• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

Taman 1 dapat didefinisikan sebagai tempat yang menyenangkan atau kawasan yang ditanami berbagai macam tumbuhan sebagai tempat untuk

5 BODO GOL

6.4. Perumusan Model Konseptual TPN-GGP

6.4.4. Model Kelembagaan TPN-GGP

Perumusan model kelembagaan dengan mengingat pendekatan pelaksanaan kegiatan restorasi saat ini dan aturan perundangan yang ada.

Sementara kawasan perluasan memerlukan restorasi, disisi lain masyarakat ingin mempertahankan aksesnya sehingga berimplikasi kepada bentuk pendekatan dan strategi pelaksanaan kegiatan restorasi. Dari pembelajaran restorasi tersebut diketahui bahwa salah satu akar masalah penting terkait dengan restorasi kawasan perluasan TNGGP adalah masalah tercabutnya hak akses masyarakat atas SDL dan SDH di dalam kawasan hutan. BBTNGGP telah melakukan beberapa model pendekatan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi antara lain melalui program RHL/Gerhan, RHL Partisipatif, dan Adopsi Pohon dengan hasil yang belum memuaskan; dan yang terakhir adalah RHL Konservasi yang diimulai tahun 2011 dimana hasilnya belum dapat dilihat.

Banyaknya jumlah petani penggarap di lahan kawasan perluasan dan pola penggunaan lahan yang 84% berbasiskan pertanian maka tekanan penduduk terhadap TNGGP adalah sangat tinggi. Oleh karena itu beberapa program restorasi yang bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan petani penggarap lahan hutan dari dalam kawasan terus digalakkan seperti program Adopsi Pohon, Adopsi Pohon Dunia, Gerakan Rehabilitasi Lahan Partisipatif, Gerakan Rehabilitasi Lahan, dan Pengelolaan Batas Luar Kawasan Hutan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Yang paling utama dalam kegiatan tersebut adalah adanya batas waktu keluarnya para petani penggarap lahan hutan dan adanya program pemberdayaan masyarakat (community development) dengan alih mata pencarian (BBTNGGP, 2009).

Terkait dengan perubahan fungsi kawasan yang semula kawasan hutan produksi menjadi kawasan konservasi, penghentian kegiatan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) oleh masyarakat perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat yang berdampak buruk bagi kawasan. Oleh karena itu kebijakan yang ditempuh oleh pengelola adalah dengan memberikan ijin pemanfaatan HHBK dengan diimbangi oleh proses rehabilitasi, pengamanan hutan dan program penghentian kegiatan dengan alih mata pencarian di luar kawasan hutan (BBTNGGP, 2009). Beberapa program restorasi BBTNGGP yang ada, cepat atau lambat bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan petani penggarap lahan hutan dari dalam kawasan hutan dengan alih mata pencarian di luar kawasan hutan. Program penghentian kegiatan dengan

alih mata pencarian di luar kawasan hutan merupakan hal yang sangat berat untuk direalisasikan kecuali dengan penegakan hukum. Sementara BBTNGGP tidak dapat melakukan penegakan hukum sebagaimana mestinya dengan pertimbangan dampak dan gejolak yang mungkin terjadi di masyarakat yang justru berdampak buruk bagi kawasan taman nasional. Disisi lain budaya pertanian merupakan basis perekonomian masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program- program restorasi tersebut belum menyelesaikan masalah dengan tuntas.

Gangguan masyarakat yang berupa penggarapan lahan dan pemanfaatan hasil hutan atau akses masyarakat terhadap SDL dan SDH di kawasan perluasan ini perlu dicarikan alternatif solusi yang merupakan ‘win win solution’. Dikaitkan dengan pergeseran paradigma pengelolaan SDH khususnya paradigma pengelolaan kawasan konservasi dan tujuan konservasi sumberdaya alam hayati serta aturan perundangan pengelolaan SDH dan turunannya maka tidak sepantasnya masyarakat dikeluarkan dari aksesnya terhadap SDH dan SDL yang selama ini telah menjadi bagian kehidupan dan penghidupan mereka. Masyarakat harus dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan SDH dan SDL yang ada di kawasan konservasi. Masyarakat harus diposisikan sebagai bagian penting dari manajemen kawasan konservasi, dibangun dan dibina untuk menjadi mitra otorita taman nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga nantinya bisa terwujud konservasi oleh masyarakat. Jika konservasi oleh masyarakat ini bisa diwujudkan maka akan banyak mengurangi energi dan beaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang otorita manajemen kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Dengan demikian diperlukan bentuk pelibatan masyarakat dalam model restorasi yang berbeda dari model-model kegiatan restorasi yang sudah ada, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk tetap melanjutkan kepentingan ekonominya terhadap SDL dan SDH dengan menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan kegiatan restorasi khususnya dan tujuan konservasi pada umumnya.

Perumusan model kelembagaan TPN-GGP dengan mengingat aturan per- Undang-Undangan restorasi yang ada. Berdasarkan aturan perundangan yang ada yaitu UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dan peraturan perundangan turunannya maka

terdapat 25 jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Matrik kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan konservasi bervariasi menurut zonasi yang ada di TNGGP, selengkapnya disajikan dalam Lampiran14.

North menjelaskan bahwa ‘ekonomi kelembagaaan baru’ mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dll) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (Yustika 2006). Hodgson (1998) dalam Yustika (2006) menegaskan antara lain bahwa analisis ekonomi kelembagaan tidak diawali dengan membangun model-model matematis, namun diawali dari gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab akibat. Miller (1988) dalam Yustika (2006) menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi kelembagaan lebih menekankan instrumen ‘struktur kekuasaan’ untuk menganalisis fenomena ekonomi. Pejovich (1995) dalam Yustika (2006) menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yang beroperasi pada dua level, yaitu: 1) Pengembangan dan spesifikasi kelembagaan yang menyangkut aturan main (rules of the game); dan 2) Kegiatan ekonomi yang menyangkut interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia, yang menyangkut permainan itu sendiri (game). Selanjutnya Yustika (2006) menjelaskan bahwa pernyatan-pernyataan tersebut merupakan basis kerangka metodologis ekonomi kelembagaan sehingga struktur dan perilaku masyarakat (dalam perspektif ekonomi kelembagaan) harus mendapat ruang yang lebar dalam setiap analisis ekonomi kelembagaan. Ekonomi kelembagaan tidak membangun manusia ekonomi, tetapi mengenai apa yang manusia lakukan dan pikirkan. Berdasarkan uraian di atas maka dalam perumusan kelembagaan TPN-GGP, struktur terbangun oleh stakeholder yang terkait dengan kegiatan restorasi yaitu BBTNGGP, masyarakat petani penggarap lahan, dan stakeholder lain yang terkait dengan kegiatan restorasi kawasan ataupun yang terkait dengan pengembangan TPN-GGP. Sedangkan pengembangan aturan main mencakup peran masing- masing stakeholder yang dituangkan kedalam 5 (lima) tahap kegiatan dalam implementasi TPN-GGP yaitu: 1) penentuan jenis tanaman yang digunakan dalam kegiatan restorasi; 2) pengadaan tanaman restorasi; 3) pola penanaman tanaman

restorasi; 4) pola pemeliharaan tanaman restorasi; dan 5) pola pemanfaatan hasil kegiatan restorasi.

Penelitian ini menggunakan konsep rekayasa sosial dengan kerangka analitik kelembagaan dari Pakpahan (1989) untuk menjelaskan kasus kelembagaan restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP sebagai landasan penelitian empiris yang ditujukan untuk perumusan alternatif model kelembagaan guna mencapai kinerja yang diinginkan pada aktivitas restorasi biodiversitas khususnya dan aktivitas konservasi pada umumnya. Pakpahan (1989) menjelaskan antara lain bahwa bagian-bagian penting dari proses rekayasa sosial adalah: 1) Analisis tentang dampak batas yurisdiksi, 2) Pengaturan hak kepemilikan atau property rights, dan 3) Aturan representasi dalam pembuatan keputusan. Penelitian rekayasa sosial menghasilkan preskripsi yang memberikan rekomendasi apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya diputuskan oleh pengambil keputusan, maka penelitian rekayasa sosial ditentukan oleh orientasi metodologi (tepatnya adalah orientasi metodologi pragmatisme dengan workability sebagai kaidah uji obyektivitasnya). Sumber interdependensi ditentukan oleh karakteristik inheren dari komoditas seperti inkompatibilitas, high exclusion cost goods, eksternalitas, skala ekonomi, joint impact goods,ongkos transaksi, surplus, dan interdependensi antar generasi. Konteks suatu penelitian rekayasa sosial adalah masalah nyata yang merupakan penelitian problem solving. Dengan demikian output penelitian adalah suatu preskripsi atau suatu resep. Rekayasa sosial merupakan upaya memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat melalui perubahan kelembagaan sehingga mengatur perubahan dalam batas yurisdiksi, property rights, dan aturan representasi. Berdasarkan penjelasan Pakpahan (1989) tersebut di atas maka pengaturan batas yurisdiksi, property rights, dan aturan representasi merupakan bagian-bagian penting yang dirumuskan untuk setiap varian desain fisik TPN yang ditemukan sehingga secara keseluruhan merupakan model kelembagaan restorasi dengan pendekatan konsep TPN.

Batas Yurisdiksi

Masuknya komponen tipologi masyarakat petani penggarap lahan dalam perumusan model kelembagaan merupakan alternatif masuknya unsur pelibatan masyarakat petani penggarap lahan hutan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Model kelembagaan ini juga dimaksudkan untuk mencari titik temu yang mempertimbangkan pengaruh dan kepentingan-kepentingan dari pengelola taman nasional dan masyarakat petani penggarap lahan hutan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Varian desain fisik TPN mencerminkan preferensi jenis tanaman, iptek, aturan perundangan dalam rangka usaha pencapaian tujuan konservasi melalui pelaksanaan kegiatan restorasi biodiversitas serta kepentingan ekonomi masyarakat, serta tujuan pengembalian hak akses masyarakat. Tipologi masyarakat petani penggarap lahan hutan mencerminkan ketergantungan dan kebutuhan masyarakat terhadap SDL hutan. Dari kedua komponen tersebut dapat dirumuskan bentuk konkrit dari alternatif model kelembagaan yang sesuai yaitu berupa kelembagaan partisipatif dengan level partisipatif yang sesuai dengan varian desain fisik dan tipologi masyarakat. Model kelembagaan mencerminkan level partisipatif masyarakat untuk tipologi tertentu pada varian desain fisik TPN tertentu. Penetapan kelembagaan berdasarkan pada apa yang dibolehkan terkait pelibatan masyarakat dalam implementasi TPN. Kelembagaan yang terbentuk merupakan kelembagaan partisipatif dengan level partisipatif yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dilibatkan dan kondisi ekologis kawasan (berupa tutupan lahan). Reklasifikasinya berdasarkan tipe partisipasinya.

Pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat sehingga partisipasi dapat dimaknai sebagai ambil bagian atau share dalam suatu aktivitas pembangunan (Syahyuti, 2006). Landasan teori yang mementingkan peran kelembagaan terletak pada masalah kerjasama kemanusiaan. Keberadaan kelembagaan adalah untuk menurunkan ketidakpastian yang tercakup dalam interaksi manusia. Sumber ketidakpastian adalah kompleksitas masalah yang hendak diselesaikan dan software penyelesaian masalah yang dimiliki individu (North 1991). Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan masyarakat di sekitar kawasan hutan, Suharjito (2004) menemukan

dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi (dalam menyampaikan aspirasi) yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan diimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya.

Penentuan batas yurisdiksi dicerminkan oleh penentuan hak dan kewajiban dalam akses SDL dan SDH. Pengaturan batasan hak dan kewajiban masyarakat dalam akses pada SDL dan SDH diatur oleh pemegang otorita pengelolaan kawasan dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku. Pengaturan hak dan kewajiban ini bervariasi menurut varian desain fisik TPN yang telah terumuskan. Hak dan kewajiban untuk tiap tahapan implementasi TPN dalam pelaksanaan kegiatan restorasi juga bergantung pada kesepakatan yang dibuat antara masing-masing pihak yaitu masyarakat petani penggarap dan atau pihak lain dengan pemegang otorita pengelolaan kawasan (BBTNGGP). Hasil analisis ditinjau dari aspek kelembagaan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi yang melibatkan masyarakat, dengan mengacu Arstein (1969) dalam Setyowati (2006) menghasilkan 6 (enam) model kelembagaan partisipatif yang menunjukkan 4 (empat) level partisipatif yang sesuai (non level, tokenisme, kemitraan, dan pendelegasian/ kontrol) sebagaimana dituangkan dalam Tabel 28.

Tabel 29 Perumusan model kelembagaan restorasi Kompatibilitas

Implementasi TPN

Tipologi Masyarakat Petani Penggarap Lahan

Pro Konservasi Pro Ekonomi dan Konservasi Pro Ekonomi TPN-Hutan f - - TPN Seimbang Kebun’ g (c-d) - TPN Dominan Kebun (g-h) e (a-b)

Keterangan: (Level partisipatif) a. Manipulasi

(non level partisipasi) b. Terapi (non level partisipasi) c. Informasi d. Konsultasi e. Placation f. Kemitraaan g. Pendelegasian wewenang h. Kontrol masyarakat

Arah matriks perumusan kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa ke arah atas kolom menunjukkan pemenuhan tujuan konservasi yang semakin baik, dan ke arah kanan baris menunjukkan tipologi yang semakin rawan terhadap

pencapaian tujuan restorasi. Dari model kelembagaan restorasi yang dihasilkan, selanjutnya dilakukan reklasifikasi berdasarkan tipe partisipasi (mengacu Probst et al. 2003) dan diperoleh 4 (empat) tipe partisipasi, yaitu: 1) Contractual participation terdiri dari level-level manipulasi, terapi, dan informasi; 2) Consultative participation terdiri dari level konsultasi dan placation. 3) Collaborative participation terdiri dari level kemitraan; dan 4) Collegiate partisipation terdiri dari level pendelegasian dan kontrol masyarakat.

