• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL-MODEL PENGELOLAAN KONSERVAS

Dalam dokumen 2. pengelolaan kawasan konservasi laut (Halaman 82-103)

Dining, Jamaluddin Jompa dkk

Pendahuluan

Terumbu karang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi,

Isishippuris adalah salah satu biota yang terdapat di dalamnya. Isishippuris

merupakan salah satu jenis oktokoral yang hidup di perairan tropis indo pasifik. Di Indonesia jenis ini mendominasi perairan Indonesia bagian timur, terutama Perairan Maluku dan Papua. Jenis ini dikelompokan dalam kelompok Gorgonia, yaitu kelompok oktokoral yang tumbuh dan muncul dari substrat dasar dan mempunyai kerangka dalam (aksial) yang kokoh. Kerangka aksial terdiri dari gorgoin yang keras dan padat, sama dengan zat tanduk yang mengandung substansi kolage dan senyawa protein. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang kedokteran dan farmasi telah dilakukan isolasi senyawa-senyawa aktif yang terkandung di dalam jaringan tubuh biota yang hidup di laut. Senyawa–senyawa tersebut telah diuji dan berkhasiat sebagai senyawa– senyawa antibakteri, anti kanker maupun anti virus. Dalam hal ini oktokoral jenis

Isishippuris diketahui mengadung senyawa antivirus (Tanaka,1981).

Sebelum terjadi kontroversial dalam perdagangan bambu laut yang nantinya akan berujung pada keputusan CITES (Convention on International Trade in Endangared

Species) dalam status appendix bambu laut, seperti kasus permata laut (Corallium),

pemerintah perlu merespon hal ini lebih cepat untuk menentukan perangkat regulasi atau code of conduct untuk eksploitasi dan ukuran panen bambu laut. Lebih detail lagi kelompok gorgonian ini meskipun sudah dimanfaatkan secara umum oleh masyarakat namun belum diketahui status biologi dan/atau status populasinya. Mengantisipasi permasalahan ini, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013 tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah – langkah sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut; 2) Mensosialisasikan peraturan perundangan – undangan yang terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia

Namun demikan, surat edaran Dirjen tersebut belumlah cukup mencegah terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan degradasi kerusakan ekosistem terumbu karang. Sehingga salah satu jalan yang ditempuh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Periikanan (KKP) adalah menyiapkan strategi perlindungan terhadap bambu laut.Hal ini dilakukan, selain untuk menjawab permasalahan keberlanjutan pengelolaan perikanan, juga mendukung perlindungan ikan secara global. Menurunnya populasi bambu laut yang terus menerus perlu di lakukan kajian atau analisis tentang aspek sosial (peran dan pemahaman masyarakat), ekonomi (tingkat pendapatan), budaya masyarakat (tradisi) dan aspek hukum (formal dan nonformal), serta peran lembaga-lembaga yang berwewenang dalam hal pengelolaan terhadap sumberdaya alam pesisir dan laut. Selanjutnya keseluruhan hasil kajian atau analisis dari aspek-aspek yang dikemukakan di atas, akan menjadi data dan informasi bagian alisis model pengelolaan terhadap sumber daya alam pesisir dan laut secara umum dan terhadap bambu laut secara khususnya.

Langkah awal dimulainya analisis tentang pengelolaan terhadap sumber daya bambu laut, bermula dari beberapa data sebagai informasi dasar yang menyatakan bahwa telah terjadi penurunan populasi sumber daya bambu laut pada beberapa lokasi di Indonesia timur. Tingginya tingkat penangkapan atau eksploitasi terhadap sumber daya bambu laut diduga akan menurunkan populasi sumber daya ini di alam. Selain itu berbagai upaya eksploitasi terhadap sumber daya alam perairan pesisir dan laut yang selama ini dilakukan di sekitar ekosistem terumbu karan gdengan menggunakan alat tangkap destruktif, akhirnya akan merusak terumbu karang. Hal ini juga menjadi salah satu masalah serius yang dapat menurunkan populasi bambu laut di alam.

Selain itu penurunan populasi sumber daya bambu laut adalah juga karena Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti tingkat pendidikan,tingkatpendapatan, maupun latarbelakang pekerjaan dapat mempengaruhi juga pola pikir atau pun pemahaman tentang bagaimana mengelola sumberdaya alam yang lestari atau berkelanjutan bagi peningkatan taraf hidup Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat strategi pengelolaan bambu laut di Indonesia yang berbasis pada kondisi pupulasi, sosekbud, hukum dan kelembagaan guna kepentingan pengelolaan sumber daya bambu laut secara berkelanjutan

Gambaran Umum Populasi Status Populasi

Status populasi bambu laut belum dilakukan secara menyeluruh, namun dari beberapa hasil survey yang telah dilakukan,kepadatan alaminya tidak merata pada setiap daerah. Kelimpahan yang ada di setiap daerah berbeda – beda tergantung kondisi wilayah dan kondisi terumbu karang di setiap daerah tersebut.Kelimpahan jumlah koloni didasarkan pada kriteria Haris, dkk. (2010) membaginya kedalam lima kategori sebagaimana disajikan pada Tabel 1.Kriteria kelimpahan bambu laut berdasarkan jumlah koloni (Haris, dkk. 2010)

No KELIMPAHAN (Jumlah Koloni) KATEGORI

1. 3 - 44 jarang

2. 45 – 84 sedikit

3. 85 – 126 sedang

4. 127 – 167 banyak

5. 168 - 209 melimpah

Berdasarkan hasil penelitian Haris, Abdul .Jompa dkk (2010), pada perairan Spermonde Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berdasarkan jumlah koloni yang ditemukan hanya terdapat tiga dari lima kategori kelimpahan, yaitu jarang, sedikit dan melimpah seperti pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Kelimpahan Bambu Laut di Perairan Spermonde, Kota Makassar

No Lokasi Jumlah Koloni Kategori 1 P. Samalona 11 - 26 Jarang 2 P. Kodingarenglompo 7 – 17 Jarang 3 P. Kodingarengkeke 3 – 32 Jarang 4 P. Bonetambung 15 – 209 Melimpah 5 Gs. Bonebattang 42 – 44 Jarang 6 P. Barranglompo 26 – 45 Sedikit

Jika kita melihat tabel 2. Jumlah bambu laut hanya melimpah pada Perairan di P. Bonetambung yaitu 209 koloni/500 m2. Hal ini di mungkinkan karena pada lokasi tersebut merupakan daerah yang agak terlindung (Leeward). P.Bone tambung merupakan lokasi yang memilki kondisi terumbu karang yng masih

baik.Dari hasil survey tahun 2013 P.Bone tambung memiliki jumlah koloni bambu laut yang masih melimpah di bandingkan dengan pulau – pulau lain sekitarnya.P Bone tambung sangat terjaga terumbu karangnya karna merupakan Daerah Perlindungan Laut (DPL) oleh masyarakat setempat sehingga kondisi terumbu karangnya terjaga. Tokoh masyarakat di Pulau tersebut sangat menjaga laut mereka.Sedangkan pada perairan lainnya koloninya sangat jarang , bahkan di beberapa pulau seperti di P.Barrang Lompo dan P.Samalona tidak di temukan lagi bambu laut. imprep (Dining A Candri Dkk). Data bambu laut di Kabupaten Parigi Moutong menunjukan status populasi dari biota bambu laut (Isis hippuris)

pada stasiun pertama memiliki kepadatan populasi sebesar 852 koloni / 500 m,menunjukan jumlah yang melimpah, sedangkan pada stasiun kedua memiliki populasi 514 koloni / 500 m menunjukan kategori melimpah. Sedangkan sebaran koloni Isis hippuris ditemukan hidup lebih besar berada pada kedalaman 5 meter dengan persentase 38,14% dan rata-rata ukuran yang dominan hidup adalah ukuran 30-50 cm dengan persentase 44,66%. Data yang lain yang di lakukan oleh BPSPL Makassar antara lain data bambu laut pada Tahun 2012 di beberapa daerah Sulawesi, yaitu Perairan Gorontalo, Selayar, Konawe dan Parigi Moutong. Adapun sebaran kelimpahan bambu laut di Perairan Kabupaten Goronatlo Utara berdasarkan jumlah koloni bambu laut , dari data tersebut, dapat diketahui rata- rata sebaran kelimpahan adalah 73,5 koloni dengan ukuran kelimpahan yang didominasi oleh kelompok dengan jumlah koloni yang kecil (1 – 10) . Menurut Haris, dkk.(2010), kelimpahan koloni bambu laut ini termasuk kategori sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa bambu laut di perairan pulau Saronde ini tingkat pertumbuhannya masih rendah, meskipun merupakan daerah yang agak terlindung (atol). Di samping itu Perairan di Kabupaten Gorontalo Utara khususnya perairan Pulau Saronde belum ada kegiatan pengambilan bambu laut sehingga dapat dikatakan bahwa ukuran komposisi dan kelimpahan bambu laut yang ada ini masih merupakan ukuran alamiah yang belum dimanfaatkan oleh nelayan.

Berdasarkan hasil survey BPSPL Makassar di Kabupaten Konawe, Kelimpahan koloni bambu laut di perairan Kabupaten Konawe termasuk kategori sedikit sampai kategori melimpah (berdasarkan kategori Haris, dkk., 2010), tetapi penyebarannya tidak merata dan ukuran individu didominasi dengan yang kecil (0 – 30 cm). Populasi dan sebaran bambu laut sudah sangat terbatas akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan di perairan Konawe.

Di Kabupaten Bima dan Kota Bima survey di lakukan oleh BPSPL Bali menunjukan bahwa di daerah tersebut bambu laut penyebaran tidak merata.Di Kota Bima (P.Kolo, P.Soronehe 1 dan P.Soronehe 2 dan P.Bonto) tidak di temukan sama sekali bambu laut sedangkan di kabupaten Bima yaitu di Pulau

(Lariti I, Lariti 2, Tosa, Lampa Jara dan Pasir Putih).Survey juga di lakukan di pulau Lombok yaitu Kepulauan Gili Matra :Gili Air, Gili Meno dan Gili trawangan tidak di temukan bambu Laut di daerah tersebut.Dining Candri,Dkk (In Prep). Data terbaru tahun 2013 dan 2014 yang sudah di lakukan di Kepulauan Spermonde menunjukan penurunan jumlah yang signifikan.

Kepulauan Wakatobi

Survey yang di lakukan di Pulau Hoga di daerah perlindungan laut di temukan bambu laut dalam kondisi melimpah tetapi di beberapa pulau yang lain di temukan bambu laut dalam kondisi jarang .Di Pulau Wanci survey menunjukan bambu laut dalam kategori sedikit, jarang bahkan tidak di temukan. Dining Candri,dkk (In Prep)

Tingkat Pemanfaatan

Biota bamboo laut ini termasuk dalam karang lunak yang banyak diperdagangkan dan diekspor ke Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Permintaan pasar terbesar adalah dari Cina dan memiliki harga yang tinggi.Dari data hasil laporan bulanan kegiatan operasional tindakan karantina Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Stasiun Karantina Ikan Kelas I Wolter Monginsidi, bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi pengiriman bambu laut sebanyak 230.000 kg, dengan tujuan utama Makassar dan Surabaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengambilan bambu laut maka akan semakin tinggi pula ancaman terhadap terumbu karang disebabkan cara pengambilan atau pemanenan yang tidak ramah lingkungan.

Dari hasil wawancara yang diperoleh, sistem pemasaran Isis hippuris yang dilakukan di Kecamatan Moutong yakni pedagang pengumpul mendatangi masyarakat kemudian dilakukan transaksi dengan harga jual Rp.1.500,- per- kilogram dalam bentuk bambu laut yang telah dikelupas. Sedangkan di Kabupaten Konawe, harga bambu laut di tingkat nelayan sangat murah yaitu rata-rata Rp 500,- per kilogram bambu laut kering, sedangkan harga ditingkat eksportir Rp 5.000 perkilogram. Untuk harga jual bambu laut di Kabupaten Gorontalo Utara selama ini berkisar antara Rp2.000,00/kg – Rp3.000,00/kg. Nelayan pengambil bambu laut tidak mengetahui secara jelas jalur pemasaran di tingkat pedagang pengumpul hingga ke konsumen. Begitu juga dari data yang di kumpulkan di Kepulauan Togean dan kepulauan Wakatobi, dari wawancara yang di lakukan kepada narasumber kunci, harga bambu laut berkisar antara Rp 2000 – Rp.5000./ kg.

Tingkat Pengelolaan

Bambu laut sampai saat ini belum termasuk dalam jenis yang dilindungi dan masuk dalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan Undang – Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Dalam Pasal 7 UU 31 Tahun 2004 telah jelas disebutkan bahwa IKAN adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (Pisces, Crustacea, Mollusca, Coeloenterata (bambu

laut), Echinodermata, Amphibia, Reptilia, Mamalia dan Algae)Bambu laut (Isis

hippuris) yang termasuk kedalam phylum Coelenterata termasuk dalam definisi

ikan menurut UU 31 Tahun 2004.Dan didalam Pasal 53 PP 60 Tahun 2007 juga telah disebutkan bahwa Otoritas Pengelola (Management Authority)

Konsevervasi Sumberdaya Ikan adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan

Di beberapa tempat, khususnya di Propinsi Sulawesi Tengah melalui Surat Edaran Gubernur Sulawesi Tengah Nomor S.23/596/DISKANLUT tanggal 27 Oktober 2009, bambu laut telah dilarang dieksploitasi untuk kepentingan apapun dan beberapa hasil telah disita dalam usaha pengapalannya. Sebaliknya di beberapa tempat, BKSDA telah mengeluarkan izin pemanfaatannya mengikuti aturan CITES dan Undang Undang Nomor 50 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, padahal jenis ini belum termasuk jenis yang dilindungi dan masuk kedalam Appendiks CITES. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan Undang – Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan

Dalam rangka pengelolaan berkelanjutan, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil telah mengeluarkan surat edaran No 233/KP3K/III/2013 tentang Pengelolaan Bambu Laut dan Habitatnya yang meminta perhatian seluruh Dinas Kelautan dan Perikanan segera mengkoordinasikan langkah – langkah sebagai berikut : 1) Pencegahan dan pengawasan terkait pemanfaatan bambu laut; 2) Mensosialisasikan peraturan perundangan – undangan yang terkait, sekaligus pembinaan dalam rangka penyadaran masyarakat guna melindungi potensi dan sumber daya ikan di wilayah negara Republik Indonesia.

Landasan Hukum Penetapan Status Perlindungan

(1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.

(2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam Undang-Undang Nomor 27/2007 ini secara gamblang disampaikan bahwa kegiatan penambangan terumbu karang ataupun kegiatan yang secara langsung maupun secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang DILARANG dilakukan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengambilan bambu laut (bambu laut merupakan bagian ekosistem terumbu karang dan menempati habitat yang sama dengan ekosistem terumbu karang, sehingga pengelolaan terumbu karang tidak bias dipisahkan dengan pengelolaan terumbu karang).

(3) Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi

Sumber Daya Ikan;

Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan merupakan aturan turunan dari Undang-Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009. Pada Pasal 21 disebutkan bahwa konservasi sumber daya ikan dilakukan dengan tujuan untuk melindungi jenis ikan yang terancam punah, Penetapan status perlindungan jenis ikan merupakan salah satu upaya dalam rangka implementasi program konservasi jenis ikan.

