Sebelum membahas apa itu pengertian nilai moral maka ada baiknya penulis menyampaikan terlebih dahulu tentang pengertian nilai. Secara etimologis, nilai (value=velare) diartikan harga . Secara sederhana nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik (Sumantri, 2008:4), sementara moral menurut Lillie (Budiningsih,2004:24) berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat.
Dari pendapat tersebut maka secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa pengertian nilai moral adalah tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang
dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik. Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dianggap baik oleh sekelompok orang belum tentu baik menurut kelompok lainnya.
Untuk menjawab persoalan di atas Poespoprojo menyampaikan tentang keuniversalitasan moral dalam bukunya Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktik. Menurut Poespoprojo moral berarti bahwa hidup kita itu mempunyai arah tertentu meskipun arah tersebut sekarang belum dapat kita tunjukan sepenuhnya. Seseorang menangis atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa perbuatannya melanggar, menyeleweng, mengkhianati arah ini. Ia mengerjakan sesuatu yang mestinya tidak ia kerjakan.
Lebih lanjut Puspoprojo menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian para ahli antropologi dan sosiologi seperti Lowie, Goldenwiser, Paul Radin, William Schmidt, Westermarck, Boas, Evans Pritchard, dan Malinowski, terhadap suku-suku bangsa dan masyarakat manusia, baik yang masih dalam taraf pramodern maupun yang telah dalam taraf modern, berkesimpulan, …the fact of the universal existence of a body of basic rules of morality present in all societies without distinction of race and culture has been established beyond doubt.(Poespoprojo,1999:14).
Berkaitan dengan keuniversalan moral, Imanuel kant (Puspoprojo,1999:14) menyampaikan bahwa “ No man is wholly destitute of moral feeling for if he were totally ususceptible of this sensation he would be morally dead…then his humanity would be dissolved (as if it were by chemical laws) into mere animality.”
Dari pendapat ini Puspoprojo juga menyampaikan bahwa jika kita sekarang disodori keberatan tentang hukum moral secara universal tidak ditaati, seperti yang tampak pada praktik-praktik kanibalisme, pengayauan, pembunuhan bayi, dan sebagainya pada suku-suku primitif dan tampak pada praktik-praktik penipuan, korupsi, pengguguran kandungan pada orang-orang modern, maka ada jawaban yang cukup terurai.
Terdapat dua cara pelanggaran suatu hukum moral, yakni secara sengaja atau karena tidak tahu. Dalam hal sengaja, masih ada aspek hukum meskipun telah dilanggar, kekuatan mengikat masih terasakan, dan membangkitkan rasa salah (sense of guilt) atau rasa sesal (feeling of remorse, gewetenswroeging) pada diri orang yang melanggarnya. Tidak sedikit suku-suku primitif yang setelah mengadakan pembunuhan masal terhadap lawannya, kemudian mengadakan upacara pembersihan diri, bahkan di antara mereka ada yang sangat menyesali perbuatan jahatnya dimasa lalu, sampai-sampai mereka bunuh diri.
Mengenai soal tidak tahu, ini bisa terjadi mengenai prinsip moral yang sekunder, yaitu mengenai penerapan dan kesimpulan dari prinsip-prinsip pertama yang pasti diketahui. Kekurangmampuan menalar dengan akal budinya membuat seseorang menyimpulkan secara salah, dan juga salah menerapkan prinsip pada kejadian tertentu.
Apabila suatu suku primitif mempraktikan kanibalisme atau pembunuhan bayi, mereka tidak pernah secara prinsip menganggap bahwa Licet (boleh) membunuh setiap orang pada sembarang saat atau sembarang keadaan. Mereka
berbuat demikian hanya bila ada prestise, keharusan, atau upacara keagamaan menuntutnya. Selanjutnya, praktik-praktik tersebut, juga kekeliruan moral lainnya, pada umumnya karena penyelesaian yang salah dalam menyelesaikan dua keputusan moral yang nampaknya saling bertentangan (Puspoprojo,1999:16)
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai baik dan buruk dikatakan berbeda pemaknaan dari satu kelompok masyarakat dengan masyarakat pada kelompok lainnya, namun ternyata manusia dimanapun kelompoknya akan merasa berbuat salah jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan fitrah kemanusiannya.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Magnis
(Budiningsih,2004:24) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia .
Syahidin (2009:239) membedakan antara nilai, moral dan etika. Menurut dia nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Contoh nilai adalah ketuhanan, kemanusian, dan keadilan. Moral merupakan penjabaran dari nilai, tetapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan atau
3.2. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat
Cerita rakyat dan karya sastra pada umumnya menyampaikan nilai-nilai moral untuk dipahami oleh penikmatnya. Hal ini senada dengan pendapat Nurgiantoro ( 2007: 321) yang mengatakan bahwa moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita. Hal itu berarti pengarang menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca melalui karya sastra baik penyampaian secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk penyampaian langsung artinya moral yang disampaikan, atau diajarkan kepada pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Sebaliknya bentuk penyampaian secara tidak langsung maksudnya pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.
Lebih lanjut Nurgiantoro juga mengatakan bahwa moral dalam karya sastra yang diperoleh oleh pembaca selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya sastra ditampilkan hal-hal yang tidak terpuji, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan pembacanya untuk bertindak dan bertingkah laku tidak terpuji. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari hal-hal yang tidak baik tersebut. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
Senada dengan pendapat tersebut Semi (Jumani,2009:51) mengatakan bahwa karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tanpa memperhatikan moral, dinilai sebagai karya sastra yang tidak bermutu.
Cerita rakyat seperti yang telah penulis sampaikan di awal berfungsi sebagai media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam kehidupan masyarakat. Dari fungsi ini maka cerita rakyat akan mengandung nilai moral di dalamnya dan biasanya nilai ini cenderung disampaikan secara terselubung melaui jalinan cerita yang ada. Untuk membedah pesan yang terselubung ini maka dibutuhkan sebuah pisau analisis sehingga pesan ini dapat terkuak. Salah satu pisau analisis yang akan digunakan untuk membedah cerita PAL dalam penelitian ini adalah dengan model strukturalisme Levi Strauss.
Cerita PAL sebagai sebuah mitos merupakan cerminan angan-angan pemiliknya yang tertuang dalam sebuah kisah, sehingga besar kemungkinan mengandung nilai moral. Pengungkapan nilai moral dalam cerita PAL membutuhkan sebuah analisis yang dapat mengungkapkan nilai tersebut. Untuk menganalisisnya penulis mengambil analisis konten atau isi seperti yang disampaikan Endraswara (2006:83) bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slametan dan lain sebagainnya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia, misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi, dan sebagainya, 3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap tidak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung), 4) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, misalkan jin,setan, hewan,
tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan dirinya sendiri.
Kategori yang dibuat untuk menganalisis nilai moral dalam cerita PAL ini, selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa cerita PAL hidup dan berkembang di daerah Jawa, sehingga mencerminkan budaya yang ada pada masyarakatnya.
4. Model Pelestarian Cerita Rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah