• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Model Penelitian

Model penelitian komodifikasi uis Karo dapat digambarkan dalam skema atau model penelitian sebagai berikut :

Fenomena budaya di atas akan dikaji secara kritis melalui kajian budaya dengan berbagai konsep dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana bentuk komodifikasi kain tradisional Karo pada era Globalisasi? (2) Mengapa terjadi komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo? dan (3) Apakah dampak dan makna komodifikasi kain tradisional Karo pada masyarakat Karo?

1.8 Model Penelitian 1.8.1 Rancangan Penelitian

Penelitian komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo merupakan suatu penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan kajian budaya (cultural studies).

Menurut Akhyar Yusuf lubis pada bukunya Dekonstruksi Epistimologi Modern: dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies, kajian budaya menaruh perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang muncul dari informasi media massa. Kajian budaya juga mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan sehingga kajian budaya adalah kajian yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini adalah sebuah penelitian kajian budaya, sehingga penelitian ini menghubungkan dengan ilmu-ilmu sosial pendukung. Hal ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya, seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial.

Kajian ini juga bersifat multidisiplinner ilmu dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya, seperti globalisasi, fashion, teknologi, sejarah, sosial budaya, arkeologi, dan sebagainya. Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain.

Penelitian yang mempergunakan pendekatan kualitatif tergolong penelitian kebudayaan penekanannya bukan pada pengukuran melainkan pada pendeskripsian. Moleong pada bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah untuk memahami fenomena di masyarakat dengan cara mendiskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Suharsimi Arikunto pada bukunya Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti tidak menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan penafsiran terhadap hasilnya. Menurut Nyoman Kutha Ratna pada bukunya Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, metode kualitatif memanfaatkan cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi dengan ciri-ciri terpenting dalam metode kualitatif terletak pada makna berserta pesan, dan pada proses tidak ada jarak antara subjek dan objek penelitian, bersifat terbuka dan ilmiah.

Penelitian fenomena budaya ini sama halnya dengan penelitian di bidang sosial lainnya. Secara garis besar penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap kerja lapangan, dan tahap penulisan laporan (Gorda,1997). Pada Tahap Persiapan dilakukan beberapa kegiatan yaitu (a) mengadakan studi pendahuluan baik aspek kepustakaan maupun empirik dalam rangka penyusunan usulan penelitian, (b) memilih lapangan atau lokasi penelitian (c) mengurus perizinan dan (d) mempersiapkan perlengkapan penelitian. Pada Tahap Kerja Lapangan, kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain (a) menentukan informan, (b) melakukan pengumpulan data, (c) mengolah dan menganalisis data (d) membuktikan atau menjawab pertanyaan penelitian dan (d) melakukan diskusi dalam ahli atau narasumber yang bersangkutan. Pada tahap penulisan laporan, peneliti harus memperhatikan pedoman penulisan laporan sesuai dengan sistematika penulisan yang ditentukan oleh perguruan tinggi

1.8.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada daerah mayoritas masyarakat Karo, seperti Medan (padang bulan dan sekitarnya), Kabanjahe dan Berastagi. Ketiga lokasi tersebut dipilih melalui berbagai pertimbangan antara lain

1) Masyarakat Karo di Medan, Berastagi dan Kabanjahe adalah masyarakat yang menglobal dan sangat jelas terlihat pengaruh globalisasinya.

2) Diketiga daerah tersebut menjadi daerah komodifikasi uis Karo,

3) Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang pertumbuhan sektor ekonomi masyarakatnya sangat cepat,

4) Di Kabanjahe dan Berastagi banyak dijual hasil komodifikasi uis Karo, Aksesibilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik dan tidak terlalu jauh dengan tempat peneliti, sehingga efektif dalam melakukan penelitian serta efisien sesuai dengan ketersediaan dana dan alokasi waktu penelitian.

1.8.3 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif oleh karena itu jenis data yang diperlukan adalah data kualitatif. Data kualitatif yaitu berupa uraian atau deskripsi dalam bentuk kata-kata yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data kualitatif diperoleh dari hasil observasi lapangan, dan rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka berserta dokumen-dokumen, tesis, skripsi, buku, web, jurnal online, dan transkrip lainnya.

Data dihimpun dengan terencana dan sistematis, data yang relevan atau bertalian, berkaitan, mengena dan tepat (Kartono, 1996). Data kuantitatif dibutuhkan untuk mendukung dan memberi penjelasan khususnya yang berkaitan dengan aspek ekonomi dari pariwisata dan industri kreatif.

1.8.4 Sumber Data

Dalam penelitian ini, Sumber data dikelompokkan menjadi dua yakni sumber data utama dan sumber data pendukung. Data utama merupakan data yang dikumpulkan dari narasumber berupa teks hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara dengan informan yang dijadikan sampel penelitian. Data ini dapat direkam atau dicatat oleh peneliti. Di samping itu, dilakukan pengumpulan

data utama diperoleh dari pelaku pembuat uis Karo yang diproduksi oleh pelaku komodifikasi, desainer, pedagang, dan konsumen, di mana semua pihak tersebut dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kumpulan skripsi, tesis, jurnal hingga buku-buku kebudayaan Karo juga menjadi sumber data utama dalam penelitian ini.

Data pendukung diperoleh dari sumber-sumber yang tersedia dalam referensi bacaan, media cetak, media online, ekshibisi industri kreatif. Data pendukung yang dikumpulkan berupa data yang diperoleh dari literatur yang ada hubungannya dengan judul penelitian, baik diperoleh dari perpustakaan, buku, dokumen, surat kabar, laporan penelitian, web page, jurnal ilmiah, dan foto-foto.

Data pendukung ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.

1.8.5 Penentuan Informan

Seorang informan yang baik adalah informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001).

Teknik penentuan informan sangat penting karena informan yang memberikan informasi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa penentuan informan sebagai sumber data lebih banyak menggunakan pertimbangan realitas sosial,

artinya informan-informan yang mewakili masyarakat dipilih secara purposive sampling yaitu pemilihan informan berdasarkan kriteria tetentu.

Subyek yang diambil dalam penelitian fenomena budaya ini adalah para informan yang mengetahui mengenai bentuk, fungsi, jenis dan makna simbolis yang terkandung dalam bebrbagai jenis uis Karo dalam perpektif budaya. Karena itu penelitian ini membutuhkan informan yang berkemampuan sebagai ahli uis Karo maupun budayawan Karo. Penelitian ini juga membutuhkan informasi mengenai komodifikasi uis Karo dari pihak pertama dalam industri fashoin.

Mereka memiliki kemampuan sebagai perancang busana khususnya berhubungan dengan uis Karo. Untuk memberikan sudut pandang yang lebih lengkap, penelitian ini juga membutuhkan informasi yang diperoleh dari “informan sambil lalu” seperti ibu-ibu rumah tangga, masyarakat Karo dan konsumen komodifikasi uis Karo untuk memberikan gambaran yang lengkap mengenai konsumsi dan preferensi mereka terhadap produk-produk komodifikasi uis Karo

1.8.6 Instrumen Penelitian

Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan sebagai instrumen utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti terjun ke lapangan untuk melakukan studi dokumen dan wawancara agar mendapatkan data yang akurat. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan pokok yang bersifat terbuka, informasi dari informan dan pertanyaan yang dapat kemungkinan dikembangkan.

Untuk teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih spesifik. Disamping itu, diperlukan instrumen bantu dalam pengumpulan data yakni pedoman wawancara, smartphone, serta alat tulis menulis untuk merekam pembicaraan pada saat wawancara dan kejadian-kejadian (informasi) yang berhubungan dengan komodifikasi uis Karo.

1.8.7 Teknik Pengumpulan Data

Ada tiga teknik yang digunakan dalam pengumpulan data, yakni (1) teknik observasi, (2) teknik wawancara dan (3) studi dokumen.

1. Teknik Observasi

Observasi merupakan cara memperoleh data melalui pengamatan langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah.

Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatan - pencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

Hasil observasi berupa dokumentasi berupa foto yang berhubungan dengan penelitian ini. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang dapat dijadikan data penelitian ini.

Dalam hubungannya dengan komodifikasi, observasi dilakukan pada lokasi penelitian dengan mengamati aktivitas para pelaku komodifikasi uis Karo.

Selain itu pengamatan dilakukan pula pada acara-acara adat Karo seperti pernikahan, peresmian rumah baru, kematian, pesta budaya dan sebagainya. Pada saat melakukan pengamatan, dilakukan pencatatan dan pemotretan fenomena-fenomena mengenai komodifikasi uis Karo baik dalam tampilannya beserta fungsinya.

2. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan suatu kegiatan percakapan dengan maksud dan tujuan tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data lewat wawancara langsung dengan informan. Menurut Natsir (1988) pengumpulan data melalui wawancara adalah proses percakapan dalam bentuk tanya jawab antara peniliti dan informan. Pertanyaan kepada informan diajukan, baik secara lisan maupun tertulis dengan teknik tanya yang terstruktur dan tak terstruktur dibantu alat berupa daftar pertanyaan, alat perekam, dan alat tulis.

Pada penelitian ini teknik wawancara yang dipakai ada dua macam teknik yaitu yang pertama, teknik wawancara terstruktur (structured interview) yaitu dengan cara mempersiapkan daftar pertanyaan terlebih dahulu, sehingga didapatkan data sesuai dengan informasi yang diinginkan. Teknik kedua yaitu teknik wawancara tak terstruktur (unstructured interview) yaitu wawancara yang

dapat dilakukan secara lebih terbuka dan mendalam dengan memberikan kebebasan atau keleluasaan kepada informan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang bentuk mula-mula uis Karo, kemudian bentuk komodifikasi uis Karo, serta faktor-faktor penyebab komodifikasi uis Karo dan dampak dari komodifikasi uis Karo pada masyarakat Karo.

3. Studi Dokumen

Selain wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan studi dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang berhubungan dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan yang terkait dengan permasalahan komodifikasi uis Karo. Dokumen yang digunakan adalah buku-buku, jurnal, skripsi, tesis, laporan penelitian, foto, kliping media massa, majalah, dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data pendukung untuk penelitian komodifikasi uis Karo.

1.8.8 Teknik Analisis Data

Semua data yang telah dikumpulkan, baik data utama maupun data pendukung akan diidentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian. Kemudian data tersebut diklasifikasi, dianalisis dengan mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Cara menganalisis data tersebut

dilakukan secara teknik analisis deskriftif kualitatif untuk menjelaskan bagian-bagian dari keseluruhan data.

Peneliti mengumpulkan data dengan mencatat semua informasi dari narasumber yang mengetahui mengenai seluk beluk bentuk asli uis Karo sampai perubahan pada komodifikasinya sesuai dengan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan di lapangan.

Data yang berupa perbandingan bentuk-bentuk visual asli uis Karo dan bentuk komodifikasinya diklasifikasi berdasarkan teori komodifikasi dan estetika.

Kemudian dilakukan penafsiran terhadap fungsi dan makna yang dikandung bentuk-bentuk visual dalam berbagai komodifikasi uis Karo tersebut dengan menggunakan teori estetika, dan hipersemiotika. Setelah diperoleh bentuk, dilakukan tafsiran terhadap fungsi dan makna dalam kain hasil komodifikasinya, yakni untuk mengetahui berfungsinya tampilan terhadap konsumen penikmatnya.

1.8.9 Penyajian Hasil Analisis Data

Dalam penelitian ini, tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil penelitian dalam wujud tulisan secara secara terstruktur dengan mengikuti kerangka penulisan secara sitematik. penyajian penelitian ini berupa laporan hasil penelitian formal dan informal. Penyajian informal adalah penyajian hasil analisis yang mempergunakan kata-kata yang bersifat deskriptif, naratif, dan argumentatif.

Sementara itu, penyajian formal adalah penyajian analisis yang menggunakan gambar, dan foto. Kedua bentuk penyajian ini dituangkan dalam beberapa bab.

Bab-bab awal terdiri dari tiga bab memuat perencana penelitian, kemudian diikuti

oleh satu bab yang mendeskripsikan gambaran umum tentang uis Karo, beberapa bab tentang hasil penelitian dan diakhiri dengan bab penutup memuat kesimpulan dan saran. Penyajian dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena perubahan budaya masyarakat yang diteliti.

BAB II

GAMBARAN UMUM UIS KARO

Uis Karo merupakan istilah umum masyarakat Karo dalam penyebutan kain tradisional Karo. Uis Karo dipergunakan sebagai pakaian adat dalam berbagai kegiatan masyarakat Karo dalam upacara adat, seperti pesta pernikahan, pesta kesenian, upacara kematian, pesta memasuki rumah baru, pesta tahunan dan acara adat lainnya. Menurut kamus Darwin Prinst dalam Kamus Karo-Indonesia, uis adalah nama umum untuk semua pakaian, kain baju yang dikenakan.

Gambar 2.1 : Pa Sendi, Sibayak Lingga bersama keluarganya dengan memakai Uis Karo sebagai pakaiannya.

(Sumber : Photograph Archive KIT 1000 5426- Legacy in Cloth)

Uis Karo memiliki perbedaan didalam warna, corak dan fungsi. Perbedaan tersebut berkaitan dengan waktu dan tempat penggunaannya pada pelaksanaan kegiatan upacara tradisional adat Karo. Masyarakat Karo memahami bahwa uis Karo merupakan salah satu benda yang tak terpisahkan dalam setiap kegiatan

kebudayaan masyarakat Karo. Uis Karo merupakan suatu unsur kelengkapan dalam budaya masyarakat Karo yang mampu menjadi identitas dan keberadaaan suku Karo ditengah masyarakat banyak.

2.1 Uis Karo sebagai Tenun Ikat

Uis Karo termasuk dalam kategori tenun ikat. Tenun ikat merupakan seni kriya tenun yang berupa kain yang ditenun dari helaian benang pakan (melintang horizontal) dan benang lungsin (membujur vertikal) yang sebelumnya diikat dan dicelupkan ke dalam zat pewarna alami.

Gambar 2.2 : Alat tenun primitif.

(Sumber : Ling Roth, Studies in Primitif Looms)

Persebaran tenun ikat sebagai budaya Indonesia terjadi semenjak prasejarah, yaitu pada awal periode Neolitikum. Pada periode Neolitikum ini, sekitar tahun 2000 SM nenek moyang bangsa Indonesia bermigrasi dari daratan Asia Tenggara ke kawasan Nusantara. Pada mulanya kain tenun yang dihasilkan

berupa sarung, selimut dan selendang yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai alat pelindung badan, status sosial, upacara adat dan kebudayaan. Pada zaman tersebut, keterampilan mendisain ragam hias masih bersifat monoton dengan ukuran tertentu dan tidak berubah. Tehnik menenun merupakan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur.

Gambar 2.3 : Salah satu bentuk tehnik tenun ikat.

(Sumber : nejad.com)

Menurut Bungaran Simanjuntak, seorang antropolog Universitas Negeri Medan, tak ada catatan pasti sejak kapan orang Batak mulai menenun. Dia memperkirakan, tenun Ulos telah ada sejak ribuan tahun lampau seiring terbentuknya masyarakat Batak itu sendiri, ada Ulos dan ada Batak. Dalam buku Seni Budaya Batak yang ditulis Jamaludin S Hasibuan (1985), teknik ikat dalam tenun Batak berasal dari kebudayaan Dongson yang berkembang di kawasan Indochina. Kebudayaan ini terjadi sekitar 700 SM dan berasal dari Tonkin serta Assam Utara. Tehnik tenun tersebut meliputi teknologi pencelupan benang dengan warna alam sebelum ditenun. Tehnik ini berkembang di Nusantara akibat dari pengaruh Dongson dan Chou akhir. Ragam hias yang dihasilkan yaitu berbentuk fauna (zoomorpic), stilisasi tumbuhan (flora), dan geometris. Ragam

garis lurus, garis putus-putus, dan lain-lainnya. Motif-motif tersebut di atas diambil dari artefak perunggu kebudayaan Dongson. seperti nekara, kapak upacara, dan genderang perang.

2.2 Pembuatan Uis Karo pada awalnya

Pada zaman dahulu sebelum kedatangan bangsa Belanda ke tanah Karo, pakaian tradisional masyarakat Karo ditenun oleh wanita suku Karo sendiri dan bahan bakunya juga berasal dari daerah suku Karo sendiri.

Gambar 2.1 : Perempuan Karo yang menenun (1857-1910)

(Sumber : Tropenmuseum)

Dalam buku Manusia Adat Karo, Tridah Bangun menjelaskan hanya sebagian kecil saja dari wanita suku Karo yang dapat mengerjakan penenunan uis Karo mulai dari bagian yang halus sampai kepada bagian yang kasar. Pekerjaan menjadi penenun tersebut memang cukup sulit, khususnya dalam Proses

pembuatan benang dan penenunannya yang memakan waktu cukup lama. Satu helai uis Karo biasanya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu dengan waktu pengerjaan 9 jam sehari.

Menurut Sitepu (1980) Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo, Bahan utama untuk membuat uis Karo adalah kembayat, yaitu kapas yang berasal dari hasil perkebunan warga yang kemudian dipintal menjadi sebuah benang.

Kemudian bahan untuk mewarnai benang dipergunakan air abu dapur, kapur, kuning gersing (kunyit) dan telep yaitu sebuah tumbuhan yang bernama sarap.

Gambar 2.5 : Perempuan Karo dalam memintal benang (1914-1919)

(Sumber : Photograph Tassilo Adam. Photoarchives KIT 1001 4379)

Keempat bahan tersebut diaduk dalam sebuah wadah sampai menimbulkan warna belau maupun warna gelap. Setelah itu gulungan benang dicelupkan ke dalam wadah yang berisi ramuan tersebut. Cara mewarnai benang tersebut dalam bahasa Karo ipelabuken yang berarti dicelup. Setelah benang tersebut berwarna belau atau hitam, maka benang tersebut dimasukkan kedalam air nasi (nasi yang

diremas). Kemudian benang tersebut dikeluarkan, kemudian disisir dan dijemur.

Setelah kering benang tersebut ikulkuli (digulung), kemudian isawean yaitu dibuat ukuran sepanjang uis Karo dan ditenun melalui alat tenun gedokan. Jenis uis Karo yang ditenun adalah Batu Jala, Ambu-ambu dan Kelam-kelam. Setelah selesai ditenun ipiuhi (dipintal), kemudian diketang-ketang yaitu dibentuk ornamen dan motif pada pinggir kanan dan kiri uis tersebut.

Pada zaman dulu, alat mewarnai benang cukup terbatas, masyarakat Karo membuatnya sendiri dari bahan-bahan yang ada tersedia. Oleh karena itu warna dasar dari berbagai jenis warna untuk masyarakat Karo hanya ada 3, yaitu putih sebagai warna dasar, hitam dan merah. Seiring perkembangan zaman maka ditemukan pewarna lain seperti warna kuning, hijau dan biru tua. Fungi warna pada uis Karo adalah untuk menghidupkan motif.

2.3 Penenunan pada masyarakat Karo

Masyarakat Karo khususnya wanita bukanlah penenun seperti wanita Batak Toba. Wanita Karo lebih memilih berladang karena keuntungan dari hasil bertani yang begitu besar dibandingkan menenun. Menurut Liwen Tarigan salah satu bukti masyarakat Karo bertenun adalah terdapat dalam mangmang (mantra, nyanyian, kalimat sakti dan pendek berupa nasihat) pada Beka Buluh yang dilakukan pada acara adat berbunyi: enda ia, iampeken kami man bandu nakku, uis Nipes Beka Buluh bekas nini tole ertenun, kerah i angin-ianginken, bencah i embun-embunken, em tandanna kam sebayak bebere penghulu.

Dalam bukunya Legacy in Cloth: Batak Textiles of Indonesia (2009) dan Batak Cloth and Clothing: A Dynamic Indonesian Tradition (1993) disebutkan, setidaknya sudah sangat lama orang Karo berhenti menenun uis. Hal ini sebabkan suburnya tanah Karo berkat keberadaan gunung berapi, seperti Sinabung sehingga membuat pertanian di Karo lebih menjadi penopang hidup masayarkat Karo.

Sehingga aktivitas menenun uis Karo pun ditinggalkan demi pertanian. Dari hasil pertanian ini, masyarakat Karo, masyarakat Karo mampu membeli tekstil impor yang didatangkan dari India (Tamil) dan Eropa oleh para pedagang di wilayah Kesultanan Aceh.

Gambar 2.6 : Gambar penenun tradisional edisi Sumatera Utara terdapat pada desain mata uang kertas tahun 1958 bernilai 25 Rupiah.

(Sumber : uang kuno magelang)

Usaha penenunan di tanah Karo tidak terlalu banyak seperti suku Batak Toba, masyarakat Karo memilih untuk memproduksi bahan baku utama uis Karo

the Malay World Historical, Cultural and Social (2002), ada 2 kelompok kecil dalam memproduksi bahan baku uis Karo, yaitu Sinuan Bunga dan Sinuan Gamber. Kelompok Sinuan Bunga adalah masyarakat fokus memproduksi dan mengembangkan kapas, mereka biasanya berdomisili di Binjai, Sunggal, Laucih, Delitua dan Patumbak. Hasil pemintalan mereka diperdangkan ke masyarakat Karo yang datarannya lebih tinggi, seperti daerah Sibolangit, Kelompok ini dijuluki Sinuan Gamber (penanam gambir) karena mereka memproduksi gambir untuk memproduksi pewarna tenunan yang dicelupkan pada benang kapas. Kapas didagangkan dari wilayah Sinuan Bunga ke bagian lebih tinggi dari Tanah Karo setelah diadakan pemintalan oleh orang-orang Karo.

Masyarakat Karo juga melakukan satu Proses penenunan yaitu pencelupan. Niessen (2009) mengemukakan kota Kabanjahe pernah menjadi menjadi pusat pencelupan benang. Proses pencelupan benang tersebut ini disebut dalam bahasa Karo yaitu ertelep. Setelah benang tersebut dicelup, benang tersebut dikirim melalui tenaga pemikul ke daerah Kuta Ketengahen (Kampung Pertengahan) yang dalam istilah Batak disebut dengan sitolu huta (Tiga Desa), yakni Tongging, Paropo, dan Silalahi yang terletak di pesisir utara Danau Toba.

Kampung berbatasan dengan masyarakat Karo di kecamatan Merek. Di tiga kampung ini uis Karo ditenun kembali sesuai dengan pemesanan. Hasil penenunan dijemput kembali oleh perlanja sira dan menyerahkannya kepada pemesan.

Gambar 2.7 : Peralatan tenun tradisional Karo yang dibuat oleh masyarakat Toba pada tahun 1989

Gambar 2.7 : Peralatan tenun tradisional Karo yang dibuat oleh masyarakat Toba pada tahun 1989

Dokumen terkait