(4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER-

03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.03/MEN/2010 merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya UU No. 45 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang mengatur tahapan-tahapan yang dilakukan dalam rangka penetapan status perlindungan jenis ikan yang mengalami ancaman kepunahan, langka dan endemik. Verifikasi dan analisis kebijakan pada dasarnya merupakan kegiatan

pengumpulan data dan kegiatan analisis dari data-data yang dihasilkan selama proses verifikasi. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan verifikasi di antara di Rekomendasi Ilmiah dari LIPI selaku otoritas ilmiah diperlukan sebagai bahan pertimbangan dari sisi keilmuan terhadap spesies ikan yang diusulkan untuk ditetapkan status perlindungannya. Dalam tahapan ini selain pertimbangan ilmiah LIPI juga diharapkan dapat memberikan saran pengelolaan terhadap spesies ikan yang akan dilindungi. Rekomendasi LIPI ini merupakan salah satu dasar dalam melaksanakan program tindak lanjut setelah penetapan status perlindungan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.

Menteri menetapkan SK perlindungan jenis ikan berdasarkan tingkat keterancaman dan kebutuhan pengaturan, dapat ditetapkan dengan status perlindungan penuh atau status perlindungan terbatas.Pada dasarnya penetapan status perlindungan penuh dan terbatas tersebut merupakan salah satu upaya untuk menghindari bahaya kepunahan dan program peningkatan populasinya di habitat alam.

Di dalam Permen di atas juga diatur mekanisme perubahan status perlindungan, sehingga berdasarkan data hasil monitoring dan evaluasi populasi apabila kondisi populasi menjadi semakin baik, serta kemampuan dalam melakukan pengelolaan, maka spesies ikan yang sudah dilindungi dapat dibuka status perlindungannya menjadi tidak dilindungi ataupun menjadi perlindungan terbatas. Setelah ditetapkannya status perlindungan ini, maka perlu dilakukan program sosialisasi sehingga aturan yang sudah ditetapkan dapat diketahui secara luas, terutama oleh stakeholder-stakeholder yang terkait dengan mata rantai penangkapan dan perdagangan.Monitoring populasi dan upaya-upaya untuk menambah jumlah individu dalam populasi serta pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum dilakukan dalam rangka penegakan aturan dan pencapaian tujuan perlindungan.

Pemenuhan Terhadap Indikator

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Pasal 23 menyebutkan kriteria jenis ikan dilindungi di antaranya meliputi: terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), terjadinya penurunan populasi di alam secara drastis dan tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.

Pengambilan dan perdagangan bambu laut sudah berlangsung secara masif, khususnya di wilayah perairan Kepulauan Sulawesi. Bambu laut umumnya hidup di perairan pesisir yang dangkal, sehingga sangat rawan akan terjadinya pemanfaatan yang berlebih. Berdasarkan hasil survey populasi bambu laut pada beberapa lokasi di perairan Sulawesi menunjukkan besarnya tekanan penangkapan terhadap populasi bambu laut.

Dalam melakukan pengambilan bambu laut yang dilakukan oleh masyarakat nelayan umumnya tidak dilakukan dengan metode khusus, lokasi pengambilan yang berada di kawasan pesisir yang dangkal tidak membutuhkan peralatan yang modern, umumnya pengambilan dilakukan dengan cara mencabut atau dibabat menggunakan parang. Dengan metode ini hampir semua koloni bambu laut tercabut, baik yang berukuran kecil maupun yang berukuran besar.

Sosial Budaya dan Dukungan Masyarakat

Perlu adanya upaya untuk menyamakan visi antara pemerintah dan masyarakat bahwa regulasi tentang penetapan status perlindungan bambu laut bukanuntuk menutup sumber penghidupan masyarakat, tetapi dilakukan agar masyarakat mempunyai sumber penghidupan yang berkelanjutan, tidak hanya bagi masyarakat di masa sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Dampak Penetapan Status Terhadap Sumber Pendapatan Masyarakat

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir mempunyai ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya yang ada di pesisir dan laut, dimana sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang terkait dengan sumberdaya ikan. Saat ini, berdasarkan hasil kajian yag dilakukan di wilayah perairan di Indonesia khususnya di indonesia Timur dapat diketahui bahwa penyebab utama kerusakan ekosistem bambu laut disebabkan oleh kegiatan pengambilan bambu laut dengan menggunakan cara-cara yang belum mempertimbangkan aspek kelestarian bambu laut itu sendiri. Masyarakat mengambil dengan cara mencabut dan mencungkil karang, sehingga apabila kegiatan ini berlangsung secara terus menerus tanpa adanya pengaturan yang jelas maka dikhawatirkan kegiatan pengambilan bambu laut ini tidak hanya akan

mengancam kelestarian bambu laut, tetapi juga akan mengancam ekosistem terumbu karang.

