Bencana dalam IPA
LINGKUNGAN MASYARAKAT
2.4 Model Pembelajaran IPA bervisi SETS
Model pembelajaran bervisi SETS merupakan suatu model yang menuntun siswa untuk mengkaitkan hubungan antara unsur SETS yaitu mengkaitkan konsep sains yang dipelajari dengan unsur lain dalam SETS sehingga siswa memperoleh gambaran lebih jelas tentang keterkaitan konsep sains terhadap lingkungan, teknologi dan masyarakat. Penerapan model pembelajaran bervisi SETS yang digunakan dalam pembelajaran IPA akan dapat memotivasi peserta didik untuk menjadi lebih tertarik pada topik/bahasan yang sedang dipelajarinya, karena dikaitkan langsung dengan hal-hal nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi jika penerapan SETS tersebut dikombinasikan dengan berbagai metode pembelajaran, strategi pembelajaran maupun teknik-teknik pembelajaran.
Penyajian materi dikelas diawali dengan mengangkat isu-isu sosial yang sedang terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya transfer sains ke dalam bentuk teknologi. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah adanya dampak positif atau negatif terhadap lingkungan. Keempat komponen tersebut yaitu Sains, Lingkungan, Teknologi, Masyarakat (salingtemas) hendaknya disinggung oleh guru selama proses pembelajaran IPA berlangsung.
2.5 Contextual Teaching and Learning
Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
16
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Sanjaya, 2006:255).
Amri (2010) menyatakan unsur kunci CTL adalah sebagai berikut 1) Pembelajaran bermakna
2) Penerapan pengetahuan
3) Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk menggunakan berpikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami isu, atau memecahkan suatu masalah.
4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar 5) Responsif terhadap budaya
6) Penilaian autentik.
Pembelajaran CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu: 1) Kontruktivisme, merupakan landasan berpikir yang digunakan dalam
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikti demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong.
2) Menemukan (inquiry), merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Siklus inkuiri antara lain observasi,
bertanya, mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data, penyimpulan. Langkah-langkah kegiatan inkuiri dalam pembelajaran kontekstual antara lain:
ii. Mengamati atau observasi. Membaca buku atau sumber lain untuk
mendapatkan informasi pendukung, mengamati dan
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati.
iii. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
iv. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.
3) Bertanya, merupakan strategi utama pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. 4) Masyarakat belajar (Learning Comunity)
5) Konsep learning comunity menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain,
6) Pemodelan (Modelling), maksudnya adalah dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru.
7) Refleksi, adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu.
8) Penilaian autentik yaitu pengumpulan berbagai data yng bisa memberikan gambaran perkembangan peserta didik.
18
Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas adalah sebagai berikut:
1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan cara bertanya
4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) 5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6) Lakukan refleksi diakhir pertemuan
7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
2.6 Berpikir Kritis
Berpikir merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada referensi atau pertimbangan yang seksama. Kemampuan berpikir adalah kecakapan atau kemampuan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkannya, memutuskannya, dan sebagainya untuk melaksanakan sesuatu dengan baik dan cermat (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa 2003:707)
Menurut Ibrahim, Kemampuan berpikir merupakan salah satu modal yang harus dimiliki siswa sebagai bekal dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya antara lain ditentukan oleh
kemampuan berpikirnya, terutama dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Selain itu kemampuan berpikir juga sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu agar siswa mampu memecahkan masalah taraf tingkat tinggi ( Yulianti, 2009:53).
Menurut Hassoubah salah satu ciri orang orang yang berpikir kritis akan selalu mencari dan memaparkan hubungan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah atau pengalaman lain yang relevan. Kemampuan berpikir kritis sangat penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir lainnya, yaitu kemampuan untuk membuat keputusan dan penyelesaian masalah.
Fisher (2008) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir evaluatif yang mencakup baik itu kritik maupun berpikir kreatif dan yang secara khusus berhubungan dengan kualitas pemikiran atau argumen yang disajikan untuk mendukung suatu keyakinan atau rentetan tindakan. Variabel keterampilan berpikir kritis menurut Fisher adalah menilai, mengidentifikasi, mengklarifikasi, menginterpretasi, menganalisis, mengemukakan pendapat atau berargumen, mengevaluasi, dan menyimpulkan atau menginferensi.
Kategori berpikir kritis menurut Carin dan Sund, yaitu : 1) mengklarifikasi; 2) mengasumsi; 3) memprediksi dan hipotesis; 4) menginterpretasi data, mengiferensi atau membuat kesimpulan; 5) mengukur; 6) merancang sebuah penyelidikan; 7) mengamati; 8)
20
membuat grafik; 9) meminimalkan kesalahan percobaan; 10) mengevaluasi; 11) menganalisis ( Carin dan Sund 1998:160).
Kemampuan berpikir kritis yang diteliti dalam penelitian ini adalah menilai, menyusun hipotesis, menginterpretasi data, mengamati, mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan.
2.7 Kebakaran
Kebakaran merupakan suatu ancaman bagi keselamatan manusia, harta benda maupun lingkungan. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan pembangunan yang semakin pesat, risiko terjadinya kebakaran semakin meningkat. Selain itu penduduk yang semakin padat, pembangunan gedung-gedung perkantoran, kawasan pemukiman, industri yang semakin berkembang juga menimbulkan kerawanan terjadi kebakaran.
Berdasarkan observasi di Dinas Kebakaran Kota Semarang, berikut adalah data peristiwa kebakaran yang terjadi di Semarang dalam 6 tahun terakhir.
Tabel 2.1 Data Kebakaran di Semarang (Sumber : Dinas Kebakaran Kota Semarang)
TAHUN KEBAKARAN JUMLAH Meninggal KORBAN JIWA KERUGIAN (Rp) TAKSIRAN Dunia Luka Bakar Luka Ringan
2007 234 1 0 0 49.026.000.000 2008 204 2 0 1 13.447.333.647 2009 192 3 6 1 6.752.215.000 2010 110 1 0 3 12.550.900.000 2011 214 1 2 2 45.409.475.000 2012 255 11 10 8 14.830.000.000 JUMLAH 1209 19 18 15 142.015.923.647
Dilihat dari peristiwa kebakaran, Semarang merupakan kota yang rawan terjadi kebakaran. Dalam 6 tahun terakhir terjadi 1209 peristiwa kebakaran dan frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu terjadi sebanyak 255 peristiwa kebakaran. Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa peristiwa kebakaran menimbulkan kerugian harta benda dan mengancam keselamatan manusia.
2.8 Kalor
Salah satu materi yang dapat diintegrasikan dengan materi pengurangan risiko kebakaran dari hasil pemetaan SK dan KD pada kurikulum pendidikan di SMP/MTs adalah materi kalor. Materi ini diajarkan pada siswa kelas VII semester genap. Pada penelitian ini, materi perpindahan kalor dapat dikaitkan dengan proses perambatan api pada peristiwa kebakaran. Dalam peristiwa kebakaran, perpindahan kalor bisa menyebabkan api lebih cepat menjalar.
1) Konduksi
Perpindahan panas melalui zat perantara. Panas merambat melalui dinding pemisah ruangan, bagian dinding pada ruangan berikutnya menerima kalor atau panas yang dapat membakar permukaan bendabenda yang terletak pada dinding-dinding tersebut.
22
2) Konveksi
Perpindahan panas dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Panas merambat melalui bagian bangunan yang terbuka seperti tangga dan koridor gang dengan media pengantar udara.
3) Radiasi
Perpindahan panas dalam bentuk pancaran. Panas merambat antara ruang dan bangunan yang berdekatan. hal ini akan lebih cepat terjadi jika sebaran api dibantu oleh tekanan udara atau angin kearah bangunan lainnya.
2.9 Kerangka Berpikir
Hyogo Framework for Action (HFA) tahun 2005-2015 menyoroti pentingnya pendidikan dan pembelajaran sebagai bagian dari prioritas aksi, menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat. Inisiatif pengurangan risiko bencana harus berakar di semua lembaga pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah dan memasukkan dalam program pendidikan. HFA merekomendasikan bahwa Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dimasukkan dalam kurikulum sekolah, pendidikan formal dan informal.
Dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa pengurangan risiko bencana harus diintegrasikan kedalam proses pembangunan, yang salah satunya
adalah sektor pendidikan. Menyelanggarakan pendidikan pengurangan risiko bencana dapat dilakukan melalui pembelajaran di sekolah dengan mengintegrasikan materi pengurangan risiko bencana ke dalam mata pelajaran IPA di SMP/MTs.
Undang–Undang No 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan alam dan teknologi (termasuk di dalamnya mata pelajaran IPA) di SMP/MTs dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan alam dan teknologi serta membudidayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.
Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dilatihkan kepada siswa pada pembelajaran IPA. Berpikir kritis dianggap penting dalam bidang akademik karena memungkinkan seseorang untuk menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan dan merestrukturisasi pemikiran mereka, sehingga mengurangi resiko mengadopsi, bertindak, atau berpikir dengan keyakinan yang tidak benar. Salah satu model yang dapat diterpakan untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah model contextual teaching and learning (CTL) yang berpendekatan/bervisi SETS.
Melalui model CTL bervisi SETS, siswa dilibatkan secara langsung untuk mengkaitkan materi dengan situasi dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari yang menerapkan sains ke dalam bentuk teknologi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan
24
kebutuhan masyarakat dan memperhatikan lingkungan, sehingga risiko terjadinya bencana dapat dikurangi. Kerangka berpikir pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir
Hyogo Framework for
Action (HFA) Undang-Undang No 24 Tahun 2007
Pengurangan Risiko Bencana Pendidikan IPA
Standar Pendidikan Nasional Kemampuan Berpikir
Model CTL bervisi SETS
Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis
dan sikap siswa terhadap pengurangan risiko
2.10 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
a) H0 : berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CTL bervisi SETS lebih rendah atau sama dengan berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model konvensional bervisi SETS.
Ha : berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model CTL bervisi SETS lebih tinggi daripada berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran dengan model konvensional bervisi SETS.
b) H0 : Sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana yang mendapat model pembelajaran CTL bervisi SETS lebih rendah atau sama dengan sikap siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional bervisi SETS.
Ha : Sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana yang mendapat model pembelajaran CTL bervisi SETS lebih tinggi daripada sikap siswa yang mendapat model pembelajaran konvensional bervisi SETS
26