• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SMART CITY DALAM PELAYANAN KESEHATAN PADA RSUD R.M DJOELHAMKOTA BINJAI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SMART CITY DALAM PELAYANAN KESEHATAN PADA RSUD R.M DJOELHAMKOTA BINJAI SKRIPSI"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SMART CITY DALAM PELAYANAN KESEHATAN PADA RSUD R.M DJOELHAMKOTA BINJAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Administrasi Publik

Oleh:

JHOSUA PELAWI 140903081

Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Univeristas Sumatera Utara Medan

2018

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena limpahan Berkat dan KasihNya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak mulai dari masa perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini sangatlah sulit untuk melewati dan menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Asima Yanti Siahaan, MA, Ph.D Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, MA selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya dalam membantu mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Staf Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi ini.

6. Orang tua terkasih, Natanael Sembiring dan Farida Damanik, serta keluarga yang aku sayangi atas dukungan doa, kasih sayang dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menjalani masa pendidikan hingga selesai.

7. Sahabat terkasih: Juwita Hartina Ginting, Putri Ancilia Bangun dan Tiurrina Soneta Ginting dan Gadis D’Pelitas: Joanita Silitonga, Nevi

(3)

Tinambunan, Friska Tumanggor, Heppy Simanjuntak, Yuspika Simanjuntak, Sarah Harahap, Dita Tumanggor, Febby Sihombing serta teman-teman: Afriani Naibaho, Astri Veronika, Yohana Simangunsong, Widya Tarigan, Naomi Lubis dan seluruh teman-teman Ilmu Administrasi Publik angkatan 2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama dan saling menyemangati dalam melewati bangku perkuliahan maupun penyusunan skripsi.

8. Teman kerja terkasih M6: bang edy, kak febri, kak jetri , bg douglas dan bg dino, bg hendri yang telah mendoakan dan membatu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Orang yang selalu setia menemani ku DEBY GALINGGING dan mendukung selama proses penyusunan Skripsi ini,

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan buah pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan keilmuan dan masyarakat.

Medan, Agustus 2018

Penulis

Jhosua Pelawi

(4)

ABSTRAK

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini suatu proses kebijakan secara keseluruhan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan, salah satunya adalah implementasi kebijakan Smart City. Kota-kota diberbagai belahan dunia pada mulanya Smart City bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah dan meningkatkan layanan publik. Konsep dan implementasinya pun makin berkembang. Kini Smart City sudah diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia. Implementasi Smart City juga terjadi di sejumlah kota dan daerah di Indonesia

Pelayanan Kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum Permasalahan terkait komunikasi, yaitu sosialisasi yang dilakukan Pemerintah kota Binjai belum merata di setiap wilayah daerah serta kebijakan tersebut belum seluruhnya diterapkan oleh kota sehingga masih minimnya pegetahuan masyarakat tentang Smart City.

Melaksanakan suatu kebijakan para pelaksana kebijakan harus mengetahui dan memahami apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan suatu kebijakan.

Namun dalam pelaksanaannya belum semuanya memahami kebijakan yang dibuat, sebagian jajaran pegawai belum memahami dengan baik dari kebijakan Smart City ini pada RSUD. R.M Djoelham Binjai

Proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi

Kata Kunci : Implementsai Kebijakan, Smart City, Pelayanan Kesehatan

(5)

ABSTRACT

Policy implementation is a very important stage in the policy structure, because through this procedure a policy process as a whole can affect the success or failure of the achievement of objectives, one of which is the implementation of Smart City policies. Cities in various parts of the world at first Smart City aims to create regional independence and improve public services. The concept and implementation are also growing. Now Smart City has been implemented in many countries including Indonesia. Smart City implementation also occurs in a number of cities and regions in Indonesia

Health services in Indonesia aim to increase awareness, willingness and ability to live healthy for everyone in order to realize the highest degree of health as the realization of general welfare Problems related to communication, namely the socialization carried out by the Binjai city government not evenly distributed in each region and the policy not all of them have been implemented by the city so there is still a lack of public knowledge about Smart City.

Implementing a policy of policy implementers must know and understand what must be done in implementing a policy. But in its implementation, not all of them understand the policies made, some employees do not understand well from this Smart City policy at the RSUD. R.M Djoelham Binjai

The implementation process will be influenced by the extent to which policies deviate from previous policies. Second, the implementation process will be influenced by a number of organizational changes needed. These two experts also affirmed its position that change, control and compliance acted as an important concept in implementation procedures

Keywords: Policy Implements, Smart City, Health Services

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR BAGAN... viii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Impelementasi Kebijakan ... 12

2.2 Model Implementasi Kebijakan ... 14

2.2.1 Model Impelementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn ... 14

2.2.2 Model Impelementasi Kebijakan George Edward III ... 25

2.3 Pelayanan Publik ... 23

2.3.1 Asaz Pelayanan Publik ... 27

2.3.2 Kelompok Pelayanan Publik... 28

2.3.3 Prinsip Pelayanan Publik ... 29

2.4 Pelayanan Kesehatan ... 31

2.4.1 Mutu Pelayanan Kesehatan ... 34

2.4.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan. ... 32

2.5 Smart City ... 38

2.6 Hipotesis Kerja ... 41

BAB III PENELITIAN ... 43

3.1 Bentuk Penelitian ... 43

3.2 Lokasi Penelitian ... 44

3.3 Informan Penelitian ... 45

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 47

(7)