Penetapan status perlindungan bambu laut yang nantinya akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan ini tidak akan memberikan dampak secara signifikan pada pendapatan masyarakat. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pernyataan tersebut adalah :

a. Pengambilan bambu laut bukan merupakan mata pencaharian utama masyarakat, profesi masyarakat yang mengambil bambu laut adalah nelayan. Penghentian pengambilan bambu laut pada dasarnya hanya untuk menambah pendapatan masyarakat dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang jusru akan memiskinkan masyarakat, karena kerusakan ekosistem bambu laut akan

b. mengancam kelestarian ekosistem dan kelimpahan sumber daya ikan yang justru menjadi sumber pendapatan utama masyarakat.

c. Pengambilan bambu laut sampai dengan saat ini ditemukan di perairan pesisir Sulawesi, terutama di Sulawesi , Pengambilan bambu laut ini hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat pesisir, sehingga penghentian pengambilan bambu laut tidak akan memberikan dampak yang besar kepada masyarakat pesisir secara keseluruhan.

d. Secara nasional pengambilan bambu laut ini baru teridentifikasi di perairan pesisir Sulawesi sedangkan di daerah lainnya belum dtemukan. Penghentian sementara pengambilan bambu laut hanya akan berdampak pada sebagian kecil masyarakat pesisir di perairan Sulawesi.

e. Nilai jual bambu laut yang diterima oleh masyarakat sangat rendah, sehingga nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari pengambilan bambu laut tidak seimbang dengan nilai kerusakan yang ditimbulkan, termasuk kerugian jangka panjang yang berupa ancaman kehilangan sumber daya ikan yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan di atas dan untuk menjaga keberlanuutan sumber daya ikan bagi kelangsungan sumber pendapatan masyarakat, maka penetapan status perlindungan bambu laut melalui penghentian kegiatan pengambilan selayaknya segera dilakukan, sehingga dampak kerusakan yang lebih besar tidak terjadi. Status perlindungan bambu laut harus segera di tetapkan mengingat tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini, di mana ancaman kerusakan terumbu karang dan keberlanjutan bambu laut ini terus mengancam.

Dari data yang di peroleh di dearah kepulauan Wakatobi dari tahun 2000 sampai tahun 2002 terjadi pengambilan bambu laut dalam skala besar, saat ini setelah 12 tahun kondisi bambu laut belum pulih, terbukti dari survey di lakukan jumlah bambu laut dalam kategori sedikit bahkan tidak ada sama sekali, kecuali di daerah DPL dalam kategori melimpah.Dining Candri,Dkk (In Prep)

Arah Kebijakan Pemerintah

Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil dengan tegas menyampaikan larangan penambangan terumbu karang, walaupun pada bagian penjelasan disampaikan bahwa kegiatan yang dilarang tersebut apabila menyebabkan tutupan terumbu karang kurang dari 50%. Disisi lain berdasarkan data survey status terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar kondisi terumbu karang berada dalam kondisi yang memprihatinkan, dan apabila tidak dilakukan langkah yang tegas maka hampir dipastikan laju kerusakan terumbu karang, termasuk juga di dalamnya bambu laut akan terus mengalami peningkatan. Program

Coral Reef Rehabilitation and Management Project yang dilaksankan di Indoensia

merupakan salah satu program penyelaman terumbu karang terbesar di dunia bakan terumbu karang.Segala aspek yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang coba disentuh melalui program ini, baik dari sisi sosial ekonomi, penyadaran masyarakat, public awareness, dan juga aspek

Dalam dokumen 2. pengelolaan kawasan konservasi laut (Halaman 82-103)