• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Analisis Data Penelitian Tahap Akhir

4.2.4 Uji t Satu Pihak (Uji t Pihak Kanan)

4.2.4 Uji t Satu Pihak (Uji t Pihak Kanan)

Uji t satu pihak yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t pihak kanan. Uji t pihak kanan ini digunakan untuk menguji hipotesis nol (Ho) yang menyatakan bahwa rata-rata berpikir kritis dan sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas eksperimen lebih rendah atau sama dengan rata-rata berpikir kritis dan sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas kontrol. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Uji Satu Pihak Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Variasi

Nilai Post-test Skor Angket Sikap

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Rata-rata 65.20 59.53 79.06 76.29 Dk 62 62 62 62 thitung 2.02 2.02 2.08 2.08 ttabel 1.67

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa pada taraf 5% untuk nilai post-test

diperoleh thitung = 2.02, dan skor angket siswa diperoleh thitung = 2.08, sedangkan harga ttabel diperoleh 1.67. Karena thitung>ttabel, maka Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis kelas eksperimen dan sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas eksperimen lebih tinggi dari rata-rata berpikir kritis dan sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas kontrol. Hasil perhitungan uji t satu pihak nilai post-test dapat dilihat pada lampiran 28, sedangkan hasil

perhitungan uji t satu pihak skor sikap siswa selengkapnya dimuat pada lampiran 38.

4.2.5 Uji Gain

Uji peningkatan rata-rata berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat diperoleh melalui pre-test dan post-test, yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.6

Gambar 4.6 Peningkatan Rata-Rata Berpikir Kritis

Hasil uji gain pada Gambar 4.6 menunjukkan bahwa rata-rata berpikir kritis kelas mengalami peningkatan baik untuk kelas eksperimen maupun kelas kontrol, tetapi peningkatan rata-rata berpikir kritis kelas kontrol lebih tinggi daripada peningkatan rata-rata berpikir kritis kelas kintrol. Hasil perhitungan selengkapnya dimuat pada Lampiran 29.

0.46 0.48 0.5 0.52 0.54 0.56 0.58

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol 0.57 0.5 Peni ngk atan r ata -rata Be rp iki r k riti s (%)

50

4.2.6 Uji Signifikasi

Uji signifikasi ternormalisasi gain digunakan untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan berpikir kritis yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji signifikasi peningkatan berpikir kritis antara siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen menggunakan uji t dua pihak, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.6. Perhitungan uji signifikasi ternormalisasi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 30.

Tabel 4.5 Hasil Uji Signifikasi Peningkatan Berpikir Kritis Antara Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol

Kelas Rata-rata Dk thitung ttabel Kriteria

Eksperimen 45.23

62 2.02 2.00 Terima Ho jika

thitung<ttabel

Kontrol 40.41

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pada taraf 5% harga thitung = 2.02 sedangkan harga ttabel = 2.00. Harga thitung<ttabel sehingga Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan berpikir kritis yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontol.

4.2.7 Analisis Angket

Instrumen angket digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana. Dari analisis data angket, diperoleh rata-rata skor angket sikap siswa kelas eksperimen sebesar 79.06 %, sedangkan rata-rata skor angket sikap siswa kelas kontrol sebesar 76.29%. Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji normalitas. Hasil uji

normalitas pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Setelah diuji normalitas, selanjutnya diuji kesamaan dua varians. Tabel 4.3 menunjukkan kedua kelas mempunyai varians yang sama sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji t sampel berkolerasi dependen. Uji hipotesis ini terdiri dari uji t satu pihak (uji t pihak kanan). Berdasarkan Tabel 4.4 disimpulkan bahwa sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas eksperimen lebih baik dari pada sikap siswa kelas kontrol. Data sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana ditunjukkan Gambar 4.7. Perhitungan selengkapnya dimuat pada lampiran 32 dan Lampiran 33.

Gambar 4.7 Skor Angket Sikap Siswa terhadap pengurangan Risiko Bencana

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa skor angket sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas eksperimen lebih tinggi daripada skor angket sikap siswa terhadap pengurangan risiko bencana kelas kontrol.

74.5 75 75.5 76 76.5 77 77.5 78 78.5 79 79.5

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol 79.06 76.29 Sk or a ngk et sika p s isw a terh adap Peng ur an ga n ris ik o benc ana (%)

52

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis dalam penelitian ini diteliti melalui instrumen tes dan lembar observasi. Berdasarkan analisis data, rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan dari keadaan awal (pre-test) dan keadaan akhir (post-test) baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Hal ini dapat diketahui dari Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.

Kemampuan berpikir kritis yang diteliti melalui instrumen tes meliputi menilai, mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan. Hasil kemampuan berpikir kritis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol yang diukur dengan menggunakan instrumen tes dapat dilihat pada Gambar 4.3. Dari hasil analisis data post-test, diketahui bahwa berpikir kritis kedua kelas berdistribusi normal. Hal itu sesuai dengan uji normalitas yang ditunjukkan Tabel 4.2. Karena data tersebut berdistribusi normal, hipotesis diuji dengan menggunakan statistik parametris.

Setelah diuji normalitas, data tersebut diuji kesamaan varians untuk mengetahui uji t apa yang digunakan dalam pengujian hipotesis. Karena data tersebut berdistribusi normal dan kedua varians homogen, serta sampel yang diambil berkolerasi dependen, maka pengujian hipotesis ini menggunakan uji t satu pihak yaitu uji t pihak kanan untuk mengetahui apakah berpikir kritis kelas eksperimen lebih baik dari kemampuan berpikir kritis kelas kontrol. Dari hasil analisis data pada Tabel 4.4

diperoleh bahwa thitung sebesar 2.02 dan ttabel sebesar 1.67. Dari uji t tersebut, diketahui bahwa thitung>ttabel maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih besar dari kemampuan berpikir kritis kelas kontrol.

Kesimpulan tersebut menunjukkan bahwa berpikir kritis siswa yang mendapat pembelajaran CTL bervisi SETS lebih tinggi dari berpikir kritis kelas yang mendapat pembelajaran konvensional bervisi SETS. Hal ini dikarenakan pembelajaran berkaitan dengan dunia nyata yang dekat dengan kehidupan siswa sehingga kemampuan berpikir kritis dapat dilatih dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nurhadi (2003 :73), kemampuan berpikir kritis paling baik dicapai bila dihubungkan dengan topik yang dikenal siswa.

Selain itu, pembelajaran pada kelas eksperimen dilaksanakan berlandaskan pada azas kontruktivisme yang merupakan salah satu komponen utama pada CTL. Dengan berlandaskan pada azas konvtruktivisme, maka siswa tak lagi hanya menerima pengetahuan dari guru, tetapi mereka mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka tentang materi kalor. Pengkontruksian tersebut diawali dengan mengungkapkan pertanyaan yang sering ditemui dan dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian guru mendorong siswa mengkaitkan pengalaman dengan materi tentang kalor. Jadi, dalam pembelajaran siswa terlibat secara langsung dalam penemuan pengetahuan tentang materi. Dengan menemukan sendiri, siswa lebih ingat akan yang dipelajari, dan sesuatu

54

yang ditemukan sendiri bisa bertahan lama; tidak mudah dilupakan (Nurhadi 2003:75). Hal ini sesuai pula dengan pendapat Sanjaya (2006 : 260) bahwa belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai pengalaman yang mereka miliki. Dalam proses menemukan pengetahuan tentang materi kalor, guru berperan sebagai model praktikum dan membimbing jalannya kegiatan tersebut.

Dalam kegiatan praktikum, siswa dibagi dalam kelompok belajar. Menurut Hasruddin (2009), kelompok belajar dibentuk oleh pengajar dengan memperhatikan karakteristik pelajar. Keadaan kelompok yang bersifat heterogen memungkinkan terjadi interaksi dalam proses pembalajaran. Dalam kerja kelompok yang heterogen memungkinkan terjadinya saling komunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman serta bekerja sama untuk memecahkan masalah. Sehingga untuk mengembangkan kemampuan berpikir, siswa dibentuk dalam suatu kelompok yang heterogen dalam hal kemampuan akademik.

Masing-masing kelompok belajar diberi LKS yang berorientasi pada siklus inkuiri yang berisi tahapan-tahapan : (a) menyusun hipotesis dari suatu permasalahan; (b) melakukan percobaan (melatih kemampuan mengamati dan mengukur); (c) mengklasifikasi data yang diperoleh; (d) menganalisis; (e) menginterpretasi data; (f) membuat kesimpulan (d) . Melalui kegiatan inkuiri tersebut, siswa terlatih untuk memanfaatkan kemampuan berpikirnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurhadi (2007: 76), bahwa siswa hanya akan dapat mengembangkan pikirannya dengan

berpikir, dengan menggunakan pikiran itu sendiri. Selain itu menurut Hasruddin (2009:55), dalam kegiatan inkuiri, siswa melakukan kegiatan observasi. Dengan observasi berarti siswa meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Berbeda dengan kelas kontrol yang diajar dengan model konvensional bervisi SETS yaitu ceramah dan demonstrasi, siswa hanya mengamati demonstrasi yang dilakukan oleh guru. Pada pembelajaran ini, masing-masing kelompok mendapat LKS yang berorientasi pada tahapan-tahapan inkuiri seperti pada kelas eksperimen, namun siswa kurang terlibat secara langsung dalam proses penemuan sehingga berpikir kritis kelas kontrol lebih rendah dari berpikir kritis kelas eksperimen.

Peningkatan berpikir kritis dapat dilihat pada Gambar 4.6. Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa keadaan awal rata-rata berpikir kritis kelas eksperimen sebelum dan sesudah diberi pembelajaran dengan model CTL bervisi SETS adalah sebesar 19,97% (kurang kritis) dan 65,20% (kritis). Hasil tersebut kemudian diuji gain ternormalisasi untuk mengetahui seberapa besar peningkatannya. Dari hasil analisis, diketahui bahwa uji gain ternormalisasi untuk kelas eksperimen sebesar 0,57 atau berada dalam kategori sedang, sedangkan pada kelas kontrol diketahui bahwa kemampuan awal siswa sebesar 19,12% (tidak kritis). Setelah diberi pembelajaran dengan model ceramah dan demonstrasi bervisi SETS, diperoleh rata-rata nilai sebesar 59,53% (kategori kritis). Hasil tersebut kemudian diuji gain ternormalisasi untuk mengetahui seberapa

56

besar peningkatannya. Dari hasil analisis data, diketahui bahwa uji gain ternormalisasi pada kelas kontrol sebesar 0,50 atau berada pada kategori sedang.

Dengan demikian, rata-rata kemampuan berpikir kelas eksperimen meningkat secara signifikan daripada rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa kontrol sehingga nilai atau hasil belajar siswa pada kelas eksperimen lebih baik daripada nilai atau hasil belajar siswa pada kelas kontrol. Hal itu sesuai dengan pendapat Gokhale (1995), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menerapkan ketarmpilan berpikir kritis menunjukkan prestasi yang lebih baik dalam menyelesaikan permasalahan dan lebih memotivasi dakam belajar.

Instrumen kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar ovbservasi. Indikator pada lembar observasi ini adalah kemampuan berpikir kritis yang meliputi menyusun hipotesis, mengamati dan menginterpretasi data. Pada instrumen lembar observasi, peneliti dibantu oleh tiga observer yang terdiri dari teman sejawat peneliti. Rata-rata kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen lebih baik daripada rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas kontrol, baik penilaian dari observer 1, observer 2 maupun observer 3. Hal itu ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.4.

Secara umum, rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen lebih besar dari rata-rata kemampuan berpikir kritis kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 4.5. Perbedaan hasil kemampuan berpikir kritis

kedua kelas dipengaruhi oleh perbedaan masing-masing indikator.. Namun terdapat satu indikator dengan perbedaan yang signifikan, yaitu kemampuan mengevaluasi. Kemampuan mengevaluasi siswa yang mendapat pembelajaran CTL bervisi SETS jauh lebih tinggi daripada kemampuan mengevaluasi siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bervisi SETS. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran CTL dilakukan refleksi pada setiap akhir pembelajarannya. Sebagaimana kita ketahui bahwa refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau dipelajari.

Mengevaluasi adalah kegiatan untuk mengambil keputusan, menyatakan pendapat, memberikan penilaian berdasarkan kriteria-kriteria tertentu baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Melalui refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be). Hal ini sesuai dengan pendapat Rusman (2010) bahwa kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan lebih mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa serta pada saat melakukan refleksi pada setiap akhir pembelajaran. Selain refleksi, kemampuan mengevaluasi pada kelas eksperimen juga dilatih dengan pemberian soal di setiap akhir pembelajaran. Dengan pemberian soal-soal disetiap akhir pembelajaran mengenai materi yang telah disampaikan

58

ini akan membuat siswa melatih kemampuan berpikirnya dalam kegiatan untuk mengambil keputusan.

Dokumen terkait