3.5 Teknik Analisis Data... 49

3.6 Validitas Data... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Kebijakan SMART CITY DI KOTA BINJAI ... 52

4.2 Tujuan dan Sasaran Kebijakan Smart City di Kota Binjai ... 54

4.2.1 Tujuan ... 54

4.2.2. Sasaran ... 55

4.3 Prioritas Pembangunan. ... 56

4.4 Program Unggulan Daerah ... 58

4.5 Kebijakan Smart City dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD. R.M Djoelham ... 61

4.5.1 Aplikasi E-Dokter ... 64

4.5.2 Aplikasi E-Vidok ... 66

4.6 Analisis data ... 69

4.6.1 Ukuran dan Tujuan Kebijakan ... 70

4.6.2 Sumber Daya ... 77

4.6.3 Karakteristik Agen Pelaksana ... 82

4.6.4 Sikap atau Kecendrungan (Disposisi) para Pelaksana ... 88

4.6.5 Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana ... 91

4.6.6 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 94

5.1 KESIMPULAN ... 94

5.1.1 UkurandanTujuanKebijakan ... 94

5.1.2 Sumber Daya ... 95

5.13 Karakteristik Agen Pelaksana ... 95

5.1.4 Sikap atau Kecendrungan (Disposisi) para Pelaksana ... 95

5.1.5 Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana ... 96

5.1.6 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik ... 96

5.2 SARAN ... 97

5.1.1 UkurandanTujuanKebijakan ... 97

5.1.2 Sumber Daya ... 97

5.1.3 Karakteristik Agen Pelaksana ... 97

5.1.4 Sikap atau Kecendrungan (Disposisi) para Pelaksana ... 97

5.1.5 Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana ... 98

5.1.6 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik ... 98

(8)

DAFTAR PUSTAKA ... 99

PEDOMAN WAWANCARA ...102

PEDOMAN OBSERVASI ...111

PEDOMAN DOKUMENTASI ... 114

(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 ... 17

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Matriks Informan Penelitian... 45

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 ... 83 Gambar 4.2 ... 84 Gambar 4.3 ... 86

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini suatu proses kebijakan secara keseluruhan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan,salah satunya adalah implementasi kebijakan Smart City. Smart City awalnya diterapkan di negara Amerika Serikat seperti kota California dengan proyek nirkabel terbesar di dunia. Jaringan internet dengan akses cepat bisa dinikmati penduduknya secara gratis dan kota San Fransisco juga dikenal sebagai kota dengan jaringan WiFi terbanyak di dunia, Lalu Negara Jepang juga memiliki dua kota dalam jajaran 10 terbaik smart city dunia, yakni Tokyo dan Osaka.

Bahkan dalam setiap hasil survei terkait predikat kota pintar, Negeri Sakura seakan tak pernah absen untuk menyertakan salah satu dari kota yang dimiliki.

Tokyo menjadi smart city karena kekuatan transportasinya yang sudah terintegrasi dengan baik, dan juga negara Korea Selatan yaitu kota Seoul dibilang pantas menyandang smart city bukan lantaran di dalam ibu kota Korea Selatan ini terdapat dua perusahaan raksasa Samsung dan LG. Namun lebih pada ambisi pemerintah setempat untuk mewujudkan Seoul sebagai kota cerdas berbasis pelayanan publik melalui teknologi informasi. Di kota Seoul terdapat infrastruktur kabel optik terpanjang yang menghubungkan antarrumah untuk menopang akses internet tercepat dan termurah di dunia. Setidaknya, untuk koneksi 10 Mbps,

(13)

warga hanya dikenakan sekitar 20 USD. Fasilitas ini pada akhirnya mendorong Korea Selatan sebagai negara dengan penetrasi internet terbesar di dunia.(http://metrotvnews.com “smartcity di pelbagai belahan dunia” diakses pada tanggal 20 desember 2017, pada pukul 23.43 wib)

Kota-kota diberbagai belahan duniapada mulanya Smart City bertujuan untuk menciptakan kemandirian daerah dan meningkatkan layanan publik.

Konsep dan implementasinya pun makin berkembang. Kini Smart City sudah diterapkan di banyak negara termasuk di Indonesia. Implementasi Smart City juga terjadi di sejumlah kota dan daerah di Indonesia. Dari berita online yang dimuat,Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla memberikan penghargaan kepada 15 kota terbaik di Indonesia yang masuk dalam kategori utama Rating Kota Cerdas Indonesia (RKCI) 2017, yaitu Rating Kota Menuju Cerdas (Smart City) seperti : Surabaya, Bandung, Semarang, Bekasi, Tangerang Selatan; Kota Sedang:

Denpasar, Binjai, Manado, Yogyakarta, Kediri; Kota Kecil: Magelang, Sawahlunto, Bontang, Tual, dan Bukittinggi. (http://kabar24.bisnis.com)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal ini dipicu dengan pemusatan fasilitas hidup yang lebih baik di daerah perkotaan. Jumlah penduduk yang besar, tidak merata, dan tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan beragam masalah. Pemasalahan yang muncul bukan saja terkait dengan masalah sosial, tapi juga lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat. Makin banyaknya kota atau daerah di Indonesia yang menerapkan Smart City di berbagai bidang kehidupan, diharapkan mampu mengurangi permasalahan-permasalahan yang terjadi di perkotaan. Beberapa

(14)

masalah tersebut antara lain pemukiman kumuh, pelayanan kesehatan yang tidak memuaskan, angka kejahatan yang meningkat, sampah, banjir, kemacetan dan lain-lain. Dalam skala yang lebih besar, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik lagi

Smart City adalah sebuah konsep tatanan kota cerdas berbasis pelayanan, bersifat transparan dan berperan dalam memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi secara cepat dan tepat. Dimana dalam hal ini Smart City memberikan pelayanan publik yang mudah diakses tanpa terbatas lokasi dan waktu. Selain itu, konsep kota pintar ini juga memang dihadirkan sebagai jawaban untuk pengelolaan sumber daya secara efisien. Dengan berkembangnya media dan teknologi, sebagai Kota yang pertumbuhannya semakin tinggi membutuhkan sistem perkotaan yang lebih mumpuni. Untuk itu , dizaman yang serba digital ini, kemampuan pengawasan dari pihak Pemerintah Kota perlu diupgrade. Dengan adanya pengawasan kota secara realtime sehingga mampu memecahkan masalah secara efektif dan efisien.

Sebagai upaya mendukung Smart City yang merupakan konsep pembangunan dan pengelolaan kota berbasis teknologi informasi dan komunikasi serta guna menunjang pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat.Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diamanatkan bahwa pelayanan Kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H ayat (1) : “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

(15)

mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”(Yeni Pujowakti; 47-64),

Pelayanan Kesehatan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum sebagai yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Pelayanan Kesehatan tersebut diselenggarakan dengan berdasarkan kepada Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Sebagai pelaku dari pada penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah masyarakat, pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota). Dengan demikian dalam lingkungan pemerintah baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus saling bahu membahu secara sinergis melaksanakan pelayanan kesehatan yang terencana, terpadu dan berkesinambungan dalam upaya bersama-sama mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia antara lain dilakukan melalui kebijakan pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan mempunyai hubungan yang positif dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Derajat kesehatan dan status gizi yang tinggi akan meningkatkan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat atau kesejahteraan masyarakat.

(16)

Di Indonesia, peran pemerintahdalam memberikan pelayanan publik(Pelayanan Kesehatan) disebutkan dalamUUD 1945 dan pasal 31 bahwa pendidikandan kesehatan dijamin oleh Negara.Demikian halnya dalam GBHN dan UUNo. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan danSistem Kesehatan Nasional, Hak DasarKesehatan di Indonesia dijamin olehNegara. Kebijakan

Pelayanan

Kesehatan menjadi salah satu komponenyang utama. Peran penting pembangunanseperti sekarang dapat dilihat darikontribusinya dalam meningkatkanproduktivitas generasi sekarang danproduktivitas pelayanan kesehatan yangakan mendatang (Dwiyanto, 2000:6)

Kebijakan kesehatan di Indonesiadirumuskan berdasarkan kerangka yangdisebutkan di atas, tetapi dalam prosesimplementasinya akan dipengaruhi olehbentuk ekonomi, politik dan strukturbirokrasi yang berlaku. Oleh karena itu,seperti dikemukakan oleh: Winters(2004:7-3) pembangunan pelayanankesehatan di suatu Negara tidak dapatdipisahkan dari struktur sosial, ekonomidan politik yang ada di Negara tersebut,bahwa ada tidaknya hak dasar disetiapwarga Negara dibidang kesehatan sangatdipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomigeografis suatu daerah juga cukupmempengaruhi kebutuhan masyarakatdalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pembangunan kesehatan di Indonesia diselenggarakan berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional. Dalam Sistem Kesehatan Nasional tersebut kewajiban pemerintah yaitu meningkatkan derajat kesehatan setinggi–tingginya untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai yang diamanatkan oleh UUD 1945.Pembangunan di bidang kesehatan diharapkan dapat meningkatkan derajat

(17)

kesehatan, namun kenyataannya masih banyak ditemukan permasalahan – permasalahan dalam bidang kesehatan yaitu, Di Indonesia sendiri pelayanan kesehatan yang ada memiliki permasalahan antara lain : Pertama status kesehatan penduduk miskin masih rendah. Kedua beban ganda penyakit, dimana pola penyakit yang diderita oleh masyarakat adalah penyakit infeksi menular dan pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular, sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).

Ketiga kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan masih rendah. Keempat terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusinya tidak merata.

Kelima perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat.

Keenam kinerja pelayanan kesehatan yang rendah. Ketujuh rendahnya kondisi kesehatan lingkungan. Masih rendahnya kondisi kesehatan lingkungan juga berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat.

(https://adhehikma29.wordpress.com “masalah kesehatan di Indonesia diakses pada tanggal 27 Desember 2017, pada pukul 22.05 wib.)

Pengembangan konsep Smart City ini seolah menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi pemerintah kota dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di berbagai bidang, tak terkecuali bidang kesehatan.

Permasalahan tersebut antara lain ialah volume antrian pada lembaga pemberi layanan kesehatan yang padat pada jam kerja, lamanya waktu pelayanan pendaftaran di loket ketika pasien akan berobat, dan pelayanan rujukan pasien kurang maksimal dari segi waktu karena masalah administrasi. Peningkatan Pelayanan kesehatan menjadi salah satu konsep Smart City di Kota Binjai untuk

(18)

melayani masyarakat.Pada konsep Smart City ini masyarakat juga bisa memantau aktivitas dokter di rumah sakit, apakah lagi banyak pasien atau berhalangan hadir, serta bisa memilih beberapa rumah sakit yang dituju dalam satu aplikasi program.

Namun peneliti menemukan beberapaPermasalahan terkait komunikasi,yaitu sosialisasi yang dilakukan Pemerintah kota Binjai belum merata di setiap wilayah daerahserta kebijakan tersebut belum seluruhnya diterapkan oleh kota sehingga masih minimnya pegetahuan masyarakat tentangSmart City.Masyarakat menilai tidak merasakan perbedaan yang signifikan bagi kehidupannya sehari-hari karena kurangnya sosialisasi yang lebih mendalam bagi masyarakat, hanya Testimoni dan berita media yang dirasakan masyarakat (Hasil Interview dari beberapa Masyarakat Binjai). hal ini juga terjadi pada RSUD. R.M Djoelham Binjai yang merupakan Rumah Sakit Negeri milik Pemko Binjai menjadi satu-satunya Rumah Sakit di Binjai yang Smart. Tentunya hal ini akan meningkatkan Pelayanan Kesehatan yang lebih baik lagi, dari tingkat kenyamanan, keamanan dan pelayanan. Peningkatan pelayanan kesehatan juga diiringi dengan sumber daya manusia yang memadai dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Permasalahan selanjutnya mengenai SumberDaya, Sumber daya manusia merupakan aspekpenting dalam mencapai terlaksananya Smart City,tetapi faktanya penempatan pegawai di RSUD R.M Djoelham Binjai belum sesuai dengan skill yangdimiliki dam tidak disiplin. Melihat fenomena yang terjadi dilapangan masih ada beberapa petugas pos tidak berada di tempat. Salah satunya pos pintu utama rumah sakit, tidak ada petugas yang menjaga, padahal sudah

(19)

adaaturan secara tertulis dari rumah sakit, jelas dikatakan pengunjung pasien harus melapor dan menyerahkan kartu identitasnya ketika memasuki ruangan pasien, tetapi hal itu tidak dilaksanakan, karena petugas sering tidak ada di tempat. Kemudian juga aturan jam besuk dan jumlah pengunjung pasien yang menginap 1 orang hanya sekedar formalitas. Para pengunjung pasien secara bebas keluar-masuk dan tidak merasa melanggar aturan, padahal pegawai dan penjaga secara sadar melihat kondisi ini tetapi pihak rumah sakit tidak mematuhi peraturan-peraturan yang sudah mereka tetapkan.

Mengenai Birokrasi, untuk melaksanakan suatu kebijakanpara pelaksana kebijakan harus mengetahui danmemahami apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan suatu kebijakan. Namun dalampelaksanaannya belum semuanya memahamikebijakan yang dibuat, sebagian jajaran pegawai belum memahami dengan baik dari kebijakan Smart City ini pada RSUD. R.M Djoelham Binjai.

Ditemukan juga pada berita online Tim Penyidik Satuan Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai mengeledah sejumlah ruangan di Gedung RSUD Dr RM Djoelham, Kota Binjai.

Kasus korupsi ini berupa pengadaan alat kesehatan (ALKES) tahun anggaran 2012, dengan pagu anggaran mencapai Rp 14 miliar (Analisa.com/2017/11/9diakses tanggal 13 januari 2017, pada Pukul 21.08 Wib).

Melihat sejumlah aparatur melakukan korupsi, kondisi ini menjadi krisis Sumber Daya Manusia secara moral dan integritas sangat buruk.

(20)

Upaya pemerintah Kota Binjai dalam meningkatkan Pelayanan Kesehatan yaitu dengan mengeluarkan Aplikasi E-Dokter, yaitu pasien yang ingin berobat tidak perlu lagi mengantri panjang di Rumah Sakit. Aplikasi E Dokter memberi kemudahan bagi pasien yang akan berobat di RSU Djoelham Binjai melalui media online, mulai dari pendaftaran, buat janji dengan dokter, dan mau berobat ke poliklinik. Aplikasi ini juga banyak dikeluhkan masyarakat karena terlalu rumitnya proses pengisian data dan sebagian masyarakat masih gagap teknologi karena pasien rentan sudah tua yang tidak memiliki smart phone.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latarbelakang diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Kebijakan Smart City Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Pada Rsud R.M Djoelham Binjai”?

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai beikut :

1. Untuk mengetahui Ukuran dan Tujuan KebijakanSmart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

2. Untuk mengetahui Sumber Daya Pada Pelaksanaan KebijakanSmart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

3. Untuk Mengetahui Karakteristik badan pelaksanaKebijakan Smart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

(21)

4. Untuk mengidentifikasi Sikap Pelaksana terhadap Penerapan Kebijakan Smart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

5. Untuk Mengetahui Komunikasi antar badan pelaksana Kebijakan Smart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

6. Untuk Mengetahui Kondisi Lingkungan sosial, ekonomi dan politik terhadapan Penerapan Kebijakan Smart City Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan di RSUD Djoelham Binjai.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus penelitian dan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian diharapkan memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan dan menambah khazanah keilmuan dalam bidang Administrasi Publik khususnya yang berkaitan dengan Konsep Kebijakan Smart City.

2. Manfaat akademis, diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi akademisi/pihak-pihak yang berkompeten dalam pencarian informasi atau sebagai referensi mengenai Implementasi Kebijakan Smart City Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan.

3. Manfaat praktis dalam penelitian ini, diharapkan akan memberikan masukan pada pihak-pihak yang berkepentingan dalam meningkatkan Pelayanan Kesehatan pada RSUD R.M Djoelham.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Rangkaian implementasi kebijakan dapat diamati dengan jelas yaitu dimulai dari program, ke proyek dan ke kegiatan. Model tersebut mengadaptasi mekanisme yang lazim dalam manajemen, khususnya manajemen sektor publik. Kebijakan diturunkan berupa program program yang kemudian diturunkan menjadi proyek-proyek, dan akhirnya berwujud pada kegiatan-kegiatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun kerjasama pemerintah dengan masyarakat.

Implementasi adalah tahapan yang sangat penting dalam proses pembukaan kebijakan publik. Banyak kebijakan yang baik yang mampu dibuat oleh pemerintah, tetapi kemudian ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam kehidupan negara tersebut karena tidak dilaksanakan. Menurut Huntington (1968;1) dalam Mulyadi (2016;24) perbedaan yang paling penting antara suatu negara dengan negara yang tidak terletak pada bentuk atau ideologinya, tetapi pada tingkat kemampuan negara itu untuk melaksanakan pemerintahannya.

Tingkat kemampuan itu dapat dilihat pada kemampuan dalam

(23)

mengimplementasikan setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh sebuah polibro, kabinet atau presiden negara itu.

Menurut gordon dalam pasolong(208:58) implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada realisasi program. Dalam hal ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, mengintrepertasikan dan menetapkan kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program.

Menurut Haidar, Akib; Antonius, tarigan dalam Deddy mulyadi (2016: 48- 49) untuk mempelancar Impelementasi Kebijakan, Perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak yang berwenang ; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.

Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap suatu yang wajar. Sedangkan menurut Rian Nugroho (2012) pada prinsipnya adalah cara agar sebuag kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih tidak kurang. Untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.

(24)

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005;102) merumuskan implementasi kebijakan publik sebagai’Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh badan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam serangkaian keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan- tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalah- masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep muncul di lapangan. Ancaman utama dari implementasi kebijakan adalah inkonsistensi implementasi. Dalam pelaksanaannya kemungkinan bisa terjadi adanya kendala dan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan. Masalah implementasi ini berkaitan dengan tujuan-tujuan kebijakan dan realisasi dari kebijakan tersebut.

Kesulitan dalam proses implementasi kebijakan dapat kita lihat dari pernyataan seorang ahli studi kebijakan Eugne Bardach (dalam Agustino, 2006:138) melukiskan kerumitan dalam proses implementasi menyatakan pernyataan sebagai berikut : “Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedenganrannya mengenakan bagi telinga pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”. Dari berbagai defenisi diatas maka

(25)

dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor pelaksana kebijakan dengan sarana-sarana pendukung berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.2 Model Implementasi Kebijakan

2.2.1Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008:142), model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari kebijakan pemerintah, namun lebih tepatnya untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program karena menurutnya suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial yang sesuai karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan lainnya.

