Oleh :
RIKA PURNAMASARI A14302053
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang membawa
dampak pada peningkatan kemakmuran, dimana konsekuensinya adalah semakin
bertambah cepatnya permintaan pangan serta perubahan bentuk dan kualitas
pangan dari penghasil energi kepada produk-produk penghasil protein. Kebutuhan
atas protein ini akan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk
dan pendapatan, sedang di pihak lain penyediaan sumber protein di Indonesia
masih belum mencukupi. Kedelai merupakan salah satu bahan makanan yang
mempunyai potensi sebagai sumber utama protein. Sebagai sumber protein yang
tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk
makanan, seperti tahu, tempe dan kecap. Selain itu kedelai juga merupakan bahan
baku industri yang penting terutama industri makanan ternak (Puslitbang
Tanaman Pangan, 2005).
Usaha peningkatan produksi kedelai nasional telah mulai dilakukan sejak
tahun 1962 mencakup perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan
produktivitas (intensifikasi). Dalam kurun waktu 1975-1999, produksi kedelai
nasional cenderung mengalami peningkatan walaupun terlihat berfluktuasi,
terlihat pada Lampiran 1. Sementara itu produksi kedelai sejak tahun 2000-2003
cenderung menurun drastis, sedangkan produksi pada tahun 2004 hanya
meningkat sekitar 1.07 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang serupa juga
terlihat dalam perkembangan luas areal panen, dimana luas panen sejak tahun
1974-1999, terlihat berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan,
signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai dan adanya
persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya, seperti jagung yang
memiliki harga riil yang lebih tinggi daripada kedelai dan juga pemeliharaannya
lebih mudah. Selain itu hal yang juga merupakan penyebab turunnya areal panen
kedelai secara drastis dalam periode 2000-2004, adalah dari segi persaingan harga
pasar, dimana harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai lokal,
menyebabkan arus impor semakin deras dan berimplikasi pada menurunnya harga
kedelai lokal, sehingga petani tidak bergairah untuk menanam kedelai. Sementara
itu jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, dan ditambah juga dengan
semakin banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai, seperti industri
tahu, kecap, tempe, tauco dan lain-lain mengakibatkan permintaan terhadap
kedelai tidak bisa terpenuhi oleh produksi domestik (Puslitbang Tanaman Pangan,
2005).
Usaha untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri terus dilakukan
melalui implementasi berbagai program diantaranya program Supra Insus,
kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan pada tahun
1986, program berikutnya adalah Gema Palagung yaitu melalui salah satu cara
dengan peningkatan Index Pertanaman, dan terakhir pada tahun 2004 diadakan
program Bangkit Kedelai, diharapkan pada tahun 2008 Indonesia akan mencapai
swasembada kedelai dengan produksi kurang lebih 2 juta ton.
Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun
ternyata belum bisa mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai sehingga
pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah maupun nilainya semakin
kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan
jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang
menggunakan bahan baku kedelai., sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat
secara drastis seiring dengan signifikansinya penurunan produksi pada tahun
tersebut. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14.03 persen
per tahun, disamping itu volume impor yang meningkat ini disebabkan pula oleh
rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di negara
eksportir tetap tinggi (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Impor kedelai merupakan jalan pintas untuk memasok kekurangan dalam
negeri, kerena dalam beberapa hal harganya lebih rendah dan kualitasnya lebih
baik. Sesuai kesepakatan dengan IMF, sejak tahun 1998-2003 pemerintah
membebaskan bea masuk kedelai (BM nol persen) dan pada tahun 2004 tarif
tersebut ditingkatkan menjadi sepuluh persen (Deptan, 2005). Tarif ini masih
tergolong rendah sehingga relatif merugikan petani, karena harga komoditi
cenderung melemah, namun di sisi lain diharapkan juga bisa memacu petani untuk
mengusahakan pertanaman kedelai secara efisien dan menerapkan teknologi tepat
guna.
Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka sangat diperlukan suatu kajian
atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor kedelai Indonesia, sehingga dapat diketahui faktor-faktor
yang berperan penting dalam produksi dan impor, juga mengetahui hal-hal apa
saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai negeri dan
1.2. Perumusan Masalah
Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel, yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Berdasarkan data BPS, luas areal panen
kedelai sejak tahun 2000 sampai 2004 terus mengalami penurunan. Perkembangan
luas areal panen dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1999-2004.
Sumber : BPS, 2004
* : Produktivitas : Produksi dibagi Luas Areal Panen
Selanjutnya berdasarkan tabel berikutnya, yaitu Tabel 2, penurunan luas
areal panen tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu, (1) penurunan harga
riil kedelai, dimana di lain pihak harga riil jagung justru meningkat yang
mendorong petani untuk memilih menanam jagung, sehingga konsekuensinya,
kenaikan areal jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan
mengurangi areal kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama.
(2) lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal, hal
ini mengakibatkan arus impor kedelai semakin deras, sehingga berimplikasi pada
penurunan harga kedelai lokal secara terus-menerus seiring bertambahnya jumlah
impor kedelai, yang menyebabkan keengganan petani untuk bertanam kedelai
(Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Hal ini mengakibatkan penawaran kedelai di
pasaran lokal Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Tahun Luas Areal Panen
(hektar)
Produksi kedelai (ton)
Produktivitas* (ton/ha)
Tabel 2. Perkembangan harga kedelai dan komoditas pesaingnya di Indonesia, tahun 1991-2002.
Tahun Kedelai Lokal (Rp/kg) Jagung (Rp/kg) Kedelai Impor (Rp/Kg) 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 493 454 484 515 472 476 337 330 321 277 324 344 143 126 133 158 164 185 123 117 132 114 150 159 - 276 278 296 286 303 239 290 234 223 230 298
Laju Peningkatan -3,21 0,98 0,75
Sumber : Puslitbang Tanaman Pangan, 2005, hal 10.
Untuk variabel berikutnya, yaitu produktivitas, sampai dengan saat ini
produktivitas pertanaman kedelai Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata hanya
1,2 ton/ha, angka ini merupakan angka produktivitas yang diambil berdasarkan
level Farmer Accomplishment (level produksi secara umum atau nasional). Angka
produktivitas ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Brazil dan Argentina
yang mampu menghasilkan di atas 2 ton kedelai per hektar. Rendahnya
produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum populernya
penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi oleh kebanyakan petani, dimana
harga benih yang bersertifikasi berharga Rp 3000-3.500/kg, sedangkan harga
benih biasa hanya Rp 1.400/kg, sehingga petani merasa enggan menggunakan
benih unggul, karena tingkat keuntungan yang diperoleh relatif kecil. Faktor
selanjutnya adalah jenis areal lahan yang mempunyai masalah masing-masing
dalam hal ketersediaan air, dimana masalah kekeringan dapat menurunkan tingkat
produktivitas sampai 40 persen. Hal lain yang menjadi masalah adalah
pengendalian hama penyakit yang belum baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hama penyakit, kebanjiran atau kekeringan, waktu tanam yang tidak tepat dan
belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani.
Menurut BPS (2004), kemampuan produksi nasional kedelai pada tahun
2004 adalah sebesar 0, 723 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi adalah 2,015 juta
ton. Keadaan ini mengindikasikan bahwa produksi kedelai nasional masih sangat
jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sangat besar,
maka pemerintah melakukan impor kedelai. Volume impor kedelai mulai
mengalami peningkatan yang drastis sejak tahun 2000, yang berjumlah 1.277 juta
ton. Volume impor kedelai turun pada tahun 2001 menjadi 1.136 juta ton. Namun
impor kembali naik pada tahun 2002 menjadi 1.365 juta ton, setelah itu impor
kedelai kembali turun pada tahun 2003 menjadi 1,192 juta ton dan untuk tahun
2004 (sampai dengan bulan juli 2004) sebesar 0.651 juta ton. Negara pemasok
impor kedelai terbesar adalah United States (66% dari total impor) dan pemasok
terbesar kedua adalah Argentina (5% dari total impor). Tabel 3 menampilkan
perkembangan volume impor kedelai berdasarkan negara asal dari tahun 2000
sampai dengan 2004
.Tabel 3. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton).
No Negara Asal 2000 2001 2002 2003 2004* Share
1 2 3 4 5 United States Argentina Malaysia Canada Singapura Lainnya Total 539.368 92.066 31.322 46.333 4.631 563.967 1.277.683 399.472 0 93.429 10.503 14.207 618.808 1.136.419 1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546 4.558 1.365.253. 1.122.900 10.276 17.983 18.393 549 22.616 1.192.717 549.759 92.805 5.255 353 38 3.770 651.979 66% 5% 4% 2% 1% 22% 100%
Dengan semakin besarnya volume impor dari tahun ke tahun sangat
merugikan petani, karena kedelai lokal terdesak oleh kedelai impor yang berharga
murah dan berkualitas lebih baik. Walaupun konsumsi dalam negeri terpenuhi,
namun kesejahteraan petani kedelai pun harus diperhatikan.. Selain itu impor
kedelai merupakan impor kacang-kacangan tertinggi di Indonesia dimana setiap
tahunnya menghabiskan devisa sebanyak US$ 200-300 juta (Deptan, 2005).
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi,
maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini,
yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kedelai Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai
Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh
stakeholder dalam mempertahankan dan memajukan produksi kedelai nasional,
serta mengurangi ketergantungan impor kedelai. Dalam hal ini stakeholder yang
terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu pemerintah sebagai pengambil
kebijakan, pelaku ekonomi (produsen, konsumen), dan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia
Sejarah masuknya kedelai ke Indonesia tidak diketahui secara pasti,
namun kemungkinan besar dibawa oleh pedagang Cina pada abad ke 13. Kedelai
berasal dari Cina, yang telah dibudidayakan sejak 1000 tahun sebelum masehi.
Menurut Romburgh (1892) seperti dikutip oleh Manwan dan Sumarno (1996),
kedelai telah menjadi tanaman pangan penting di samping padi, jagung, ubi kayu
dan ubi jalar, serta merupakan bagian usaha pertanian yang mantap di Pulau Jawa
pada penghujung abad ke-19. Berdasarkan catatan dan laporan yang ada,
informasi perkembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai
tahun 1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar.
Masalah kurangnya produksi kedelai nasional untuk mencukupi
permintaan dalam negeri telah dimulai sejak tahun 1928 dimana pada tahun itu
impor kedelai mulai dilakukan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibat
resesi ekonomi tahun 1934, impor kedelai dilarang dan perlu diimbangi dengan
upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui perluasan areal panen.
Menyadari bahwa kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi
masyarakat Indonesia, perluasan areal panen dan peningkatan produksi nasional
dimasukkan ke dalam program pembangunan semesta pada tahun 1962. Untuk
merealisasikan program tesebut, Rapat Kerja Kedelai Nasional yang dilaksanakan
di Bogor pada bulan September 1964 merumuskan beberapa petunjuk bagi
program pengembangan kedelai di Indonesia yang meliputi perluasan areal panen
Memasuki era Orde Baru yang dimulai pada Pelita I tahun 1969
peningkatan produksi kedelai masih kecil karena program utama pembangunan
sektor pertanian pada waktu itu lebih diprioritaskan pada peningkatan produksi
beras nasional. Sampai pada Pelita III fokus peningkatan produksi pertanian masih
dititikberatkan pada pencapaian swasembada beras sehingga program peningkatan
produksi kedelai belum mendapatkan prioritas yang lebih baik. Meskipun
demikian program peningkatan produksi kedelai sedikit demi sedikit mulai
mendapat perhatian dari pemerintah sebagai upaya untuk meingkatkan produksi
kedelai dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sebagai substitusi impor.
Sukses dalam pencapaian swasembada beras membuka peluang yang lebih
besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai untuk perbaikan gizi dan sumber
pendapatan petani. Dalam penelitian Astuti (1998), dijelaskan bahwa setelah
swasembada beras tercapai pada tahun 1984 barulah para pengambil kebijakan
memberikan perhatian khusus mengingat impor kedelai terus meningkat baik
untuk bahan makanan utama maupun sebagai pakan ternak. Dalam Pelita IV areal
panen kedelai meningkat dari 858.892 ha (1984) menjadi 1.177.150 ha (1988)
dimana produksi naik dari 0.769 juta ton (1984) menjadi 1.27 juta ton (1988).
Peningkatan yang mencolok juga terlihat pada rata-rata produksi kedelai Pelita IV
sebesar 1.05 juta ton dibandingkan pada Pelita III yang hanya 0.618 juta ton.
Demikian juga dengan laju pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas
berturut-turut sebesar 9.26 persen per tahun, 16.7 persen per tahun dan lima
persen per tahun. Produktivitas rata-rata pada periode yang sama meningkat dari
Oleh :
RIKA PURNAMASARI A14302053
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang membawa
dampak pada peningkatan kemakmuran, dimana konsekuensinya adalah semakin
bertambah cepatnya permintaan pangan serta perubahan bentuk dan kualitas
pangan dari penghasil energi kepada produk-produk penghasil protein. Kebutuhan
atas protein ini akan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk
dan pendapatan, sedang di pihak lain penyediaan sumber protein di Indonesia
masih belum mencukupi. Kedelai merupakan salah satu bahan makanan yang
mempunyai potensi sebagai sumber utama protein. Sebagai sumber protein yang
tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk
makanan, seperti tahu, tempe dan kecap. Selain itu kedelai juga merupakan bahan
baku industri yang penting terutama industri makanan ternak (Puslitbang
Tanaman Pangan, 2005).
Usaha peningkatan produksi kedelai nasional telah mulai dilakukan sejak
tahun 1962 mencakup perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan
produktivitas (intensifikasi). Dalam kurun waktu 1975-1999, produksi kedelai
nasional cenderung mengalami peningkatan walaupun terlihat berfluktuasi,
terlihat pada Lampiran 1. Sementara itu produksi kedelai sejak tahun 2000-2003
cenderung menurun drastis, sedangkan produksi pada tahun 2004 hanya
meningkat sekitar 1.07 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang serupa juga
terlihat dalam perkembangan luas areal panen, dimana luas panen sejak tahun
1974-1999, terlihat berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan,
signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai dan adanya
persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya, seperti jagung yang
memiliki harga riil yang lebih tinggi daripada kedelai dan juga pemeliharaannya
lebih mudah. Selain itu hal yang juga merupakan penyebab turunnya areal panen
kedelai secara drastis dalam periode 2000-2004, adalah dari segi persaingan harga
pasar, dimana harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai lokal,
menyebabkan arus impor semakin deras dan berimplikasi pada menurunnya harga
kedelai lokal, sehingga petani tidak bergairah untuk menanam kedelai. Sementara
itu jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, dan ditambah juga dengan
semakin banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai, seperti industri
tahu, kecap, tempe, tauco dan lain-lain mengakibatkan permintaan terhadap
kedelai tidak bisa terpenuhi oleh produksi domestik (Puslitbang Tanaman Pangan,
2005).
Usaha untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri terus dilakukan
melalui implementasi berbagai program diantaranya program Supra Insus,
kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan pada tahun
1986, program berikutnya adalah Gema Palagung yaitu melalui salah satu cara
dengan peningkatan Index Pertanaman, dan terakhir pada tahun 2004 diadakan
program Bangkit Kedelai, diharapkan pada tahun 2008 Indonesia akan mencapai
swasembada kedelai dengan produksi kurang lebih 2 juta ton.
Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun
ternyata belum bisa mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai sehingga
pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah maupun nilainya semakin
kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan
jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang
menggunakan bahan baku kedelai., sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat
secara drastis seiring dengan signifikansinya penurunan produksi pada tahun
tersebut. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14.03 persen
per tahun, disamping itu volume impor yang meningkat ini disebabkan pula oleh
rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di negara
eksportir tetap tinggi (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Impor kedelai merupakan jalan pintas untuk memasok kekurangan dalam
negeri, kerena dalam beberapa hal harganya lebih rendah dan kualitasnya lebih
baik. Sesuai kesepakatan dengan IMF, sejak tahun 1998-2003 pemerintah
membebaskan bea masuk kedelai (BM nol persen) dan pada tahun 2004 tarif
tersebut ditingkatkan menjadi sepuluh persen (Deptan, 2005). Tarif ini masih
tergolong rendah sehingga relatif merugikan petani, karena harga komoditi
cenderung melemah, namun di sisi lain diharapkan juga bisa memacu petani untuk
mengusahakan pertanaman kedelai secara efisien dan menerapkan teknologi tepat
guna.
Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka sangat diperlukan suatu kajian
atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor kedelai Indonesia, sehingga dapat diketahui faktor-faktor
yang berperan penting dalam produksi dan impor, juga mengetahui hal-hal apa
saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai negeri dan
1.2. Perumusan Masalah
Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel, yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Berdasarkan data BPS, luas areal panen
kedelai sejak tahun 2000 sampai 2004 terus mengalami penurunan. Perkembangan
luas areal panen dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1999-2004.
Sumber : BPS, 2004
* : Produktivitas : Produksi dibagi Luas Areal Panen
Selanjutnya berdasarkan tabel berikutnya, yaitu Tabel 2, penurunan luas
areal panen tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu, (1) penurunan harga
riil kedelai, dimana di lain pihak harga riil jagung justru meningkat yang
mendorong petani untuk memilih menanam jagung, sehingga konsekuensinya,
kenaikan areal jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan
mengurangi areal kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama.
(2) lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal, hal
ini mengakibatkan arus impor kedelai semakin deras, sehingga berimplikasi pada
penurunan harga kedelai lokal secara terus-menerus seiring bertambahnya jumlah
impor kedelai, yang menyebabkan keengganan petani untuk bertanam kedelai
(Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Hal ini mengakibatkan penawaran kedelai di
pasaran lokal Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Tahun Luas Areal Panen
(hektar)
Produksi kedelai (ton)
Produktivitas* (ton/ha)
Tabel 2. Perkembangan harga kedelai dan komoditas pesaingnya di Indonesia, tahun 1991-2002.
Tahun Kedelai Lokal (Rp/kg) Jagung (Rp/kg) Kedelai Impor (Rp/Kg) 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 493 454 484 515 472 476 337 330 321 277 324 344 143 126 133 158 164 185 123 117 132 114 150 159 - 276 278 296 286 303 239 290 234 223 230 298
Laju Peningkatan -3,21 0,98 0,75
Sumber : Puslitbang Tanaman Pangan, 2005, hal 10.
Untuk variabel berikutnya, yaitu produktivitas, sampai dengan saat ini
produktivitas pertanaman kedelai Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata hanya
1,2 ton/ha, angka ini merupakan angka produktivitas yang diambil berdasarkan
level Farmer Accomplishment (level produksi secara umum atau nasional). Angka
produktivitas ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Brazil dan Argentina
yang mampu menghasilkan di atas 2 ton kedelai per hektar. Rendahnya
produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum populernya
penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi oleh kebanyakan petani, dimana
harga benih yang bersertifikasi berharga Rp 3000-3.500/kg, sedangkan harga
benih biasa hanya Rp 1.400/kg, sehingga petani merasa enggan menggunakan
benih unggul, karena tingkat keuntungan yang diperoleh relatif kecil. Faktor
selanjutnya adalah jenis areal lahan yang mempunyai masalah masing-masing
dalam hal ketersediaan air, dimana masalah kekeringan dapat menurunkan tingkat
produktivitas sampai 40 persen. Hal lain yang menjadi masalah adalah
pengendalian hama penyakit yang belum baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
hama penyakit, kebanjiran atau kekeringan, waktu tanam yang tidak tepat dan
belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani.
Menurut BPS (2004), kemampuan produksi nasional kedelai pada tahun
2004 adalah sebesar 0, 723 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi adalah 2,015 juta
ton. Keadaan ini mengindikasikan bahwa produksi kedelai nasional masih sangat
jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sangat besar,
maka pemerintah melakukan impor kedelai. Volume impor kedelai mulai
mengalami peningkatan yang drastis sejak tahun 2000, yang berjumlah 1.277 juta
ton. Volume impor kedelai turun pada tahun 2001 menjadi 1.136 juta ton. Namun
impor kembali naik pada tahun 2002 menjadi 1.365 juta ton, setelah itu impor
kedelai kembali turun pada tahun 2003 menjadi 1,192 juta ton dan untuk tahun
2004 (sampai dengan bulan juli 2004) sebesar 0.651 juta ton. Negara pemasok
impor kedelai terbesar adalah United States (66% dari total impor) dan pemasok
terbesar kedua adalah Argentina (5% dari total impor). Tabel 3 menampilkan
perkembangan volume impor kedelai berdasarkan negara asal dari tahun 2000
sampai dengan 2004
.Tabel 3. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton).
No Negara Asal 2000 2001 2002 2003 2004* Share
1 2 3 4 5 United States Argentina Malaysia Canada Singapura Lainnya Total 539.368 92.066 31.322 46.333 4.631 563.967 1.277.683 399.472 0 93.429 10.503 14.207 618.808 1.136.419 1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546 4.558 1.365.253. 1.122.900 10.276 17.983 18.393 549 22.616 1.192.717 549.759 92.805 5.255 353 38 3.770 651.979 66% 5% 4% 2% 1% 22% 100%
Dengan semakin besarnya volume impor dari tahun ke tahun sangat
merugikan petani, karena kedelai lokal terdesak oleh kedelai impor yang berharga
murah dan berkualitas lebih baik. Walaupun konsumsi dalam negeri terpenuhi,
namun kesejahteraan petani kedelai pun harus diperhatikan.. Selain itu impor
kedelai merupakan impor kacang-kacangan tertinggi di Indonesia dimana setiap
tahunnya menghabiskan devisa sebanyak US$ 200-300 juta (Deptan, 2005).
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi,
maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini,
yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kedelai Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai
Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh
stakeholder dalam mempertahankan dan memajukan produksi kedelai nasional,
serta mengurangi ketergantungan impor kedelai. Dalam hal ini stakeholder yang
terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu pemerintah sebagai pengambil
kebijakan, pelaku ekonomi (produsen, konsumen), dan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia
Sejarah masuknya kedelai ke Indonesia tidak diketahui secara pasti,
namun kemungkinan besar dibawa oleh pedagang Cina pada abad ke 13. Kedelai
berasal dari Cina, yang telah dibudidayakan sejak 1000 tahun sebelum masehi.
Menurut Romburgh (1892) seperti dikutip oleh Manwan dan Sumarno (1996),
kedelai telah menjadi tanaman pangan penting di samping padi, jagung, ubi kayu
dan ubi jalar, serta merupakan bagian usaha pertanian yang mantap di Pulau Jawa
pada penghujung abad ke-19. Berdasarkan catatan dan laporan yang ada,
informasi perkembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai
tahun 1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar.
Masalah kurangnya produksi kedelai nasional untuk mencukupi
permintaan dalam negeri telah dimulai sejak tahun 1928 dimana pada tahun itu
impor kedelai mulai dilakukan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibat
resesi ekonomi tahun 1934, impor kedelai dilarang dan perlu diimbangi dengan
upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui perluasan areal panen.
Menyadari bahwa kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi
masyarakat Indonesia, perluasan areal panen dan peningkatan produksi nasional
dimasukkan ke dalam program pembangunan semesta pada tahun 1962. Untuk
merealisasikan program tesebut, Rapat Kerja Kedelai Nasional yang dilaksanakan
di Bogor pada bulan September 1964 merumuskan beberapa petunjuk bagi
program pengembangan kedelai di Indonesia yang meliputi perluasan areal panen
Memasuki era Orde Baru yang dimulai pada Pelita I tahun 1969
peningkatan produksi kedelai masih kecil karena program utama pembangunan
sektor pertanian pada waktu itu lebih diprioritaskan pada peningkatan produksi
beras nasional. Sampai pada Pelita III fokus peningkatan produksi pertanian masih
dititikberatkan pada pencapaian swasembada beras sehingga program peningkatan
produksi kedelai belum mendapatkan prioritas yang lebih baik. Meskipun
demikian program peningkatan produksi kedelai sedikit demi sedikit mulai
mendapat perhatian dari pemerintah sebagai upaya untuk meingkatkan produksi
kedelai dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sebagai substitusi impor.
Sukses dalam pencapaian swasembada beras membuka peluang yang lebih
besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai untuk perbaikan gizi dan sumber
pendapatan petani. Dalam penelitian Astuti (1998), dijelaskan bahwa setelah
swasembada beras tercapai pada tahun 1984 barulah para pengambil kebijakan
memberikan perhatian khusus mengingat impor kedelai terus meningkat baik
untuk bahan makanan utama maupun sebagai pakan ternak. Dalam Pelita IV areal
panen kedelai meningkat dari 858.892 ha (1984) menjadi 1.177.150 ha (1988)
dimana produksi naik dari 0.769 juta ton (1984) menjadi 1.27 juta ton (1988).
Peningkatan yang mencolok juga terlihat pada rata-rata produksi kedelai Pelita IV
sebesar 1.05 juta ton dibandingkan pada Pelita III yang hanya 0.618 juta ton.
Demikian juga dengan laju pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas
berturut-turut sebesar 9.26 persen per tahun, 16.7 persen per tahun dan lima
persen per tahun. Produktivitas rata-rata pada periode yang sama meningkat dari
Luas panen, produksi dan produktivitas rata-rata kedelai dalam Pelita V
meningkat dengan laju yang cukup tinggi berturut-turut sebesar 5.30 dan 0.91
persen per tahun. Areal panen meningkat dari 1.197.701 ha (1989) menjadi
1.468.316 ha (1993), sedangkan produksi dalam periode yang sama meningkat
dari 1.31 juta ton menjadi 1.70 juta ton dan produktivitas meningkat dari 1.09 ton
per ha menjadi 1.16 ton per ha
Pada Pelita VI (1994-1998), perkembangan areal panen memiliki laju
pertumbuhan sekitar -7.7 persen per tahun. Hal ini disebabkan karena luas panen
dalam tahun 1994-1998 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan dari
1.406.039 ha (1994) menjadi 1.094.262 ha (1998). Sedangkan produksi pada
periode yang sama cenderung mengalami penurunan dari 1.56 juta ton menjadi
1.30 juta ton dengan laju pertumbuhan sekitar -5.7 persen. Sementara
produktivitas kedelai memiliki laju pertumbuhan sekitar 2.05 persen per tahun.
Sejak tahun 1999 sampai tahun 2004, luas panen kedelai terus mengalami
penurunan, yaitu dari 1.151.079 ha (1999) menjadi 560.125 ha (2004), dengan
laju pertumbuhan sekitar -14.7 persen per tahun. Demikian halnya dengan
produksi kedelai pada periode yang sama juga mengalami penurunan yaitu dari
1.38 juta ton menjadi 0.723 juta ton, dengan laju pertumbuhan -12.8 persen per
tahun, sedangkan produktivitas berfluktuasi dengan laju pertumbuhan sekitar1.24
persen per tahun, dimana produktivitas tahun 1999 meningkat dari 1.2 ton per ha
menjadi 1.28 ton per ha.
Produksi kedelai nasional dihasilkan terutama dari tanaman usahatani
rakyat yang sebagian besar berskala usaha relatif kecil dan tersebar sebagian besar
pengembangan kedelai di Indonesia, pusat-pusat pertumbuhan kedelai terutama
terdapat di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur dan daerah lain
di Pulau Jawa.
Menurut Puslitbang Tanaman Pangan dalam Hadipurnomo (2000),
Pengembangan usahatani kedelai di lahan sawah dan lahan kering ditempuh
melalui : (1) perluasan areal, (2) peningkatan produktivitas hasil, (3) peningkatan
stabilitas hasil, (4) penekanan senjang hasil, (5) penekanan kehilangan hasil dan
(6) sistem produksi kedelai yang berkelanjutan berwawasan lingkungan.
2.2. Konsumsi Kedelai
2.2.1. Industri Pengguna Bahan baku Kedelai
Sebagian besar konsumsi kedelai di Indonesia masih digunakan untuk
bahan makanan manusia dalam bentuk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco
dan minuman sari kedelai. Jadi sebagian besar kedelai dikonsumsi oleh industri
makanan olahan. Industri tahu dan tempe merupakan pengguna kedelai terbesar,
dimana pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai
1.78 ton, atau 88 persen dari total kebutuhan nasional, sedangkan industri lainnya
seperti industri tepung dan pati membutuhkan kedelai sebanyak 12 persen dari
total kebutuhan nasional (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Kecenderungan konsumsi kedelai untuk konsumsi manusia meningkat dari
tahun 1969-1993 sebesar 7.40 persen per tahun. Pengguna kedelai kedua adalah
industri ternak setelah industri tahu dan tempe. Hasil olahan kedelai untuk pakan
konsumsi kedelai untuk konsumsi ternak meningkat dari tahun 1969-1993 sebesar
8.58 persen per tahun (Sudaryanto,1996).
Berdasarkan data statistik badan dunia (FAO) konsumsi kedelai per kapita
Indonesia dalam 15 tahun terakhir menurun dari 11.38 kg pada tahun 1990
menjadi 8.97 kg pada tahun 2004, dengan laju penurunan 1.69 persen per tahun.
Penurunan konsumsi terjadi sejak 1995. Selama periode 1995-2000 konsumsi per
kapita menurun dari 11.82 kg pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg pada tahun 2000,
dengan laju 1.57 persen per tahun. Penurunan paling tajam terjadi pada periode
2000-2004, dengan rata-rata 4.81 persen per tahun. Secara nasional, penurunan
konsumsi kedelai jauh lebih rendah daripada penurunan produksi. Implikasinya,
tanpa terobosan peningkatan produksi, Indonesia akan menghadapi defisit yang
makin besar. Dengan laju penurunan produksi kedelai yang lebih tajam daripada
laju penurunan konsumsi, maka ke depannya impor kedelai untuk menutupi
defisit diperkirakan akan terus meningkat (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
2.2.2. Kondisi Pemenuhan Kebutuhan kedelai di Era Perdagangan Bebas Menurut Mankiw (2000), pada saat perdagangan internasional dibuka,
maka suatu negara memiliki dua kemungkinan posisi. Misal apakah Indonesia
akan menjual kedelai ke pasar internasional, ataukah sebaliknya membeli kedelai
dari pasar internasional. Selanjutnya kita harus membandingkan harga kedelai
yang tengah berlaku di pasar domestik dengan yang berlaku di negara-negara lain
atau pasar dunia. Jika harga dunia kedelai lebih tinggi daripada harga domestik,
maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengekspor
domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi
pengimpor kedelai.
Berdasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), dijelaskan bahwa sebelum
era perdagangan bebas, BULOG masih memonopoli kedelai impor. BULOG
menyalurkan kedelai impor ke KOPTI (Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia),
KPKD (Kelompok Pedagang Kacang Kedelai) dan industri pengolah pangan.
KOPTI belum dapat memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. Sebelum
tahun 1997, pemerintah masih memberlakukan impor terbatas (kuota), sehingga
tidak semua industri dapat menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan agar
produksi kedelai lokal dapat terlindungi, mengingat harga kedelai lokal lebih
mahal daripada kedelai impor (CIF). Dalam hal ini BULOG menjual kedelai
impor dengan harga lebih tertentu kepada industri tahu dan tempe sehingga selisih
harga kedelai lokal tidak terlalu besar dengan kedelai impor. Harga impor yang
ditetapkan telah dipertimbangkan dari segi daya beli industri sehingga petani
kedelai dapat berproduksi. KOPTI dan KPKD yang mendapat jatah kedelai dari
pemerintah dapat beroperasi dengan baik karena mampu bersaing harga dengan
pedagang besar.
Pada era perdagangan bebas, pemerintah tidak lagi membatasi impor dan
BULOG tidak memonopoli kedelai lagi. Pelaku importir dalam hal ini dipegang
oleh perusahaan-perusahaan swasta (pedagang) dan koperasi (KOPTI), sehingga
terjadi persaingan. Pada saat terjadi lonjakan tajam depresiasi rupiah tahun 1998,
harga kedelai impor menjadi lebih mahal daripada kedelai lokal. Hal ini
mengakibatkan volume impor menurun walaupun kuota impor tidak dibatasi.
berjalannya waktu, volume impor kembali meningkat bahkan melimpah. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya persaingan antar pedagang kedelai impor. Pedagang
mampu menjual kedelai impor lebih murah daripada KOPTI, sehingga ada
kecenderungan industri tahu dan tempe menggunakan kedelai impor dari
pedagang. Harga impor menjadi semakin murah dengan adanya persaingan antar
pedagang kedelai impor. Akibatnya semakin banyak industri tahu dan tempe yang
menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai
lokal karena kecenderungan preferensi bahan baku kedelai industri adalah kedelai
impor. Produksi kedelai lokal semakin menurun, sedangkan kedelai impor
semakin melimpah.
2.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia
Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia,
pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada
kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan
tarif dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai.
(a). Kebijakan Harga
Kebijakan harga yang diterapkan dengan sasaran utama mendorong adopsi
teknologi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah melalui
kebijakan proteksi harga dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan
untuk mengendalikan harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan
terisolasi dari fluktuasi harga kedelai di pasaran dunia. Hal ini dilakukan melalui
pengaturan volume impor dan penetapan harga kedelai ex-impor serta
pengendalian penyalurannya kepada industri pengolah dalam negeri (Rachman
Selain kebijakan proteksi harga, pemerintah juga menerapkan kebijakan
harga dasar. Namun penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran
yang diharapkan. Dalam periode 1984-1991, rata-rata harga kedelai di tingkat
petani sekitar 76.00 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar (Tabel 4).
Dibandingkan dengan penetapan harga pembelian kedelai oleh pemerintah, harga
produsen juga masih tetap lebih tinggi yaitu sekitar 69.07 persen dari harga
pembelian. Nampak jelas bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian
kedelai oleh pemerintah adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar
yang berlaku.
Sejak tahun 1992 pemerintah tidak lagi menetapkan harga dasar untuk
komoditas kedelai. Hal ini dikarenakan penetapan harga dasar kedelai selama ini
tidak efektif sebab sejak tahun 1984 pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan
kedelai dalam negeri. Pengadaan kedelai tidak lagi dilakukan pemerintah karena
harga kedelai di pasaran umum sangat baik, jauh di atas harga dasar dan dianggap
sudah cukup baik bagi petani untuk meningkatkan produksi (Bulog, 1995 dalam
Hadipurnomo, 2000). Selain itu adanya hambatan dalam pemasaran kedelai
menyebabkan Bulog kesulitan dalam melaksanakan kebijakan harga dasar.
Adapun hambatan pemasaran adalah (1) produksi kedelai difokuskan pada
sentra-sentra kecil dan jaraknya relatif jauh satu sama lain, (2) kontrol terhadap kualitas
kedelai sulit dilakukan, dan (3) kombinasi kegiatan-kegiatan pemasaran kedelai
yang bersifat musiman membuat sulit dilakukannya evaluasi ekonomi. Akibatnya,
biaya yang harus dikeluarkan untuk menetapkan harga dasar akan jauh lebih
Tabel 4. Perkembangan Kebijakan Harga Dasar, Harga Produsen, Harga Pembelian dan Pengadaan Kedelai oleh Bulog, 1984-1991.
Tahun Harga Dasar (Rp/kg) Harga Pembelian (Rp/Kg) Harga Produsen (Rp/kg)
Perbedaan terhadap harga produsen (%)
Harga dasar Harga Pembelian 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 280 300 300 300 325 370 400 500 293 313 313 313 340 385 415 520 458.34 468.47 517.00 612.15 665.17 766.22 705.11 766.22 63.93 56.33 72.00 100.33 104.61 80.54 76.25 53.20 56.66 49.84 64.86 94.89 95.59 73.51 69.88 47.31
Sumber : Statistik Bulog 1983-1993. Biro Gasar, Badan Urusan Logistik, Jakarta.
Keterangan : Sejak 1984 sampai sekarang tidak ada lagi pengadaan kedelai dalam negeri oleh Bulog, dan setelah 1991 tidak ada lagi penetapan harga dasar.
Dalam kondisi pasar kedelai seperti tersebut di atas, pedagang swasta
dapat dengan baik melakukan kegiatan pembelian dan penyaluran kedelai secara
efisien. Pasar kedelai Indonesia cenderung bersifat kompetitif dan efisien
(Hayami, 1987 dalam Astuti, 1998). Perbedaan harga antar waktu (Peak and Off
season) adalah relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan,
produksi saat panen raya selalu terserap tanpa diikuti penurunan harga yang
berarti. Pada saat produksi langka, harga kedelai juga tidak meningkat melebihi
batas toleransi, disebabkan oleh adanya penyaluran kedelai impor. Dapat
dikatakan bahwa efektivitas kebijakan harga dasar ini juga terkait dengan
kebijakan proteksi harga melalui pengaturan impor kedelai.
(b). Kebijakan Kuota Impor (Non Tarif)
Kebijakan kuota untuk proteksi harga ini diakui telah berhasil mencapai
sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong dan meningkatkan produksi
kedelai domestik (Rosegrant et al, 1987, dalam Hadipurnomo, 2000). Berdasarkan
hasil penelitian Altemeier dan Bottema (1991) dalam Rachman,et al (1996),
menunjukkan bahwa kebijakan ini juga lebih mampu mendorong produksi, adopsi
pupuk. Namun kebijakan ini menjadi tidak relevan lagi dalam era globalisasi yang
menghendaki penghapusan kebijakan non tarif, dimana kebijakan kuota termasuk
kebijakan non tarif.
(c). Kebijakan Tarif Impor Kedelai
Upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri
merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia pada
pertengahan dasawarsa 1980-an. Perbandingan antara impor dan produksi kedelai
dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen per tahun yang merupakan angka
tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an (Rachman, et al,
1996).
Selain melakukan impor kedelai, untuk memenuhi permintaan di dalam
negeri, pemerintah juga terus mengupayakan untuk meningkatkan produksi
kedelai dalam negeri. Hal ini tentunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap
kedelai impor, karena dengan meningkatnya produksi kedelai dalam negeri dapat
digunakan sebagai impor substitution (pengganti kedelai impor) dalam industri
yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku produksi.
Kebijakan penggunaan tarif impor kedelai dapat dipakai sebagai alternatif
untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Dengan tingkat tarif bea
masuk tertentu akan dapat dibentuk tingkat harga yang tidak akan menyaingi
harga kedelai lokal. Strategi ini sejalan dengan era tarifikasi yang dikehendaki
dalam globalisasi perdagangan untuk menggantikan segala bentuk kebijakan non
tarif. Selama ini pemerintah menerapkan kebijaksanaan pengaturan tataniaga
untuk melindungi produsen dalam negeri. BULOG diserahi tugas untuk
Tingkat tarif bea masuk kedelai impor perlu diterapkan agar dapat
memberikan tingkat proteksi yang diperlukan untuk melindungi produsen kedelai
di dalam negeri. Tarif impor kedelai yang berlaku pada tahun 1983-1993 adalah
sebesar sepuluh persen, kemudian pada tahun 1994-1996 tarif diturunkan menjadi
lima persen, dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan WTO melalui UU
No.7/1994, konsekuensinya adalah Indonesia dituntut untuk segera melakukan
penyesuaian kebijaksanaan pertanian dan kebijaksanaan perdagangannya. Bentuk
penyesuaian tersebut antara lain adalah penurunan tarif impor produk pertanian
dan pengurangan subsidi input pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri
No.444/KMK.01/1998, sejak tahun 1998-2003 tarif yang berlaku untuk impor
kedelai adalah 0 persen, sesuai dengan kesepakatan IMF yang tertuang dalam LOI
(Letter of Intent), dimana Indonesia wajib sepenuhnya mematuhi ketentuan yang
lebih berat dari ketentuan WTO, seperti penghapusan monopoli impor kedelai
oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk setinggi-tingginya lima persen. Alasan
pemerintah menetapkan tarif rendah adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai di
dalam negeri, namun setelah mngevaluasi dampak tarif terhadap petani dalam
negeri, dimana bea masuk nol persen sangat merugikan petani, maka pada tahun
2004 pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif impor kedelai menjadi
sepuluh persen. Direncanakan tarif tersebut akan berlaku sampai dengan tahun
2010 (Deptan, 2005).
Dengan berubahnya struktur proteksi akibat kebijakan baru yang diambil
maka kemungkinan besar akan terjadi perubahan struktur produksi di tingkat
petani. Harga yang menurun akibat rendahnya tarif impor mungkin akan
dengan mekanisme tarif, organisasi produksi telah ditata sedemikian rupa dengan
tujuan yang sesuai dengan prinsip proteksi, maka pengurangan tarif tidak akan
banyak mempengaruhi struktur produksi komoditas tersebut di dalam negeri.
Namun sebaliknya bila selama diproteksi, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan
untuk memperkuat daya saing, maka pengurangan tarif impor akan dapat
menghancurkan produksi dalam negeri.
2.4. Kajian Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Astuti (1998), dengan menggunakan Policy
Analysis Matrix (PAM), usahatani kedelai pada sebelas propinsi andalan
menguntungkan secara finansial yang ditunjukkan oleh keuntungan finansial yang
lebih besar dari nol yakni antara Rp 248.89/kg-Rp 679.88/kg artinya usahatani
layak diteruskan. Rasio Biaya Privat di sebelas propinsi andalan menunjukkan
nilai kurang dari satu yakni antara 0.3285-0.6870, artinya pengusahaan kedelai
memiliki keunggulan kompetitif. Ditinjau dari sisi ekonomi, usahatani kedelai di
sebagian besar propinsi andalan layak diteruskan ditunjukkan oleh keuntungan
ekonomi yang positif kecuali di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang memperoleh keuntungan ekonomi negatif serta nilai Biaya
Sumberdaya Domestik (BSD) di atas satu.
Rachmawati (1999) melakukan penelitian mengenai perdagangan kedelai
Indonesia dengan penerapan Model Armington dengan pemecahan jangka pendek
dan pemecahan jangka panjang. Hasil analisis simulasi pemecahan jangka pendek
dan jangka panjang menyebutkan bahwa Indonesia responsif terhadap faktor
eksogen penggeser harga permintaan kedelai (perubahan, pajak ekspor dan biaya
pengaruh impor terbesar terjadi pada perubahan permintaan impor dari Amerika
Serikat.
Hadipurnomo (2000), meneliti mengenai dampak kebijakan produksi dan
perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai di Indonesia dengan
menggunakan model persamaan simultan. Hasil yang diperoleh adalah bahwa
kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen,
produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada
di Pulau Jawa. Sedangkan kebijakan perdagangan berdampak pada perubahan
volume impor, harga impor dan permintaan kedelai, terutama permintaan kedelai
untuk industri kecap.
Kumenaung (1998) meneliti mengenai dampak kebijakan ekonomi dan
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan Industri komoditas kedelai Indonesia
dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil pendugaan model
menunjukkan bahwa respon areal, produktivitas dan produksi lebih efisien
dikembangkan di luar Jawa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang
efektif mendorong pertumbuhan produksi adalah peningkatan harga kedelai
petani, penetapan tarif impor kedelai dan kombinasi kebijakan penghapusan tarif
impor kedelai, peningkatan suku bunga, peningkatan GNPI dan subsidi pupuk.
Kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi
adalah kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga
kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk.
Mahardhika (2004), dengan menggunakan persamaan regresi linier
berganda meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula
domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan
meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula
Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik
tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif
impor.
Situmorang (2005), meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor beras di Indonesia, dengan menggunakan model persamaan
simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas areal panen padi dipengaruhi
oleh harga gabah di tingkat petani, harga pupuk urea, curah hujan, dan lag luas
areal panen. Semua variabel berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman padi.
Produktivitas padi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan urea, dan lag
produktivitas. Harga gabah di tingkat petani dipengaruhi oleh harga dasar gabah,
harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah. Impor beras Indonesia
dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan lag impor beras. Harga impor beras
[image:32.612.125.514.526.711.2]Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor.
Tabel 5. Ringkasan Penelitian-penelitian Terdahulu
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian
1.Widya Astuti (1998) Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta Dampak Kebijaksanaan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Indonesia Menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pengusahaan kedelai di Indonesia serta pengaruh kebijakan pemerintah pada harga output dan input terhadap perkembangan produksi kedelai di Indonesia.
Policy Analysis Matrix (PAM)
2.Merry Rachmawati (1999) 3.Tidar Hadipurnomo (2000) 4.Anderson Guntur Kumenaung (2002) Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerapan Model Armington) Dampak Kebijakan Produksi dan perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Dampak Kebijaka Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Mengkaji keragaan ekonomi kedelai di Indonesia dan dunia,
menganalisis penawaran
5.Pranaya Yudha Mahardhika (2004) . 6.Manris Tua Situmorang (2005) Komoditas Kedelai di Indonesia Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia.
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Impor Beras di Indonesia. ekonomi dan liberalisasi perdangangan terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi yang terlibat dalam bisnis ekonomi Mengetahui perkembangan produksi dan impor gula Indonesia, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula di Indonesia Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras di Indonesia Model persamaan regresi linier berganda Model Persamaan Simultan kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk. Produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya, sedangkan model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional,
dan tarif impor.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan model cukup baik, dimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R2) dari masing-masing
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis
3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan
Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah
komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar
pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga
dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan positif yaitu jika harga
naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun sumber
penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada
waktu sebelumnya.
Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut :
QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX)...(3.1)
dimana :
QSK = Penawaran komoditi
PK = Harga komoditi yang bersangkutan
PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer PI = Harga faktor produksi
G = Tujuan perusahaan
T = Tingkat penggunaan teknologi TX = Pajak dan subsidi
1. PK = Harga komoditi yang bersangkutan
Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah
komoditi mempunyai hubungan positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu
Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan
yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya.
Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan
penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi
akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.
2. PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer
Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi
pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada
komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran
pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan
menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan
sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan
jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan peningkatan harga
komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan jumlah penawaran
komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya penurunan pada harga komoditi
komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah penawaran
komoditi yang bersangkutan.
3. PI = Harga faktor produksi
Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang
diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan
mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa
peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu
4. G = Tujuan perusahaan
Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan.
Tujuan suatu perusahaan tidak semata-mata memaksimumkan keuntungan saja.
Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat
menghasilkan dan menjual lebih banyak.
5. T = Tingkat penggunaan teknologi
Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika
perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas
yang berarti produksi meningkat dan kurva biaya akan bergeser ke bawah yang
berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih
besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya.
6. TX = Pajak dan Subsidi
Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif
untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang.
Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan
meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.
Dalam pasar persaingan sempurna dengan menganggap faktor-faktor lain
tetap (cateris paribus) kecuali harga barang atau jasa yang bersangkutan,
perubahan harga komoditi tersebut dapat menyebabkan pergerakan sepanjang
kurva penawaran atau terjadi perubahan jumlah komoditi yang ditawarkan dalam
Menurut Pappas dan Hirschey (1995), permintaan adalah jumlah barang
atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu.
sebagai berikut :
QDK = f (PK, PS, I, S, PD)...(3.2)
dimana :
QDK = Permintaan Komoditi PK = Harga komoditi itu sendiri PS = Harga komoditi lain
I = Pendapatan
S = Selera
PD = Populasi Penduduk
1. PK = Harga komoditi itu sendiri
Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang
bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan
harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.
2. PS = Harga komoditi lain
Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas
komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi
akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya.
Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan
komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang
komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.
3. I = Pendapatan
Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk
4. S = Selera
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.
Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan
meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
5. PD = Populasi Penduduk
Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu
komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin
banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.
3.1.2. Elastisitas
Suatu ukuran daya tanggap yang diperlukan dalam keseluruhan
pengambilan keputusan manajerial adalah elastisitas, yang didefinisikan sebagai
persentase perubahan dalam variabel dependen Y, yang dihasilkan dari perubahan
satu persen dalam nilai variabel independen X. Persamaan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Elastisitas Y terhadap X = persentase perubahan dalam Y persentase perubahan dalam X
Sumber : (Pappas dan Hirschey, 1995)
Menurut Tomek dan Robinson (1987), elastisitas penawaran adalah
persentase perubahan jumlah yang ditawarkan sebagai respon terhadap perubahan
satu satuan harga dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Bila elastisitas
bernilai nol maka jumlah yang ditawarkan tetap dan tidak ada respon kuantitas
terhadap perubahan harga. Kondisi ini disebut inelastis sempurna. Sedangkan
penawaran yang elastis memiliki nilai lebih dari satu dan persentase perubahan
kuantitasnya lebih besar daripada persentase perubahan harganya. Penawaran
tenggang waktu antara waktu menanam dengan waktu memanen sehingga jumlah
yang ditawarkan tidak segera mengikuti perubahan harga yang terjadi.
Nicholson (2002) menjelaskan, nilai elastisitas penawaran terbagi menurut
rentang waktu pengambilan keputusan produsen, yaitu jangka pendek dan jangka
panjang. Jangka pendek mengacu pada periode waktu dimana produsen harus
mempertimbangan inputnya secara absolut bersifat tetap dalam mengambil
keputusan. Sebaliknya jangka panjang merupakan periode waktu dimana
produsen mempertimbangkan seluruh inputnya bersifat variabel dalam membuat
keputusan.
Sebagai contoh, elastisitas luas areal terhadap harga (EAP) adalah angka
yang menunjukkan persentase perubahan luas areal akibat perubahan harga
sebesar satu persen. Misalnya EAP bernilai 2, berarti setiap peningkatan harga
kedelai sebesar satu persen mengakibatkan perubahan peningkatan luas areal
sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai satu persen
mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen. EAP bernilai -2, berarti
setiap peningkatan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan penurunan
luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai sebesar satu
persen mengakibatkan peningkatan luas areal sebesar dua persen.
3.1.3. Teori Produksi
Lipsey (1993) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam
membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses
produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan
teknologi. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input.
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input dan output, juga
menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk (Doll dan
Orazem, 1984). Ada banyak hubungan input output dalam pertanian karena
tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-beda diantara tipe
tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap hubungan input
output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dibutuhkan
untuk menghasilkan produk tertentu.
Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan
fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap
input dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa
fungsi produksi memeperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan
Tenaga kerja (L).
Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda ;
dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang
berhubungan dengan output ; dengan membuat daftar input dan hasil output secara
numerik dalam tabel ; dalam bentuk grafik atau diagram ; dan dalam bentuk
persamaan aljabar. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, X3,...,Xn)...(3.3)
Dimana Y adalah output dan X1,...Xn adalah input-input yang berbeda yang
terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk
3.1.4. Respon Areal dan Produktivitas Kedelai
Respon areal adalah perubahan pada areal tanam atau panen, sedangkan
respon produktivitas merupakan perubahan dalam hasil per hektarnya.
Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dinamis yang
secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi petani dalam
membuat keputusan di bidang usahataninya. Kondisi-kondisi tersebut seperti yang
telah disebutkan adalah perubahan harga komoditas itu sendiri (Pq), perubahan
harga komoditas alternatifnya (Pj), perubahan harga input yang berpengaruh pada
biaya produksi (Pi), ketersediaan dan perkembangan teknologi (T), perubahan
iklim (CH), kebijakan pemerintah (Kb), dan luas areal sebelumnya (At-1) (Tomek
dan Robinson, 1987).
Masing-masing variabel mempengaruhi areal tanam atau panen secara
berbeda-beda. Dengan berasumsi bahwa produsen akan berperilaku rasional yaitu
mengalokasikan sumberdaya produksinya untuk komoditas yang memberikan
laba yang lebih besar, sehingga semakin tinggi harga suatu komoditas, maka
semakin luas areal tanam atau areal panennya, sehingga produksi akan meningkat.
Variabel lain yang juga berpengaruh terhadap respon areal tanam atau
panen adalah harga komoditas alternatif. Komoditas alternatif dapat berupa
komoditas pesaing (kompetitif) atau sebagai komoditas substitusi maupun
komoditas pendukung (komplementer). Dengan semakin tingginya harga
komoditas pesaing maka luas areal tanam komoditas kedelai akan semakin sempit.
Sebaliknya jika harga komoditas komplementer meningkat maka luas areal tanam
kedelai akan menunjukkan hubungan antara komoditas kedelai dengan komoditas
kompetitif dan komoditas alternatifnya.
Variabel selanjutnya yang turut mempengaruhi luas areal, adalah
harga-harga input, kerena variabel harga-harga input akan mempengaruhi tingkat penggunaan
input. Semakin tinggi harga-harga input maka penggunaannya akan semakin
berkurang, sehingga luas areal tanam yang produktif akan semakin sempit dan
output semakin menurun.
Menurut Tomek dan Robinson (1987), faktor-faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap luas areal adalah kebijakan pemerintah seperti pengendalian
atau kebijakan harga dan kebijakan pengembangan suatu komoditas. Kebijakan
pemerintah mempunyai pengaruh yang langsung dan tidak langsung terhadap
mekanisme harga. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam pengembangan
suatu komoditas, maka pemerintah akan mencurahkan dana bagi pengembangan
areal tanam atau areal panennya.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi respon luas areal, maka
dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut :
At = a(Pqt, Pjt, Pit, Tt, CHt, Kbt, At-1)...(3.4)
Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kedelai
menurut Hadipurnomo (2000), adalah harga kedelai itu sendiri (Pq), luas areal
(A), teknologi (T), kapital (K), jumlah pemakaian pupuk (F), jumlah pemakaian
bibit (V), dan upah tenaga kerja (L) dan produktivitas tahun sebelumnya (Yt-1).
Dengan demikian respon produktivitas adalah :
Yt = y(Pqt, At, Tt, Kt, Ft, Vt, Lt, Yt-1)...(3.5)
Qt = At * Yt...(3.6)
3.1.5. Respon Beda Kala Produksi Kedelai
Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang
waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Dengan demikian
hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa
mendatang serta pengalamannya di masa lalu. Jika terjadi peningkatan harga
produk pertanian pada waktu tertentu, maka peningkatan tersebut segera direspon
oleh peningkatan areal panen maupun produktivitas. Hal ini disebabkan keputusan
alokasi sumberdaya telah ditetapkan pada saat sebelumnya. Oleh karena itu,
pengaruh kenaikan harga tersebut baru terlihat pada periode tanam berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut, Nerlove mengembangkan suatu model penyesuaian
parsial yang mampu menjelaskan hubungan spesifik antara harga harapan dengan
harga di masa lalu.
Bedasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), model distribusi beda kala
penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer
digunakan dalam studi-studi respon penawaran. Dalam bentuk yang paling
sederhana misalnya dalam konteks respon kedelai. Areal panen kedelai yang
diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi, maka persamaannya
menjadi :
A*t = β0 + βPt + ut...(3.7)
dimana,
A*t = areal panen yang diinginkan pada tahun t
Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga
untuk mengatasinya dikalikan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku
penyesuaian parsial.
At- At-1 = δ (A*t –At-1) + vt...(3.8)
dimana,
At – At-1 = perubahan luas panen aktual
A*t – At-1 = perubahan luas panen yang diharapkan
δ = koefisien penyesuaian, 0 ≤δ≤ 1
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari
perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu ini disebut koefisien penyesuaian
parsial (δ). Nilai δ ini terletak di antara dua nilai ekstrim 0 dan 1, jika :
δ = 0, maka tidak ada perubahan apapun dalam areal
δ = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga
penyesuaiannya terjadi seketika (dalam periode waktu yang sama).
Persamaan (3.8) dapat diatur kembali sehingga dapat dituliskan :
At = δA*t + (1-δ) At-1 + vt...(3.9)
Areal panen kedelai yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi oleh
luas areal yang panen yang diinginkan pada saat itu dan luas panen yang ada
dalam periode waktu sebelumnya. Bila mensubstitusikan persamaan (3.7), ke
persamaan (3.9), akan diperoleh :
At = δ( β0 + β1P1 + u1) + (1-δ)At-1 + vt
At = δβ0 + δβ1P1 + (1-δ)At-1 + (vt + δut)
Dimana β0* = δβ0 merupakan konstanta, β1*= δβ1 dan β2* = 1-δ merupakan
parameter yang diduga dan vt* = (vt + δut) adalah peubah penganggu. Persamaan
ini menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis yang ditunjukkan
dengan adanya peubah At-1. Model ini merupakan model penyesuaian parsial
Nerlove. Model ini menunjukkan bahwa besarnya nilai peubah pada suatu periode
sebagian dipengaruhi oleh cadangan yang tersedia di awal periode atau cadangan
hasil periode sebelumnya.
Sama halnya dengan model respon areal panen, model respon
produktivitas (Yt) juga mengalami penyesuaian parsial. Dengan mengikuti
langkah-langkah sebelumnya, diperoleh model respon produktivitas sebagai
berikut :
Yt = σα0 + σα1Pt + (1-σ)Yt-1 + (vt + δut)
Yt = α0* + α1*Pt + α2*Yt-1 + vt*...(3.11)
dimana, α0* = σα0 ; α1* = σα1 ; α2* = (1-σ) ; vt*= (vt + δut).
3.1.6. Teori Dasar Perdagangan Internasional
Dalam arti sempit, perdagangan internasional adalah merupakan suatu
masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antara negara
(Gonarsyah, 1984). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada dasarnya faktor yang
mendorong timbulnya per