• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

I.6 Kerangka Teori

I.6.2 Implementasi Kebijakan

I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III

Dengan demikian tahapan implementasi ini merupakan bentuk mewujudnyatakan setiap kebijakan dan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Proses ini berlangsung dan sangat menentukan bagaimana sebuah solusi dari permasalan yang ada dikerjakan sehingga benar-benar memberikan dampak sesuai dengan yang diharapkan sejak awal.

I.6.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edwards III

Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi

publicadministration dan publik policy. Implementasi kebijakan adalah tahap antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni : prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal. Edwards berusaha menjawab kedua pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber kebijakan, kecenderungan-kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku dan struktur organisasi.

Menurut Edwards III, oleh karena empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan, maka pendekatan yang ideal adalah dengan cara merefleksikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu menyederhanakan, dan untuk menyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Patut diperhatikan disini bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel yang lain dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

Gambar 1.2. Model Implementasi Edward III

1. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan. Menurut Edwards, prasyarat pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Berikut akan dijelaskan lebih rinci unsur dari komunikasi, yaitu: Komunikasi Struktur Organisasi Sumberdaya Disposisi Implementasi

a. Transmisi.

Faktor utama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan satu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini tidak selalu merupakan proses yang langsung sebagaimana tampaknya. Banyak sekali ditemukan keputusan-keputusan tersebut diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-keputusan yang dikeluarkan.

Ada beberapa hambatan yang timbul dalam mentransmisikan perintah implementasi. 1) Pertentangan pendapat antara para pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan. Pertentangan terhadap kebijakan ini akan menimbulkan hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan. Hal ini terjadi karena para pelaksana menggunakan keleluasaan yang tidak dapat mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-keputusan dan perintah umum. 2)Informasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah pelaksana.

b. Kejelasan.

Jika kebijakan-kebijakan diimpelentasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas.

Namun demikian, ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Edwards mengidentifikasikan enam faktor yang mendorong terjadinya ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat pembuatan kebijakan pengadilan. c. Konsistensi.

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten. Perintah-perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan. Bila hal ini terjadi maka akan berakibat pada ketidakefektivan implementasi kebijakan.

Menurut Edwards dengan menyelidiki hubungan antara komunikasi dan implementasi maka kita dapat mengambil generalisasi, yakni bahwa semakin cermat keputusan-keputusan dan perintah-perintah pelaksanaan diteruskan kepada mereka yang harus melaksanakannya, maka semakin tinggi probabilitas keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah pelaksanaan tersebut dilaksanakan.

2. Sumber-sumber.

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat menjadi faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting meliputi staff yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di atas kertas guna pelaksakan pelayanan publik.

a. Staf.

Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan adalah staf. Satu hal yang harus diingat adalah bahwa jumlah tidak selalu mempunyai efek positif bagi implementasi kebijakan. Kasus rendahnya pelayanan birokrasi di Indonesia menjadi contoh kasus yang dapat digunakan untuk menjelaskan proporsi ini. Pelayanan publik di Indonesia sering kali dinyatakan lamban dan cenderung tidak efesien. Penyebabnya bukan terletak pada jumlah staf yang menangani pelayanan publik tersebut, tetapi lebih pada kurangnya sumber daya manusia dan rendahnya motivasi para pegawai. Dengan demikian tidaklah cukap hanya dengan jumlah pelaksana yang memadai, namun harus disertai dengan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah sedikitnya pejabat yang

mempunyai keterampilan-keterampilan pengelolaan. Seringkali mereka yang mempunyai latar belakang profesional yang dinaikkan pangkatnya sampai mereka menjadi administrator-administrator. Lagi pula mereka seringkali tidak mempunyai keahlian pengelolaan bagi kedudukan mereka yang baru. Latihan atau training yang diberikan kepada para pelaksana ini sangat minim, sehingga kemampuan profesional mereka mengalami kenaikan yang cukup lambat. Sementara itu pejabat-pejabat di tingkat atas, yaitu pejabat yang dipilih berdasarkan politik mempunyai kedudukan yang relatif singkat sehingga kurang menanamkan kemampuan jangka panjang. Kurangnya keterampilan-keterampilan pengelolaan merupakan masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah. Hal ini disebabkan oleh minimnya sumber daya yang digunakan untuk latihan profesional. Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator-administrator yang kompeten karena umumnya gaji, prestise dan jaminan kerja mereka yang rendah. Dalam banyak kasus, rendahnya jaminan kerja telah mendorong banyak orang untuk menghindari pekerjaan di birokrasi pemerintah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan cenderung bekerja di sektor swasta atau di luar pemerintah karena mempunyai jaminan kerja yang baik.

b. Informasi.

Informasi merupakan sumber penting kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu

mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya. Bentuk kedua dari informasi ini adalah data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan ini mentaati undang-undang ataukah tidak. Kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengimplementasikan beberapa kebijakan mempunyai beberapa konsekuensi langsung, antara lain 1) Beberapa tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak akan dapat dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi tepat pada waktunya. 2) Ketidakefisienan. Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-unit pemerintah lain atau organisasi-organisasi dalam sektor swasta membeli perlengkapan, mengisi formulir atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang tidak diperlukan.

c. Wewenang.

Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu program ke program lainnya serta mempunyai banyak bentuk yang berbeda. Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan tepat. Bila wewenang formal tidak ada, atau sering disebut dengan wewenang di atas kertas, seringkali salah dimengerti oleh para pengamat dengan wewenang yang efektif. Padahal keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Wewenang di atas kertas atau wewenang formal adalah suatu hal, sedangkan apakah wewenang tersebut digunakan secara efektif adalah

hal lain. Dengan demikian, bisa saja terjadi suatu badan mempunyai wewenang formal yang besar, namun tidak efektif dalam menggunakan wewenang tersebut. Menurut Edwards kita dapat memahami mengapa hal ini terjadi dengan menyelidiki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak dari yurisdiksi-yurisdiksi tingkat tinggi, yakni wewenang menarik kembali dana dari suatu program. Lindblom mengemukakan beberapa ciri kewenangan, yakni: kewenangan selalu bersifat khusus; kewenangan, baik sukareka maupun paksaan, merupakan konsesi dari mereka yang mau tunduk; kewenangan itu rapuh; dan yang terakhir, kewenangan diakui karena berbagai sebab. Menurut Lindlom, sebab-sebab kewenangan terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama, sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih baik jika ada seseorang yang memerintah. Kewenangan mungkin juga ada karena adanya ancaman, teror, dibujuk, diberi keuntungan dan lain sebagainya.

d. Fasilitas-fasilitas

Fasilitas fisik mungkin juga merupakan sumber-sumber penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin memiliki staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan dan mungkin mempunyai wewenang untuk melakukan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang dicanangkan tidak akan berhasil.

3. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijkan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dalam hal ini berarti adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan di awal. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku-tingkah laku atau perspektif-perspektif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Dalam beberapa kasus, karena sifat dari kebijakan serta sifat dari sistem pengadilan, seringkali suatu kebijakan dilaksanakan oleh yurisdiksi yang lain. Hal ini berakibat pada semakin terbukanya interpretasi terhadap kebijakan yang dimaksud dan bila hal ini benar-benar terjadi maka akan berakibat pada semakin sulitnya implementasi kebijakan, sebab interpretasi yang terlalau bebas terhadap kebijakan akan semakin mempersulit implementasi yang efektif dan besar kemungkinan implementasi yang dijalankan menyimpang dari tujuan awalnya. Mengingat pentingnya kecenderungan – kecenderungan ini bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan dibahas dampak dari kecenderungan –kecenderungan tersebut terhadap implementasi kebijakan. a. Dampak dari kecenderungan-kecenderungan

Menurut Edwards banyak kebijakan masuk dalam “zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain

mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Jika orang diminta untuk melaksanakan perintah-perintah yang tidak mereka setujui, maka kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dielakkan terjadi, yakni antara kebijakan-kebijakan keputusan dan pencapaian kebijakan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka para pelaksana kebijakan akan menggunakan keleluasaan dan kadang-kadang dengan cara-cara yang halus untuk menghambat implementasi.Para pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pelaksana-pelaksana yang paling umum dan penting dalam mengetahui pengaruh-pengaruh tertentu pada kecenderungan- kecenderungan atau tingkah laku-tingkah laku mereka, bila dibandingkan dengan para hakim dan pelaksana kebijakan swasta/nonpemerintah. Badan-badan birokasi pemerintah mempunyai beberapa karakteristik yang mungkin tidak dipunyai oleh badan-badan lainnya, yaitu:

1) Badan-badan biroktasi pemerintah lebih bersifat homogen

Tingkah laku yang homogen ini berkembang karena model rekruitmen staf baru yang berlangsung secara selektif. Mereka yang tertarik bekerja dalam badan-badan pemerintah mungkin mendukung kebijakan yang dijalankan oleh badan-badan itu. Badan-badan ini lebih suka mempekerrjakan orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya lingkungan yang secara relatif seragam dimana pembuatan kebijakan dilakukan.

2) Berkembangnya pandangan-pandangan parokial. Sifat parokial ini didukung oleh beberapa faktor, yakni: a) terlalu sedikitnya jumlah pembuat keputusan tingkat tinggi yang menghabiskan masa jabatannya dalan suatu badan atau departemen. Karena orang ingin percaya apa yang mereka lakukan untuk hidupnya, maka hubungan-hubungan lama akan sangat mempengaruhi tingkah laku para birokrat. Suatu hasil dari pengelompokan ini adalah bahwa komunikasi-komunikasi antarorganisasi terutama berlaku dikalangan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama dan memperkuat parokialisme birokrasi dengan hubungan mereka yang terus berlanjut. b) pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Seperti diungkapkan Edwards, kita sering menemukan fakta bahwa apabila kelompok-kelompok kepentingan dan komite-komite dalan badan legislatif mendukung satu badan, maka mereka akan mengharapkan imbalan dukungan birokrasi yang berkesinambungan. Kondisi seperti ini akan menciptakan suatu lingkungan yang baik bagi perkembangan parokialisme. Pandangan parokialisne ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat bagi implementasi kebijakan yang efektif. Beberapa pejabat diangkat dengan alasan-asalan politik dan dalam waktu yang singkat. Akibatnya, mereka cenderung menggunakan pandangan-pandangan unit birokrasi yang sempit. Ketergantungan pejabat-pejabat tersebut pada pejabat-pejabat bawahan karena ingin mendapatkan informasi dan nasehat, kebutuhan untuk mempertahankan moral organisasi

dengan mendukung pandangan-pandangan yang ada, serta tekanan-tekanan dari para klien bercampur menjadi satu yang pada akhirnya mendorong pejabat-pejabat tinggi untuk tidak mempertahankan kepentingan publik.

a. Dampak dari kekuatan-kekuatan ini adalah seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Lebih dari itu para pelaksana akan cenderung melihat kepentingan organisasi mereka sebagai prioritas yang tinggi. Hal ini lah yang menjadi penyebab bagi munculnya perbedaan antara pembuat keputusan puncak dan mendorong ketidakefektivan implementasi kebijakan.

b. Pengangkatan birokrat.

Kecenderungan-kecenderungan pelaksana menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan. Hanya yang menjadi persoalan adalah bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat tinggi, mengapa mereka tidak diganti dengan orang yang lebih bertanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali kita dapat merujuk pada suatu kasus pengangkatan pejabat eksekutif oleh presiden. Dalam pengangkatan pejabat tinggi, presiden sering menemui hambatan politik. Biasanya presiden beranggapan bahwa pengangkatan pejabat-pejabat tinggi ini harus menunjukkan perimbangan geografis, ideologi, kesukuan, seks dan karakteristik-karakteristik kependudukan lain

yang menonjol pada suatu waktu. Sebenarnya, dalam mencari pejabat-pejabat tinggi ini hanya beberapa saja dari jumlah orang yang benar-benar memenuhi syarat untuk pekerjaan-pekerjaan yang tersedia, tetapi karena kebutuhan politik maka presiden akan mengangkat lebih banyak pejabat. Pengangkatan pejabat tinggi lantas tidak lagi semata-mata kapasitasnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu, tetapi lebih mengarah pada pertimbangan –pertimbangan politik, seperti misalnya untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Keuntungan-keuntungan politik yang didapat dari model seperti ini mungkin menyenangkan pendukung-pendukung politik, tetapi mereka tidak akan memberikan landasan bagi administrasi yang sehat. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan politik dalam pengangkatan pejabat tinggi akan menghambat implementasi kebijakan yang efektif.

c. Beberapa insentif.

Mengubah personil dalam birokrasi pemerintah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Menurut Edwards salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif-insentif. Oleh karena pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif-insentif oleh para pembuat kebijakan tingkat tinggi bisa kemungkinan mempengaruhi tindakan-tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan-keuntungan atau biaya-biaya tertentu barangkali akan menjadi

faktor pendorong yang membuat para pelaksana melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi, organisasi atau kebijakan substanstif.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Mereka tidak hanya berada dalam struktur pemerintah, tetapi juga dalam organisasi-organsiasi swasta yang lain bahkan di institusi-institusi pendidikan dan kadang kala satu sistem birokrasi sengaja diciptakan untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin, berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap birokrasi Amerika, mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi, yakni: 1) Birokrasi dimana pun berada, dipilih sebagai instrumen sosial yang ditujukan untuk masalah-masalah yang didefinisikan sebagai urusan publik 2) Birokrasi merupakan institusi yang didominan dalam pelaksanaan program kebijakan, yang tingkat kepentingannya berbeda-beda untuk masing-masing tahap. 3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang luas dan kompleks. 5)Birokrasi jarang mati, naluri untuk bertahan hidup tidak perlu dipertanyakan lagi. 6) Birokrasi bukan merupakan sesuatu yang netral dalam pilihan-pilihan mereka, tidak juga secara penuh dikontrol oleh kekuatan-kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Otonomi yang mereka miliki membuat mereka mempunyai

kesempatan untuk melakukan tawar menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur dari pilihan yang mereka ambil. Dengan merujuk pada peran yang dijalankan birokrasi dalam proses implementasi seperti diungkapkan di atas, maka mengetahui struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan. Pada dasarnya para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, namun dalam pelaksanaannya mereka masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni:

a. Prosedur kerja (Standart Operating Procedures = SOP)

SOP berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Kurangnya sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan semestinya membantu dalam menjelaskan penggunaan SOP yang berulang-ulang. Para pelaksana jarang mempunyai kemampuan untuk menyelidiki dengan seksama dan secara individual setiap keadaan yang mereka hadapi. Sebaliknya mereka mengandalkan pada prosedur-prosedur biasa yang menyederhanakan pembuatan keputusan dan menyesuaikan

tanggung jawab program dengan sumber-sumber yang ada. Sekali prosedur- prosedur biasa ditetapkan, maka akan cenderung tetap berlaku. Hal ini menguntungkan para pelaksana kebijakan karena kondisi seperti in ditambah keinginan untuk memperoleh stabilitas dan kurangnya konflik dan biaya yang tinggi dalam mengembangkan SOP, telah mendorong pelestarian status quo. Namun demikian, prosedur- prosedur biasa yang dirumuskan pada masa lalu mungkin dimaksudkan untuk meyelesaikan keadaan-keadaan khusus yang berbeda dengan keadaan sekarang justru akan menghambat perubahan dalam kebijakan karena prosedur- prosedur biasa itu tidak sesuai dengan keadaan baru. Cara-cara yang lazim seringkali ditetapkan terhadap tanggung jawab-tanggung jawab baru, tetapi cara ini mungkin menghalangi implementasi dengan membatasi fleksibilitas yang diperlukan untuk menanggapi keadaan-keadaan baru, menghambat pengangkatan personil dengan kemampuan yang baik, dan tidak mendorong teknik-teknik kerja yang tepat. Kadang-kadang organisasi bahkan menghindari tanggung jawab yang baru karena pemimpin-pemimpin mereka menganggapnya tidak konsisten dengan cara-cara yang lazim ditetapkan. Di samping cara-cara yang disesuaikan dengan ukuran dasar, pemakaian waktu dan pemborosan dapat menghambat implementasi. Setiap komponen dalam sistem yang harus menjelaskan program-program atau proyek-proyek menempatkan prioritas-prioritas bagi tindakan pada program-program tertentu. Sementara pada sisi yang lain, prioritas-prioritas untuk program-program biasa tidak sama besarnya dengan perhatian untuk

program-program baru. Pemborosan akan terjadi bila cara-cara yang lazim ditujukan untuk suatu tujuan dipertahankan selama waktu tertentu dan diterapkan dalam keadaan yang sama sekali tidak perlu. SOP sangat mungkin menghalangi implementasi kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk

Dokumen terkait