• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC

a. Model Pembelajaran Kooperatif dalam Pembelajaran Matematika

Pembelajaran yang dilakukan di kelas harus mempunyai acuan ataupun suatu pedoman. Sehingga pada saat pembelajaran berlangsung guru tidak melenceng dari rencana pelaksanaan pembelajaran. Mills berpendapat bahwa “model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model tersebut”.14

Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penemuan para ahli pendidikan berdasarkan teori psikologi pendidikan dan teori belajar. Sedangkan menurut Joyce (1992) “model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat

13

S. C. Utami Munandar, Op.cit, h. 51 14

Agus Suprijono, Cooperative Learning,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), Cet. XI, h. 45

pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain.”15

Pendapat lain dikatakan Soekamto dkk yaitu model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.16 Berdasarkan uraian di atas maka kita dapat mengetahui bahwa model pembelajaran yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru harus selektif dan harus memperhatikan model pembelajaran yang dipilih.

Model pembelajaran mengarahkan guru untuk mendesain pembelajaran yang dapat membantu siswa lebih memahami materi sehingga tujuan pembelajaran pun tercapai. Namun, model pembelajaran yang digunakan selama ini di kelas mengarahkan siswa untuk individualis, siswa seoalah-olah diajarkan untuk mengganggap teman sekelasnya sebagai kompetitor atau saingan. Setiap siswa berusaha secara individu untuk mendapatkan posisi ranking satu di kelasnya. Hal ini memberikan dampak yaitu menjadikan siswa tidak dapat bekerja secara kooperatif dalam kelompoknya.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka siswa akan mengalami kesulitan ketika masuk ke dunia kerja yang menuntutnya untuk dapat bekerja sama dengan rekan kerjanya. Oleh karena itu, model pembelajaran yang mengarahkan siswa bersikap individual harus segera dirubah dengan model pembelajaran yang dapat memfasilitasi dan mengembangkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, karena hasil pemikiran dari beberapa orang akan lebih baik daripada hanya satu orang. Model pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam bekerja sama salah satunya ialah model pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif ini menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil, yaitu kelompok berjumlah maksimal enam orang yang mempunyai

15

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Pretasi Pustaka, 2007), h. 5

16 Ibid.,

latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok dan setiap kelompok memperoleh penghargaan (reward) sesuai dengan hasil kerjanya. Jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Maka setiap anggota kelompok akan membutuhkan satu sama lain. Hal tersebut memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok. 17 Hal ini membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran dan lebih peduli terhadap siswa lain sehingga siswa tidak diajarkan untuk menjadi sosok yang individualistis. Sehingga baik untuk perkembangan kehidupan sosialnya. Selain itu siswa terlatih untuk dapat menjelaskan dengan baik hal-hal yang mereka pahami kepada siswa lain. Dengan demikian kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik pun akan berkembang.

Model pembelajaran kooperatif adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan siswa dalam kelompok tertentu untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.18

Menurut Roger, dkk. (1992) pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota lain.19

Sejalan dengan Roger dkk., Johnson dan Johnson (1998) mendefinisikan pembelajaran kooperatif namun dalam kalimat yang lebih ringkas. Johnson dan Johnson berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif berarti working together to accomplish shared goals (bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama).20 Begitu pula dengan Artz dan Newman (1990) mengartikan dengan bahwa pembelajaran kooperatif adalah kelompok kecil pembelajar atau siswa yang bekerja sama dalam

17

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan, (Jakarta : Kencana Frenada Media, 2006), h. 242

18

Ibid .,h. 241. 19

Miftahul Huda, Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), h. 29

20

satu tim untuk memecahkan suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai suatu tujuan bersama).21

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang membentuk siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, masing-masing anggota kelompok berusaha bekerja sama dan memaksimalkan potensi individu, kemudian memadukannya ke dalam kelompoknya untuk mencapai tujuan bersama dalam pembelajaran.

b. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk menjadi individu yang tidak indivualistis. Model pembelajaran ini mengajarkan siswa untuk peduli terhadap temannya yang kesulitan dalam memahami pelajaran. Sehingga kemungkinan siswa yang tidak memahami materi yang sedang dipelajari akan semakin kecil, tentunya dengan memperhatikan unsur-unsur pembelajaran kooperatif yang baik. Menurut Roger dan David Johnson tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Hasil yang maksimal akan tercapai jika unsur-unsur pembelajaran kooperatif diterapkan. Ada lima unsur yang harus diterapkan, yaitu :

1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif). 2. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan). 3. Face to face promotive interaction (interaksi promotif). 4. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota).

5. Group processing (pemrosesan kelompok).22

Positive interdependence (saling ketergantungan positif) merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif agar pembelajaran yang dilakukan berjalan efektif. Masing-masing anggota kelompok harus memahami bahwa mereka mempunyai prinsip dalam kelompok yaitu “tenggelam dan berenang bersama” (sink and swim together) artinya siswa mempunyai tanggung jawab terhadap kelompoknya untuk maju bersama. Siswa

21

Ibid, h. 32 22

sama sekali tidak dianjurkan untuk bersikap individualis, menonjolkan diri sendiri tanpa memperhatikan teman sekelompoknya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa harus bertanggung jawab pada dua hal, pertama mempelajari materi yang ditugaskan, dan yang kedua memastikan bahwa semua anggota kelompoknya juga mempelajari dan memahami materi tersebut.

Rasa saling ketergantungan positif ini muncul ketika siswa menyadari bahwa mereka tidak bisa menyelesaikan tugas dengan sukses apabila mereka mengerjakannya sendirian atau jika ada anggota lain yang tidak berhasil mengerjakannya (begitu pula sebaliknya).23 Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang struktur dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan siswa untuk belajar, mengevaluasi dirinya dan teman sekelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami materi pelajaran. Kondisi seperti ini memungkinkan siswa untuk memiliki rasa saling ketergantungan positif dalam mempelajari materi dan menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab individu maupun kelompok, dan juga memotivasi siswa untuk peduli terhadap teman sekelompoknya. Selain itu juga mendorong setiap anggota kelompok untuk saling bekerja sama.24

Personal responsibility, yaitu tanggung jawab pribadi individual atau perseorangan. Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab individu merupakan kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Sehingga setelah mengikuti kegiatan kelompok, masing-masing anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.25 Adanya rasa tanggung jawab individual ini akan membuat siswa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan kelompoknya. Sehingga siswa tidak akan melakukan kegiatan kelompok dengan tidak serius.

23

Miftahul Huda, Op. cit., h. 46-47 24

Isjoni, Cooperative Learning: Mengembangkan Kemampuan Belajar Berkelompok, (Bandung : Alfabeta, 2007), h. 42

25

Tanggung jawab individual ini dapat ditumbuhkan dengan beberapa cara yaitu (a) kelompok belajar yang dibentuk jangan terlalu besar; (b) melakukan assesmen terhadap setiap siswa; (c) memberi tugas kepada siswa , yang dipilih secara acak untuk mempresentasikan hasil kelompoknya kepada guru maupun kepada seluruh siswa di depan kelas; (d) mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam membantu kelompok; (e) menugasi seorang siswa dalam setiap kelompok untuk menjadi pemeriksa di kelompoknya; (f) menugasi siswa untuk mengajar temannya26

Face to face promotive interaction, yaitu interaksi antara siswa yang terjadi secara langsung (tanpa ada perantara). Dalam interaksi ini tidak ada penonjolan kekuatan individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya hubungan saling timbal balik yang positif sehingga mempengaruhi hasil pembelajaran.27

Menurut Lie setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan ini akan mendorong siswa untuk membentuk sinergi yang saling menguntungkan. Hasil pemikiran beberapa orang akan lebih baik daripada hasil pemikiran hanya satu orang. Dalam proses Face to face promotive interaction siswa memiliki kesempatan untuk saling bertukar pendapat, mengetahui hal yang sebelumnya tidak diketahui melalui interaksi dengan teman sekelompoknya. Hasil kerja sama dari beberapa orang akan lebih baik daripada hasil kerja dari masing-masing anggota.

Inti dari sinergi ini yaitu menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan dari masing-masing anggota kelompok. Perbedaan yang dimiliki oleh setiap anggota seperti perbedaan latar belakang pengalaman, keluarga, dan sosial-ekonomi akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antaranggota kelompok. Lie juga menyatakan bahwa sinergi yang baik tidak mungkin didapatkan dalam waktu singkat, tetapi harus melalui proses yang cukup panjang. Oleh karena itu siswa perlu diberikan kesempatan untuk

26 Ibid., 27

saling mengenal dan menerima anggota lain dalam kegiatan tatap muka (Face to face promotive interaction) dan interaksi pribadi.

Interpersonal skill, yaitu keterampilan komunikasi yang harus dimiliki setiap anggota untuk dapat berkomunikasi dengan teman sekelompoknya. Keterampilan ini tidak dimiliki oleh semua siswa, untuk itu sebelum diskusi dilaksanakan guru sebaiknya memberikan pengarahan tentang cara-cara berkomunikasi yang baik dalam berdiskusi. Hal ini penting karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.28 Keterampilan berkomunikasi antaranggota ini juga memerlukan proses yang panjang. Siswa tidak bisa diharapkan langsung menjadi seorang yang mempunyai interpersonal skill yang tinggi dalam waktu sekejap.

Group processing (pemrosesan kelompok) merupakan unsur yang tidak kalah penting demi tercapainya tujuan pembelajaran kooperatif. Kerja kelompok yang efektif dipengaruhi oleh sejauh mana kelompok tersebut merefleksikan proses kerja sama mereka. Pemrosesan dapat mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan, tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga terlihat anggota mana yang memberikan kontribusi dan mana yang tidak memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Tujuan dari pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan bersama.29

c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe FSLC

Pembelajaran kooperatif memiliki banyak variasi model pembelajaran kooperatif dengan berbagai tipe. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang ditemukan oleh ahli ialah think-pair-share (TPS). TPS pertama kali dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai dengan yang dikutip oleh Arends (1997), yang menyatakan bahwa TPS

28

Anita Lie, Cooperative Learning (Jakarta:Grasindo, 2010), Cet. VII, h. 34 29

merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi di kelas.30 Prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberikan lebih banyak waktu untuk siswa berpikir, untuk merespon dan saling membantu dalam kelompoknya.

Walaupun strategi TPS sudah cukup baik, tetapi para ahli selalu mengembangkan strategi yang ada. TPS dikembangkan oleh Robert T. Johnson, David W. Johnson dan Karl A. Smith menjadi sebuah strategi baru yang disebut dengan Formulate-Share-Listen-Create (FSLC). FSLC diharapkan dapat mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh TPS dan dapat menutupi kekurangan dari TPS. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Ledlow bahwa :

A further variation on Think-Pair-Share was developed by Johnson, Johnson, and Smith (1991). It’s called Formulate-Share-Listen-Create, and it’s a good strategy for use with problems or questions that could be addressed in a variety of ways. The “create” step gets students to synthesize their ideas and come up with the best solution to a problem.31

Johnson, Johnson dan Holubec menganjurkan FSLC untuk digunakan dalam situasi berpasangan. Para ahli ini menyatakan bahwa “to begin, each student formulates an answer to a question or problem posed by the teacher. Then, each student shares his or her thoughts with a partner. It is important that each student listen carefully to what the partner has articulated so that together, they can create a response that is better than either of the individual responses.”32

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create terdiri dari:

1. Formulate

Setiap siswa memformulasikan jawaban untuk menjawab permasalahan yang guru berikan.

30

Trianto, Op. cit., h. 126 31

Susan Ledlow, Using Think-Pair-Share in the College Classroom (Arizona: Arizona State University, 2001), h. 2 www.hydroville.org/system/files/team_thinkpairshare.pdf

32

R. Bruce Williams, Cooperative Learning :A Standard for High Achievement,(California: Corwin Press, 2002), h. 51

2. Share

Setiap siswa membagi/menjelaskan jawabannya kepada teman sekelompoknya atau pasangannya dalam kelompok.

3. Listen

Setiap teman dalam satu kelompok mendengarkan dengan seksama penjelasan atau jawaban dari pasangannya. Kemudian mencatat setiap persamaan dan perbedaan dari jawaban mereka.

4. Create

Setelah setiap siswa mendengarkan jawaban dari pasangan/teman sekelompoknya masing-masing maka mereka membuat jawaban baru yang didapat dari penggabungan ide-ide atau jawaban-jawaban terbaik dari masing-masing anggota kelompok. Sehingga didapat jawaban yang lebih baik dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif tipe formulate-share-listen-create dikelas terdiri dari:

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, inti materi dan penjelasan secara singkat tentang LKS yang dibagikan kepada setiap siswa.

2. Dalam kegiatan pembelajaran ini guru menggunakan media pembelajaran yang menarik atau menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS).

3. Guru menyampaikan langkah-langkah kegiatan kelompok (pembelajaran kooperatif tipe FSLC), yaitu:

a. Formulate: guru memberikan tugas kepada masing-masing siswa untuk mempelajari, mengerjakan dan menjawab pertanyaan yang ada di LKS. Dalam tahap ini siswa mtentang enuliskan bebagai jawaban yang diminta dalam soal.

b. Share: setiap siswa berpasangan untuk saling berbagi dan mendiskusikan tentang jawaban yang mereka temukan

c. Listen: setiap pasangan saling mendengarkan pendapat dan jawaban dari pasangannya masing-masing kemudian mencatat persamaan dan perbedaan jawabannya.

d. Create: membuat jawaban baru yang merupakan gabungan dari ide-ide terbaik dari semua kelompok.

4. Beberapa kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok.

5. Guru memberikan soal latihan kepada setiap individu untuk melihat kemampuan masing-masing siswa.

d. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif tipe FSLC

Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan pada model pembelajaran kooperatif tipe FSLC. Kelebihannya yaitu :

1. Pembelajaran kooperatif yang beranggotakan 2-3 orang akan lebih cepat dibentuknya.

2. Lebih banyak kesempatan untuk masing-masing anggota kelompok berkontribusi dan menyampaikan ide pada kelompoknya.

3. Interaksi antaranggota akan lebih mudah dan nyaman karena jumlah anggota lebih sedikit tapi waktu yang diberikan lebih banyak.

4. Kerja kelompok lebih teratur karena jumlah anggota yang sedikit sehingga lebih mudah mengontrolnya.

5. Pada tahap formulate siswa tidak hanya memikirkan jawaban secara individual tetapi juga memformulasikan dan menuliskan berbagai kemungkinan jawaban dari permasalahan yang diberikan.

6. Dengan adanya tahap create, siswa diberikan kesempatan untuk membuat jawaban baru yang dihasilkan dari sintesis ide-ide terbaik dari kelompoknya dan juga dari kelompok lain.

Sedangkan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe FSLC, yaitu: 1. Banyak kelompok yang perlu di monitor, dan kemungkinan banyak

juga kelompok yang melapor kepada guru tentang kendala-kendala dalam kelompoknya.

2. Lebih sedikit ide yang dihasilkan karena kelompok hanya terdiri dari 2-3 orang.

3. Jika kelompok terdiri dari 2 orang tidak ada penengah bila ada perselisihan antaranggota kelompok.

3. Teori Belajar dan Pembelajaran yang Mendukung FSLC

a. Teori Konstruksivisme

Teori konstruktivisme dikembangkan oleh seorang ahli bernama Piaget pada pertengahan abad 20. Teori ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri pemahamannya terhadap suatu materi. Dalam paham ini guru tidak selalu :menyuapi” siswa dengan semua materi-materi pelajaran yang seharusnya mereka pahami, siswa duduk diam mendengarkan guru berceramah tentang materi yang sedang dipelajari kemudian setelah itu guru memberikan tugas kepada siswa.

Sedangkan dalam teori konstruktivisme seorang guru tidak mengajarkan bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut. Ketika siswa memberikan jawaban, guru tidak langsung mengatakan jawaban itu benar atau salah. Tetapi guru mendorong siswa lainnya untuk memberikan pendapat terhadap jawaban temannya, setuju atau tidak setuju kepada jawaban atau ide temannya. Kemudian siswa saling bertukar pendapat sampai persetujuan dicapai oleh siswa dalam satu kelompok .33 Pengetahuan yang diperoleh siswa dari hasil transfer pengetahuan akan diingat hanya dalam waktu singkat setelah itu pengetahuan tersebut dilupakan, sedangkan pengetahuan yang didapat dari konstruksi sendiri akan menjadi pengetahuan yang melekat dan bermakna bagi siswa.

Menurut Wayan, “belajar menurut pandangan ini lebih sebagai proses regulasi diri dalam menyelesaikan konflik kognitif yang sering muncul melalui

33

Erman Suherman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pendidikan Alam Universitas Pendidikan Indonesia, 2002), h. 75

pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan interpretasi.”34

Jadi menurut Wayan belajar merupakan proses pengaturan diri untuk dapat menyelesaikan konflik kognitif yang muncul pada saat siswa mengalami sesuatu yang nyata, bekerja sama dengan orang lain dan dalam menginterpretasikan suatu hal.

Secara umum terdapat lima prinsip dasar yang melandasi kelas yang berbasis konstruktivistik, yaitu:

1. Meletakkan permasalahan yang relevan dengan kebutuhan siswa; 2. Menyusun pembelajaran di sekitar konsep-konsep utama;

3. Menghargai pandangan siswa;

4. Materi pembelajaran menyesuaikan terhadap kebutuhan siswa; 5. Menilai pembelajaran secara kontekstual.

Teori konstruktivisme menekankan bahwa siswa harus belajar untuk membangun pengetahuannya sendiri dan mengembangkan kemampuan mereka dengan tidak hanya mengandalkan penerimaan pengetahuan dari guru. Sehingga pembelajaran haruslah dikemas sedemikian rupa agar dapat mendorong siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Dalam paham ini siswa menjadi subjek pembelajaran, bukan sebagai objek yang pasif.

Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa teori belajar konstruktivisme sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif, karena dalam pembelajaran kooperatif siswa dituntut untuk aktif dalam belajar dengan membangun pemahamannya sendiri. Jadi, secara umum teori pembelajaran konstruktivisme ini mendukung semua tipe yang ada dalam model pembelajaran kooperatif termasuk FSLC.

b. Teori Kognitif Piaget

Teori dari Piaget yang patut untuk diketahui terutama oleh guru matematika yaitu bahwa perkembangan kogntif siswa sangat bergantung kepada

34

I Wayan Santyasa, Model-model Pembelajaran Inovatif,( Universitas Pendidikan Ganesha : Jurusan Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha, 2007), h.1

seberapa jauh siswa dapat memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannnya. Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif sebagai skemata (schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema.35 Terdapat tiga aspek pada perkembangan kognitif seseorang, yaitu struktur, isi, dan fungsi kognitifnya. Struktur kognitif inilah yang disebut dengan skemata (schema), merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada saat siswa berinteraksi dengan lingkungannya. Isi kognitif merupakan pola tingah laku siswa yang tercermin pada saat ia merespon berbagai masalah. Sedangkan fungsi kognitif merupakan cara yang digunakan siswa untuk memajukan tingkat intelektualnya.36 Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat hal, yaitu sebagai berikut:37

1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syaraf dari seseorang itu. 2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas:

a. Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya.

b. Pengalaman logiko-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia.

c. Transmisi sosial (social transmission), yaitu interaksi dan kerjasama yang dilakukan oleh manusia dengan orang lain.

3. Penyeimbangan (equilibration), suatu proses sebagai akibat ditemuinya pengalaman(informasi) baru.

Selain teori mengenai tahap proses kognitif, faktor yang mempengaruhi, Piaget juga mengemukakan teori mengenai implikasi dalam model pembelajaran dari teori Piaget, yaitu:

a. Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak hanya pada hasilnya. Tetapi, guru juga harus memahami bagaimana siswa dapat mendapatkan jawaban tersebut.

b. Memperhatikan peranan siswa dalam berinisiatif, mempunyai keterlibatan aktif dalam pembelajaran. Kelas yang menggunakan konsep

35

Erman Suherman, dkk., loc. Cit., h. 36 36

Fadjar Shadiq , Aplikasi Teori Belajar, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika,2006), h. 9 37

ini, penyajian pengetahuan yang sudah jadi tidak ditekankan, tetapi siswa lebih didorong menemukan sendiri pengetahuan itu.

c. Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori ini menganggap bahwa semua siswa melalui tahap perkembangan yang sama, namun masing-masing siswa memerlukan waktu yang berbeda-beda dalam melewati setiap tahapnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Teori kognitif dari Piaget ini relevan dengan model pembelajaran kooperatif khususnya tipe FSLC karena teori ini memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak,

Dokumen terkait