• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Teori

3. Model-Model Implementasi

Dalam literatur ilmu kebijakan terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang lazim dipergunakan. Pada prinsipnya terdapat dua pemilahan jenis teknis atau model implementasi kebijakan. Pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah”

16 Riant Nugroho,Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm. 159

Kebijakan Publik

Kebijakan Publik

Penjelas Program Intervensi

Proyek Intervensi

Kegiatan Intervensi

Public/Masyarakat/Beneficiaries

(top-bottom) versus “dari bawah ke atas” (bottom-topper), dan pemilahan implementasi yang berpola paksa (command-and-control), dan mekanisme pasar (economic incentive).17 Namun secara umum model implementasi kebijakan yang dikemukakan para ahli lebih dipandang pemilahan yang pertama, yang lazim disebut model top-down dan bottom-up.

Model top-down berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya bottom-up bermaknameski kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Di antara keduanya ada interaksi pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat.18 Beberapa model implementasi kebijakan dikemukakan oleh para ahli di antaranya model implementasi kebijakan George C. Edward III dengan direct and indirect impact on implementation, Donald Van Meter dan Carl Van Horndengan A Model of The Policy Implementation, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dengan A Framework for Policy Implementation Analysis, dan Merille S. Grindle dengan Implementation as A Political and Administration Process. Terdapat beberapa model implementasi kebijakan yakni sebagai berikut:

a. Model Implementasi Edward III

Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III disebut dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Menurut model yang dikemukakan oleh Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor komunikasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.

1) Faktor Komunikasi

17 Riant Nugroho,Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,Gramedia,Jakarta, 2003, hlm. 165

18 Ibid, hlm.167

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu

Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal.

Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu:

a) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula.

Seringkali yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

b) Kejelasan informasi, dimana komunikasi atau informasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas dan tidak membingungkan. Kejelasan informasi kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi kebijakan, dimana pada tataran tertentu para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan, tetapi pada tataran yang lain maka hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

c) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah ataupun informasi yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah jelas dan konsisten untuk dapat diterapkan dan dijalankan. Apabila perintah yang diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

2) Faktor Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumber daya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumber daya manusia yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepatuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien.

Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan

bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

4) Struktur Birokrasi

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementator mengetahui apa

dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienanan struktur birokrasi yang ada.

Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik. Menurut Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan fragmentasi. Standard Operating Procedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, sedangkan fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai diantara beberapa unit.19

b. Model Implementasi Grindle

Model implementasi kebijakan selanjutnya dikemukakan oleh Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan hasilnya ditentukan oleh implementability.20 Menurutnya keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari dua hal yaitu:

19 Leo Agustino,Politik dan Kebijakan Publik,AIPI,Bandung,2006,hlm. 156

20 Riant Nugroho,Public Policy,PT. Elex Media Komputindo,Jakarta,2008,hlm. 445

1) Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.

2) Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua faktor yaitu dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi.

Keberhasilan implementasi kebijakan juga sangat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yaitu yang terdiri dari Content of Policy dan Context of Policy.

a) Content of Policy menurut Grindle adalah kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi, jenis manfaat yang bisa diperoleh, selanjutnya derajat perubahan yang ingin dicapai, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber-sumber daya yang digunakan.

b) Context of Policy menurut Grindle adalah kekuasaan atau kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa, lingkungan, tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. 21

Pelaksanaan kebijakan yang ditentukan oleh isi atau konten dan lingkungan atau konteks yang diterapkan, maka akan dapat diketahui apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui apakah suatu kebijakan dipengaruhi oleh suatu lingkungan, sehingga tingkat perubahan yang diharapkan terjadi.

c. Model Implementasi Mazmanian dan Sabatier

21 Leo Agustino,Politik dan Kebijakan Publik,AIPI,Bandung,2006,hlm. 168

Model implementasi kebijakan publik menurut Mazmanian dan Sabatier dikenal dengan Kerangka Analisis Implementasi (A Framework for Implementation Analysis). Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel yaitu:

1) Variabel Independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2) Variabel Intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaaan kepada pihak luar.

Sedangakan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknomogi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3) Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.22

d. Model Implementasi Van Meter dan Van Horn

22 Riant Nugroho,Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi,Gramedia,Jakarta, 2003, hlm. 169

Model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel:

1) Ukuran (Standar) dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan dilevel warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil.

2) Sumber Daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi diluar sumber daya manusia, sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga ialah sumber daya finansial dan sumber daya waktu.

3) Karakteristik Agen Pelaksana

Implementasi kebijakan akan berhasil apabila didukung dengan sikap dan respon para implementor. Sikap dan respon yang mendukung dan positif terhadap kebijakan akan membuat kebijakan tersebut berjalan efektif.

4) Komunikasi Antar Organisasi Aktifitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik komunikasi dan

koordinasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi.

5) Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi penyebab dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan lingkungan eksternal.

6) Kecenderungan (disposition) dari para implementor

Sikap penerimaan atau penolaan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III dengan menggunakan 4 (empat) variabel yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Dokumen terkait