• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pelestarian Cerita Rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah

Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut.

Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, 2009:86) mengatakan bahwa model atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau kegiatan pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan sebagai alat konseptual,

pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis, merancang, menciptakan,

mengevaluasi program pembelajaran, dan program pelatihan.

Pada umumnya, setiap desain/model pembelajaran memiliki keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Begitu juga

perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas. Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu mengatasi segala kesulitan.

Komarudin (Sagala, 2010:175), memahami model sebagai; (1) suatu tipe atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang digunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya.

Model dirancang untuk mewakili realitas/kenyataan yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur secara sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan suatu belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.

kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran buku-buku-buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui alat-alat elektronik berupa komputer.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model pelestarian cerita rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah adalah upaya yang dilakukan untuk melestarikan cerita PAL melalui pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah. Upaya ini dilakukan dengan membuat sebuah model atau desain pembelajaran dengan cerita PAL sebagai bahan ajarnya. Model pembelajaran yang akan diterapkan sebagai salah satu upaya pelestarian cerita rakyat PAL di Madrasah Tsanawiyah adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning – CTL).

Penerapan model pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah perlu memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan materi cerita rakyat di Madrasah Tsanawiyah. Aspek-aspek tersebut antara lain kurikulum, prinsip-prinsip pemilihan bahan ajar dalam pendidikan, prinsip-prinsip-prinsip-prinsip pembelajaran kontekstual, dan rancangan pembelajaran cerita rakyat PAL.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penerapan model

pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah, dapat dijelaskan sebagai berikut..

4.1. Tinjauan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 tahun

2003 tentang Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan dan tenaga kependidikkan. Standar Nasional Pendidikan juga digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu produk pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut dengan silabus. Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada sutu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi dalam empat keterampilan berbahasa yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang memisahkan pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam materi Bahasa Indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi pembelajaran Bahasa Indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi sastra.

Pada pengembangan silabus Bahasa Indonesia untuk tingkat

VII semester 1, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan pada KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan dan menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan KD kelas X semester 2 yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang dituturkan) (SK) dan menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan langsung atau melalui rekaman (KD).

Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat PAL mempunyai kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesempatan ini merupakan wahana yang baik untuk memperkenalkan cerita PAL kepada siswa, sehingga cerita PAL dapat lebih diketahui dan akhirnya dapat dijadikan model alternatif pelestarian cerita tersebut.

Cerita PAL sebagai materi pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP/Madrasah Tsanawiyah memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh pengalaman melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para budayawan atau seniman mengenai keberadaan sekolah sebagai bagian terpenting dalam pelestarian budaya daerah. Melalui sekolah, tradisi daerah dapat diestafetkan kepada generasi sekarang dan generasi mendatang.

Kemungkinan cerita PAL sebagai bahan ajar materi mata pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus

memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan. Untuk mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan uraian berkaitan dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.

4.2. Pemilihan Bahan Ajar dalam Pendidikan

Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru ketika memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus) hanya dituliskan secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini diserahkan kepada guru dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan mengena pada subjek pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan sehingga lebih mengetahui persoalan yang dihadapi. Namun demikian, kelonggaran pemilihan bahan ajar ini bagi sebagian guru menjadi sebuah beban karena harus dipusingkan atau direpotkan untuk mencari bahan ajar. Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat.

Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur) keterampilan, sikap atau nilai.

materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukan bahwa materi prosa fiksi merupakan materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Tujuan pembelajaran sastra pada tiap-tiap tingkatan sekolah pada dasarnya sama, hanya saja ada perbedaan tekanan berkaitan dengan jenis dan tingkatan sekolah, yaitu menumbuhkan keterampilan berbahasa, kepekaan sosial, kesadaran sosial, mengembangkan daya imajinasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Rahmanto (1993:16-24), bahwa pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.

Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis dan kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk memilih objek bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi siswa. Prinsip dasar dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya pada suatu tahapan pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26).

Kemampuan siswa berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu, karya sastra yang disajikan hendaknya diklasifikasikan berdasarkan derajat kesukarannya disamping kriteria-kriteria lainnya. Tanpa ada kesesuaian antara siswa dengan bahan yang diajarkan, proses pembelajaran yang disampaikan akan mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993: 27-31) ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu: 1) bahasa; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar belakang kebudayaan siswa.

1) Aspek Bahasa

Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang mudah diidentifikasi. Sebaliknya, bahasa dalam sastra sering tampak rumit karena permasalahan yang diungkapkan, teknik penulisan, serta bahasa dalam karya sastra yang memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini, maka guru diharapkan dapat memilih karya sastra yang didalamnya menggunakan kosa kata dan ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata yang tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan penjelasan.

2) Aspek Psikologi

Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai dewasa melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8 – 9 th), pada tahap ini imaji anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik (10-12 th) pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita

Ketiga, tahap realistik (13 – 16 th), sampai tahap ini anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

Keempat, tahap realistik ( 16 th ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya berminat pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena tersebut yang kadang-kadang mengarah kepada pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan moral.

3) Aspek Latar Belakang Budaya

Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral, dan lain sebagainya.

Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu. Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih menarik perhatian mereka karena ada kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka.

Selain kriteria yang disampaikan oleh Rahmanto tersebut, masih terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebagai dasar pegangan dalam memilih objek bahan pelajaran yang disampaikan oleh Suyitno. Hal-hal tersebut adalah bahwa bahan pelajaran harus mampu menunjang dan membantu siswa pada hal-hal sebagai berikut. 1) Mampu membantu siswa mengenal dan memahami manusia secara lebih baik. 2) Mampu membuat siswa memahami serta menghayati kehidupan secara lebih baik. 3) Memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik. 4) Menunjang pemahaman yang lebih baik terhadap kebudayaan pada umumnya dan kebudayaan nasional pada khususnya. 5) Sebaiknya dipilih karya sastra yang menonjol dalam sejarah perkembangan sastra, Rahmanto (1993: 32).

Kriteria-kriteria di atas tentu saja tidak bersifat mutlak. Seorang pengajar masih dapat menentukan skala prioritas tersendiri yang dirasakan lebih mengena bagi kepentingan pengajaran. Hal ini disesuaikan dengan kondisi objektif siswa dan tenaga pengajar demi tercapainya tujuan pengajaran.

4.3. Model Pembelajaran Kontekstual

Andriana (Sudarmono,2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran dengan metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan pembelajaran yang memotifasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Siswa didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga psikomotor.

Sanjaya ( 2010:255) menyampaikan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami.

Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antar materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antar pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan

nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan hanya bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional terhadap materi yang dipelajarinya tetapi juga akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu; konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu pembelajaran dikatakan pembelajaran kontekstual jika dalam pembelajarannya menerapkan tujuh komponen tersebut.

a. Konstruktivisme

Konstrukttivisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).

makna oleh siswa melalui pengalaman nyata. Berkaitan dengan hal ini, maka siswa perlu dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang berguna bagi dirinya, dan terbiasa dengan gagasan- gagasan. Pelatihan yang dilakukan siswa juga untuk membantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, sebab, pada kenyataannya guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa.

Teori kontruktivisme dapat diartikan bahwa siswa harus

mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimilikinya

b. Menemukan

Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari hasil menemukan sendiri, bukan hasil mengingat seperangkat fakta. Guru dituntut agar dalam merancang kegiatan pembelajaran, sejauh mungkin agar bersifat inquiri untuk semua topik yang diajarkan.

Proses menemukan yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran tidak begitu saja dapat dipahami oleh siswa. Peran guru ikut menentukan keberhasilan siswa dalam proses menemukan ini. Guru perlu menyampaikan beberapa langkah kepada siswa agar siswa dapat termotivasi untuk melakukan

proses menemukan. Langkah-langkah tersebut menurut Nurwanti

melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain.

c. Bertanya

Kegiatan pembelajaran yang bersifat kontekstual harus mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Kegiatan bertanya merupakan bagian penting bagi siswa untuk menggali informasi, mengonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.

Nurwanti (Sudarmono,2009:41) mengemukakan bahwa kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi; (1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) mengecek pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon siswa; (4) mengetahui sejauh mana keinginan siswa; (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (6) memfokuskan perhatian siswa; (7) membangkitkan pertanyaan yang lebih banyak dari siswa; dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

d. Masyarakat belajar

Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Dalam hal ini guru berupaya menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab dan lain sebagainya. Melalui kegiatan berkelompok terjadi kerja sama

Pembelajaran dengan konsep masyarakat belajar dapat berlangsung apa bila terjalin komunikasi. Siswa yang terlibat dalam kegiatan, memberikan informasi yang diperlukan oleh teman belajarnya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan kepada teman belajarnya tersebut. Kegiatan ini harus menghindari pendominasian oleh siswa. Semua siswa harus terlibat aktif dalam diskusi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak yang menganggap paling tahu.

e. Pemodelan

Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang konkrit, agar pembelajaran dapat cepat dikuasai siswa. Untuk memunculkan suasana yang konkrit ini, guru dapat memunculkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, atau bahkan melalui media yang sebenarnya.

f. Refleksi

Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya. Refleksi adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal ini dapat memberikan umpan balik bagi guru, tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga guru dapat menilai, memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.

g. Penilaian yang Sebenarnya

Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Penilaian yang disusun guru harus dapat menilai proses dan hasil. Keaktifan siswa dalam diskusi, mengemukakan ide-idenya, serta pencarian yang serius merupakan penilaian tersendiri sebagai proses belajar siswa. Pada bagian akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi sebagai proses penilaian untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa. Pengumpulan tugas kelompok juga merupakan proses penilaian yang dapat dilakukan oleh guru.

4.4.Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat PAL

Rancangan model pembelajaran cerita PAL yang akan diterapkan mengadopsi dari model-model mengajar dan Komponennya yang disampaikan oleh Joyce & Weil. Joyce & Weil (1980:9) membagi model mengajar ke dalam empat rumpun, yaitu; (1) The Second Interaction Sources (Model Interaksi Sosial); (2) The Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi); (3) The Personal sources (Model Personal/Pribadi); (4) Behaviour Modification as a Sources (Model Prilaku). Setiap rumpun terdiri atas beberapa model mengajar berdasarkan teori yang disusun para ahli sehingga nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori para ahli dan tujuan yang hendak dicapai.

Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat PAL yang akan disusun didasarkan pada rumpun The Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara individu memberikan respon

yang datang dari lingkungannya dengan cara mengorganisasikan data,

memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahkan masalah serta penggunaan simbol-simbol verbal dan nonverbal. Selain itu, model ini juga memberikan kepada siswa sejumlah konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif.

Joyce & Weil (1980) mengemukakan bahwa sebuah model mengajar memiliki empat komponen. Keempat komponen yang harus ada dalam setiap model mengajar itu adalah: (1) orientation the model (orientasi model), (2) the model of teaching (model mengajar), (3) application (penerapan), (4) instructional and nurturant effect (dampak pengajaran dan penyerta). Pada komponen the model of teaching (model mengajar), terbagi atas syntax (urutan kegiatan), social system (sistem sosial), principal of rection (prinsip reaksi), dan support system (sistem penunjang).

Penerapan model pembelajaran cerita PAL berdasarkan komponen-komponen tersebut penulis mengurutkannya sebagai berikut, (1) orientasi model, (2) sintaksis, (3) sistem sosial, (4) prinsip-prinsip reaksi, (5) sistem penunjang, (6) penerapan dan (7) dampak instruksional.

Dokumen terkait