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya ini berawal dari suatu asumsi bahwa proses implementasi akan berbeda-beda sesuai dengan sifat kebijakan yang dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2012:155) menawarkan karakteristik dalam proses implementasi yakni, pertama proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebijakan menyimpang dari

(26)

kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kedua, proses implementasi akan dipengaruhi oleh sejumlah perubahan organisasi yang diperlukan. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Menurut teori implementasikebijakan Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008:141- 144), terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik, yaitu:

1. Ukuran dan Tujuan kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2. Sumber daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara apolitik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Karena itu sumber daya yang diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn adalah ketiga bentuk sumber daya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas

(27)

cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

4. Sikap/Kecenderungan (Disposisi) para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanakan adalah kebijakan dari atas (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metter dan Van Horn adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Sementara itu model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dalam Indiahono (2009:38) menetapkan beberapa variabel yang diyakini dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja kebijakan. Beberapa variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Standar dan sasaran kebijakan pada dasarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan, baik yang berwujud maupun tidak, jangka pendek, menengah, atau panjang. Kejelasan dan sasaran kebijakan harus dapat dilihat secara spesifik sehingga di akhir program dapat diketahui keberhasilan atau kegagalan dari kebijakan atau program yang dijalankan.

(28)

2. Kinerja kebijakan merupakan penilaian terhadap pencapaian standar dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan di awal.

3. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.

4. Komunikasi antar badan pelaksana, menunjuk kepada mekanisme prosedur yang dicanangkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.

5. Karakteristik badan pelaksana, menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.

6. Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, menunjuk bahwa lingkungan dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan itu sendiri.

7. Sikap pelaksana, menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan. Adapun model dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat sebagai berikut:

GAMBAR 1 “Tashap Implementasi Kebijakan”

sumber: Van Meter dan Van Horn dalam

Indiahono(2009;40) Standar dan

Sasaran

Lingkungan Sosial, ekonomi

dan Politik Sumber

Daya

Karakteristik Badan Pelaksana

Sikap Pelaksana Organisasi dan

Pelaksana Kegiatan

Kinerja Kebijakan

(29)

Keunggulan model Van Meter dan Van Horn ini dapat menawarkan kerangka berpikir untuk menjelaskan dan menganalisis proses implementasi kebijakan. Selain itu model ini juga memberikan penjelasan-penjelasan bagi pencapaian-pencapaian dan kegagalan program. Model ini menitikberatkan pada sikap, perilaku dan kinerja para perilaku di dalam implementasi kebijakan.

2.2.2 Model Implementasi Kebijakan George Edward III

Menurut George Edward III dalam Widodo (2010:96)terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalanimplementasi kebijakan antara lain yaitu faktor (1) komunikasi, (2)sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.

1. Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2010 :97), komunikasi diartikan sebagai “proses penyampaian informasi komunikator kepadakomunikan”.

Informasi mengenai kebijakan publik menurut EdwardIII dalam Widodo (2010:97) perlu disampaikan kepada pelaku\ kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa yang harusmereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebutsehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai denganyang diharapakan.Menurut Edward III dalam Widodo

(30)

(2010:97), komunikasikebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi(trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).

1) Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publikdisampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana(implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepadakelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yangberkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yangditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yangberkepentingan secara jelas sehingga diantara merekamengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, sertasubstansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masingmasingakan mengetahui apa yang harus dipersiapkan sertadilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secaraefektif dan efisien.

3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakanyang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkanpelaksana kebijakan, target grup dan pihak-pihak yangberkepentingan.

2. Sumberdaya

Edward III dalam Widodo (2010:98) mengemukakan bahwa faktorsumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasikebijakan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:98) bahwasumberdaya tersebut meliputi sumberdaya manusia, sumberdayaanggaran, dan sumberdaya peralatan dan sumberdaya kewenangan.

(31)

1) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yangmempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward IIIdalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the mostessential resources in implementing policy is staff”. Edward IIIdalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear andconsistent implementation order are and no matter accurately theyare transmitted, if personnel responsible for carrying out policieslack the resources to do an effective job, implementing will noteffective”.

2) Sumberdaya Anggaran

Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalamkesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen oppositionlimit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit thequality of service that implementor can be provide to public”.Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersediamenyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikankepada masyarakat juga terbatas.Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan bahwa:

“newtowns studies suggest that the limited supply of federal incentiveswas a major contributor to the failure of the program”. MenurutEdward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepadaimplementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaanprogram.Edward III dalam Widodo (2010:101) menyimpulkan bahwaterbatasnya sumber daya anggaran akan

(32)

mempengaruhikeberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisadilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkandisposisi para pelaku kebijakan rendah.

3) Sumberdaya Peralatan

Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan bahwasumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untukoperasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputigedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkandalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan :

“Physical facilities may also be critical resources inimplementation. An implementor may have sufficient staff, mayunderstand what he supposed to do, may have authority toexercise his task, but without the necessary building,equipment, supplies and even green space implementation willnot succeed”

4) Sumberdaya Kewenangan

Sumberdaya lain yang cukup penting dalam menentukankeberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan.Menurut Edward III dalam Widodo (2010:103) menyatakanbahwa:

“Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusansendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhilembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenanganini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalahdan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatukeputusan”.

(33)

Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2010:103),menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenangyang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakankebijakan yang menjadi kewenangannya.

3. Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104)dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan paraperlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguhsungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapatdiwujudkan”. Edward III dalam Widodo (2010:104-105) mengatakanbahwa :

“Jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif danefisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apayang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untukmelakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harusmempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut”.

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus(2006:159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakanterdiri dari:

1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akanmenimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadapimplementasi kebijakan bila personel yang ada tidakmelaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabatyang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihanpersonel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yangmemiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebihkhusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

(34)

2) Insentif merupakan salah-satu teknik yang disarankan untukmengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan denganmemanipulasi insentif.

Pada dasarnya orang bergerakberdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasiinsentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakanpara pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntunganatau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorongyang membuat para pelaksana menjalankan perintah denganbaik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentinganpribadi atau organisasi.

4. Struktur Birokrasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160)mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasilpengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menanganikeperluan- keperluan publik (public affair).

2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalamimplementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentinganyang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks danluas.

5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi denganbegitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.

(35)

6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendalipenuh dari pihak luar.

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatukebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apadan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untukmelakukannya, namun Edward III dalam Widodo (2010:106)menyatakan bahwa “implementasi kebijakan bisa jadi masih belumefektif karena ketidakefisienan struktur birokrasi”. Struktur birokasi inimenurut Edward III dalam Widodo (2010:106) mencangkup aspek- aspekseperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubunganantara unit-unit organnisasi dan sebagainya.

Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat duakarakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard OperationalProcedure (SOP) dan fragmentasi”. Menurut Winarno (2005:150),”Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangandari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya sertakebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks danluas”. Edward III dalam Widodo (2010:107) menyatakan bahwa :

“Demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baikmenyangkut mekanisme, system dan prosedur pelaksanaankebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dantangggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungandiantara organisasi pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pulamenentukan keberhasilan implementasi kebjakan.

Namun, berdasakan hasil penelitian Edward III dalam Winarno(2005:152) menjelaskan bahwa:

“SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasikebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipepersonil baru untuk

(36)

melaksanakan kebijakan-kebijakan.Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahandalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besarpula probabilitas SOP menghambat implementasi”

Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakankepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukankoordinasi” Edward III dalam Widodo (2010:106), mengatakanbahwa:

“struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau tersebarred.) dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, karena kesempatanuntuk instruksinya terdistorsi sangat besar. Semakin terdistorsidalam pelaksanaan kebijakan, semakin membutuhkan koordinasiyang intensif”

Dalam Struktur Birokrasi perlu adanya Komunikasi yang baik untuk menghindari distorsi setiap pelaksanaan kebijakan. Jika distorsi sudah semakin besar maka koordinasi yang intensif sangat dibutuhkan guna memperbaiki distorsi kemunkinan yang akan terjadi.

2.3 Pelayanan Publik

Pelayanan publik pada dasarnya merupakan salah satu jenis pelayanan yang mengacu pada kebutuhan atau kepentingan masyarakat dan menjadi tanggungjawab pemerintah.Menurut Gronroos dalam Ratminto & Atik (2012: 2), mengatakan bahwapelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidakkasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi antarakonsumen dengan pegawai atau hal-hal yang disediakan oleh organisasi pemberipelayanan yang dimaksud untuk memecahkan permasalahan konsumen ataupelanggan..

(37)

Menurut Ahmad,dkk (2010:3) pelayanan publik (public service) adalah suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik yaitu pemerintah.

Pelayanan publik (dalam Kurniawan dan Najib 2008:56) dimaknai sebagai usaha pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan merupakan kewajiban pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar tersebut. Pelayan public sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansipemerintah di pusat, di daerah dalam bentuk barang dan jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.

Agung Kurniawan (dalam Pasolong 2011:128) mengatakan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Hanif Nurcholis (2005:175-176) mengemukakan pelayanan publik sebagai :

Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara dan perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat”.

Pelayanan publik merupakan pelayanan yang diberikan untuk masyarakat banyak. Pelayanan publik diberikan oleh Negara melalui organisasi atau

(38)

perusahaan maupun instansi pemerintah demi menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Poltak Lijan,dkk (2008:5) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut:

“Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara pemerintah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menyatakan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 menyatakanbahwa hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

2.3.1 Asas Pelayanan Publik

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi asas – asas pelayanan sebagai berikut (Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003) :

(39)

a. Transparansi

Bersifat terbuka , mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

b. Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas.

d. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

e. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

f. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

(40)

2.3.2 Kelompok Pelayanan Publik

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 membedakan jenis pelayanan menjadi tiga kelompok. Adapun tiga kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kelompok Pelayanan Administratif yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikasi kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

2. Kelompok Pelayanan Barang yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih, dan sebagainya.

3. Kelompok Pelayanan Jasa yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, mislanya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggara transportasi, pos dan sebagainya.

(41)

2.3.3 Prinsip Pelayanan Publik

Prinsip Pelayanan Publik berdasarkan Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, yaitu :

1. Kesederhanaan

Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.

2. Kejelasan

a. Persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan

bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengekata dalam pelayanan publik.

c. Rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran

3. Kepastian Waktu

Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

4. Akurasi

Produk pelayanan publik dapat diterima dengan benar, tepat, dan sah.

5. Keamanan

Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hokum.

(42)

6. Tanggung jawab

Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

7. Kelengkapan sarana dan prasarana

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).

8. Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.

9. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan

Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.

10. Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parker, toilet, tempat Ibadah dan lain- lain.

(43)

2.4 Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan hal yang paling penting bagi manusia. Dengan adanyakesehatan, manusia dapat menjalankan segala aktivitas. Menjaga kesehatan diri dapat dilakukan dengan tetap menjaga kebersihan lingkungan agar tidak timbul penyakit yang dapat menyerang. Selain itu, pemerintah telah memberikan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang terserang penyakit.

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, kesehatan diartikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social danekonomis(Azwar, 1994:11). Menurut Levey Loomba, pelayanan kesehatan adalah upaya yang dilakukan oleh suatu organisasi baik secara sendiri atau bersama-sama untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan perseorangan, kelompok dan ataupun masyarakat (Azwar, 1994: 42).

Hodgetts dan Casio (Azwar, 1994: 43) menyatakan bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan tersebut terbagi menjadi dua yaitu :

a. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran (medical service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat berdiri sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi

(44)

(institution). Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan keluarga.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan masyarakat (publik health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit dan sasaran utamanya adalah untuk kelompok dan masyarakat.

Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, namun untuk dapat disebut sebagai pelayanan kesehatan yang baik, keduanya harus memenuhi beberapa persyaratan pokok sebagai berikut (Azwar, 1994:45) :

1. Tersedia dan berkesinambungan

Pelayanan tersebut harus tersedia di masyarakat (available) dan bersifat berkesinambungan (continous) artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan,serta keberadaannya dalam masyarakat ada pada setiap saat yang dibutuhkan.

(45)

2. Dapat diterima dan wajar (acceptable & appropriate)

Pelayanan tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat serta bersifat wajar.

3. Mudah dicapai (accessible)

Pengertian tercapai disini terutama dari sudut lokasi. Untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.

Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.

4. Mudah dijangkau (affordable)

Pengertian keterjangkauan ini terutama dari sudut biaya.

Untuk dapat mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5. Bermutu (quality)

Pengertian bermutu disini adalah yang menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan

(46)

dan di pihak laintata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

2.4.1 Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu Pelayanan Kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapatmemuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkatkepuasan rata-rata penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan standarpelayanan dan kode etik profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1996). MenurutSpeigell (dalam Dharmayasa, 1999) mutu pelayanan kesehatan adalah tingkatterbaik yang dihasilkan dan didokumentasikan dalam proses diagnosa dan terapiberdasarkan pengetahuan ilmu sehingga memperkecil kematian dan kesakitan.

Berdasarkan pengertian mutu pelayanan kesehatan yang telah dijabarkansebelumnya, mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tingkat terbaikyang dihasilkan untuk memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan dimana penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan, kode etik dan pengetahuansehingga memperkecil kematian dan kesakitan.

2.4.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan

Parasuraman, dkk (dalam Rosyid, 1997) mengembangkan model yangkomprehensif dari mutu pelayanan kesehatan yang berfokus pada aspek fungsidari pelayanan, yaitu:

a. Tampilan fisik, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, pegawai dan mediakomunikasi dengan indikator:

(47)

1) Kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan.

2) Penataan ruang tunggu dan ruang periksa kesehatan pasien.

3) Kesiapan dan kebersihan alat-alat yang dipakai.

b. Reliabilitas, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yangdijanjikan dengan tepat dan memuaskan dengan indikator:

1) Prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat.

2) Pelayanan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan yang cepat dan tepat.

3) Jadwal pelayanan dan kunjungan dokter dijanjikan dengan tepat.

c. Responsif, yaitu kemampuan untuk membantu pasien dan memberikanpelayanan dengan cepat tanggap, indikatornya:

1) Perawat cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien.

2) Petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti.

3) Saat dibutuhkan pasien, perawat bertindak dengan tepat dan cepat.

d. Jaminan, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan serta sifatyang dapat dipercaya dimiliki oleh para staf bebas dari bahaya, resiko dankeragu-raguan dengan indikator:

1) Pengetahuan dan kemampuan para dokter menetapkan penyakit.

(48)

2) Keterampilan para perawat melayani pasien Askes.

3) Pemberi layanan yang sopan dan ramah.

4) Jaminan keamanan pelayanan dan kepercayaan terhadap pelayanan.

e. Empati, yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik,perhatian pribadi dan pemahaman kebutuhan pasien dengan indikator:

1) Memberikan perhatian secara khusus kepada setiap pasien.

2) Perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarganya.

3) Pelayanan kepada semua pasien tanpa memandang status sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Roberts dan Prevost (dalam Azwar, 1996)membuktikan adanya perbedaan dimensi yang dianut oleh setiap pihak yangterkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu:

a. Bagi pemakai jasa pelayanan yang berhubungan dengan ketanggapan dankemampuan petugas dalam memenuhi kebutuhan pasien dan komunikasipasien dan petugas termasuk didalamnya sifat ramah, rendah hati dankesungguhan.

b. Bagi pihak pelayanan kesehatan yang terkait pada pemakai yang sesuaidengan perkembangan ilmu dan teknologi selain itu terkait juga pada otonomiprofesi dokter dan perawat serta profesi kesehatan lain.

(49)

Berdasarkan penjabaran mengenai dimensi dari mutu pelayanan kesehatan dapat disimpulkan bahwa dimensi mutu pelayanan kesehatan dapat berbeda untuk setiap pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Bagi pemakai jasa, dimensi responsif, jaminan dan empati merupakan dimensi yang harus dilaksanakan dalam melayani pasien. Bagi penyelenggaraan pelayanan, mutu pelayanan lebih terkait pada dimensi tampilan fisik. Sedangkan untuk penyandang dana pelayanan kesehatan lebih terkait pada efisiensi pemakaian sumber dana dan kewajaran pembiayaan.

2.5 Smart City

Smart City atau secara harfiah berarti kota pintar, merupakan suatukonsep pengembangan, penerapan, dan implementasi teknologi yangditerapkan disuatu daerah sebagai sebuah interaksi yang kompleks di antaraberbagai sistem yang ada di dalamnya (Pratama, 2014). Tujuan daripendekatan Smart City untuk mencapai informasi dan pengelolaan kota yangterintegrasi. Integrasi ini dapat melalui manajemen jaringan digital geografi perkotaan, sumber daya, lingkungan, ekonomi, sosial dan lainnya.

Amerika Serikat dan Eropa merupakan negara dan benua yangmenjadi pelopor Smart City di dunia. IBM merupakan perusahaan yangmewadahi berdirinya smart city, IBM membagi Smart City menjadi enamjenis. Keenam jenis pembagian Smart City tersebut meliputi smart economy,smart mobility, smart governance, smart people, smart living, dan smartenvironment. (Pratama, 2014)

(50)

Nijkamp et al (2009) dalam Priskadini April Insani (2017;27) mendefinisikan kota cerdas sebagai kota yang mampu menggunakan sumber daya manusia (SDM), modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi.Cohen (2010) dalam Priskadini April Insani (2017) menyebutkan bahwa kota cerdas diidentifikasikan pada 6 (enam) dimensi utama yaitu smart government (pemerintahan cerdas), smart economy (ekonomi cerdas), smart society (kehidupan sosial cerdas), smart mobility (mobilitas cerdas), smart environment (lingkungan cerdas), dan quality of live (hidup berkualitas). Dari enam (6) dimensi tersebut dalam penerapannya setiap kota dapat memfokuskan pada salah satu dimensi saja tergantung dari karakteristik kota dan urgensi permasalahan kotanya.

Jika melihat konsep Smart City lebih luas dari digital city, karena Smart City terdapat enam dimensi menurut Cohen yang dikutip dari fastcompany.com dalam Priskadini April Insani (2017;30) yaitu:

a. Smart Government

Smart government mengacu pada prinsip Good Governance. Kunci utama pemerintahan yang cerdas bertujuan untuk mengurangi kesenjangan di tingkat kota, kecamatan dan kelurahan adalah tidak hanya memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, tetapi juga peningkatan profesionalisme kinerja aparatur yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan didukung oleh kecanggihan teknologi.

b. Smart Economy

(51)

Seperti program pemberdayaan masyarakat melalui UMKM dan koperasi agar mendorong inovasi dan mengantisipasi persaingan usaha.

Serta dapat menumbuhkembangkan rasa untuk berwirausaha.

c. Smart People

Ditanamkannya nilai-nilai edukasi di dalam masyarakat dapat mendorong kehidupan sosial di perkotaan menjadi kondusif. Diantaranya elemen-elemen seperti kepercayaan, gotong royong, toleransi, penghargaan, saling memberi dan saling menerima serta kolaborasi sosial.

Tata nilai ini perlu dipertahankan dalam kehidupan sosial masyarakat.

d. Smart mobility

Berkaitan dengan transportasi dan infrastruktur. Diharapkannya ada transportasi yang terpadu sehingga lebih efisien. Dengan ketersediaan sarana/ prasarana transportasi dan infrastruktur yang memadai, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan infrastruktur kota yang dikembangkan di masa depan merupakan sebuah sistern pengelolaan terpadu dan diorientasikan untuk kepentingan publik.

e. Smart Environment

Dilihat dari segi penggunaan bangunan agar tidak berdampak pada kerusakan lingkungan serta cara mengelola sumber daya alamnya. Adanya kerusakan yang berdampak pada menurunnya mutu lingkungan pada dasarnya adalah akibat kelalaian atau kesengajaan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.

(52)

f. Smart Living

Kualitas hidup masyarakat dapat dilihat dari segi kesehatan dan kemanan pada lingkungannya. Sehingga dapat mewujudkan lingkungan yang kondusif dan berkualitas bagi masyarakatnya.

Adapaun Konsep Smart City menurut Stepen Goldsmith (2014) yaitu:

"Sebuah proyek untuk menyoroti upaya pemerintah daerah untuk menggunakan teknologi baru yang menghubungkan terobosan dalam penggunaan analisis data besar dengan masukan masyarakat untuk membentuk kembali hubungan antara pemerintah dan warga negara".

“Dalam fenomena di Negara Maju, untuk memperbaiki pelayanan pemerintah dan keterlibatan masyarakat, kota ini telah membuka datanya untuk digunakan sebagai bahan baku oleh pengembang di luar pemerintah dan pembuat kebijakan di dalam balai kota. Untuk merevolusi proses perencanaan kotanya, ia menggunakan alat digital untuk merencanakan perancangan lingkungan baru yang akan dibangun di lokasi pabrik baja yang telah lama ditinggalkan. Kemudian, Chicago juga menyadari mimpi satu dekade tentang "kota cerdas." Sensor luas di sekitar kota akan segera mengumpulkan sejumlah besar data yang akan digunakan untuk membantu penelitian. Dan pemerintah kota tidak lagi hanya menawarkan beberapa layanan digital. Sekarang menawarkan alat warga negara perlu menulis aplikasi mereka sendiri”.

Smart Citysebuah proyek untuk meningkatkan pelayanan kepada warga negara dengan menggunakan teknologi yang baru tanpa terbatas waktu dan tempat antara hubungan pemerintah dengan warga negaranya. Dalam memperbaiki pelayanan pemerintah keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan dalam melaksanakan suatu kebijakan yang ingin dicapai.

(53)

2.6 Hipotesis Kerja

Hipotesis kerja adalah hipotesis yang bersumber dari kesimpulan teoritik, sebagai pedoman untuk melakukan penelitian (Umar, 2010:38). Hipotesis kerja disusun berdasarkan atas teori yang dipandang sangat menentukan peneliti didalam jawaban sementara terhadap penelitian yang akan dilakukan. Oleh karena itu, berdasarkan teori - teori yang telah dikemukakan diatas, penulis merumuskan hipotesis kerja, yaitu “Implementasi Kebijakan Smart City Dalam Peningkatan Pelayanan Kesehatan Pada RSUD R.M Djoelham Kota Binjai meliputi Standar dan Sasaran Kebijakan, Sumber Daya,Karakteristik badan pelaksana, Sikap Pelaksana Kebijakan, Komunikasi antar Badan Pelaksana, dan Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Politik.

(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan bentuk penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, bertujuan untuk menggabarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksan sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.Sebagaimana dikatakan Burhan Bungin (2008:68) Dalam penelitian ini bahwa metode deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada pada masyarakat yang menjadi objek penelitian, Pada pendekatan kualitatif menekankan analisisnya pada proses penyimpulan hubungan fenomena-fenomena penelitian yang diamati dengan logika ilmiah. Jenis penelitian deskriptif kualitatifini suatu tipe penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data yang ada di lapangan tentang Implementasi Kebijakan Smart City Pada Peningkatan Pelayanan Kesehatan khususnya Pelayanan Publik di RSUD Djoelham Kota Binjai.

Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti mengumpulkan informasi dan data sesuai dengan teori yang digunakan seperti Standar dan Sasaran Kebijakan,Sumber daya,Karakteristik Badan Pelaksana, Sikap Pelaksana, Komunikasi antar Badan Pelaksana, , Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Politik lalumendeskripsikan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian

Gambar

GAMBAR 1 “Tashap Implementasi Kebijakan”
Gambar 1 : Alur Penggunaan Aplikasi E-Dokter :
Gambar 2 : Berikut adalah alur penggnaan E-Vidok :

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat pengetahuan ini merupakan efek kognitif dari teori komunikasi S-O-R dimana dengan adanya stimulus mengenai logo baru XL, konsumen yang tidak mengetahui perubahan logo

3) Instrumen hibrid (kombinasi) tidak diukur secara harga wajar dengan perubahan nilai wajar diakui di dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain (yaitu derivatif

Jika selama Perjalanan, Anda harus menghadiri pernikahan, pemakaman, konferensi atau acara olahraga yang sudah diatur sebelumnya dan tidak dapat ditunda karena

Adanya wabah pandemi Covid-19 yang sedang melanda bumi pertiwi (Indonesia) hal ihwal yang sangat mengesankan ialah kebijakan pemerintah belum berpihak kepada siswa,

Dari penegasan istilah diatas dapat disimpulkan bahwa ketenangan jiwa pada lansia pengikut tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah adalah suatu keadaan manusia lanjut (usia

krisis yang berkepanjangan ini dalam menghadapi persaingan yang sangat ketat dengan perusahaan-perusahaan perbankan lainnya. Kepuasan nasabah merupakan suatu bentuk pelayanan

Dalam bentuk majalah ilmiah yang diakui yang diakui oleh instansi yang berwenang 2.Menerjemahkan/menyadur buku dan bahan- bahan lainnya dibidang pelayanan keperawatan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah