• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.4. Model Persamaan Simultan

Model empirik yang baik dalam menjelaskan fenomena ekonomi adalah model yang dibuat sebagai suatu persepsi mengenai fenomena ekonomi aktual dan didasarkan pada teori ekonomika. Ada beberapa model empirik yang dianggap paling baik dalam kerangka model persamaan tunggal, yaitu model empirik dengan pendekatan koreksi kesalahan atau sering disebut error correction method (ECM) (Insukindro dan Aliman, 1999 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Akan tetapi model koreksi kesalahan mempunyai kelemahan yang paling berbahaya dalam model koreksi kesalahan, yaitu kemungkinan terjadinya overparameterisasi (Breusch dan Wickens, 1998 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).

Pada banyak penelitian, terkadang peneliti dihadapkan pada fenomena ekonomi aktual yang saling mempengaruhi antara variabel ekonomi yang satu dengan yang lain dan telah disepakati sebagai suatu teori ekonomika. Hal ini biasa disebut dalam teori ekonometrika sebagai model persamaan simultan (simultaneous-equation models). Berbeda dengan model regresi persamaan tunggal dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga hubungan sebab akibat antara variabel terikat dan variabel bebas merupakan

hubungan satu arah (variabel bebas merupakan penyebab dan variabel terikat merupakan akibat). Model persamaan simultan merupakan suatu model dimana sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut, misalnya variabel terikat (Y) tidak hanya merupakan fungsi dari variabel bebas (X) atau (Y)=f(X) akan tetapi X=f(Y) (Sprout dan Weaver, 1993 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).

Di dalam model persamaan simultan tidak mungkin menaksir hanya satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lainnya, kecuali jika dibuat asumsi khusus. Perbedaannya dengan metode penaksiran parameter dengan ordinary least squares (OLS) adalah pada metode ini dari setiap persamaan satu per satu diterapkan tanpa memperhatikan kaitannya dengan persamaan-persamaan lain, maka hasil penaksiran yang diperoleh tidak saja bias tetapi juga tidak konsisten. Artinya jika jumlah sampel ditambah sampai tak terhingga, penaksiran tidak akan mendekati atau tidak menggambarkan nilai parameter yang sesungguhnya (Pasaribu dan Saleh, 2001).

2.1.5. Penelitian Terdahulu

Subandi (1998) dalam Nugraha, et al. (2003) menjelaskan bahwa rendahnya rata-rata hasil produksi jagung nasional disebabkan oleh interaksi dari beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Lahan. Sekitar 89 persen jagung dibudidayakan pada lahan sawah tadah hujan dan tegalan dengan curah hujan yang tidak menentu, sehingga sering

mengalami kekeringan atau tergenang, serta pada tanah-tanah yang umumnya memiliki kesuburan rendah, pH basa atau masam.

2. Petani. Petani jagung umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, lahan sempit dan terpencar dan banyak di antaranya terletak di daerah terpencil dengan fasilitas komunikasi serta akses terhadap masukan yang terbatas. Hal ini menyebabkan rendahnya adopsi teknologi baru.

3. Teknik budidaya yang diterapkan petani. Banyak petani yang mungkin dianggap telah mengadopsi teknologi baru, namun kebanyakan mereka masih menerapkan sebagian atau seluruh teknik budidaya tradisional dengan masukan rendah, seperti mutu benih rendah, varietas lokal berdaya hasil rendah, tanpa atau dengan pupuk takaran rendah, tanpa perlindungan hama dan penyakit, dan populasi tanaman tidak memadai. Karena kemampuan investasi dan daya tarik harga produk yang rendah, petani menganggap bahwa teknologi baru, terutama hibrida, merupakan teknologi yang mahal.

4. Penanganan pasca panen. Sekitar 69 persen jagung dipanen pada musim hujan dan pengeringan sangat tergantung pada sinar matahari dan lantai jemur. Kadar air jagung setelah penjemuran biasanya hanya mencapai 16 – 18 persen walaupun pada musim kemarau. Kontaminasi aflatoksin terutama pada musim hujan dapat menurunkan mutu biji jagung yang dihasilkan.

5. Harga. Di tingkat petani, harga jagung beragam tergantung pada daerah, dengan kisaran 35 – 64 persen dari harga di pasar kabupaten. Harga yang

lebih rendah di tingkat petani biasanya terjadi di daerah-daerah terpencil. Fluktuasi daya serap pasar dengan harga produk yang rendah ini kurang memacu petani untuk mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara pengusaha pakan dan petani dalam produksi dan pemasaran jagung telah terjalin akhir-akhir ini, namun komitmen dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati masih perlu ditingkatkan.

6. Dukungan pemerintah. Berbagai dukungan telah diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung domestik, seperti penelitian pengembangan varietas, penyuluhan, produksi benih, kredit, kebijakan harga dan pemasaran jagung, namun dukungan yang lebih efektif masih diperlukan.

Pasandaran dan Kasryno (2003) melakukan penelitian di sentra utama produksi jagung di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi jagung di enam propinsi sentra produksi jagung berbeda-beda. Di Sumatera Utara produksi jagung lebih diorientasikan untuk komersiil (dijual), sedangkan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan digunakan untuk bahan pangan pokok, dan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Namun, tujuan tersebut mengalami pergeseran pangsa setelah pabrik pakan mulai berkembang, produksi jagung lebih diorientasikan sebagai bahan baku pakan. Perubahan lain yang terjadi adalah pergeseran penanaman jagung dari lahan kering ke lahan

beririgasi, yang ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas, di samping karena penggunaan hibrida.

Kasryno (2003) menganalisis perkembangan produksi jagung di Indonesia, yang ternyata produktivitas menjadi faktor utama peningkatan produksi jagung, meskipun luas panen jagung relatif tidak banyak mengalami perubahan. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan adopsi teknologi baru, berupa varietas jagung unggul baru. Peningkatan produktivitas jagung akan meningkatkan insentif petani untuk menanam jagung sehingga produksi akan meningkat.

Rachman (2003) menganalisis kebijakan perdagangan jagung domestik dalam penelitiannya yang berjudul Perdagangan Internasional Komoditas Jagung, dapat disimpulkan bahwa penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai langkah antisipatif terhadap penurunan harag jagung di pasar internasional dan untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas.

Situmorang (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia menggunakan model persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Squares. Sebagai komoditi yang juga termasuk dalam lingkup ketahanan pangan, ternyata produksi beras dipengaruhi oleh luas arel panen tanaman padi, produktivitas padi, dan kebijakan harga dasar gabah. Sedangkan dalam hal impor beras dipengaruhi harga impor beras, dimana harga impor beras dipengaruhi oleh harga beras dunia dan harga impor tahun sebelumnya.

Aldillah (2006) mencoba meramalkan permintaan dan penawaran jagung nasional dengan menggunakan model ARIMA. Dari hasil peramalannya menunjukkan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawarannya, sehingga kondisi neraca jagung nasional selalu defisit hingga tahun 2015. Rendahnya produksi jagung penyebab kecenderungan kecilnya pertumbuhan penawaran jagung.

Purnamasari (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia, menggunakan metode Two Stage Least

Squares (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 6.12. Dari hasil

estimasi model secara keseluruhan hasil analisis yang diperoleh, luas areal panen kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai domestik, harga jagung, dan lag luas areal panen kedelai. Dalam jangka panjang luas areal panen kedelai responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan perubahan harga jagung. Produktivitas kedelai dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap harga kedelai domestik adalah harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Harga kedelai di tingkat produsen dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi kedelai.

Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Dalam hal intervensi pemerintah, hasil analisis menunjukkan bahwa monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, mengupayakan agar petani kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya dari pengusaha terkait.

2.2. Kerangka Pemikiran