• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengelolaan Hutan yang Dilaksanakan oleh KPH Bandung Utara Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Utara (KPH BDU) merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Model Pengelolaan Hutan yang Dilaksanakan oleh KPH Bandung Utara Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Utara (KPH BDU) merupakan

sebuah institusi yang memiliki tugas untuk mengelola hutan yang terdapat pada wilayah Bandung bagian Utara. Dalam mengelola hutan, KPH BDU mendapat bimbingan dari Seksi Perencanaan Hutan III (SPH III) yang bertugas merencanakan segala bentuk kegiatan pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh KPH BDU. Dalam mengelola hutan yang sebagian besarnya berstatus Hutan Lindung (HL), KPH BDU memiliki kewajiban untuk melaporkan segala bentuk kegiatan yang dilakukan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat–Banten.

KPH Bandung Utara mengadopsi struktur organisasi baku Perum Perhutani yang diterapkan di seluruh KPH yang ada di ketiga unit Perum Perhutani, Administratur (Adm) sebagai penanggung jawab wilayah Perum Perhutani Bandung Utara memiliki bawahan yang bertugas membantu Adm untuk mengelola hutan sesuai dengan rencana kelestariannya. Kelestarian yang dimaksud di sini meliputi kelestarian lingkungan, sosial, dan ekonomi. Seksi PSDH (Pengelolaan Sumber Daya Hutan) merupakan divisi penting dalam struktur organisasi KPH Bandung Utara karena seksi PSDH memegang tanggung jawab untuk melaksanakan program-program pengelolaan hutan yang meliputi seluruh aspek teknis kehutanan dan aspek kelestarian, baik tidaknya pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh KPH Bandung Utara secara tidak langsung ditentukan oleh kinerja seksi PSDH.

Wilayah KPH Bandung Utara sebesar 78,6 % dari total keseluruhan wilayah kerja yang menjadi tanggung jawab KPH Bandung Utara adalah hutan lindung, undang-undang telah mengatur cara pengelolaan hutan yang lindung salah satunya adalah aturan pelarangan penebangan pohon yang berada dalam zona hutan lindung. Hal ini berpengaruh pada strategi pengelolaan hutan yang dijalankan oleh KPH Bandung Utara sehingga dalam Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) yang disusun oleh SPH III Perum Perhutani terdapat unsur HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) yang dimasukkan kedalam rencana

pengelolaan hutan, unsur HHBK dimasukkan kedalam RPKH dengan maksud agar HHBK dapat menjadi komoditas alternatif yang dapat dimanfaatkan oleh KPH Bandung Utara melihat kondisi hutan yang ada selain komoditas lain yang selama ini telah menjadi fokus perhatian utama Perum Perhutani yaitu Jati (Tectona grandis) dan Pinus (Pinus merkusii Jungh.).

KPH Bandung Utara menyimpan potensi usaha Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat besar, HHBK yang dimaksud berupa wanatani atau agroforestri yang mencakup Rotan (Calamus sp.), Kopi (Coffea sp.), Hijauan Makanan Ternak (HMT), Bambu (Dendrocalamus sp.), Aren (Arenga pinnata), Karet (Havea brasiliensis), perdagangan agroforestry (beras, kelapa, kapolaga, bambu, dan sapi), dan sharing Albizia (Albizia falcataria). Kemudian KPH Bandung Utara juga melakukan kegiatan pengelolaan HHBK lainya yang dalam tujuan jangka menengah RPKH 2012-2021 dijadikan usaha pokok yaitu getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.), selanjutnya terdapat unit usaha pengelolaan jasa lingkungan yang meliputi usaha mata air dan wisata.

Visi KPH Bandung Utara yang terdapat dalam buku RPKH tahun 2012-2021 adalah “Menjadi Pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”, dan dilakukan dalam kerangka implementasi misi

Perusahaan, yaitu:

1. Mengelola sumber daya hutan dengan prinsip Pengelolaan Hutan Lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan bukan kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan.

2. Membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan. 3. Mendukung dan turut berperan serta dalam pembangunan wilayah secara

regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional.

Adapun tujuan atau arah pengelolaan sumber daya hutan yang akan direfleksikan dalam RPKH KP. Pinus KPH Bandung Utara adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Jangka Panjang :

Memantapkan dan menumbuhkembangkan kapasitas fungsi hutan KPH Bandung Utara baik fungsi konservasi lingkungan, fungsi sosial, maupun fungsi ekonomi produksinya serta optimalisasi pemanfaatannya bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan perusahaan dan masyarakat di sekitarnya.

2. Tujuan Jangka Menengah :

a. Membangun kawasan hutan KPH Bandung Utara sesuai hasil kajian redesain SDH yang menegaskan Pinus sebagai jenis KP untuk BH Sanggarah dan BH Karamat dengan pemanfaatan utama berupa produk getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) serta

b. Membangun cluster Jati dengan jenis JPP (Jati Plus Perhutani) di sebagian BH Sanggarah.

3. Tujuan Jangka Pendek :

a. Melakukan penanaman di hutan produksi dengan jenis sesuai KP dan rehabilitasi di hutan lindung dengan jenis-jenis unggul untuk kepentingan konservasi lingkungan maupun ekonomi produksi.

b. Mengkonversi jenis Jati lokal menjadi jenis JPP pada cluster jati di BH Sanggarah secara bertahap.

c. Memanfaatkan seluruh potensi tegakan pinus untuk dilakukan penyadapan.

d. Pengembangan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta pemanfaatan wisata dan jasa lingkungan.

Dari visi dan misi KPH Bandung Utara yang terdapat di dalam RPKH 2012-2021 terdapat isu pengelolaan HHBK dan jasa lingkungan yang tersusun dalam tujuan jangka pendek perusahaan, sementara pada tujuan jangka menengah dan jangka panjang hanya tercantum salah satu bagian dari HHBK yang menjadi potensi usaha di KPH Bandung Utara yaitu pemanfaatan getah Pinus (Pinus

merkusii Jungh.). Pemasukan KPH Bandung Utara antara tahun 2009-2011 disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Pemasukan KPH Bandung Utara tahun 2009-2011.

Rencana KPH Bandung Utara untuk menjadikan komoditas getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) sebagai komoditas utama terlihat kurang realistis karena bila dilihat dari perbandingan antara pemasukan dan pengeluarannya, pengeluaran yang terdapat pada usaha getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) jauh lebih besar dari pemasukannya sehingga usaha getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) merupakan usaha yang memberikan kerugian bagi KPH BDU. Pengeluaran KPH Bandung Utara tahun 2009-2011 disajikan pada gambar 2.

Gambar 2. Pengeluaran KPH Bandung Utara tahun 2009 – 2011 0 500,000,000 1,000,000,000 1,500,000,000 2,000,000,000 2,500,000,000 3,000,000,000 3,500,000,000 Kayu tebangan Jasa lingkungan

Wanatani Getah pinus Di luar usaha pokok tahun 2009 tahun 2010 tahun 2011

1,000,000,000 2,000,000,000 3,000,000,000 4,000,000,000 5,000,000,000 6,000,000,000 7,000,000,000 8,000,000,000 9,000,000,000 tahun 2009 tahun 2010 tahun 2011

Sebaliknya pada komoditas wanatani pemasukan jauh melebihi pengeluaran, hal ini dapat terjadi karena KPH Bandung Utara sebatas menyewakan areal hutannya untuk kegiatan pengelolaan wanatani yang dilakukan oleh masyarakat melalui skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pada masa panen KPH Bandung Utara mendapatkan bagi hasil dari masyarakat pengelola wanatani atas jasanya memberikan izin atas penggunaan lahan untuk mengelola usaha wanatani. Bila dilihat dari sisi ekonomi terutama perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran, usaha wanatani yang dijalankan secara PHBM oleh KPH Bandung Utara terbukti memiliki nilai keuntungan yang sangat tinggi.

Komoditas wanatani ditanam dengan memanfaatkan lahan yang berada di bawah tegakan KP Pinus, secara ekologi teknik agroforestri tersebut sangat ramah lingkungan karena tidak mengorbankan tegakan di atasnya untuk ditebang. Jenis yang ditanam di bawah tegakan merupakan jenis yang sudah diteliti agar dapat hidup di bawah tegakan dengan intensitas cahaya matahari kurang. Pengelola komoditas wanatani merupakan masyarakat sekitar hutan yang bernaung di bawah payung PHBM, secara kelestarian sosial skema PHBM ini sangat baik karena menempatkan masyarakat sebagai pengelola utama komoditas wanatani. Dengan adanya program PHBM ini masyarakat secara tidak langsung turut serta menjaga hutan

a b

Gambar 3. Komoditas wanatani berupa: (a) Kopi (Coffea sp.) dan (b) HMT (Hijauan Makanan Ternak)

Namun demikian komoditas wanatani tidak dilihat sebagai komoditas yang harus dikembangkan secara serius, hal ini tercermin dalam tujuan jangka

menengah dan panjang yang menjadikan komoditas getah Pinus (Pinus merkusii

Jungh.) sebagai komoditas utama walaupun secara ekonomi tidak lestari. Getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) memang memiliki potensi pendapatan yang baik untuk masa yang akan datang apabila pengelolaannya dilaksanakan dengan baik sesuai manual pengelolaan komoditas getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) dan dilengkapi dengan inovasi-inovasi pengelolaan yang merangkul pihak luar, namun yang menjadi hambatan di sini adalah kelestarian ekonomi pengelolaan getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.). Kelestarian ekonomi merupakan hal yang penting dalam suatu kegiatan pengusahaan hutan, tanpa adanya kelestarian ekonomi yang baik pihak pengusaha yang dalam hal ini adalah Perum Perhutani tidak akan bisa melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan dalam waktu yang lama.

Kelestarian ekonomi sangat dipengaruhi oleh kelestarian lingkungan dan kelestarian ekonomi mempengaruhi kelestarian sosial, hambatan ekonomi yang dihadapi oleh kegiatan pengusahaan getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) datang dari faktor aturan pengelolaan hutan di areal hutan lindung. Pengelolaan pada hutan lindung dan kawasan lindung mengacu kepada :

a. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.6 tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

b. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No.859/Kpts/Dir/1999 tanggal 6 Oktober 1999 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Lindung di Kawasan Hutan Perum Perhutani.

c. Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No.079/Kpts/Dir/2004 tanggal 20 Februari 2004 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Lima Tahun Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Perlindungan Setempat di Perum Perhutani.

d. Surat Keputusan Kepala PT. Perhutani (Persero) Unit III Jawa Barat No.1057/Kpts/III/2001 tanggal 16 November 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Kawasan Lindung.

e. Moratorium logging sesuai SK. Gubernur Jawa Barat No.522/1224 /Bin.Prod tanggal 20 Mei 2003 tentang Perlindungan dan Pengamanan Hutan di Jawa Barat.

f. Surat Direksi No.47/053.4/Can/Dir tanggal 19 Februari tahun 2009 Perihal Penghentian Tebangan Pinus.

Fluktuasi kegiatan sadapan Pinus pada jangka lalu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahirnya SK. Mentri Kehutanan No. 195/Kpts-II/ 2003 tanggal 4 Juli 2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Jawa Barat yang merubah sebagian kawasan hutan produksi menjadi hutan lindung (kebijakan rescoring), serta PP. No. 6 tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kegiatan sadapan Pinus KPH Bandung Utara sampai dengan akhir tahun 2006 masih terpusat di lokasi hutan produksi yang luasnya sangat terbatas akibat kebijakan rescoring tahun 2003. Pada tahun 2007 dan seterusnya, kegiatan sadapan mulai meningkat lagi ketika Perhutani mulai menerapkan kebijakan pemerintah untuk mengakomodir pemanfaatan HHBK di kawasan Hutan Lindung. Dan untuk pengaturan sadapan di hutan lindung Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten menerbitkan SK. No. 808/Kpts/III/2010 tanggal 4 November 2010 tentang Juknis Sadapan di Hutan Lindung.

Dalam pengelolaan getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) yang optimal, pohon-pohon pinus yang telah menua dan tidak produktif dalam menghasilkan getah wajib ditebang agar dapat dilakukan penanaman kembali. Namun pada areal produksi getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) situasinya berbeda, mayoritas pohon-pohon pinus yang telah menua tidak dapat ditebang karena terbentur peraturan yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya. Di sisi lain bila dilihat dari BCR (Benefit Cost Ratio) atau perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran, usaha pengelolaan getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) dinilai tidak menguntungkan. Hal ini terjadi karena salah satunya disebabkan oleh imbas peraturan moratorium penebangan pada HL yang menyebabkan pengelolaan usaha getah Pinus (Pinus merkusii Jungh.) di KPH Bandung Utara tidak optimal.

Komoditas kayu tebangan merupakan komoditas yang memiliki jumlah pengeluaran terbesar bila dibandingkan dengan komoditas lainnya, sementara komoditas kayu tebangan tidak memiliki pemasukan sama sekali. Hal ini terjadi murni disebabkan oleh kebijakan Perum Perhutan Unit III yang menginstruksikan agar seluruh biaya pengelolaan kayu yang rinciannya terdapat dalam lampiran dibebankan kepada KPH BDU. Sementara pemasukan dari kegiatan pengelolaan kayu yang dalam hal ini penebangan pada HP maupun HPT dikelola oleh KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Perum Perhutani Unit III, KBM Perum Perhutani merupakan institusi yang berkoordinasi di bawah Perum Perhutani Unit III dan bertugas mengelola objek bisnis potensial yang berada dalam wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten.

Komoditas jasa lingkungan yang dikembangkan oleh KPH Bandung Utara merupakan komoditas yang cukup lestari dari sisi ekonomi, bila dilihat dari data keuangan tahun 2009-2011 pemasukan yang diterima oleh KPH Bandung Utara dari komoditas jasa lingkungan lebih besar dari pengeluarannya. Jasa lingkungan dimanfaatkan oleh pihak lain melalui skema PKS (Perjanjian Kerja Sama), nilai PKS pada komoditas air bervariasi bergantung kesepakatan antara KPH Bandung Utara dan pihak lain.

a b

Gambar 5. Komoditas jasa lingkungan berupa: (a) objek wisata dan (b) mata air

Dokumen terkait