• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Model Implementasi Kebijakan

2.2.1Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008:142), model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari kebijakan pemerintah, namun lebih tepatnya untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program karena menurutnya suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial yang sesuai karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan lainnya.

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini berawal dari suatu asumsi bahwa proses implementasi akan berbeda-beda sesuai dengan sifat kebijakan yang dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:155) menawarkan karakteristik dalam proses implementasi yakni, pertama proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang dari

kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Menurut teori implementasikebijakan Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008:141-144), terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:

1. Ukuran dan Tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena itu sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas

cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Sementara itu model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dalam Indiahono (2009:38) menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Beberapa variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah, atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

2. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.

3. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.

4. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.

5. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

7. Sikap pelaksana, menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan. Adapun model dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat sebagai berikut:

GAMBAR 1 “Tashap Implementasi Kebijakan”

sumber: Van Meter dan

Keunggulan model Van Meter dan Van Horn ini dapat menawarkan kerangka berpikir untuk menjelaskan dan menganalisis proses implementasi kebijakan. Selain itu model ini juga memberikan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan program. Model ini menitikberatkan pada sikap, perilaku dan kinerja para perilaku di dalam implementasi kebijakan.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edward III

Menurut George Edward III dalam Widodo (2010:96)terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalanimplementasi kebijakan antara lain yaitu faktor (1) komunikasi, (2)sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2010 :97), komunikasi diartikan sebagai “proses penyampaian informasi komunikator kepadakomunikan”.

Informasi mengenai kebijakan publik menurut EdwardIII dalam Widodo (2010:97) perlu disampaikan kepada pelaku\ kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa yang harusmereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebutsehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai denganyang diharapakan.Menurut Edward III dalam Widodo

(2010:97), komunikasikebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi(trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).

1) Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publikdisampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana(implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepadakelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yangberkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yangditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yangberkepentingan secara jelas sehingga diantara merekamengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, sertasubstansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masingmasingakan mengetahui apa yang harus dipersiapkan sertadilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secaraefektif dan efisien.

3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakanyang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkanpelaksana kebijakan, target grup dan pihak-pihak yangberkepentingan.

2. Sumberdaya

Edward III dalam Widodo (2010:98) mengemukakan bahwa faktorsumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasikebijakan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:98) bahwasumberdaya tersebut meliputi sumberdaya manusia, sumberdayaanggaran, dan sumberdaya peralatan dan sumberdaya kewenangan.

1) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yangmempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward IIIdalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the mostessential resources in implementing policy is staff”. Edward IIIdalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear andconsistent implementation order are and no matter accurately theyare transmitted, if personnel responsible for carrying out policieslack the resources to do an effective job, implementing will noteffective”.

2) Sumberdaya Anggaran

Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalamkesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen oppositionlimit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit thequality of service that implementor can be provide to public”.Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersediamenyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikankepada masyarakat juga terbatas.Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan bahwa:

“newtowns studies suggest that the limited supply of federal incentiveswas a major contributor to the failure of the program”. MenurutEdward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepadaimplementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaanprogram.Edward III dalam Widodo (2010:101) menyimpulkan bahwaterbatasnya sumber daya anggaran akan

mempengaruhikeberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisadilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkandisposisi para pelaku kebijakan rendah.

3) Sumberdaya Peralatan

Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan bahwasumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untukoperasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputigedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkandalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan :

“Physical facilities may also be critical resources inimplementation. An implementor may have sufficient staff, mayunderstand what he supposed to do, may have authority toexercise his task, but without the necessary building,equipment, supplies and even green space implementation willnot succeed”

4) Sumberdaya Kewenangan

Sumberdaya lain yang cukup penting dalam menentukankeberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan.Menurut Edward III dalam Widodo (2010:103) menyatakanbahwa:

“Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusansendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhilembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenanganini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalahdan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatukeputusan”.

Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2010:103),menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenangyang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakankebijakan yang menjadi kewenangannya.

3. Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104)dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan paraperlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguhsungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapatdiwujudkan”. Edward III dalam Widodo (2010:104-105) mengatakanbahwa :

“Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif danefisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apayang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untukmelakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harusmempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut”.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus(2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakanterdiri dari:

1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akanmenimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadapimplementasi kebijakan bila personel yang ada tidakmelaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabatyang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihanpersonel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yangmemiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebihkhusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

2) Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untukmengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan denganmemanipulasi insentif.

Pada dasarnya orang bergerakberdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasiinsentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakanpara pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntunganatau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorongyang membuat para pelaksana menjalankan perintah denganbaik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentinganpribadi atau organisasi.

4. Struktur Birokrasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160)mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasilpengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menanganikeperluan-keperluan publik (public affair).

2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalamimplementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentinganyang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks danluas.

5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi denganbegitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.

6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendalipenuh dari pihak luar.

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatukebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apadan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untukmelakukannya, namun Edward III dalam Widodo (2010:106)menyatakan bahwa “implementasi kebijakan bisa jadi masih belumefektif karena ketidakefisienan struktur birokrasi”. Struktur birokasi inimenurut Edward III dalam Widodo (2010:106) mencangkup aspek-aspekseperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubunganantara unit-unit organnisasi dan sebagainya.

Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat duakarakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard OperationalProcedure (SOP) dan fragmentasi”. Menurut Winarno (2005:150),”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangandari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya sertakebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks danluas”. Edward III dalam Widodo (2010:107) menyatakan bahwa :

“Demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baikmenyangkut mekanisme, system dan prosedur pelaksanaankebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dantangggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungandiantara organisasi pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pulamenentukan keberhasilan implementasi kebjakan.

Namun, berdasakan hasil penelitian Edward III dalam Winarno(2005:152) menjelaskan bahwa:

“SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasikebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipepersonil baru untuk

melaksanakan kebijakan-kebijakan.Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahandalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besarpula probabilitas SOP menghambat implementasi”

Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakankepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukankoordinasi” Edward III dalam Widodo (2010:106), mengatakanbahwa:

“struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebarred.) dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, karena kesempatanuntuk instruksinya terdistorsi sangat besar. Semakin terdistorsidalam pelaksanaan kebijakan, semakin membutuhkan koordinasiyang intensif”

Dalam Struktur Birokrasi perlu adanya Komunikasi yang baik untuk menghindari distorsi setiap pelaksanaan kebijakan. Jika distorsi sudah semakin besar maka koordinasi yang intensif sangat dibutuhkan guna memperbaiki distorsi kemunkinan yang akan terjadi.

Dokumen terkait