempengaruhi
kesehatan individu selama bertahun tahun di sekolah (Bandura, 2004;. Koplan et
al, 2005; Veugelers & Fitzgerald, 2005a; dalam Quintalha.M (2011).
Keberadaan makanan di sekolah sangat perlu diperhatikan karena akan
memberikan kontribusi energi harian sebesar 25-33% (Anu Devi et.al, 2010) dan
menurut Guharja dkk (2004) sebesar 36% (Badan POM a, 2013) dari kebutuhan
hariannya. Hasil Uji Badan POM RI tahun 2010, menemukan makanan di sekolah
dan sekitarnya mengandung bahan berbahaya ( formalin, boraks, rhodamin B,
methanyl yellow dll) sebesar 18%, mengandung bahan tambahan pangan (BTP)
melebihi batas maksimal sebesar 23%, dan mengandung cemaran mikroba sebesar
59% (Badan POM, 2011). Indikasi bahaya ini juga terlihat dari data Badan POM
RI tahun 2009 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana 16,35% kejadian KLB
terjadi di sekolah/kampus.
Penelitian Jee-hoon.R et.al (2011) di Korea terhadap makanan siang anak
sekolah dasar yang disediakan sekolah , menemukan bahwa 15% makanan yang
tidak dipanaskan dan 9% makanan yang dipanaskan, mengandung jumlah
koliform 2 kali lipat lebih di atas standar nasional Korea. Disamping itu
Damanik,H.D.L, (2010), juga menemukan bahwa 63,3% warung penjual jajanan,
dilingkungan sekolah di kota palembang, dikategorikan terkontaminasi E.Coli.
Disamping bahaya keamanan makanan, bahaya terhadap kandungan gizi
makanan di sekolah perlu diperhatikan. karena kebiasaan makan diwaktu usia
sekolah ini akan berpengaruh kepada usia dewasanya seperti obesitas dll.
(Scholtens.S et.al, 2010). Kebiasaan makan yang tidak sehat ini (kurang gizi)
pertumbuhan pada anak (Nyongani.M.M, (2012); penyakit kardiovaskuler,
kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat
menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas (Nelson,M& Breda,J,
2013)
Prevalensi anak-anak dengan kelebihan berat badan atau obesitas terutama
di negara maju sudah menjadi pusat perhatian dan juga akan diikuti oleh negara
berkembang. Sebagai contoh, Prevalensinya di Amerika Serikat telah meningkat
dua sampai tiga kali selama dua puluh tahun terakhir. Sebuah laporan dari Pusat
Pengendalian Penyakit menunjukkan bahwa persentase anak-anak berusia enam
hingga sebelas tahun yang obesitas meningkat dari tujuh persen pada tahun 1980
menjadi dua puluh persen pada tahun 2008 (Zainab Rida (2012)
Sebuah studi yang dilakukan oleh Whitaker, Wright, Pepe, Seidel, &
Dietz, (1997) melaporkan bahwa 55-77% dari anak-anak kelebihan berat badan
atau obesitas (usia 6-17) akan menjadi dewasa yang overweight dan atau
obesitas (Wall.R.M., 2011). Konsekuensi dari obesitas bertahan sampai dewasa,
menurut Reilly & Kelly, (2010) akan memiliki peningkatan risiko yang signifikan
dari morbiditas kardiometabolik (Diabetes Melitus type 2, Hypertensi, penyakit
jantung iskemik, dan stroke) dalam kehidupan dewasanya ( Wall.R.M, 2011).
Melihat dari besarnya pengaruh makanan di sekolah, maka sudah
selayaknya ada suatu kebijakan di sekolah untuk menjamin tersedianya makanan
yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah. Hal ini penting mengingat kebiasaan
jajan bagi anak Indonesia sangat tinggi, dan bahkan hampir mendekati angka
100% (BPOM RI a, 2013) serta kebanyakan dari mereka membeli jajanan
disekolah tidak memperhatikan keamanan dan nutrisi makanan. Penelitian di salah
satu SD di Jakarta memperlihatkan bahwa lebih dari separuh siswa yang jajan,
beralasan hanya untuk mengisi perut supaya tidak lapar dan lebih dari
sepertiganya membeli chiki, biskuit, wafer, permen, cokelat, dan minuman
kemasan gelas aneka rasa (Yuliastuti.R, 2012). Mengkonsumsi produk makanan
rendah nutrisi ini juga meresahkan bagi Negara lain, karena dapat memicu
obesitas yang akan berimplikasi pada kesehatannya (Scholtens.S, et al, 2010)
meningkat pada masyarakat dengan status social ekonomi yang rendah (Nelson.M
& Breda,J, 2013,; June M. Tester J.M, et al.,2010).
Menurut penelitian yang dilakukan di Cape Town, Afrika Selatan, yang
telah menetapkan makanan sehat dan tidak sehat disekolahnya, 70% anak
membeli makanan yang tidak sehat, sedangkan 73,2% membeli dua item atau
lebih makanan yang tidak sehat. Bahkan 84% mereka mengerti mana makanan
yang sehat dan mana yang tidak sehat ( Temple,N.et.al, 2006).
Kebiasaan makan di sekolah ini juga akan dipengaruhi oleh keberadaan
penjual makanan disekitar sekolah. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan di Canada pada tahun 2009/10, memperlihatkan bahwa ada hubungan
yang kuat antara pedagang pengecer disekitar sekolah dengan prilaku makan siang
anak sekolah (Seliske et al., 2013), suatu penelitian lain juga menyatakan bahwa
keberadaan toko makanan berjarak sampai 800 meter atau 10 menit dari sekolah,
berperan dalam kenaikan berat badan siswa dibanding sekolah yang jauh dari toko
(Howard et.al, 2011), menurut June M. Tester dkk (2010) hal ini sangat
berpengaruh pada saat setelah jam pulang sekolah dan juga berpengaruh pada
anak anak yang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki (tingkat ekonomi
rendah).
