• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perubahan Tata Guna Lahan

2.2.2. Model Perubahan Tata Guna Lahan

Perubahan pemanfaatan lahan tidak terlepas dari perkembangan suatu daerah menuju ke keadaan yang lebih padat yang sering diidentifikasikan sebagai perubahan menuju ke arah perkotaan (urbanised area). