• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5. Penelitian Kebijakan

2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif

2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data

Tujuan dari pemeriksaan keabsahan data ini adalah agar temuan-temuan penelitian dapat diterima atau dapat dipertimbangkan.

Beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian kualitatif (Moleong, 2013), adalah :

a. Perpanjangan keikutsertaan, dimana peneliti tinggal lebih lama dilapangan sampai terjadi kejenuhan pengumpulan data. Hal ini berguna untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data serta membangun kepercayaan subyek terhadap peneliti dan menambah kepercayaan diri peneliti.

b. Ketekunan pengamatan, berarti mencari interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitannya dengan proses analisis yang konstan.

Ketekunan pengamatan ini bermaksud untuk mencari ciri-ciri dan unsur- unsur yang relevan dengan persoalan, kemudian memusatkan diri pada temuan itu secara rinci (menyediakan kedalaman makna)

c. Triangulasi, merupakan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan data atau pembanding terhadap data itu.

Danzin membedakan triangulasi dalam 4 kelompok, yaitu :

1) Triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda

2).Triangulasi dengan metode, yaitu pengecekan derajat kepercayaan dengan membandingkan terhadap hasil penelitian dengan beberapa metode pengumpulan data.

3).Triangulasi penyidik, yaitu pengecekan data dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya.

4).Triangulasi dengan teori, yaitu memeriksa kebenaran data dengan teori lain. Menurut Patton (1987), hal ini dapat dilaksanakan dan dinamakan penjelasan pembanding ( rival explanation)

d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dengan teman sejawat dalam bentuk diskusi.

e. Analisa kasus negatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang diperoleh dan digunakan sebagai pembanding.

f. Pengecekan anggota, dengan melibatkan semua anggota yang ikut dalam pengumpulan data

g. Uraian rinci, peneliti dituntut untuk melaporkan hasil penelitiannya secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian dilaksanakan.

h. Auditing, proses ini dapat dilaksanakan apabila ada pencatatan dari seluruh proses dan hasil studi.

2.6. Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah

Beberapa hasil penelitian terkait implementasi kebijakan makanan di sekolah ini dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok utama, yaitu :

1. Dampak Positif Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah

Suatu studi Universitas Nebraska-Lincoln memperlihatkan bahwa dengan keijakan nutrisi disekolah dan pelarangan terhadap junk food pada jam makan siang, telah berhasil menurunkan berat badan 18% pada siswa yang obesitas (McGarvey M.G., 2010)

Kebijakan makanan di sekolah sangat penting dan akan berdampak kepada kebiasaan makan diwaktu remaja, sebagaimana temuan dari

CA.Vereecken dkk (2004) di Belgia. Kebijakan makanan di sekolah ini juga akan berpengaruh kepada Praktek Keamanan Pangan Penjaja Jajanan Anak Sekolah (Damayanti.S.E., 2014).

Contoh lain adalah dengan diwajibkannya sekolah dasar menerapkan kebijakan nutrisi di sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006 di Prince Edward Island/PEI, yang menunjukkan penurunan signifikan secara statistik terhadap proporsi makanan yang rendah gizi (LNDF) dan peningkatan proporsi Susu dan Alternatifnya (MA) serta Sayur dan buah (VF) antara 2001/02 dan 2007 (Mullally,M.L,et.al, 2010).

2. Faktor yang Menunjang Keberhasilan Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah

a. Adanya dukungan masyarakat

Dukungan untuk pelaksanaan pedoman yang diberikan oleh kelompok relawan (dari masyarakat kota) dan pemangku kepentingan (misalnya perwakilan divisi sekolah) memfasilitasi kerja guru, jaringan dan kemitraan di seluruh kota adalah komponen kunci dari membangun dukungan masyarakat. Dukungan ini diberikan melalui kas dan sumbangan makanan, dan melalui kerja sukarela (Quintanilha.M, 2011) b. Adanya dukungan pemerintah

Salah satu keberhasilan pelaksanaan program makanan sekolah di Kodungallur, India, tidak terlepas dari peranan subsidi pemerintah pusat, disamping adanya kerjasama yang baik dari tingkat pusat sampai lokal. Pelaksanaan program makan di sekolah diterjemahkan sebagai salah satu yang harus adi secara geografis, target pada daerah yang terpinggir melalui penyediaan langsung, dilaksanakan dengan transparansi dan akuntabilitas, dan sadar preferensi makanan lokal yang mengarah ke produksi lokal dan tenaga kerja dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (Chettiparamb, Angelique.,2009)

Dukungan pemerintah mempertimbangkan, penyusunan, dan pelaksanaan undang-undang pencegahan obesitas adalah dukungan yang signifikan dalam keberhasilan program untuk mengurangi prevalensi obesitas ini. Dengan adanya undang-undang ini akan mendukung

penyediaan biaya terkait dengan intervensi kesehatan dalam anggaran sekolah (Katy Lee Cook, 2013). Sebagai contoh Penerapan UU 11,947 pada tahun 2009 (Governo Federal Brasileiro, 2009 ) di Brazil yang dikenal sebagai “School feeding law”, merupakan tonggak yang melegalkan makanan di sekolah di tingkat federal. Konstitusi 1988 menjamin hak universal untuk makanan sekolah gratis untuk siswa yang terdaftar di sekolah dasar negeri (Sidaner.E.et.al, 2013).

Sebagai contoh lain keterlibatan pemerintah adalah mewajibkan seluruh sekolah dasar di Prince Edward Island/PEI) menerapkan kebijakan nutrisi sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006 yang mengacu kepada “PEI School Nutrition Policies/ PEI SNP”. (Mullally,M.L,et.al, 2010)

c. Peranan “Working Group”

Peranan kelompok pekerja ini sangat besar dalam mampu menjembatani dunia sekolah dengan dunia gizi dengan cara yang memungkinkan pengembangan kebijakan gizi di sekolah (Freeze.C, 2007)

d. Dukungan sekolah

Dukungan kepala sekolah sangat berperan dalam keberhasilan implementasi kebijakan makanan di sekolah dan dapat bertindak sebagai katalis untuk membantu perubahan serta filosofi pribadi kepala sekolah tentang gizi di sekolah adalah kekuatan yang berpotensi kuat untuk membentuk apa yang mungkin dan apa yang akan terjadi di sekolah (Freeze.C, 2007)

Dukungan Guru dan staf sekolah lainnya juga memungkinkan pengembangan kebijakan dengan mendukung keputusan kepala sekolah untuk memperbaiki gizi sekolah melalui tindakan mereka di dalam kelas (Freeze.C, 2007,; Quintanilha.M, 2011).

Terkait dengan metode implementasi, maka penggunaan sekolah percontohan dan Pengembangan kebijakan Bottom-up juga dinilai sebagai proses optimal dalam mengembangkan kebijakan gizi di sekolah. (Freeze.C, 2007)

Keberadaan penanggung jawab terhadap gizi secara formal, juga sangat penting di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Rideout, Karen et.al (2007), terkait pengembangan nutrisi di sekolah di Britis Columbia, menemukan ada sekitar 25% sekolah yang punya kelompok formal yang bertanggung jawab terhadap gizi, dan ini akan memberikan dampak positif terhadap implementasi kebijakan gizi

e. "Waktu Tepat" (right timming)

Informan kunci percaya bahwa usia anak-anak sekolah menengah memberikan kontribusi terhadap perubahan perilaku siswa, terutama ketika guru terus-menerus berusaha untuk menjadi panutan, dan mendorong kebiasaan sehat melalui beberapa inisiatif mereka (Quintanilha.M, 2011).

f. Adanya manager jasa makanan yang berpengalaman

pengalaman manager jasa makanan sebagai Red Seal koki, di samping pelatihan sebelumnya, mendukung peningkatan makanan yang disajikan di kantin sekolah. Latar belakang profesional membuat dia lebih sadar pilihan yang sehat dan lebih berkualitas untuk merencanakan dan menyiapkan makanan seimbang dan sehat (Quintanilha.M, 2011).

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah a. Kesulitan dalam merubah perilaku

Penelitian di Afrika Selatan oleh Temple,Norman dkk (2006), meskipun sudah ditetapkan makanan yang sehat dan tidak sehat di sekolah, namun masih ada 70% siswa tidak membeli makanan yang sehat dan 73,2% membeli dua atau lebih makanan yang tidak sehat. Hal ini sejalan dengan temuan Anu Devi.et.al.(2010) yang mengatakan bahwa siswa dalam menentukan pilihan makanan akan mempertimbangkan biaya/harga dan kenyamanan serta sangat ditentukan oleh pilihan individu. staf dan murid mengkritik inisiatif untuk membatasi makanan yang tidak sehat

Kenyataan lain memperlihatkan bahwa setelah kebijakan dijalankan, maka ada beberapa makanan yang masuk kedalam daftar,

tapi tidak disukai oleh kebanyakan siswa, hal ini akan merepotkan bagi penyedia jasa makanan sehat, kondisi ini akan dipersulit lagi dengan kurangnya kualitas dan jumlah staf penyedia jasa (Quintanilha.M, 2011). b. Kendala struktur

Kendala infrastruktur seperti sarana dan prasarana kantin yang masih kurang, meningkatnya jumlah murid, antrian panjang dan kemampuan staf kantin untuk melayani makanan dengan cepat dan nyaman (Anu Devi.et.al.(2010) dapat juga menjadi kendala bagi berhasilnya implementasi kebijakan makanan di sekolah.

c. Kendala finansial

Penelitian di Malawi memperlihatkan bahwa adanya ketergantungan pada pendanaan eksternal dan kurangnya struktur dukungan lokal untuk program pemberian makanan di sekolah (Nyongani.M.M, 2012).

Sementara itu disisi internal sekolah ada kekhawatiran bahwa mengimplemtasikan kebijakan makanan disekolah akan dapat mengurangi income sekolah, karena berkurangnya jenis makanan yang berkontribusi dalam acara penggalangan dana sekolah (Freeze.C, 2007).

Dari sisi penyedia makanan juga ditemukan penurunan pendapatan dan mengatakan bahwa perubahan mendadak yang tidak akan memuaskan konsumen tidak dapat dilakukan karena kantin kecil, dan hilangnya pendapatan substansial dapat mempengaruhi input jasa makanan , Sementara itu faktor biaya / harga makanan sehat lebih mahal daripada makanan tidak sehat (Quintanilha.M, 2011).

d. Kehadiran pedagang makanan di sekitar sekolah

Seliske.L,et.al (2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kehadiran penjaja makanan disekitar sekolah dengan perilaku makan siang anak. Hal inipun juga dipertegas oleh hasil penelitian Howard.P.H et.al (2011) yang mengatakan bahwa kehadiran toko yang berjarak 10 menit berjalan kaki dari sekolah akan berpengaruh pada kenaikan berat badan siswa. Ini juga didukung oleh adanya restoran

cepat saji dan toko toko yang menyediakan “junk food” di sekitar sekolah (Quintanilha.M, 2011).

e. Pengawasan yang kurang

Sebagai contoh pada makanan siang anak sekolah yang disajikan oleh sekolah di Korea, masih ditemukan 15% dari makanan yang tidak dipanaskan dan 9% dari makanan yang dipanaskan mengandung >6% log CFU bakteri aerob per g, serta kehadiran E.Coli O157:H7 pada makanan tersebut. Hal ini menunjukkan pengawasan kemanan yang masih kurang. ( Jee Hoon.R et.al, 2011).

f. Menggunakan makanan sebagai hadiah

55% dari responden melaporkan penggunaan makanan sebagai hadiah di sekolah. Ketika makanan ini adalah pilihan yang kurang sehat, ini dapat menciptakan ketidakcocokan antara pelajaran dalam kurikulum yang menginstruksikan anak-anak untuk memilih makanan sehat dan perilaku yang dimodelkan di dalam kelas (Freeze.C, 2007).

g. Penolakan orang tua

Faktor penghasilan dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah akan menghalangi penerapan strategi makan sehat di sekolah-sekolah, disamping sudut pandang orang tua yang beranggapan bahwa dengan mengubah lingkungan makanan sekolah, mereka akan menghilangkan kebebasan siswa untuk memilih dan membeli makanan dari mesin penjual otomatis (Quintanilha.M, 2011)

BAB III

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Dalam melakukan analisa implementasi Kebijakan Badan POM RI dalam pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah, khususnya tentang Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Begizi, penulis menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. (1989).

O'Toole, (2000); dan Goggin et al, (1990) dalam Yongjin Sa (2013), memasukkan teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989) ini kedalam generasi terakhir pada kelompok generasi kedua dari pengelompokan tentang studi implementasi kebijakan. Menurut mereka generasi kedua ini fokus dalam memberikan dan mengembangkan kerangka kerja analitis dan konseptual untuk analisis implementasi kebijakan.

Mazmanian dan Sabatier menggunakan 3 (tiga) variable independen utama yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses implementasi kebijakan (Wahab, 2012.; Yongjin Sa, 2013; Kincaid.M,2011), yaitu

a. Mudah tidaknya masalah yang dihadapi untuk dikendalikan

b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya dan

c. Pengaruh langsung barbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

Menurut mereka, peran dari analisis implementasi kebijakan adalah berupaya mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dari proses implementasi kebijakan.

Kerangka konsep implementasi ini dapat dilihat pada gambar 3.1. dimana ketiga variabel bebas itu akan memberikan pengaruh pada lima tahap proses implementasi (variabel dependen) yaitu: (1) output kebijakan (keputusan) dari lembaga pelaksana, (2) kepatuhan kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut,

(3) dampak sebenarnya dari keputusan lembaga, (4) dampak yang dirasakan dari keputusan, dan (5) evaluasi sistem politik dari undang-undang dalam hal revisi atau perbaikan isinya.

Gambar 3.1 : Kerangka analisis implementasi dari Mazmanian dan Sabatier (Wahab.SA.,2012)

Keefektifan implementasi suatu kebijakan, menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Kincaid (2011), dapat dilihat dari 6 (enam) kondisi, yaitu:

Mudah/tidaknya masalah dikendalikan Kesukaran-kesukaran teknis 

Keragaman prilaku kelompok sasaran 

Presentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk  Ruang lingkup perubahan yang diinginkan  

Kemampuan Kebijakan menstrukturkan proses implementasi

Kejelasan dan konsistensi tujuan   Digunakannya teori kausal yg  memadai  Ketepatan alokasi sumber dana  Keterpaduan hirarki dalam dan diantara  lembaga pelaksana 

Aturan-aturan keputusan dari badan  pelaksana 

Rekruitmen pejabat pelaksana  Akses formal pihak luar 

Variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi Kondisi Sosio-ekonomi dan  teknologi  

Dukungan public 

Sikap dan sumber-sumber yang  dimilki kelompok-kelompok  Dukungan dari pejabat atasan  Komitmen dan kemampuan  kepemimpinan pejabat-pejabat  pelaksana  Output  kebijakan  Badan- badan  pelaksana  Kesediaan  kelompok  sasaran  dalam   mematuhi  output  kebijakan Dampak  nyata  output  kebijakan  Dampak  output  kebijakan  sebagai  dispersepsi  Perbaikan  mendasar  dalam  undang- undang  Tahap-tahap dalam proses implementasi (variable dependen)

a. Adanya undang-undang atau legalitas lainnya dari arah kebijaksanaan yang jelas dan konsisten, atau setidaknya memberikan kriteria substantif untuk menyelesaikan permasalahan tujuan.

b. Memungkinkan adanya legalitas yang mengidentifikasi prinsip utama dan hubungan kausal (sebab akibat) intervensi yang mempengaruhi tujuan kebijakan dan menerapkan pada kelompok sasaran serta adanya yurisdiksi pejabat untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

c. Membuat struktur proses implementasi yang resmi sehingga dapat memaksimalkan pejabat pelaksana dan dan kelompok sasaran untuk berlaku seperti yang diinginkan.

d. Para pemimpin badan pelaksana memiliki keterampilan manajerial dan politik yang substansial dan berkomitmen untuk tujuan kebijakan. e. Program secara aktif didukung oleh kelompok konstituen yang

terorganisasi dan oleh legislator selama proses implementasi, dengan pengadilan yang netral atau mendukung.

f. Konsistensi terhadap tujuan dari waktu ke waktu, tidak dirusak oleh kebijakan yang baru yang bertentangan atau akibat perubahan sosial ekonomi yang melemahkan dukungan politik.

Disamping itu menurut Mazmanian dan Sabatier, untuk menguji implementasi kebijakan melalui pendekatan top-down, kita dapat mengguna- kan 4 pertanyaan kunci (Kincaid, 2011), yaitu:

a. Sejauh mana konsistensi pejabat dan kelompok sasaran dalam menjalankan kebijakan (dalam tujuan dan prosedur)?

b. Sejauh mana tujuan dari waktu kewaktu tercapai (sejauh mana dampak konsisten dengan tujuan?

c. Apa faktor yang mempengaruhi output kebijakan dan dampaknya, baik yang terkait dengan kebiakannya sendiri ataupun politik lainnya?

d. Bagaimana kebijakan dirumuskan dari waktu ke waktu berdasarkan pengalaman?

Teori dari Mazmanian dan Sabatier sampai saat ini sering digunakan dalam penelitian untuk menganalisa implementasi kebijakan publik, diantaranya oleh Yongjin Sa (2013) yang meneliti tentang implementasi Flex-Working

Programs di Korea Selatan pada sektor publik (Policy Implementation Framework and Family-Friendly Work Policy: Evidence from Flex-Working Programs in South Korea’s Public Sectors). Yongjin Sa dalam penelitiannya mengeksplorasi sejauh mana masing masing variabel independen tersebut berpengaruh dalam pelaksanaan program flex-working di sektor publik di Korea Selatan. Yongjin Sa menyimpulkan bahwa 1) permasalahan flex-working ini sangat rumit dan dan susah untuk dikelola, 2) Kementerian Administrasi Publik dan keamanan ((MOPAS) dan Kementerian tenaga kerja (MOEL) tidak berhasil mengidentifikasi hubungan sebab akibat yang jelas antara input, output atau tujuan jangka panjang dan pendek yang relevan dengan pelaksanaan program flex- working pada instansi pelaksana. Kedua instansi penggagas diatas juga tidak mengerahkan kepemimpinan hirarkis dan wewenang sebagai desaigner kebijakan. 3) Pejabat dalam organisasi publik di Korea Selatan tidak berkomitmen untuk mewujudkan keseimbangan kerja dan keluarga bagi karyawan melalui program flex-working

Peneliti lain yang menggunakan kerangka analisis implementasi dari Mazmanian dan Sabatier ini adalah Mary Mulhern Kincaid (2011) yang menggunakan teori dari Mazmanian dan Sabatier ini untuk menganalisa implementasi kebijakan untuk menilai efektifitas kebijakan yang berkaitan dengan gender yang berlaku pada program sektor kesehatan USAID. (Gender Integration Case Study: A Policy Implementation Analysis of USAID Health Sector Programming )

Kincaid meneliti terhadap 3 kebijakan yaitu peraturan administrasi yang berlaku untuk program USAID (ADS/Automatic Directive System), peraturan untuk program HIV (PEPFAR) dan Percy Amandemen UU Bantuan Luar Negeri AS. Data dikumpulkan juga dari wawancara dengan petugas USAID. Hasil penelitiannya bahwa dari segi variabel hukum (Statutory Variables) menunjukkan bahwa peringkat ADS dan Percy Amandemen “rendah” atau ”rendah/moderat”, sedangkan PEPFAR sedikit lebih kuat dengan peringkat “moderat” atau rendah/moderat” . Dari sisi non hukum ( Non statutory variable), menunjukkan bahwa regulasi ADS dan Percy Amandemen mempunyai struktur hukum yang lebih lemah dibanding kebijakan PEPFAR. Dari data tersebut diperkirakan

variable non statutory memainkan peranan utama dalam keberhasilan ADS dan Percy Amandemen dalam mencapai tujuannya, tapi dalam implementasinya akan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan politik. Responden juga khawatir tentang kerentanan PEPFAR terhadap perubahan lingkungan politik, strategi gender PEPFAR telah mendapat manfaat untuk kondisi saat ini, namun bisa berubah sewaktu-waktu (Kincaid.M, 2011).

3.2. Kerangka Konsep

Untuk melihat sejauh mana efektifitas kebijakan Badan POM RI dalam pengawasan Makanan Jajanan Anak Sekolah, khususnya efektifitas pelaksanaan program Aksi Nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi (Aksi Nasional PJAS), dalam penelitian ini digunakan kerangka analisis implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989). Teori Implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi Aksi Nasional PJAS, disamping itu teori ini banyak dipakai di dunia international untuk menilai keefektifan implementasi suatu kebijakan .

Mazmanian dan Sabatier mengemukakan 3 (tiga) variabel independen yang nantinya akan berpengaruh pada variabel dependennya yaitu :

1. Mudah atau tidaknya permasalahan kegiatan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi ini dikelola. Permasalahan ini dapat dilihat dari dimensi :

a. Kesukaran-kesukaran teknis yang dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti masalah biaya dan dukungan teknologi dll .

b. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran, semakin beragam perilaku yang akan diatur, semakin beragam pula pelayanan yang akan diberikan, semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas.

c. Persentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk / populasi, semakin kecil dan semakin jelas dibedakan dari kelompok lain dari kelompok sasaran yang akan diubah, semakin besar peluang untuk mencapai tujuan kebijakan

d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang diinginkan, semakin sukar untuk memperoleh keberhasilan implementasinya.

2. Kemampuan Kebijakan program Aksi Nasional PJAS menstrukturkan proses implementasi, dll. (Statutory variables)

Menurut Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi aksi nasional PJAS apabila ditinjau dari sisi kebijakannya sediri dapat dipengaruhi oleh :

a. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten. Kelompok sasaran tahu apa yang diharapkan dari mereka, evaluator tahu apa yang akan diukur dan advokasi dapat merujuk pada bahasa kebijakan yang tidak membingungkan.

b. Adanya teori kausal yang cukup untuk pejabat pelaksana. Memahami jalur kausal antara intervensi pemerintah dan tujuan kebijakan , dan memastikan pejabat pelaksana punya yurisdiksi yang cukup dalam hubungan itu. Untuk mengubah perilaku, pejabat harus mengetahui faktor yang mempengaruhi tujuan dan bagaimana mereka berinteraksi dan dapat mempengaruhi mereka melalui intervensi.

c. Ketepatan alokasi sumber dana dan mencukupi untuk pelaksanaan kebijakan

d. Keterpaduan hirarki dalam lingkungan dan diantara lembaga pelaksana.(adanya kontrol hirarkhis pada instansi pelaksana). Seorang aktor mempunyai kemampuan untuk menghalangi (memveto) pencapaian tujuan formal yang sudah ditetapkan, namun penolakan dari pihak-pihak tertentu dapat diatasi jika keputusan kebijakan dibekali dengan wewenang yang cukup untuk memberikan sanksi atau pengaruh-pengaruh tertentu, guna meyakinkan para aktor pelaksana maupun kelompok sasaran untuk merubah perilaku mereka.

e. Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana. Proses implementasi juga dapat dipengaruhi oleh adanya aturan-aturan pembuatan keputusan

dari badan-badan pelaksana secara formal yang harus konsisten dengan tujuan formal.

f. Rekruitmen pejabat pelaksana yang harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dari Aksi Nasional PJAS ini. Selain itu, implementasi ini juga dapat ditugaskan kepada badan yang sudah ada yang memiliki orientasi yang sejalan dengan tujuan dari program ini.

g. Akses formal pihak-pihak luar. Proses implementasi dari Aksi Nasional PJAS ini juga dapat dipengaruhi oleh partisipasi terbuka bagi para aktor diluar badan / lembaga pelaksana.

3. Variabel di luar kebijakan (Non Statutory variables) yang mempengaruhi proses implementasi

Berasarkan pendapat Mazmanian dan Sabatier, variabel non statuory memiliki peran penting dalam mempengaruhi proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan Aksi Nasional PJAS ini. Diantara faktor Non Statuory tersebut adalah :

a. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik. Perbedaan kondisi ini dari masing masing wilayah hukum pemerintahan akan berpengaruh kepada proses implementasi kebijakan secara keseluruhan. Pergeseran dalam kondisi sosiel ekonomi seperti resesi, dapat mengubah isu yang ditangani dan mengurangi dukungan politik untuk pendanaan pelaksanannya

b. Dukungan Publik. Perhatian publik, sikap kelompok masyarakat dan juga media, akan berpengaruh pada proses implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini.

c. Dukungan dari Badan-Badan / Lembaga-Lembaga atasan yang berwenang. Lembaga yang dimaksud disini adalah lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengontrol terhadap kewenangan hukum dan sumber-sumber keuangan badan pelaksana tersebut. Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi yang melibatkan antar lembaga adalah badan pelaksana bertanggung jawab kepada lembaga atasan yang berbeda, yang masing-masing ingin

melaksanakan kebijakan yang berlainan pula. Cenderung badan pelaksana akan mengikuti atasan yang mempunyai kewenangan hukum dan sumber keuangan mereka.

d. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. Komotmen ini akan berhasil apabila pejabat pelaksana ini menunjukkan kemampuannya dalam memanfaatkan sumber sumber yang tersedia untuk mencapainya.

Keterangan : objek penelitian

Gambar 3.2.: Kerangka Konsep penelitian Analisis Implementasi Kebijakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah

Aksi Nasional menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi

Tahapan Proses

Implementasi Aksi Nasional PJAS

Kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi pangan jajanan di sekolah Faktor yang mempengaruhi proses

implementasi Aksi Nasional PJAS 1.Tractability masalah (Mudah/tidaknya

Dokumen terkait