Kebijakan makanan di sekolah juga sangat berpengaruh kepada kebiasaan
makan pada waktu remaja (Vereecken.et.al, 2005) dan juga berpengaruh pada
Praktek Keamanan Pangan Penjaja PJAS, kemungkinan penjaja PJAS
mempraktekkan keamanan pangan pada kelompok yang ada kebijakan keamanan
pangan di sekolah, 68,57 kali dibanding bila tidak ada kebijakan keamanan
pangan di sekolah” (Damayanti.S.E., 2014)
Sebagai contoh dari kebijakan yang sudah ada diantaranya adalah
pelarangan terhadap junk food di Uruguay pada jam makan siang, hal ini dapat
mengurangi berat badan pelajar yang obesitas sebanyak 18% (Steve,Smith, 2010);
Pemberlakuan Program Makan Siang atau Sarapan di sekolah di Amerika yang
dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of Agriculture /USDA)
yang sudah harus dilaksanakan sejak tahun ajaran 2006-2007 untuk semua
sekolah local, dan biaya ditanggung oleh USDA (http://www.fns.usda.gov/
Queensland, Australia (Dick.M et.al, 2012). Kebijakan ini dilaksanakan melalui
kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan dan Kesehatan
Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan organisasi profesional, dan
organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk memastikan bahwa semua
makanan dan minuman yang disediakan di sekolah mengikuti standar diet
anak-anak dan Remaja di Australia.
Kebijakan makanan sekolah lainnya adalah menetapkan makanan “sehat”
dan “tidak sehat” (pedoman diet berbasis pangan) di Afrika Selatan oleh
Departemen Kesehatan dan wajib dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan
(Temple.N et.al, 2006) ; Melaksanakan kebijakan School Nutrien Policies (SNPs)
terhadap sekolah di Canada melalui issue peningkatan kualitas makanan di
sekitar sekolah, akses siswa ke makanan, keamanan pangan, dan pendidikan gizi
(Mullaly et al, 2010).
Program kebijakan makanan sehat berbasis sekolah ini harus konsisten
dengan program kesehatan yang lebih luas, program pertanian untuk
pengembangan kesehatan, sistim pangan yang berkelanjutan dan layak secara
finansial (Nelson.M,&Breda.J,2013). Pada saat ini, program makanan sekolah
tidak saja ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tapi juga berperan
dalam meningkatkan program ketahanan pangan, menghubungkan pertanian
dengan program makanan sekolah, seperti penyediaan buah dan sayuran serta
pengolahan hasil alam lokal lainnya sehingga meningkatkan peluang pekerjaan,
pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih tinggi
(Ashe.L &Sonnino, 2013). Diantara negara yang sudah melaksanakannya adalah
Brazil (Sidaner.E.et.al, 2013) dan juga Scotlandia (Ashe.L & Sonnino.R, 2013).
Dalam proses implementasi kebijakan makanan di sekolah, terkait dalam
usaha mencapai makanan yang aman, bermutu dan bergizi, tentu banyak faktor
yang berpengaruh, baik berpengaruh positif (mendukung pelaksanaannya)
maupun yang berpengaruh negatif (Faktor penghambat pelaksanaannya).
Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa faktor
yang berpengaruh positif dalam implementasi kebijakan makanan di sekolah,
seperti : 1) Adanya dukungan yang tinggi dari masyarakat; 2) Kesiapan pemasok
4). Pemahaman dan komitmen yang tinggi dari komunitas sekolah ( Dick.M et.al,
2012), 5) Adanya kurikulum yang up to date terkait food hygiene dan food safety
(Bielby.G.et.al, 2006), 6) Memiliki dampak positif yg dapat diamati (Masse.LC.,
2013) 7). Promosi makan sehat di semua domain dari lingkungan sekolah
(Dick.M et.al, 2012), 8) Adanya standar gizi dan penggolongan makanan yang
sehat (Dick.M et.al, 2012; Anu Devi,et al, 2010), 9). Sekolah dasar memiliki
aturan tertulis untuk membatasi konsumsi makanan ringan gurih dan manis,
(Vereecken et al, 2005), 10). Adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah /
persetujuan legislative (Tester.J.M. 2010), 11) Adanya guideline pelaksanaan
kebijakan (Mâsse.L.C,,2013), 12) Tersedianya kantin sekolah, toko makanan dan
mesin penjual makanan dan minuman di sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Vereecken
et al, 2005), 13) Dukungan politik dan dukungan pihak sekolah (Agron P, 2010;
McKenna ML, 2003, dalam Mâsse.L.C,,(2013)
Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif atau menjadi penghalang
pelaksanaan kebijakan makanan di sekolah adalah : 1) Kehilangan pendapatan /
penerimaan sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Mâsse.L.C,,2013; Maira Quintanilha.M,
2011),; 2). Mahalnya harga makanan yang sehat, 3) Tidak adanya kantin
disekolah (Taylor.J et.al, 2011), 4). Kurangnya sumber daya (staf, pendanaan,
ketersediaan program atau sumber daya pengajaran,; 5). Kurangnya koordinasi,
(Mâsse.L.C,,2013), 6). Kurangnya infrastruktur (fasilitas kantin, kemampuan staff
kantin) (Anu Devi et al,,2010), 7). Keadaan dan letak geografisnya (Chettiparamb,
Angelique , 2009,; Quintanilha.M, 2011),; 8) Orang tua (terkait tingkat
pendidikan dan income serta cara pandangnya); 9). kurangnya dukungan dari
devisi sekolah; 10). Hambatan lain ( seperti lokasi sekolah yang dekat restoran
atau toko makanan), (Quintanilha.M, 2011); 11). Masalah manajemen makanan
(terkait selera dan keinginan pelanggan, sumber daya) (Quintanilha.M, 2011;
Taylor.J et.al, 2011,; Freeze.C, 2007),; 12). Penggunaan makanan sebagai hadiah
(Freeze.C, 2007) dan lain-lain.
Isu utama kebijakan sekolah ini juga muncul dalam workshop
pengembangan evidence base untuk kebijakan berbasis makanan sekolah di
London pada Januari 2012, menyatakan bahwa ada 2 (dua) isu utama dalam
a. Komitmen seluruh pemerintah ( Nasional, lokal dan internasional jika
perlu) untuk memastikan bahwa hasil dari kebijakan dan intervensi
benar-benar dapat dievaluasi dampaknya terhadap penyediaan makanan sekolah,
pendidikan anak, kesehatan, pertumbuhan dan kesejahteraan
b. Isi, waktu dan pendanaan dari program penelitian, monitoring dan
evaluasi. Disamping itu ada permasalahan penting lainnya yaitu : Konteks
sosial, politik dan budaya dari kebijakan; kebutuhan stakeholder untuk
memiliki hasil penelitian yang bisa membantu mereka memahami dampak
kebijakan dari perspektif mereka; dan kesediaan untuk menilai kekuatan
dan keterbatasan kebijakan sekolah.
Pada saat ini, Indonesia sedang melaksanakan kebijakan terhadap
pengawasan terhadap mutu dan keamanan makanan di sekolah yaitu kebijakan
“Aksi nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan
bergizi”. Kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
yang aman, bermutu dan bergizi ini bertujuan untuk : 1).Memberdayakan
komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS, 2)
Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk
meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi, dan 3) Meningkatkan
keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia.
Program ini merupakan salah satu program pengawasan makanan,
khususnya terhadap pangan jajanan anak di sekolah oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI). Program ini telah
dicanangkan oleh bapak Wakil Presiden Budiono di Istana Wakil Presiden pada
31 Januari 2011, dimana dalam pengarahannya Wapres menyatakan:
“ ini adalah gerakan bersama, tidak mungkin Badan POM sendiri. Oleh sebab itu harus gerakan masyarakat di sini, gerakan yang menyangkut pemerintah. Pemerintah ini artinya pusat dan daerah, daerah harus diikutkan karena merekalah yang di ujung tombak lapangan. Didalam pemerintah sendiri ada instansi-instansi, tidak mungkin POM kita diamkan.”
Kebijakan Aksi Nasional Pangan jajanan Anak Sekolah yang aman,
bermutu dan bergizi ( Aksi nasional PJAS), dilaksanakan sejak tahun 2011
sampai tahun 2014. Sebagai pelaksana dari aksi Nasional untuk upaya
oleh Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan
Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah, Bappenas dan Badan POM RI dan didukung oleh
stakeholder dan lembaga internasional / donor lainnya, serta Lembaga
Kemasyarakatan seperti PKK serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sedangkan untuk kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi
atau kabupaten / kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah pusat dan
lembaga terkait, dan sebagai pelaksana utamanya adalah Balai POM, Dinas
Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM
(Badan POM a, 2011).
Aksi Nasional ini tidak akan bisa berhasil tanpa adanya senergisitas
diantara lintas sektor terkait lainnya, terutama pada Pemerintah Daerah karena
sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana
urusan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Hal inipun juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004
tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan, bahwa Pangan siap saji pengawasan dan
pembinaannya ada pada Pemerintah Daerah.
Semenjak tahun 2011 sampai tahun 2014, dalam rangka Aksi Nasional
PJAS, Balai POM di Batam telah melakukan pengujian PJAS sebanyak 926
sampel PJAS pada 60 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di kota Batam, Tanjung
Pinang, Kabupaten Bintan dan Tanjung Balai Karimun. Dari hasil uji tersebut
PJAS tidak memenuhi syarat sebanyak 58 sampel (6,26%), dan yang memenuhi
syarat sebanyak 868 (93,74%). Khusus untuk kota Batam, Balai POM di Batam
sudah melaksanakan Intervensi A, B dan C pada kurang lebih 215 Sekolah Dasar
(87%) dengan tenaga pendamping dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan
kota Batam. Intervensi A di kota Batam dilakukan pada tahun 2012 di 15 SD ,
sedangkan tahun berikutnya di kota Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun .
Dari 15 SD yang diintervensi A tersebut, setelah dilakukan audit oleh BPOM di
Batam bersama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan , hanya 3 SD yang dapat
penghargaan atas terlaksananya keamanan pangan di kantin sekolah tersebut
(BPOM Batam, 2014).
Berdasarkan pertimbangan diatas dan mengingat belum ada penelitian
yang menganalisa implementasi dari program Aksi Nasional Menuju Pangan
Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di Indonesia, maka penulis
tertarik untuk melakukannya penelitian guna mengetahui keefektifan pelaksanaan
kebijakan aksi Nasional PJAS ini dan menemukan faktor faktor yang menjadi
penghambat dan mungkin akan menjadi masalah dari implementasi kebijakan ini.
Untuk menganalisa implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan
Jajanan Anak Sekolah yang Aman, bermutu dan Bergizi ini, penulis menggunakan
kerangka konsep analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier
(1983). Teori ini digunakan karena menurut penulis, beberapa faktor pendukung
dan penghalang implementasi kebijakan makanan di sekolah seperti diatas serta
beberapa permasalahan dalam implementasi kebijakan publik secara umum, akan
bisa dirangkum dalam 16 sub variable yang dikelompokkan kedalam 3 variabel
utama dari teori Mazmanian dan Sabatier ini.
Menurut Mazamanian dan Sabatier , untuk mengetahui keberhasilan tahap
proses implementasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor/variabel utama,
diantaranya adalah : 1) Mudah/tidaknya permasalahan implementasi diselesaikan,
2) Kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan diselesaikan
(statutory variables), diantaranya kejelasan tujuan, dukungan sumber daya, dll 3)
Variable non kebijakan (non statutory variables), semakin baik lingkungan
kebijakan maka semakin baik keberhasilan implementasi kebijakan (Yongjin Sa,
2013; Wahab.S.A., 2012; Mary Mulhern Kincaid 2011,; Purwanto.E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012).
R. Kent Weaver, guru besar public policy mengatakan bahwa kegagalan
untuk mengantisipasi masalah implementasi ketika reformasi kebijakan sedang
berlaku dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan program, biaya
yang berlebihan, dan bahkan mungkin reaksi politik terhadap organisasi dan
1.2.Rumusan Masalah
Pengawasan terhadap jajanan anak sekolah terutama tingkat Sekolah Dasar
belum optimal, hal ini dapat dilihat dari data hasil pengujian Pangan Jajanan Anak
Sekolah pada tahun 2008 sampai 2010, secara nasional memperlihatkan bahwa
40-44% Pangan Jajanan tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan, khususnya
terkait keamanan pangan.
Selanjutnya , kecukupan gizi anak usia sekolah juga masih kurang. Data
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa ,
secara nasional prevalensi anak pendek masih tinggi, yaitu di atas 30%, tertinggi
pada kelompok anak 6-12 tahun (35,8%), Status gizi pada kelompok dewasa di
atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga
masih cukup tinggi, dan masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi
pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia
pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun).
Dengan adanya kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, diharapkan akan dapat mengurangi
masalah diatas dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi
makanan yang beredar di sekolah dan sekitarnya, agar makanan yang tersedia di
sekolah aman, bermutu dan bergizi untuk dikonsumsi siswa.
Dalam mengimplementasikan kebijakan itu, tentu akan melewati proses
yang kompleks dan panjang, apalagi kebijakan ini juga melibatkan banyak lintas
sektor terkait. Dalam perjalanannya tentu ada hal-hal yang berpengaruh dalam
proses implementasinya. Untuk itulah penulis mencoba untuk mengidentifikasi
variabel mana yang berpengaruh dalam proses implementasi tersebut dengan
menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier.
1.3.Pertanyaan penelitian
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah
yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan di kota Batam dalam upaya
1.4. Tujuan penelitian
1.4.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam, ditinjau dari
konsep analisis implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier
1.4.2. Tujuan Khusus :
a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam dari Aspek :
1). Kemampuan pengelolaan masalah (tractability problem)
2). Kemampuan kebijakan itu menstrukturkan proses implementasi
(Statutory variables / hukum)
3). Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi ( Non Statutory variables / non hukum)
b. Untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan
pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di kota
Batam
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Untuk melindungi anak, terutama anak sekolah dari pangan yang tidak
memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi.
b. Bagi Pemerintah Pusat
Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program
Aksi Nasional-PJAS.
c. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai masukan untuk menindak lanjuti program Aksi
Nasional-PJAS dan memperkuat komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya
d. Bagi para pengusaha
Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pengusaha terhadap apa
yang mereka buat dan perdagangkan, sehingga produk mereka aman
dikonsumsi anak sekolah dan mampu bersaing, terutama dalam
menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean.
1.6. Batasan penelitian
Penelitian ini hanya fokus kepada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional
Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, di kota
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Publik
2.1.1. Definisi Kebijakan Publik
Definsi tentang kebijakan publik sangat beragam, dan sepertinya susah
untuk disatukan karena luasnya bidang kajian kebijakan publik itu (Wahab.S.A.,
2012). Menurut William Dunn (1994) kebijakan publik adalah suatu rangkaian
pilihan pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat
pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti
pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat
dan lain-lain. Menurut Thomas R, Dye (1978;1987,1) Kebijakan publik adalah
“Whatever governments choose to do or not to do”, Lemieux (1995) merumuskan
kebjakan publik sebagai “ The product of activities aimed at the resolution of
public problem in the environment by political actors whose relationship are
structured. The entire process envolves over time”, (Wahab.S.A., 2012:13)
Sementara dalam Nugroho (2006,23), juga ditemukan beberapa definisi
seperti dari Harold Laswel dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai a projected program of goal, value, and practise. David Easton
(1965) mendefinisikan sebagai the impact of government activity. James Lester
dan Robert steward (2000) mendefinisikan sebagai a process or a series or
pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some
public problem, either real or imagined. Steven A.Peterson (2003)
mendefinisikannya sebagai government action to address some problem.
B.G.Peter (1993) mendefinisikan sebagai the sum of government activities, wheter
acting directly or through agent, as it has an influence on the lives of citizens.
Dari beberapa definisi tersebut Nugroho (2006) membuat rumusan tentang
ciri- ciri dari kebijakan publik tersebut, yaitu :
a. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administrator Negara atau
administrator public
b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau
c. Dikatakan sebagai kebijakan publik apabila manfaat yang diperoleh
masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh
lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya
2.1.2. Sistem dan Komponen Kebijakan
Menurut Dunn (1994), Sistem kebijakan (policy system) meliputi tiga
unsur/komponen yang saling berkaitan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan,
dan lingkungan kebijakan.
Gambar 2.1.: Hubungan komponen dalam sistim kebijakan (Dunn
dalam Ayuningtyas.D, 2014)
Segitiga sistem kebijakan diatas memperlihatkan bahwa aktor kebijakan
akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan publik, sementara aktor dan
kebijakan publik juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
kebijakan. Ketiga komponen diatas selanjutnya dikenal dengan sistem kebijakan
Lebih jauh komponen kebijakan itu dapat dijelaskan lebih lanjut :
1. Isi kebijakan publik (Policy Content)
Isi kebijakan publik ini merupakan respon dari berbagai masalah publik
yang meliputi : Kebijakan hak-hak sipil, pendidikan, kesejahteraan,
kesehatan, pertahanan, energi, lingkungan dan lain-lain. (Wahab.S.A,
2012) Secara umum, isi kebijakan itu dibuat dalam bentuk tertulis dan
memuat : a). Tujuan dibuatnya kebijakan dan dampak yang diharapkan, b).
Ruang lingkup kebijakan, meliputi siapa yang menjadi sasaran kebijakan
dan dan tindakan yang dipengaruhi oleh kebijakan, c). Kapan kebijakan
diberlakukan, d). Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan,
e). Aturan aturan khusus terhadap perilaku organisasi yang membuat Actor / pelaku
kebijakan
Lingkungan kebijakan
kebijakan itu, f). Latar belakang pembuatan kebijakan, g). Definisi dari
istilah untuk menghindari ambigu ( Ayuningtyas, 2014)
2. Pelaku kebijakan / Pemangku kepentingan kebijakan (Policy stakeholder)
Pelaku / aktor atau pemangku kepentingan dari kebijakan ini adalah
individu atau kelompok yang berhubungan langsung dengan suatu
kebijakan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan
tersebut, dapat berupa sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki
lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintah dan
lain-lain (Ayuningtyas, 2014). Beberapa hal dapat berpengaruh pada aktor ini
antara lain: bentuk pemerintahan, sistem birokrasi, sistim politik, pola
partisipasi, kepentingan, derajat konflik dan watak penguasa (Wahab.S.A,
2012).
3. Lingkungan kebijakan (Policy Environment)
Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap suatu kebijakan
adalah : Kesejahteraan, Urbanisasi, Sitem ekonomi, tingkat pendidikan,
pola kebudayaan, komposisi rasial, keragaman agama dan lain-lain
(Wahab.S.A, 2012).
2.1.3. Proses Perancangan Kebijakan Publik
Menurut Walt (1994), proses perancangan kebijakan merupakan proses
linier yang dimulai dari pengenalan masalah sampai dengan aktifitas untuk
menyelesaikan masalah. Proses tersebut adalah : 1) Identifikasi masalah /
pengenalan isu, 2) Formulasi Kebijakan (perumusan), 3) Implementasi kebijakan
dan 4) Evaluasi Kebijakan (Adisasmito.W,2013).
Menurut Dunn (1994) proses perancangan kebijakan adalah : 1) Penetapan
agenda kebijakan, 2) Adopsi kebijakan, 3) Implementasi kebijakan, 4) Evaluasi
kebijakan. Menurut James Anderson (1979), proses perancangan kebijakan
publik adalah: 1) Formulasi masalah, 2) Formulasi kebijakan, 3) Penentuan
kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, 5) Evaluasi kebijakan. Sedangkan menurut
AG.Subarsono (2004), proses perencanaan kebijakan adalah serangkaian proses
yang bersifat politis yang dimulai dari : 1) Penyusunan agenda, 2) Formulasi
kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, dan 5) Evaluasi
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tujuan kebijakan. Tahapan ini adalah penting karena tahapan ini merupakan
“jembatan” antara dunia konsep dan dunia nyata (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012). Implementasi ini akan melibatkan sebuah proses yang
rasional dan emosional yang amat kompleks. Pada proses ini akan memasuki
ranah permasalahan konflik, keputusan-keputusan yang pelik, dan isu siapa yang
akan memperoleh apa, sehingga implementasi ini merupakan bagian yang penting
dari keseluruhan proses kebijakan.
Pentingnya implementasi ini juga disampaikan oleh Udoji dalam
Wahab.S.A, (2012) mengatakan bahwa, pelaksanaan kebijakan itu adalah sesuatu
hal penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi
dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Dalam artian luas, implementasi dianggap sebagai bentuk
penyelenggaraaan atau pengoperasionalisasian aktivitas yang sudah ditetapkan
bersama diantara para pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi
(public atau private), prosedur dan teknik secara sinergis untuk bekerjasama
menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki.
Menurut Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam Wahab.S.A.
(2012), proses implementasi kebijakan itu tidak hanya menyangkut perilaku badan
administratif yang bertanggung jawab melaksanakan dan menimbulkan ketaatan
pada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan-jaringan politik,
ekonomi dan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi
perilaku pihak yang terlibat. Akhirnya akan berpengaruh kepada dampak, baik
yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
2.1.4.1. Teknik Implementasi
Ada dua model pendekatan/teknik dalam mengimplementasikan kebijakan
a. Pendekatan top-down (top down approach)
Pendekatan ini sering juga disebut policy centred karena perhatian
peneliti hanya terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh
fakta-fakta, apakah implementasi kebijakan itu mampu atau tidak
mencapai tujuannya (Hogwood and Gunn 1984 dalam Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan top-down ini sangat cocok
untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan.
P.deLeon and L,deLeon (2002), menyebut pendekatan top-down
ini sebagai pendekatan “Command and control” yang berarti memberikan
komando dan mengawasi pelaksanaannya. Dalam artian luas perintah
atasan ini berkaitan dengan kejelasan tujuan. Perintah tersebut akan
diterjemahkan detil dalam bentuk instruksi kerja dan atasan juga mampu
mengawasi pelaksanaan instruksi tersebut (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012)
Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan birokrasi
(bureaucratic approach) karena secara umum berbasis kepada mekanisme
birokrasi, dan dengan mekanisme yang agak memaksa.
Implementasi kebijakannya tersentralisasi dan dimulai dari tingkat pusat,
dan keputusan pun diambil di tingkat pusat. Keputusan tersebut
dilaksanakan oleh administrator atau birokrat pada level dibawahnya,
sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan ditingkat pusat.
(Wahab.S.A,2012)
b. Pendekatan Bottom-Up (Bottom-up approach)
Pendekatan ini dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971),
Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978). Pendekatan
bottom-up ini menekankan pentingnya peranan birokrat pada level bawah ( street
level bureaucrate) dan kelompok sasaran kebijakan (target group) dalam
implementasi suatu kebijakan. Bahkan mereka juga beranggapan bahwa
implementasi akan berhasil jika kelompok sasaran dilibatkan dari awal
perencanaan dan implementasinya (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R,
Pendekatan bottom-up dapat dilaksanakan dengan langkah
langkah sebagai berikut:
1. Memetakan stakeholder (aktor dan organisasi) pada level terbawah
yang terlibat dalam implementasi kebijakan
2. Mencari informasi tentang pemahaman aktor tersebut terhadap
kebijakan yang mereka implementasikan, dan apa kepentingan
mereka di dalamnya.
3. Memetakan keterkaitan aktor pada level bawah dengan aktor pada
level atasnya.
4. Peneliti bergerak keatas memetakan aktor yang lebih tinggi dengan
mencari informasi yang sama.
5. Pemetaan dilakukan terus sampai level tertinggi (para policy maker)
Metode pendekatan bottom-up ini adalah untuk mengetahui
jaringan implementasi yang melibatkan banyak aktor dari berbagai level
dan memetakan motif ekonomi-politik para aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)
Untuk memudahkan dalam memahami perbedaan pendekatan top-down dan
bottom-up tersebut, Sabatier (1984) membuat ringkasan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom-up.
Top-down Bottom-up
Fokus awal Kebijakan pemerintah (pusat) Jaringan implementasi pada level paling bawah
Identifikasi aktor utama yang terlibat dalam proses
Dari pusat (atas) dilanjutkan ke bawah sebagai konsekuensi implementasi
Dari bawah, yaitu para implementer pada level lokal ke atas
Kriteria evaluasi Berfokus pada pencapaian tujuan formal yang tertulis dalam dokumen kebijakan
Kurang begitu jelas, apa saja yang dianggap peneliti penting dan punya relevansi dengan kebijakan Fokus secara
keseluruhan
Bagaimana mekanisme implementasi bekerja untuk mencapai tujuan kebijakan
Interaksi strategis antar berbagai aktor yang terlibat dalam implementasi
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang Mempengaruhi
Keberhasilan Implementasi kebijakan.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses dan
pencapaian tujuan akhir kebijakan (output), hal ini juga didukung oleh Merrile
Grindle dalam Agustino (2008) yang mengatakan bahwa “pengukuran
keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan
apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat
kepada action program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan
program tersebut tercapai”.
Suatu model implementasi kebijakan merupakan suatu upaya
menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih
sederhana yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan implementasi
dengan faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut
(Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).
Diantara model implementasi kebijakan tersebut adalah :
a. Implementasi Kebijakan Publik Model Donal Van Metter dan Carl Van Horn.
Kedua pakar ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan
implementasi dan membuat suatu model konseptual yang menghubungkan
kebijakan dengan kinerja (performance). Kedua ahli ini juga menegaskan
bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep yang
penting dalam prosedur-prosedur implementasi. (Wahab.S.A, 2012).
Ada 6 Variable menurut Van Meter dan Van Horn yng mempengaruhi
kinerja kebijakan publik :
1. Ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumberdaya
3. Karakteristk agen pelaksana
4. Sikap/kecendrungan (Disposition) para pelaksana
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik
b. Implementasi Kebijakan Pulik Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
Model kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier
berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik
adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang
mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses
implementasi.
Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama
(independen variable) yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.:
1. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap (tractability), meliputi
: a). Kesukaran kesukaran teknis, b). Keberagaman perilaku yang
diatur, c). Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok
sasaran, d) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang
dikehendaki.
2. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat
(Statutory). Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang
yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat
melalui beberapa cara : a). Kecermatan dan kejelasan penjenjangan
tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b). Keterandalan teori kausalitas
yang diperlukan, c) Ketepatan alokasi sumber dana, d) Keterpaduan
hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau
instansi-instansi pelaksana, e). Aturan-aturan pembuat keputusan dari
badan-badan pelaksana, f). Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan
yang termaktub dalam undang-undang, dan g). Akses formal
pihak-pihak luar
3. Variabel-variabel di luar Undang-undang / kebijakan yang
mempengaruhi implementasi (Non Statutory), seperti : a).Kondisi
sosial-ekonomi dan teknologi, b). Dukungan publik, c). Sikap dan
sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d). Kesepakatan
dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III (1980)
Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and
Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan ini Edward III
mengemukakan 4 variabel yang sangat menentukan keberhasilan
1. Komunikasi
Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a).
Transmisi, b) Kejelasan, dan c). Konsistensi,.
2. Sumberdaya .
Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen
yaitu : a) Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten
dibidangnya, b). Informasi, informasi tentang cara melaksanakan
kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para
pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c) Wewenang,
kewenangan harus bersifat formal, dan d). Fasilitas (sarana dan
prasarana)
3. Disposisi / sikap dari pelaksana kebijakan
Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para
pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya
dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga
dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati
dalam variable ini menurut Edward III adalah : a) Pengangkatan
Birokrat, dan b) Insentif
4. Struktur Birokrasi
Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja
struktur birokrasi / organisasi kearah yang lebih baik adalah : a).
melakukan Standard Operating Procedures (SOPs) dan b).
melaksanakan Fragmentasi
d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle.
Grindle (1980), mengemukakan model implementasi kebijakan yang
dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process.
Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), pengukuran keberhasilan imlementasi ini
dapat dilihat dari 2 hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai
dengan yang sudah ditentukan (design), dengan merujuk kepada aksi
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack
atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok,
dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok
sasaran dan perubahan yang terjadi.
Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat
implementability yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy
1) Content of policy menurut Grindle adalah : a). Interest Affected (
kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b). Type of Benefits
(Tipe manfaat), c). Extent of Change Envision (derajat perubahan
yang ingin dicapai), d).Site of Decission Making (letak pengambilan
keputusan), e).Program Implementation (Pelaksana program), dan f).
Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan).
2) Context of policy menurut Grindle adalah : a). Power, Interest, and
Strategy of actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari
actor yang terlibat), b). Institution and Regime Characteristic (
Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan c). Compliance
and Responsivness ( tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana)
Disamping itu dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012) juga ada
pendapat dari Sabatier (1986). Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap
memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi
kebijakan, yaitu :
1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten,
2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan,
3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin
kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran,
4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan,
5. Dukungan para stakeholder,
2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi.
a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi.
Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R,
(2012), suatu implementasi yang sangat sempurna (perfect implementation)
tidak akan pernah terwujud karena :
1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti
krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat
kebijakan maupun imlementatornya.
2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai
3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat
tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai.
Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk
mengatasi masalah publik.
4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat
langsung
5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya
pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan
sumberdaya manusia yang berkualitas dll.
6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang
tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang
dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies.
7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang
sempurna.
b. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain
Makinde (2005) dalam (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) telah
mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi,
sehingga menimbulkan kegagalan, seperti penelitiannya di Nigeria
mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh :
1) Kelompok sasaran (target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasi
program, 2) program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi
Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5) Tidak adanya koordinasi dan
monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM (Sumberdaya
Manusia) yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab
kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana.
Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor
yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1)
Ketidakjelasan tujuan kebijakan, 2) Komitmen politik, 3) Struktur
pemerintahan, 4) Sentralisasi kewenangan, 5) Sumberdaya, dan 6)
Ketergantungan pada bantuan asing.
Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor (2013)
juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan
di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1) Tujuan yang tidak
realistis, 2) Korupsi, 3) Politik (dana digunakan untuk politisasi),4) Kurang
mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat
sebelum membuat kebijakan (program kemiskinan tidak berbasis lokal), 5)
Kurangnya partisipasi kelompok sasaran ( proses kebijakan publiknya selalu
top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi)
c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia
Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan
kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang
menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi (Purwanto E.A &
Sulistyastuti.D.R, 2012) yaitu :
1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan
tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi,
dll.
2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). Menurut Wildavsky,
besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau
program, menunjukkan seberapa besar political will / komitmen
pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan.
3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan
kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis,
4. Kapasitas implementor (struktur organisasi, dukungan SDM,
pengawasan, koordinasi, dll).
5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran ( apakah individu,
kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll).
6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana
implementasi tersebut dilakukan.
2.2. Keamanan Pangan
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pemerintah RI, 2012).
Pada Konferensi Internasional FAO/WHO tahun 1992 tentang gizi,
dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan
dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak
menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh
pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang”
(Badan POM RI a, 2011).
2.2.1. Definisi Keamanan Pangan
Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah
kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Menurut FAO/WHO (1997) Keamanan pangan adalah jaminan bahwa
pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau
dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan menurut Codex
Alimentarius Commission (CAC), Kemanan pangan adalah semua kondisi dan
tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua
2.2.2. Jenis Bahaya Dalam Pangan
Jenis bahaya dalam pangan yang dapat mengancam kesehatan pada
manusia secara garis besar dibagi atas 3 golongan, yaitu:
1. Bahaya Fisik
Bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari benda-benda yang
tidak boleh ada dalam pangan dan tidak layak untuk dimakan seperti
rambut, kuku, anak steples, kerikil, pecahan kayu, plastik, serangga mati
dan lain-lain.
2. Bahaya Kimia
Bahaya kimia adalah bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia.
Bahan kimia berbahaya ini dapat berasal dari :
a. Penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pengolahan pangan seperti
penggunaan boraks untuk pengenyal bakso, pempek, perenyah pada
kerupuk; penggunaan formalin untuk pengawet pada ikan, tahu, mie
basah; dll.; penggunaan Pewarna bukan untuk makanan seperti
Rhodamin B sebagai pewarna merah, methanyi yellow untuk pewarna
kuning dll.
b. Racun alami yang ada dalam pangan, seperti jamur beracun, ikan
buntal yang mengandung tetrodotoksin, singkong yang menangdung
Cianida, jengkol yang mengandung asam jengkolat, ikan yang
mengandung histamine dll.
c. Cemaran kimia yang berasal dari lingkungan, seperti limbah industry
yang diserap tanah, sisa pestisida pada buah dan sayur, cat pada
peralatan masak, makan dan minum, asap kendaraan bermotor,
penggunaan kemasan pangan yang dilarang, dll.
d. Pengunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi kadar maksimum
yang diperbolehkan. Bahan tambahan ini diperlukan pada pangan
olahan untuk memperbaiki sifat dan mutu serta daya simpannya.
3. Bahaya Biologi
Bahaya ini berasal dari mikroba yang muncul pada pengolahan
pangan yang tidak baik, seperti tidak menjaga kebersihan baik dari
dari makanan yang kotor.Mikroba bisa berupa bakteri, kapang, khamir
ataupun virus. Pertumbuhan mikroba ini sangat dipengaruhi oleh jenis
makanannya, suhu penyimpanan, kadar air, tingkat keasaman dan waktu
penyimpanan.
2.2.3. Determinan Keamanan Pangan
Dalam buku promosi Kemanan Pangan yang disusun oleh Badan POM RI
bersama FKM UI (2011), keamanan pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor prilaku (sanitasi dan higiene pangan)
Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mencegah kemungkinan
tumbuhnya jasad renik dan pathogen dalam makanan atau usaha untuk
mencegah pencemaran pada pangan.. Sedangkan hygiene pangan adalah
kondisi dan tindakan yag diperlukan untuk menjamin pangan tersebut
aman dan layak pada semua rantai makanan.
Higiene dan sanitasi pangan menyangkut Higiene pribadi ,
ruangan, pakaian , dan pangan sendiri. Beberapa contoh adalah tidak
mencuci tangan, kebiasaan mengobrol dan merokok sambil bekerja, tidak
menggunakan masker dan tutup rambut, dll.
Faktor prilaku ini juga terkait dengan faktor prilaku dari konsumen,
dimana konsumen tidak mengenal bagaimana mengetahui pangan yang
aman seperti tidak memperhatikan label, hanya membeli pangan dengan
pertimbangan harga murah tanpa memperhatikan kemanannya dan
sebagainya.
2. Faktor Lingkungan
Untuk mendapatkan pangan yang aman, juga perlu memperhatikan
faktor lingkungannya, seperti bangunan beserta konstruksinya, peralatan
yang digunakan. Lingkungan yang tidak baik akan cendrung mencemari
pangan, seperti pencemaran fisik, kimia dan biologi.
3. Faktor Sosial ekonomi
Keamanan pangan juga terkait dengan keadaan sosial ekonomi
yang meliputi pengetahuan dan kemauan, pendidikan, pekerjaan,
Pengetahuan sangat memegang peranan penting, karena dengan
pengetahuan akan bisa memperbaiki sikap dan prilaku. Diantara
pengetahuannya adalah bagaimana cara mencuci buah dan sayuran,
bagaimana cara mengolah pangan yang baik, cara memilih makanan yang
aman, dll. Pendidikan keamanan pangan juga diperlukan bagi konsumen
agar kesadaran masyarakat akan keamanan pangan meningkat.
Lingkungan sosial seperti sekolah, tempat bekerja dan tempat
tinggal, juga akan bisa mempengaruhi kemanan pangan, karena disinilah
mereka berkumpul dan dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari
masyarakat kita masih banyak yang permisif, sehingga kurang teliti dalam
memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi dan tergiur dengan harga
yang murah.
2.3. Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak
Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)
2.3.1. Latar Belakang
Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan oleh Badan POM
tahun 2008 sampai tahun 2010 terhadap pangan jajanan anak sekolah (PJAS)
menunjukkan bahwa 40 – 44% Pangan jajanan sekolah tidak memenuhi syarat
(TMS) keamanan pangan, diantaranya mengandung bahan berbahaya yang
digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, zat warna tekstil rhodamin B
dan methanyl yellow, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang
melebihi ketentuan seperti pada pemanis buatan, pengawet dan lain-lain, serta
kandungan mikroba yang diluar persyaratan untuk kesehatan akibat buruknya
hygiene dan sanitasi pangan. Hasil pengawasan ini dapat dilihat pada table 2.2
dibawah.
Tingkat keamanan PJAS yang masih rendah merupakan masalah serius
karena terkait dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya
kualitas PJAS dapat memperburuk status gizi anak sekolah akibat terganggunya
asupan gizi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
tangkas dan cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan
oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan
kualitas asupan pangan yang dikonsumsi (Bappenas, 2011).
Tabel 2.2 : Hasil pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS tahun
2008-2010
Beberapa penelitian di luar negeripun seperti di Hungaria, memperlihatkan
bahwa nutrisi yang kurang dari PJAS ini merupakan penyebab menaiknya
penderita overweight (obesitas) pada remaja, yang akan berimplikasi kepada
penyakit pembuluh darah (cardiovascular) dan juga diabetes mellitus, Gaya hidup
anak-anak akan sangat menentukan terhadap kebiasaan yang beresiko (Peter.S,et
al, 2007).
Selain Badan POM, sejumlah program kegiatan keamanan pangan di
sekolah, misalnya program kantin sekolah sehat, telah diinisiasi oleh institusi lain
seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta industri pangan swasta.
Program peningkatan keamanan pangan di sekolah belum sepenuhnya terstruktur
dengan baik. Keterbatasan sumber daya instansi berwenang dirasa tidak
sebanding dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang
perlu diawasi dan dibina keamanan PJAS-nya. Sekitar 143.000 Sekolah Dasar
(Data Statistik Sekolah Dasar 2009-2010, Kemdikbud) dan 22.000 Madrasah
Ibtidaiyah (Profil Statistik Pendidikan Islam 2009-2010, Kemenag) tersebar
hingga seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu, suatu gerakan bersama secara