• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA OLEH SHOLIHATI DIYAN TIMOR H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA OLEH SHOLIHATI DIYAN TIMOR H"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA

OLEH

SHOLIHATI DIYAN TIMOR H14103022

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

SHOLIHATI DIYAN TIMOR. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Produksi dan Impor Jagung di Indonesia (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).

Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat kedua setelah beras

tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia, keberadaanya diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang harus bersaing dengan produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi di era globalisasi.

Produksi jagung Indonesia selama periode tahun 1985 – 2005 dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang disertai dengan peningkatan konsumsi jagung terutama untuk industri. Namun, masih terbatasnya produksi jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan

mengakibatkan impor jagung Indonesia pada kurun waktu tersebut juga mengalami peningkatan secara fluktuatif. Sebagian besar jagung yang diimpor berasal dari Cina, Amerika Serikat, dan Argentina.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung di Indonesia, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia, dan (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder deret waktu periode tahun 1985 – 2005, dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif dengan metode Two-Stages Least Squares (2SLS). Model yang digunakan adalah model persamaan simultan dan

menggunakan alat bantu piranti lunak Microsoft Office 2003 dan E-Views 4.1.

Jagung lokal dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang diproduksi, sedangkan jagung impor berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi jagung di Indonesia disebabkan oleh peningkatan luas areal dan produktivitas jagung. Luas areal mengalami peningkatan secara fluktuatif dan terkonsentrasi di Pulau Jawa, disamping itu terjadi pergeseran dari lahan kering ke lahan sawah beririgasi pada musim kemarau. Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif rendah karena sistem usaha tani belum optimal, yaitu sebagian besar petani masih menggunakan

(3)

benih varietas jagung lokal, penggunaan pupuk yang belum berimbang, dan masih terbatasnya penggunaan pestisida untuk pengendalian hama.

Meskipun secara nasional jumlah produksi jagung lebih besar dibandingkan jumlah konsumsi jagung selama periode tahun 1985 – 2005, akan tetapi impor jagung dari tahun ke tahun pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Hal tersebut karena industri pakan terus mengalami perkembangan. Industri pakan sebagai konsumen jagung terbesar membutuhkan bahan baku dari jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata). Di

satu sisi, jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia adalah jagung mutiara (Zea mays indurata). Perbedaan jenis jagung inilah penyebab peningkatan impor

jagung. Peran pemerintah untuk melindungi petani jagung dalam negeri adalah melalui tarif impor sebesar 5 – 10 persen dimana besarnya tarif yang diberlakukan disesuaikan dengan kondisi pertanian jagung Indonesia (musim panen atau tidak).

Hasil estimasi diperoleh pada taraf nyata lima persen. Untuk persamaan luas areal panen, variabel yang berpengaruh nyata adalah harga riil jagung di tingkat produsen, harga riil kedelai, tingkat suku bunga kredit, dan luas areal panen tahun sebelumnya; sedangkan untuk produktivitas jagung hanya variabel produktivitas tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata. Variabel harga riil jagung di tingkat produsen, tingkat inflasi, dan harga riil jagung lokal tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil jagung lokal, sementara variabel harga impor jagung dan jumlah impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap jumlah impor jagung Indonesia. Variabel nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, jumlah impor jagung, tarif impor jagung dan harga impor jagung tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga impor jagung Indonesia. Terdapat beberapa variabel yang berpengaruh nyata tetapi tidak sesuai dengan teori ekonomi/hipotesis, yaitu tingkat suku bunga kredit, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dan tarif impor jagung.

Untuk mewujudkan peningkatan produksi jagung sekaligus menurunkan impor jagung Indonesia adalah berupaya agar produksi jagung Indonesia lebih kompetitif melalui peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas akan tercapai dengan memperbaiki sistem usaha tani jagung, seperti beralih menggunakan benih varietas unggul (tipe jagung gigi kuda/Zea mays indentata),

penggunaan pupuk yang sesuai dengan rekomendasi, pengendalian hama dengan pestisida, dan beralih ke lahan sawah beririgasi. Dengan demikian, impor akan dapat diturunkan dan harga jagung di tingkat petani akan meningkat, sehingga menggairahkan petani untuk lebih banyak menanam jagung. Kebijakan pemerintah dalam hal nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, tarif impor jagung, dan harga yang lebih berpihak kepada petani sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tujuan pertanian jagung Indonesia.

(4)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA

Oleh

SHOLIHATI DIYAN TIMOR H14103022

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Sholihati Diyan Timor Nomor Registrasi Pokok : H14103022

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc NIP. 131 967 243

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Januari 2008

Sholihati Diyan Timor H14103022

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Sholihati Diyan Timor lahir pada tanggal 22 April 1985 di Pati, Jawa Tengah. Penulis adalah putri pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Sholeh dengan Rohayati. Riwayat pendidikan dimulai dari pendidikan TK Kenanga V Solo kemudian dilanjutkan pendidikan SD Negeri Palur 07 Solo sampai dengan kelas lima dan dilanjutkan di SD Negeri Cendono 04 Kudus sampai dengan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Kudus dan lulus pada tahun 2000, selanjutnya tahun pertama sekolah lanjutan atas penulis selesaikan di SMU Negeri 1 Sumber, Rembang dan dilanjutkan di SMU Negeri 1 Tayu, Pati sampai dengan lulus pada tahun 2003.

Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen Departeman Ilmu Ekonomi. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif pada organisasi Sharia Economics Student Club (SESC) pada Divisi Publikasi dan Informasi, Himpunan Profesi Ekonomi

Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada Departemen Research and Development,

dan Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Ilmiah (PKMI) yang berhasil menjadi finalis di tingkat IPB dan juara III presentasi terbaik pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XVIII (PIMNAS XVIII) di Padang tahun 2005.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala

karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penyusunan skripsi yang berjudul

“Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Jagung di Indonesia” dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya:

1. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Sahara, SP, M.Si selaku Penguji Utama atas saran dan kritik yang telah diberikan sehingga bermanfaat pada perbaikan skripsi ini.

3. Tony Irawan, SE, M.App.Ec selaku Penguji dari Komisi Pendidikan. 4. Papa dan Mama yang telah penuh dengan do’a dan kesabaran memberikan

motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

5. De Cecep, De Fahni, dan De Fifi yang tanpa bosan menghibur penulis di saat putus asa dan sedih.

6. Staf Tata Usaha Departemen Ilmu Ekonomi yang penuh kesabaran membantu penulis, baik pada saat seminar dan sidang.

7. Ibu Dewi Kartika selaku Kepala Bidang Tarif dan Non Tarif, Puslitbang Departemen Perdagangan beserta staf (Mas Bagas Haryotejo, Bang Leo Mualdy Christoffel, dan Mbak Aziza Rahmaniar Salam) yang telah membantu dalam pengumpulan data.

8. Bang Charlos Mangunsong, Andina Oktariani, dan Rina Maryani yang telah membantu dalam pengolahan data.

(9)

9. Deky Kurniawan yang telah menjadi pembahas pada seminar hasil penelitian beserta teman-teman yang menjadi peserta pada seminar tersebut.

10.Ika Sari Widayanti, Tirani Sakuntala Devi, dan Erni Dwi Lestari serta teman-teman sau bimbingan skripsi penulis (Hany Larassati, Pritta Amalia, dan Tuti Ratna Dewi) untuk saran dan kritik yang diberikan.

11.Conny, teman satu bumbingan skripsi sekaligus teman seperjuangan penulis untuk kata ”SEMANGAT” dan kebersamaan selama penyelesaian skripsi ini.

12.Teman-teman Ilmu Ekonomi 40, Wisma Melati, Moshi-moshi’s Crew (Teh

Manal, Kak Zaqie, Kak Tulus, Ennie, Eva, Neneng, Dewi, dan Luluk), Teh Ipah, Teh Itoh, Ceu’ Ani, Mbak Anna, dan ”Ndunk” untuk motivasi yang diberikan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berguna bagi pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2008

Sholihati Diyan Timor H14103022

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 13

2.1. Tinjauan Pustaka ... 13

2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga... 13

2.1.2. Teori Perdagangan Internasional... 21

2.1.3. Tarif... 25

2.1.4. Model Persamaan Simultan ... 27

2.1.5. Penelitian Terdahulu ... 28

2.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 33

2.2.1. Fungsi Produksi... 33

2.2.2. Fungsi Impor ... 40

2.2.3. Kerangka Pemikiran... 41

III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis dan Sumber Data... 44

3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 44

3.3. Persamaan Model Ekonometrika ... 45

3.3.1. Fungsi Produksi Jagung ... 45

3.3.2. Fungsi Luas Areal Jagung... 46

(11)

3.3.4. Fungsi Harga Jagung Lokal ... 48

3.3.5. Fungsi Impor Jagung Indonesia ... 48

3.3.6. Fungsi Harga Impor Jagung Indonesia ... 49

3.4. Hipotesis... 51

3.5. Identifikasi Model ... 52

3.6. Pengujian Model ... 54

3.6.1. Uji Dugaan Variabel secara Individu... 54

3.6.2. Uji Kesesuaian Model... 55

3.6.3. Uji Multikolinearitas ... 56

3.6.4. Uji Autokorelasi... 57

3.6.5. Uji Heteroskedastisitas... 58

3.7. Definisi Operasional ... 59

IV. PRODUKSI, KONSUMSI, DAN IMPOR JAGUNG DI INDONESIA... 62

4.1. Produksi Jagung di Indonesia ... 62

4.1.1. Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Jagung ... 62

4.1.2. Sistem Usaha Tani Jagung ... 69

4.2. Konsumsi Jagung di Indonesia ... 78

4.3. Impor Jagung di Indonesia... 84

V. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR JAGUNG ... 91

5.1. Hasil Dugaan Model ... 91

5.2. Dugaan Model Ekonometrika ... 93

5.2.1. Luas Areal Jagung... 93

5.2.2. Produktivitas Jagung ... 97

5.2.3. Harga Riil Jagung Lokal ... 99

5.2.4. Impor Jagung Indonesia ... 103

5.2.5. Harga Impor Jagung Indonesia ... 106

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 111

6.1. Kesimpulan ... 111

(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 115 LAMPIRAN... 119

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia

Tahun 1985 – 2005 ... 3

1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005... 8

4.1. Produksi Jagung Menurut Pulau Terbesar di Indonesia Tahun 2005 – 2007 ... 63

4.2. Perkembangan Produksi, Luas Areal Panen, dan Produktivitas Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005 ... 67

4.3. Jenis Pupuk dan Takaran Penggunaan ... 75

4.4. Produksi dan Konsumsi Jagung Indonesia Tahun 2000 – 2005 ... 79

4.5. Daftar Perusahaan Pakan di Indonesia... 81

4.6. Impor Jagung Indonesia Menurut Negara Asal (Kg)... 89

5.1. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung di Indonesia ... 93

5.2. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia... 97

5.3. Hasil Estimasi Persamaan Harga Riil Jagung Lokal di Indonesia ... 100

5.4. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ... 103

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Kurva Penawaran ...13

2.2. Kurva Permintaan ...19

2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional...23

2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif...24

2.5. Fungsi Produksi...38

2.6. Kerangka Pemikiran Operasional ...43

3.1. Bagan Alur Sistem Persamaan Simultan ...50

4.1. Kontribusi Sentra Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2005 – 2007...66

4.2. Perkembangan Jumlah Perusahaan Pakan di Indonesia Tahun 2001 – 2005 ...80

4.3. Perkembangan Harga Jagung Dunia dan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika ...84

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pohon Industri Jagung... 119 2. Produk Hasil Agroindustri Berbahan Baku Jagung ... 120 3. Data-data yang Digunakan dalam Penelitian ... 121 4. Hasil Estimasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung

di Indonesia ... 124 5. Uji Multikolinearitas Persamaan Luas Areal Panen Tanaman

Jagung di Indonesia... 124 6. Uji Autokorelasi Persamaan Luas Areal Panen Tanaman Jagung

di Indonesia ... 124 7. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Luas Areal Tanaman Jagung

di Indonesia ... 124 8. Hasil Estimasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia... 125 9. Uji Multikolinearitas Persamaan Produktivitas Jagung di

Indonesia ... 125 10. Uji Autokorelasi Persamaan Produktivitas Jagung di Indonesia ... 125 11. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Produktivitas Jagung di

Indonesia ... 125 12. Hasil Estimasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia ... 126 13. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Jagung Lokal di

Indonesia ... 126 14. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Jagung Lokal di Indonesia... 126 15. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Jagung Lokal di

Indonesia ... 126 16. Hasil Estimasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ... 127 17. Uji Multikolinearitas Persamaan Jumlah Impor Jagung

Indonesia ... 127 18. Uji Autokorelasi Persamaan Jumlah Impor Jagung Indonesia ... 127 19. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Jumlah Impor Jagung

Indonesia ... 127 20. Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor Jagung Indonesia... 128

(16)

21. Uji Multikolinearitas Persamaan Harga Impor Jagung

Indonesia ... 128 22. Uji Autokorelasi Persamaan Harga Impor Jagung

Indonesia ... 128 23. Uji Heteroskedastisitas Persamaan Harga Impor Jagung

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jagung sebagai salah satu komoditas subsektor tanaman pangan pada sektor pertanian memiliki peranan sangat penting dalam perekonomian nasional. Komoditi jagung mempunyai prospek yang cukup baik sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri. Seiring dengan perkembangan industri pakan, industri makanan olahan (snack food), dan produk industri turunan berbasis

jagung (integrated corn industry), jagung tidak hanya menjadi sumber karbohidrat

kedua setelah beras tetapi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, penyedia bahan baku industri serta menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir (Lampiran 1). Industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di Indonesia (85,84 persen) dibandingkan dengan industri snack food (6,44 persen) dan integrated corn industry (7,73 persen). Kebutuhan jagung sebagai pakan ternak pada tahun 2007

mencapai kurang lebih 6,5 juta ton, dimana sebanyak empat juta ton digunakan sebagai bahan baku pakan dan sisanya digunakan langsung oleh peternak (Departemen Perindustrian, 2007).

Perkembangan industri pakan diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industri peternakan yang selama ini harus bersaing dengan produk peternakan impor. Konsumsi produk peternakan seperti daging, telur, dan susu mengalami peningkatan karena tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berdaya

(18)

saing tinggi di era globalisasi. Kandungan protein pada daging, telur, dan susu lebih tinggi dibandingkan protein pada tahu. Jika harga protein telur Rp 75 per gram sama dengan harga protein tahu per gramnya tetapi telur memiliki kandnugan protein (12,5 persen) lebih besar dibandingkan tahu (7,5 persen), sedangkan kandungan protein pada daging, khususnya daging ayam mencapai 18,5 persen dengan harga protein daging ayam Rp 85 per gram sedikit lebih mahal dibandingkan dengan harga protein telur.

Rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk peternakan menyebabkan konsumsi akan protein hewani juga relatif rendah. Konsumsi daging masyarakat Indonesia tahun 2006 hanya sebesar 4,5 kg per kapita masih rendah dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,5 kg per kapita atau Thailand 14 kg per kapita. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, Indonesia sangat jauh tertinggal, karena konsumsi di kedua negara tersebut berturut-turu telah mencapai 28 kg per kapita dan 38,5 kg per kapita (Kompas, 2007). Oleh karena itu, ketersediaan jagung dalam negeri sangat penting mendukung pertumbuhan industri peternakan agar dapat berproduksi secara efisien sehingga harga produk peternakan terjangkau oleh masyarakat.

Sejak awal pertumbuhan industri peternakan dalam negeri pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri. Hal ini terbukti selama periode tahun 1985 – 2005 produksi jagung dalam negeri relatif meningkat seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.1. Peningkatan produksi jagung tersebut diupayakan melalui program Insus (Intensifikasi Khusus) yang berlanjut ke Supra Insus berupa percepatan peningkatan produksi jagung hibrida dan komposit.

(19)

Kemudian program perluasan areal tanam/panen dan peningkatan Intensitas Pertanaman (IP) di daerah-daerah penghasil jagung di Indonesia yang masih terdapat potensi lahan cukup luas untuk pengembangan usaha tani jagung yang mulai dirintis tahun 1996/1997. Tahun 2001 pemerintah mengadakan program Gema Palagung (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) diaktualisasikan dalam Upaya Khusus Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional (UPSUS PKPN) agar swasembada jagung dapat tercapai (Sumarno et al., 1998 dalam Sarasutha,

2002).

Tabel 1.1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia

Tahun

Produksi Jagung Indonesia (Ribu Ton)

Konsumsi Rumah Tangga (Ribu Ton)

Permintaan Industri (Ribu Ton) 1985 4.330 2.335,78 3.797,64 1986 5.920 1.974,96 5.193,08 1987 5.156 1.668,52 4.522,32 1988 6.652 1.603,10 5.834,75 1989 6.193 1.539,33 5.431,78 1990 6.734 1.450,80 5.906,78 1991 6.256 1.327,44 5.487,39 1992 7.995 1.211,73 7.013,25 1993 6.460 1.104,65 5.666,18 1994 6.869 893,55 6.025,07 1995 8.246 720,61 7.232,92 1996 9.307 584,06 8.164,04 1997 8.771 616,23 7.693,38 1998 10.169 650,04 8.920,20 1999 9.204 682,54 8.073,35 2000 9.677 728,37 8.488,13 2001 9.347 790,34 8.198,92 2002 9.585 863,29 8.407,76 2003 10.886 869,41 9.549,08 2004 11.225 877,37 9.846,26 2005 12.014 885,40 10.537,87 Rata-rata pertumbuhan 6,20% -4,25% 6,21%

(20)

Pertumbuhan produksi jagung tersebut telah mampu mencukupi konsumsi jagung secara nasional, bahkan dapat dikatakan surplus produksi karena terjadi penurunan konsumsi di tingkat rumah tangga meskipun konsumsi untuk industri meningkat, sehingga diperlukan terobosan teknologi pengolahan/penyajian (product development) untuk meningkatkan kembali konsumsi jagung di tingkat

rumah tangga. Pada dasarnya terdapat perbedaan jenis jagung yang dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok dan bahan baku industri, terutama industri pakan. Jenis jagung yang digunakan untuk bahan pangan pokok adalah jagung lokal yang ditanam pada ekosistem lahan kering dengan teknologi tradisional (subsisten), sehingga hasilnya relatif rendah. Jagung lokal termasuk ke dalam tipe jagung mutiara (Zea mays indurata) yang umumnya berwarna putih. Jagung untuk bahan

baku industri (jagung hibrida dan varietas unggul komposit) ditanam pada lahan sawah atau lahan kering beriklim basah dengan menerapkan teknologi maju. Berdasarkan tipenya termasuk ke dalam jagung gigi kuda (Zea mays indentata)

yang umumnya berwarna kuning.

Mengingat industri pakan merupakan konsumen terbesar jagung di dalam negeri dan jenis jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan belum banyak diproduksi oleh petani jagung dalam negeri, maka kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan sejauh ini dipenuhi melalui impor. Pemerintah akan mengijinkan impor jagung selama kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan belum mampu dipenuhi produksi jagung dalam negeri. Akibat masih terbatasnya produksi jagung yang digunakan industri pakan perkembangan impor jagung Indonesia relatif meningkat selama periode tahun 1985 – 2005 secara fluktuatif.

(21)

Kebijakan impor jagung dipilih sebagai cara untuk mengatasi kekurangan dan kontinuitas pasokan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang digunakan

sebagai bahan baku industri pakan. Pemerintah tidak ingin memberatkan industri pakan sebagai pendukung pertumbuhan industri peternakan menanggung biaya produksi yang tinggi sebab hal tersebut akan berakibat pada tingginya harga produk peternakan. Di satu sisi, pemerintah harus tetap memperhatikan petani jagung dalam negeri agar memperoleh pendapatan yang layak dari usaha tani jagung. Impor jagung yang terus meningkat akan berakibat pada rendahnya insentif yang diterima petani jagung, sehingga akan menyebabkan bahaya latent,

yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Peningkatan impor jagung juga berdampak negatif pada terkurasnya devisa negara dan neraca perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia yang semakin defisit.

Oleh karena itu, upaya-upaya untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia, terutama jagung gigi kuda (Zea mays indentata) perlu segera

ditingkatkan agar secara bertahap Indonesia mampu mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan impor jagung. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar produksi jagung Indonesia dapat lebih ditingkatkan dan mampu mencukupi konsumsi jagung, terutama industri pakan adalah berawal dari perbaikan transparansi data produksi. Data produksi jagung Indonesia belum dijelaskan apakah produksi jagung berupa jagung kering pipilan dengan kadar air 17 persen atau bentuk lain, seperti tanaman jagung, jagung sayur atau tongkol. Data yang belum terspesifikasi sesuai dengan jenis jagung juga mempersulit analisis konsumsi jagung sebagai bahan baku industri. Kemudian memperbaiki

(22)

variabel utama dalam penentuan produksi jagung, yaitu luas areal panen dan produktivitas jagung. Peningkatan produksi jagung selama ini diduga dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas per hektar areal penanamannya, sedangkan jika terjadi fluktuasi produksi antara lain karena mengikuti pola luas areal panen. Di tahun 2005 produktivitas jagung Indonesia (3,43 ton per hektar) masih relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas jagung dunia (4,72 ton per hektar) namun Indonesia masih berpotensi besar untuk meningkatkan produktivitas jagung melalui perbaikan sistem usaha tani jagung.

Seiring dengan upaya peningkatan produksi melalui faktor-faktor di atas, impor jagung Indonesia yang relatif meningkat dari tahun ke tahun meskipun kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika memiliki kecenderungan terdepresiasi juga perlu segera diatasi. Faktor utama penyebab terjadinya peningkatan impor jagung Indonesia, selain jenis jagung gigi kuda (Zea mays indentata) yang masih terbatas di Indonesia adalah tingkat harga jagung dunia

yang relatif selalu menurun karena ketersediaan jagung di pasar dunia selalu melimpah akibat peningkatan ekspor jagung Amerika Serikat dan Cina. Faktor lain yang menjadi pendorong para pengusaha pakan melakukan impor adalah efisiensi, dimana pengusaha pakan hanya berurusan dengan seorang eksportir jagung dari negara asal. Jika membeli jagung lokal pengusaha pakan harus mengumpulkan jagung sedikit demi sedikit dari beberapa petani di berbagai wilayah sebagai pasokan bahan baku dengan kualitas yang belum terstandarisasi dan tidak kontinu setiap waktu. Tarif impor juga dianggap sebagai faktor penting

(23)

yang harus dianalisis secara tepat, sebab tarif impor diharapkan dapat membatasi impor jagung ketika sedang dalam musim panen.

Berdasarkan gambaran kondisi produksi, konsumsi, dan impor komoditi jagung di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu kajian atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor jagung Indonesia sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang berperan penting dalam produksi dan impor jagung sekaligus mengetahui hal-hal apa saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri dan mengurangi impor jagung ke Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Produksi jagung Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode tahun 1985 – 2005 ternyata disertai dengan peningkatan konsumsi jagung terutama untuk industri. Jumlah produksi jagung yang lebih besar dibandingkan dengan konsumsi jagung menunjukkan bahwa tidak pernah terjadi ketimpangan antara produksi dan konsumsi jagung secara nasional. Akan tetapi, selama kurun waktu tersebut impor jagung Indonesia memiliki kecenderungan meningkat secara fluktuatif. Perbedaan jenis jagung yang banyak diproduksi di Indonesia dengan jenis jagung yang diimpor merupakan penyebab utama peningkatan impor meskipun Indonesia dapat dikatakan telah surplus produksi. Produksi jagung lokal Indonesia yang umumnya tipe jagung mutiara (Zea mays indurata) hanya enak dikonsumsi langsung sebagai campuran beras

(24)

Upaya untuk mengatasi kekurangan jagung gigi kuda (Zea mays indentata) sebagai akibat tingginya konsumsi jagung sebagai bahan baku industri

pakan, pemerintah Indonesia mengijinkan para pengusaha pakan untuk mengimpor jagung yang setiap tahunnya meningkat dan bahkan mulai tahun 1990-an status Indonesia telah berubah menjadi negara net importir jagung (Tabel 1.2) (Kasryno, 2002 dalam Kariyasa dan Sinaga, 2004). Hal tersebut telah berdampak positif pada pengembangan sumber pendapatan dan lapangan kerja yang luas bagi peternakan rakyat. Jika sejak awal perkembangan industri pakan dan peternakan disertai dengan antisipasi yang efektif dalam memenuhi kebutuhan jagung maka ketergantungan pada impor jagung tidak akan terjadi.

Tabel 1.2. Perkembangan Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun 1985 – 2005

Tahun Ekspor Impor

1985 3.542 49.863 1986 4.433 57.369 1987 4.680 220.998 1988 37.454 63.454 1989 232.093 33.340 1990 136.641 515 1991 30.742 323.176 1992 136.523 55.498 1993 52.088 494.446 1994 34.091 1.109.253 1995 74.880 969.145 1996 26.830 616.942 1997 18.957 1.098.354 1998 632.515 313.463 1999 96.647 618.060 2000 28.066 1.264.575 2001 90.474 1.035.797 2002 16.306 1.154.063 2003 33.691 1.345.452 2004 32.679 1.088.928 2005 62.748 234.706 Rata-rata pertumbuhan 241,14% 3182% Sumber: Departemen Pertanian, 2006

(25)

Sebelum tahun 1980 penggunaan jagung di Indonesia hanya sebatas untuk kebutuhan konsumsi langsung oleh sekelompok masyarakat di daerah-daerah tertentu. Pada tahun 1980 sekitar 94 persen penggunaan jagung untuk memenuhi konsumsi langsung dan hanya sekitar enam persen untuk industri pakan. Selama periode 1980 – 2002 penggunaan jagung masih didominasi untuk kebutuhan konsumsi langsung tetapi pangsanya relatif menurun. Sejak tahun 2003 pangsa penggunaan jagung untuk kebutuhan konsumsi langsung relatif lebih kecil dibandingkan untuk penggunaan industri pakan. Selama periode 2000 – 2004 penggunaan jagung untuk konsumsi langsung menurun dengan laju sekitar dua persen per tahun, sementara penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri pangan meningkat masing-masing sebesar 5,76 persen per tahun dan tiga persen per tahun (Departemen Pertanian, 2005).

Konsumsi jagung oleh negara berkembang relatif meningkat karena pola konsumsi terhadap produk peternakan cenderung meningkat akibat pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan urbanisasi. Pasandaran dan Kasryno (2003) menjelaskan bahwa peningkatan permintaan jagung sebagai bahan baku pakan di negara-negara berkembang dihadapkan pada permasalahan lambannya peningkatan produksi jagung dalam negeri di negara masing-masing. Perkembangan perdagangan ekspor-impor jagung Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan defisit dan mencapai puncaknya pada tahun 2003, yaitu sebesar 1,31 juta ton atau setara 163,41 juta US$ (Tabel 1.2). Hal ini disebabkan karena penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan di dalam negeri meningkat cukup tajam selama periode 1990 – 2001 dengan laju

(26)

sekitar 11,81 persen per tahun. Mulai tahun 1994 ketergantungan industri pakan terhadap jagung impor sangat tinggi, yaitu sekitar 40,29 persen. Pada tahun 2000 penggunaan jagung impor dalam industri pakan sudah mencapai 47,04 persen, sementara 52,96 persen sisanya berasal dari jagung produksi dalam negeri.

Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi oleh pertanian jagung Indonesia, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi jagung di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Mengkaji perkembangan produksi, konsumsi, dan impor jagung Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di

Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor jagung di Indonesia.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh seluruh

stakeholder dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan produksi jagung

Indonesia dan mengurangi bahkan menghapus ketergantungan impor jagung. Adapun stakeholder yang terkait dalam hal ini diantaranya mencakup tiga pihak,

(27)

konsumen jagung), dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang terkait dalam bidang ini.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian terhadap sistem pertanian jagung nasional dimana selalu terjadi kesenjangan dari waktu ke waktu. Permasalahan produksi jagung di Indonesia yang dianalisis dalam penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang diproduksi (jagung lokal, jagung hibrida atau jagung komposit) oleh petani jagung di Indonesia sehingga data produksi yang digunakan adalah data produksi jagung nasional. Analisis impor jagung Indonesia dalam penelitian ini didasarkan pada kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn dan tidak dibedakan berdasarkan negara asal impor. Berdasarkan

pola data historis produksi dan impor jagung Indonesia dari tahun 1985 – 2005 dapat disimpulkan apakah terjadi kecenderungan meningkat atau menurun.

Adapun keterbatasan dari penelitian ini dimana tujuan dan penelitian dapat dicapai dengan menggunakan data historis yang ada, antara lain:

1. Data yang digunakan adalah data tahunan, sehingga model persamaan yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi semesteran, bulanan, mingguan atau bahkan harian.

2. Terdapat beberapa faktor yaitu data curah hujan rata-rata di Indonesia; jumlah penggunaan pupuk rata-rata di Indonesia; intensifikasi luas lahan kering, sawah, dan pasang surut; harga benih jagung lokal, hibrida, dan komposit yang dapat mewakili harga faktor produksi selain harga pupuk

(28)

urea yang diduga berpengaruh dalam menganalisis produktivitas jagung di Indonesia.

3. Data produksi, luas areal panen, produktivitas, konsumsi, dan harga jagung tidak dibedakan berdasarkan jenis jagung yang terdapat di Indonesia.

4. Data impor jagung berupa volume dan nilai impor jagung Indonesia yang digunakan tidak dibedakan berdasarkan jenis-jenis jagung yang diimpor dan negara asal impor jagung baik oleh perusahaan pakan maupun importir, sehingga data impor yang digunakan hanya berdasarkan kode HS Nomor 1005.90.10.00 yaitu yellow maize atau corn.

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Teori Penawaran, Permintaan, dan Harga

Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa dalam lingkup ekonomi merupakan jumlah suatu barang atau jasa (komoditi) yang rela dan mampu dijual oleh para produsen dalam jangka waktu tertentu dan pada tingkat harga tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas pertanian yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu daerah. Hubungan yang terjadi antara harga dan jumlah yang ditawarkan adalah positif, yaitu semakin tinggi harga suatu komoditi (dari 0P1 ke 0P2), semakin banyak jumlah komoditi yang ditawarkan produsen (dari 0Q1 ke 0Q2) (Gambar 2.1). Harga barang Kurva Penawaran P2 P1 0 Q1 Q2 Jumlah barang

Gambar 2.1. Kurva Penawaran

Sebaliknya, semakin rendah harga suatu komoditi semakin sedikit jumlah komoditi yang ditawarkan. Soekartawi (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007)

(30)

menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran produk pertanian meliputi teknologi, harga input, harga produk yang lain, jumlah produsen, harapan konsumen, dan elastisitas produksi.

Asumsi yang digunakan dalam teori penawaran ini adalah ceteris paribus,

yaitu keadaan dimana faktor-faktor lain dianggap tetap. Misalnya, apabila harga komoditi itu sendiri naik, diasumsikan ceteris paribus berarti faktor-faktor selain

harga komoditi itu sendiri tidak mengalami perubahan (Lipsey, 1995). Jumlah produksi yang ditawarkan di pasaran berasal dari produksi pada waktu tertentu dan inventory (persediaan) dari periode-periode sebelumnya.

Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara matematis dapat dituliskan dengan fungsi sebagai berikut: QSK=f(PK, PS, PI, G, T, TX) ... (2.1) dimana:

QSK = Penawaran komoditi PK = Harga komoditi itu sendiri

PS = Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer) PI = Harga faktor produksi

G = Tujuan perusahaan

T = Tingkat penggunaan teknologi TX = Pajak dan subsidi

Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi secara langsung adalah:

(31)

1. Harga komoditi itu sendiri.

Dalam keadaan ceteris paribus, harga komoditi itu sendiri mempunyai

hubungan yang positif terhadap jumlah barang yang ditawarkan. Tingkat harga yang tinggi pada komoditi tersebut akan membuat produsen menambah produksinya sehingga penawaran meningkat. Hal ini karena peningkatan harga akan meningkatkan keuntungan produsen. Sebaliknya jika harga komoditi tersebut menurun, minat produsen untuk berproduksi akan berkurang sehingga penawaran akan turun. Dengan demikian, perubahan harga suatu komoditi akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.

2. Harga komoditi lain (substitusi atau komplementer).

Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Komoditi lain, baik substitusi maupun komplementer juga mempengaruhi komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga barang sustitusi akan menyebabkan penurunan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sebaliknya, penurunan harga barang substitusi akan meningkatkan penawaran komoditi yang bersangkutan. Sementara untuk barang komplementer, kenaikan harganya akan menyebabkan peningkatan penawaran komoditi yang bersangkutan. Demikian juga sebaliknya, penurunan harga barang komplementer akan berakibat turunnya penawaran komoditi yang bersangkutan.

(32)

3. Harga faktor-faktor produksi.

Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Faktor-faktor produksi seperti mesin, tenaga kerja, dan bahan baku akan mempengaruhi jumlah komoditi yang ditawarkan. Semakin tinggi harga faktor-faktor produksi, maka keuntungan yang diperoleh produsen berkurang, sehingga insentif produsen untuk berproduksi juga berkurang. Jadi, kenaikan harga faktor-faktor produksi akan menurunkan jumlah komoditi yang diproduksi dan ditawarkan.

4. Tujuan perusahaan.

Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa yang menjadi tujuan perusahaan. Teori dasar ilmu ekonomi menyatakan bahwa tujuan perusahaan adalah memaksimumkan laba. Akan tetapi, terdapat juga perusahaan yang tidak berorientasi kepada maksimisasi laba. Perusahaan seperti itu dapat meningkatkan ataupun menurunkan produksinya tanpa terlalu memperhitungkan laba atau rugi yang akan diperoleh perusahaan. 5. Tingkat penggunaan teknologi.

Kunci utama dari penawaran suatu komoditi adalah teknologi. Teknologi mengacu kepada bagaimana input diproses menjadi output. Apabila teknologi yang digunakan dapat mempercepat proses produksi atau mengurangi biaya produksi, maka keuntungan dan insentif produsen untuk berproduksi akan meningkat. Akibatnya jumlah komoditi yang ditawarkan akan meningkat. Jadi teknologi yang digunakan berkolerasi positif terhadap penawaran suatu komoditi.

(33)

6. Pajak dan subsidi.

Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif untuk berproduksi. Maka, penawaran komoditi tersebut akan berkurang. Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan meningkat.

Asumsi ceteris paribus digunakan dalam pasar persaingan sempurna, dimana

perubahan semua faktor kecuali harga komoditi yang bersangkutan dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran yang berarti peningkatan dalam penawaran akan berakibat turunnya harga komoditi tersebut, dan sebaliknya.

Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu dan kondisi tertentu (Pappas dan Hirschey, 1995). Dalam teori ekonomi mikro untuk mempelajari perilaku konsumen atau masyarakat dalam mengonsumsi barang dan jasa dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal. Menurut Sudarisman dan Algifari (1999) dalam Rahim dan Hastuti (2007), pendekatan kardinal menganggap seorang konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa selalu berusaha memperoleh kepuasan total yang maksimum dari barang dan jasa yang dikonsumsi. Sedangkan pendekatan ordinal adalah kepuasan konsumen dapat diukur secara kondirol (absolut), tetapi kepuasannya hanya mungkin dapat diukur dengan angka ordinal (relatif). Iswardono (1994) juga menjelaskan

(34)

faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan secara sistematis dapat dituliskan sebagai berikut:

QDK=f(PK, PS, I, S, PD) ... (2.2) dimana:

QDK = Permintaan komoditi PK = Harga komoditi itu sendiri PS = Harga komoditi lain I = Pendapatan S = Selera

PD = Populasi penduduk

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan suatu komoditi secara langsung adalah:

1. Harga komoditi itu sendiri.

Dengan asumsi ceteris paribus, peningkatan harga komoditi yang

bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan penurunan harga komoditi yang bersangkutan akan meningkatkan permintaannya. Permintaan dan harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.

2. Harga komoditi lain.

Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan permintaan barang yang bersangkutan akan mennurun

(35)

jika harga komoditi substitusi turun. Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.

3. Pendapatan.

Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.

4. Selera.

Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera. Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu. 5. Populasi penduduk.

Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.

Harga barang

P2 P1

Kurva Permintaan

0 Q2 Q1 Jumlah barang

(36)

Hubungan antara harga dengan jumlah barang yang akan dibeli adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ketika produsen meningkatkan harga barang, maka yang terjadi pada jumlah barang yang akan dibeli akan berkurang. Kemudian ketika harga barang diturunkan konsumen akan bersedia membeli lebih banyak barang sehingga jumlah barang yang diminta akan meningkat (Gambar 2.2).

Permintaan suatu komoditas pertanian adalah banyaknya komoditas pertanian yang dibutuhkan dan dibeli oleh konsumen (Soekartawi, 1999 dalam Rahim dan Hastuti, 2007). Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen) berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak).

Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan permintaan. Harga merupakan sinyal kelangkaan (scarcity) suatu sumberdaya

yang mengarahkan pelaku ekonomi untuk mengalokasikan sumberdayanya (Sunaryo, 2001). Perpotongan kurva penawaran dengan kurva permintaan suatu komoditi dalam suatu pasar menentukan harga pasar komoditi tersebut, dimana jumlah komoditi yang diminta sama dengan jumlah komoditi yang ditawarkan. Dengan kata lain, keseimbangan harga pasar merupakan hasil interaksi kekuatan penawaran dan permintaan kmoditi di pasar (Nicholson, 1995).

Harga pasar mempunyai dua fungsi utama, yaitu sebagai: (1) pemberi informasi tentang jumlah komoditi yang sebaiknya dipasok oleh produsen untuk

(37)

memperoleh laba maksimum; (2) penentu tingkat permintaan bagi konsumen yang menginginkan kepuasan maksimum (Nicholson, 1995).

Permintaan mempengaruhi harga secara positif, dimana jika permintaan turun maka kuantitas komoditi yang ada di pasar cenderung berlebihan sehingga produsen akan menawarkan komoditinya dengan harga yang lebih rendah. Sedangkan penawaran mempengaruhi harga secara negatif, dimana jika penawaran meningkat maka harga akan cenderung turun dikarenakan kuantitas komoditi yang ada lebih besar daripada yang diinginkan konsumen (Nicholson, 1995).

2.1.2. Teori Perdagangan Internasional

Teori perdagangan internasional menganalisis dasar-dasar terjadinya perdagangan internasional serta keuntungan yang diperoleh suatu negara dari pelaksanaan perdagangan internasional tersebut. Pada dasarnya perdagangan internasional bertujuan untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor dan memperbesar penerimaan devisa sebagai penyediaan dana pembangunan bagi negara yang bersangkutan. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa para aliran Merkantilisme berpendapat satu-satunya cara bagi sebuah negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkan selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam mulia, khususnya emas dan perak. Kaum Merkantilisme mengukur kekayaan sebuah negara dengan stok (cadangan) logam mulia yang dimilikinya.

(38)

Lain halnya dengan Adam Smith yang berpendapat bahwa perdagangan antara dua negara didasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika

sebuah negara lebih efisien daripada (atau memiliki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolut. David Ricardo berpendapat meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi kedua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (ini merupakan komoditi dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditi ini memiliki kerugian absolut).

Pada umumnya model perdagangan internasional didasarkan pada empat hubungan inti, antara lain sebagai berikut:

1. Hubungan antara batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva penawaran relatif.

2. Hubungan antara harga-harga relatif dengan tingkat permintaan.

3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan permintaan relatif dunia.

(39)

4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade),

yaitu harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya, terhadap kesejahteraan suatu negara.

Px/Py Px/Py Px/Py Sx S(Ekspor) Sx Eks- por P3 A” P3 A’ P2 B E B” B’ E’ Im- por A D(Impor) P1 A” Dx x1 X x X x2 X Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3

(Negara 1) (Negara 2) (Negara 3) Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.3. Mekanisme Perdagangan Internasional

Keterangan gambar:

Kurva 1: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 1 (x1).

Kurva 2: Menggambarkan perdagangan internasional komoditi X negara 1 dan 2 (x).

Kurva 3: Menggambarkan keadaan pasar komoditi X di negara 2 (x2).

Mekanisme perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2.3. Negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X (Px/Py) sebesar P1 sebanyak x1, sedangkan negara 2 akan berproduksi dan berkonsumsi di titik A’ pada harga relatif komoditi X di P3 sebanyak x2. Setelah hubungan perdagangan berlangsung di antara kedua negara

(40)

tersebut, harga relatif komoditi X akan berada di antara P1 dan P2. Apabila harga relatif yang berlaku di negara 1 lebih besar dari P1, maka negara 1 akan memasok lebih banyak daripada tingkat permintaan (konsumsi) domestiknya. Kelebihan produksi tersebut akan diekspor ke negara 2. Di lain pihak, jika harga relatif yang berlaku di negara 2 lebih kecil dari P3, maka negara 2 akan mengalami peningkatan permintaan, sehingga tingkat permintaan akan melebihi penawaran domestiknya. Hal ini akan mendorong negara 2 untuk mengimpor komoditi X dari negara 1. Px Dx Sx E P2 G J H P1 A C M N B X T RE RE = Revenue Effect Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 2.4. Dampak Keseimbangan Parsial Akibat Pemberlakuan Tarif

Kurva pada Gambar 2.4 menunjukkan dampak diberlakukannya tarif impor di suatu negara. Sebelum adanya tarif impor harga komoditi berada pada P1 dengan konsumsi dan produksi domestik masing-masing berada di D1 (AB) dan S1 (AC), sehingga harus melakukan impor komoditi X sebesar CB dari negara lain. Jika negara tersebut memberlakukan tarif impor sebesar T, maka harga akan melonjak menjadi P2. Akibat kenaikan harga tersebut maka konsumen akan

(41)

menurunkan konsumsinya menjadi D2 (AN), dan produksi meningkat menjadi S2 (AM), sehingga impor turun menjadi sebesar MN. Dengan demikian maka dampak adanya tarif terhadap konsumsi domestik bersifat negatif, yaitu sebesar BN. Sementara itu dampak terhadap produksi domestik bersifat positif, yaitu meningkatkan produksi sebesar CM. Secara keseluruhan, pemberlakuan tarif memberi pemasukan terhadap penerimaan pemerintah (revenue effect of the tariff) sebesar banyaknya tarif (T) dikali banyaknya komoditi X yang diimpor

setelah tarif (MN), yaitu sebesar MNHJ.

2.1.3. Tarif

Tarif adalah pajak produk internasional (impor) di pasar domestik (Sunaryo, 2001). Sedangkan, menurut Smith dan Blakslee (1995) yang dimaksud tarif adalah bea masuk (atau pajak) yang dikenakan terhadap barang yang diangkut dari satu wilayah pabean ke wilayah pabean lain, baik dengan tujuan untuk melindungi atau untuk memperoleh penghasilan. Tarif menyebabkan harga suatu barang impor lebih tinggi, sehingga membuat barang tersebut secara umum kurang dapat bersaing di pasar negara pengimpor, kecuali jika negara pengimpor tersebut tidak menghasilkan barang yang dikenai tarif tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menentukan dan memberlakukan tarif atas suatu komoditi impor bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri.

Hady (2004) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya, sistem (cara pemungutan) tarif bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:

(42)

1. Ad Valorem Tariff

Besarnya pungutan tarif atas barang impor ditentukan oleh tingkat persentase tarif dikalikan harga dari barang tersebut. Sistem ini memberikan keuntungan sebagai berikut:

1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga (inflasi). 2. Terdapat diferensiasi harga produk sesuai kualitasnya. Sedangkan kerugian dari sistem ini antara lain:

1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan, khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga barang yang lengkap.

2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk perhitungan bea masuk antara importir dan bea cukai sehingga dapat menimbulkan stagnasi (kemacetan) arus barang di pelabuhan.

2. Specific Tariff

Pungutan tarif ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. Keuntungan yang diperoleh jika menetapkan sistem ini antara lain:

1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang sesuai kualitasnya.

2. Dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi industri dalam negeri. Adapun kerugian dalam penetapan sistem ini adalah sebagai berikut:

1. Pengenaan tarif dirasakan kurang atau tidak adil karena tidak membedakan harga atau kualitas barang.

(43)

2. Hanya dapat digunakan sebagai alat kontrol proteksi yang bersifat statis.

3. Compound Tariff

Pungutan tarif ini merupakan perpaduan antara sistem ad valorem dan specific tariff.

2.1.4. Model Persamaan Simultan

Model empirik yang baik dalam menjelaskan fenomena ekonomi adalah model yang dibuat sebagai suatu persepsi mengenai fenomena ekonomi aktual dan didasarkan pada teori ekonomika. Ada beberapa model empirik yang dianggap paling baik dalam kerangka model persamaan tunggal, yaitu model empirik dengan pendekatan koreksi kesalahan atau sering disebut error correction method

(ECM) (Insukindro dan Aliman, 1999 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001). Akan tetapi model koreksi kesalahan mempunyai kelemahan yang paling berbahaya dalam model koreksi kesalahan, yaitu kemungkinan terjadinya overparameterisasi (Breusch dan Wickens, 1998 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).

Pada banyak penelitian, terkadang peneliti dihadapkan pada fenomena ekonomi aktual yang saling mempengaruhi antara variabel ekonomi yang satu dengan yang lain dan telah disepakati sebagai suatu teori ekonomika. Hal ini biasa disebut dalam teori ekonometrika sebagai model persamaan simultan (simultaneous-equation models). Berbeda dengan model regresi persamaan

tunggal dimana variabel terikat (dependent variable) dinyatakan sebagai sebuah

fungsi linier dari satu atau lebih variabel bebas (independent variable), sehingga

(44)

hubungan satu arah (variabel bebas merupakan penyebab dan variabel terikat merupakan akibat). Model persamaan simultan merupakan suatu model dimana sejumlah persamaan membentuk suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan di antara berbagai variabel dalam persamaan-persamaan tersebut, misalnya variabel terikat (Y) tidak hanya merupakan fungsi dari variabel bebas (X) atau (Y)=f(X) akan tetapi X=f(Y) (Sprout dan Weaver, 1993 dalam Pasaribu dan Saleh, 2001).

Di dalam model persamaan simultan tidak mungkin menaksir hanya satu persamaan dengan mengabaikan informasi yang ada pada persamaan lainnya, kecuali jika dibuat asumsi khusus. Perbedaannya dengan metode penaksiran parameter dengan ordinary least squares (OLS) adalah pada metode ini dari setiap

persamaan satu per satu diterapkan tanpa memperhatikan kaitannya dengan persamaan-persamaan lain, maka hasil penaksiran yang diperoleh tidak saja bias tetapi juga tidak konsisten. Artinya jika jumlah sampel ditambah sampai tak terhingga, penaksiran tidak akan mendekati atau tidak menggambarkan nilai parameter yang sesungguhnya (Pasaribu dan Saleh, 2001).

2.1.5. Penelitian Terdahulu

Subandi (1998) dalam Nugraha, et al. (2003) menjelaskan bahwa

rendahnya rata-rata hasil produksi jagung nasional disebabkan oleh interaksi dari beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Lahan. Sekitar 89 persen jagung dibudidayakan pada lahan sawah tadah hujan dan tegalan dengan curah hujan yang tidak menentu, sehingga sering

(45)

mengalami kekeringan atau tergenang, serta pada tanah-tanah yang umumnya memiliki kesuburan rendah, pH basa atau masam.

2. Petani. Petani jagung umumnya memiliki sumber daya yang terbatas, lahan sempit dan terpencar dan banyak di antaranya terletak di daerah terpencil dengan fasilitas komunikasi serta akses terhadap masukan yang terbatas. Hal ini menyebabkan rendahnya adopsi teknologi baru.

3. Teknik budidaya yang diterapkan petani. Banyak petani yang mungkin dianggap telah mengadopsi teknologi baru, namun kebanyakan mereka masih menerapkan sebagian atau seluruh teknik budidaya tradisional dengan masukan rendah, seperti mutu benih rendah, varietas lokal berdaya hasil rendah, tanpa atau dengan pupuk takaran rendah, tanpa perlindungan hama dan penyakit, dan populasi tanaman tidak memadai. Karena kemampuan investasi dan daya tarik harga produk yang rendah, petani menganggap bahwa teknologi baru, terutama hibrida, merupakan teknologi yang mahal.

4. Penanganan pasca panen. Sekitar 69 persen jagung dipanen pada musim hujan dan pengeringan sangat tergantung pada sinar matahari dan lantai jemur. Kadar air jagung setelah penjemuran biasanya hanya mencapai 16 – 18 persen walaupun pada musim kemarau. Kontaminasi aflatoksin terutama pada musim hujan dapat menurunkan mutu biji jagung yang dihasilkan.

5. Harga. Di tingkat petani, harga jagung beragam tergantung pada daerah, dengan kisaran 35 – 64 persen dari harga di pasar kabupaten. Harga yang

(46)

lebih rendah di tingkat petani biasanya terjadi di daerah-daerah terpencil. Fluktuasi daya serap pasar dengan harga produk yang rendah ini kurang memacu petani untuk mengadopsi teknologi baru. Kemitraan antara pengusaha pakan dan petani dalam produksi dan pemasaran jagung telah terjalin akhir-akhir ini, namun komitmen dalam pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati masih perlu ditingkatkan.

6. Dukungan pemerintah. Berbagai dukungan telah diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung domestik, seperti penelitian pengembangan varietas, penyuluhan, produksi benih, kredit, kebijakan harga dan pemasaran jagung, namun dukungan yang lebih efektif masih diperlukan.

Pasandaran dan Kasryno (2003) melakukan penelitian di sentra utama produksi jagung di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi jagung di enam propinsi sentra produksi jagung berbeda-beda. Di Sumatera Utara produksi jagung lebih diorientasikan untuk komersiil (dijual), sedangkan di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan digunakan untuk bahan pangan pokok, dan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bahan pangan pokok dan bahan baku industri. Namun, tujuan tersebut mengalami pergeseran pangsa setelah pabrik pakan mulai berkembang, produksi jagung lebih diorientasikan sebagai bahan baku pakan. Perubahan lain yang terjadi adalah pergeseran penanaman jagung dari lahan kering ke lahan

(47)

beririgasi, yang ternyata telah mampu meningkatkan produktivitas, di samping karena penggunaan hibrida.

Kasryno (2003) menganalisis perkembangan produksi jagung di Indonesia, yang ternyata produktivitas menjadi faktor utama peningkatan produksi jagung, meskipun luas panen jagung relatif tidak banyak mengalami perubahan. Produktivitas dapat ditingkatkan melalui inovasi dan adopsi teknologi baru, berupa varietas jagung unggul baru. Peningkatan produktivitas jagung akan meningkatkan insentif petani untuk menanam jagung sehingga produksi akan meningkat.

Rachman (2003) menganalisis kebijakan perdagangan jagung domestik dalam penelitiannya yang berjudul Perdagangan Internasional Komoditas Jagung, dapat disimpulkan bahwa penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai langkah antisipatif terhadap penurunan harag jagung di pasar internasional dan untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas.

Situmorang (2005) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras Indonesia menggunakan model persamaan simultan dengan metode Two Stage Least Squares. Sebagai komoditi yang juga termasuk

dalam lingkup ketahanan pangan, ternyata produksi beras dipengaruhi oleh luas arel panen tanaman padi, produktivitas padi, dan kebijakan harga dasar gabah. Sedangkan dalam hal impor beras dipengaruhi harga impor beras, dimana harga impor beras dipengaruhi oleh harga beras dunia dan harga impor tahun sebelumnya.

(48)

Aldillah (2006) mencoba meramalkan permintaan dan penawaran jagung nasional dengan menggunakan model ARIMA. Dari hasil peramalannya menunjukkan bahwa permintaan jagung selalu melebihi penawarannya, sehingga kondisi neraca jagung nasional selalu defisit hingga tahun 2015. Rendahnya produksi jagung penyebab kecenderungan kecilnya pertumbuhan penawaran jagung.

Purnamasari (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor kedelai di Indonesia, menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS) dengan menggunakan program SAS version 6.12. Dari hasil

estimasi model secara keseluruhan hasil analisis yang diperoleh, luas areal panen kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai domestik, harga jagung, dan lag luas areal panen kedelai. Dalam jangka panjang luas areal panen kedelai responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik dan perubahan harga jagung. Produktivitas kedelai dipengaruhi secara nyata oleh curah hujan, harga riil jagung, dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap harga kedelai domestik adalah harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Harga kedelai di tingkat produsen dipengaruhi secara nyata oleh jumlah produksi kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Jumlah impor kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai internasional, jumlah populasi, jumlah produksi kedelai dan jumlah konsumsi kedelai.

(49)

Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga kedelai internasional, nilai tukar, dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Dalam hal intervensi pemerintah, hasil analisis menunjukkan bahwa monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia masih perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, mengupayakan agar petani kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi pendampingan teknis berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya dari pengusaha terkait.

2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Fungsi Produksi

Produksi adalah tindakan dalam membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa (Lipsey, 1993). Produksi komoditas pertanian merupakan hasil proses dari lahan pertanian dalam arti luas berupa komoditas pertanian (pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan) dengan berbagai pengaruh faktor-faktor produksi dan faktor-faktor hasil tangkapan (perahu, alat tangkap, nelayan, jumlah trip, operasional dan musim) (Rahim dan Hastuti, 2007). Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input. Riset-riset yang telah dilakukan tidak hanya berperan dalam pengembangan kualitas input melainkan juga mempengaruhi pemakaian dan kombinasi penggunaan input-input tersebut. Proses produksi dalam rangka menghasilkan berbagai output seperti

(50)

yang diinginkan membutuhkan bermacam-macam input dengan kombinasi tertentu yang berbeda-beda.

Fungsi yang digunakan untuk menjelaskan kombinasi input-input yang diperlukan untuk menghasilkan output dalam produksi, para ekonom menggunakan sebuah fungsi yang disebut fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan jumlah maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input (Lipsey, 1993). Nicholson (2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi memperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Salah satu fungsi produksi yang telah populer digunakan untuk menjelaskan hubungan produksi dalam sektor pertanian adalah fungsi produksi neoklasik (Debertin, 1986). Di dalam fungsi produksi

neoklasik dijelaskan bahwa peningkatan penggunaan input akan meningkatkan produktivitas input tersebut. Kemudian produktivitas fisik marjinal (marginal physical productivity) menjelaskan seberapa banyak tambahan output yang

dihasilkan melalui penambahan satu atau lebih input pada proses produksi dengan menganggap input-input lainnya tidak berubah (konstan).

Fungsi produksi dapat dibuat dalam bentuk persamaan secara matematis atau digambarkan secara grafis untuk menjelaskan bahwa setiap pelaku ekonomi mempunyai tujuan masing-masing dalam proses kegiatan ekonominya, misalnya seorang petani mengkombinasikan tenaga mereka dengan bibit, tanah, hujan, pupuk dan peralatan mesin untuk memperoleh hasil panen. Produk pertanian yang

(51)

menggunakan sejumlah input tertentu, fungsi produksi secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Y=f(X1,X2,X3,...,Xn)... (2.3) dimana Y adalah output yang dihasilkan dan X1, ..., Xn adalah input yang digunakan dalam proses produksi. Simbol fungsi f menunjukkan suatu bentuk hubungan yang mengubah input menjadi output. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi komoditas pertanian dapat berupa:

1. Lahan Pertanian.

Lahan pertanian merupakan faktor utama penentu produksi komoditas pertanian. Secara umum dinyatakan bahwa semakin luas lahan (yang diolah/ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan dari lahan tersebut.

2. Tenaga Kerja.

Tenaga kerja dalam hal ini yang dimaksud adalah petani. Petani harus mempunyai kualitas berpikir yang maju agar dapat mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bernilai jual tinggi.

3. Modal.

Setiap kegiatan ekonomi untuk mencapai tujuan dibutuhkan modal terlebih lagi dalam kegiatan proses produksi. Dalam kegiatan proses produksi modal dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (fixed cost) dan

modal tidak tetap (variable cost). Modal tetap terdiri dari tanah, bangunan,

(52)

tidak habis dalam sekali proses produksi, sedangkan modal tidak tetap terdiri dari benih, pupuk, pestisida dan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja.

4. Pupuk.

Tanaman tidak hanya membutuhkan air sebagai konsumsi pokoknya tetapi juga pupuk agar dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal. Sutejo (2002) dalam Rahim dan Hastuti (2007) menjelaskan bahwa pupuk yang sering digunakan adalah pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk organik atau pupuk alam merupakan hasil akhir dari perubahan atau penguraian bagian-bagian atau sisa-sisa tanaman atau binatang, misalnya pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, bungkil, guano dan tepung tulang. Sedangkan pupuk anorganik atau pupuk buatan merupakan hasil industri atau hasil pabrik-pabrik pembuat pupuk, misalnya pupuk urea, TSP dan KCL.

5. Pestisida.

Pestisida dibutuhkan ranaman untuk mencegah serta membasmi hama dan penyakit yang menyerang tanaman tersebut.

6. Bibit.

Keunggulan suatu komoditas tanaman ditentukan dari bibit tanaman tersbut berasal. Bibit yang unggul biasanya tahan terhadap penyakit dan hasil komoditasnya berkualitas tinggi sehingga harganya dapat bersaing di pasar.

(53)

7. Teknologi.

Penggunaan teknologi dapat menciptakan rekayasa perlakuan terhadap tanaman dan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.

8. Manajemen.

Peranan manajemen dalam usahatani modern menjadi sangat penting dalam mengelola produksi komoditas pertanian, mulai dari perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengendalian (controlling), dan

evaluasi (evaluation).

Fungsi produksi yang digambarkan secara grafis dapar dilihat pada Gambar 2.1. Kurva produksi akan bergerak ke atas atau meningkat pada tingkat awal penambahan penggunaan input (x1) yang berarti akan menambah jumlah hasil produksi. Titik A menggambarkan kondisi dimana penambahan input tersebut menghasilkan tambahan hasil produksi yang maksimal. Kemudian pada saat berada di Titik B kondisi yang terjadi menurunnya hasil produksi meski penambahan penggunaan input tetap dilakukan, hal ini menunjukkan terjadinya tambahan hasil yang menurun. Selanjutnya kurva akan mencapai titik maksimum, yaitu pada Titik C dan mulai bergerak ke bawah atau menurun yang berarti setelah melewati titik maksimum penambahan penggunaan input tidak akan menambah hasil produksi. Kondisi ini terjadi misalnya ketika petani menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan pada lahan yang sama dengan jenis tanaman yang sama secara berulang-ulang dari waktu ke waktu. Sehingga berakibat pada kerusakan keseimbangan alami tanah dan produktivitas lahan tersebut semakin berkurang.

(54)

TP 450 C B TP A x1 x2 x3 x (input) MP,AP D E AP x1 x2 x3 x (input) Biaya (Rp) MP MC SATC SAVC SAFC SAFC y1 y2 y3 y (output) Harga (Rp) Kurva Penawaran Jangka Pendek p3 p2 y (output)

Sumber: Debertin, 1986 dan Nicholson, 2002

Gambar

Tabel 1.1.  Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia  Tahun
Tabel 1.2.  Perkembangan  Ekspor-Impor Jagung di Indonesia Tahun  1985 – 2005
Gambar 2.1.  Kurva Penawaran
Gambar 2.2.  Kurva Permintaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Angka ini berupa angka konstan yang berarti besarnya produksi jagung saat nilai (luas panen), rata-rata suhu udara, rata-rata kelembaban udara, rata-rata curah hujan,

Nilai t-hitung pada variabel harga jagung domestik sebesar -358996.14 lebih besar dibanding nilai t-tabel sebesar -1.833 yang diatas taraf nyata lima persen yang

Studi ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh faktor-faktor luas areal panen padi, traktor roda dua, pupuk urea, dan luas areal irigasi terhadap produksi padi di Sumatera

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia yang meliputi produksi, produktivitas, luas areal, permintaan dan penawaran jagung serta impor jagung

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah luas panen kacang tanah, harga produktivitas kacang tanah, harga kacang tanah, harga kedelai, harga ubi kayu, harga jagung,

Pada tahun 2010 kabupaten yang memiliki kontribusi luas panen jagung terbesar adalah kabupaten simalungun yaitu sebesar 26,56 persen dan disusul oleh Kabupaten Karo yaitu

Harga lada Indonesia riil berpengaruh positif terhadap produksi lada Indonesia pada taraf nyata α = 3,88 persen (berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen)

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi volume impor jagung Indonesia 1995-2014 menunjukkan bahwa variabel produksi jagung