Property Rights (Hak Kepemilikan)

Pengaturan hak kepemilikan sumberdaya (property rights) pada kelembagaan TPN-GGP merupakan pengaturan hak atas properti tanaman, mencakup pengaturan hak penguasaan atas hasil tanaman restorasi dan mekanisme pengaturan pemanfaatan hasil restorasi kawasan konservasi dimana masyarakat dilibatkan. Yustika (2006) menjelaskan bahwa konsep kontrak dalam ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menurut Richter adalah konsep mengenai hak kepemilikan (property rights). Asumsi dasarnya adalah masing-masing jenis pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut (Binner 1999) dan tipe kontrak dapat dipilah kedalam tiga jenis: yaitu teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak relasional. (Furubotn and Richter 2000). Dua tipe penegakan kesepakatan atau kelembagaan yang eksis, yaitu tipe aturan formal dan tipe aturan informal.

Pengaturan hak atas properti tanaman mencakup hasil tanaman restorasi dalam TPN (sebagai manfaat/guna langsung) dan pemanfaatan segala potensi TPN (sebagai manfaat/guna langsung dan tidak langsung). Pengaturan hak atas properti tanaman dalam TPN dan mekanisme pemanfaatan TPN dalam konteks ekowisata dimana petani penggarap dilibatkan ini harus dirancang sepenuhnya oleh pengelola kawasan konservasi dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku untuk selanjutnya diatur melalui mekanisme kesepakatan sesuai dengan hasil perumusan model kelembagaan restorasi. Pengaturan hak atas properti tanaman dalam TPN disusun menurut tahapan kegiatan implementasi TPN dan tingkatan hak menurut Schlager and Ostrom (1992) sesuai dengan varian desain fisik TPN sebagaimana tertuang dalam Tabel 29.

Tabel 30 Pengaturan hak kepemilikan masyarakat dalam tahapan implementasi TPN menurut varian desain fisik TPN

Tahapan Implementasi

TPN

Tingkatan Hak

Access Withdrawal Management Exclusion Alienation

TPN-Hutan Penentuan Jenis X X X X X Pengadaan Tanaman XX XX X X X Penanaman XX XX X X X Pemeliharaan XX XX X X X Pemanfaatan Hasil XX XX X X X TPN Seimbang Kebun Penentuan Jenis XX XX XX XX X Pengadaan Tanaman XXX XXX XX XX XX Penanaman XXX XXX XX XX XX Pemeliharaan XXX XXX XX XX XX Pemanfaatan Hasil XXX XXX XX XX XX TPN Dominan Kebun Penentuan Jenis XX XX XX XX X Pengadaan Tanaman XXX XXX XXX XXX XXX Penanaman XXX XXX XXX XXX XXX Pemeliharaan XXX XXX XXX XXX XXX Pemanfaatan Hasil XXX XXX XXX XXX XX

Keterangan: X = Dilarang; XX= Boleh dengan syarat; XXX= Boleh

.Aturan Representasi

Untuk mendorong percepatan pencapaian tujuan restorasi maka perlu dilakukan program pengadaan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat yang gayut dengan aplikasi model restorasi biodiversitas dengan konsep TPN. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan (Karky 2001). Menurut Howell at al. (1987) bahwa terlibatnya masyarakat dalam pengambilan keputusan publik didasarkan pada adanya hak dan kewajiban (baik formal ataupun nonformal) yang dimiliki oleh masyarakat serta penilaian ekonomi sebagai faktor pendorong yang kuat. Munculnya konsep pembangunan partisipatif di Indonesia terjadi seiring isu desentralisasi dengan pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara bersama sehingga menunjang pencapaian pembangunan berkelanjutan

(Hardy dan Lloyd 1994 ; Clement dan Hansen 2001). Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi.

Dalam perumusan aturan representasi, pihak otorita pengelola kawasan perlu menyusun pedoman yang mengatur batasan kewenangan yang jelas dan definitif jika diperlukan pertemuan untuk pengambilan keputusan atas masalah yang mungkin terjadi dalam proses implementasi dan pengembangan varian desain fisik TPN. Batasan kewenangan tersebut mengatur kewenangan setiap stakeholder yang terlibat dalam implementasi TPN dalam rangka restorasi kawasan, mencakup kewenangan BBTNGGP selaku pengelola kawasasn, petani partisipan, dan stakeholder lain yang terlibat dalam proses implementasi dan pengelolaan TPN. Prinsip yang harus dipenuhi dalam perumusan aturan representasi pada kelembagaan TPN adalah adanya kepastian aturan main dalam pengambilan keputusan yang menjadi keputusan mengikat dan ditaati bagi semua pihak yang terlibat dalam proses implementasi TPN mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi serta monitoring, dan juga meliputi pengelolaan TPN secara berkelanjutan.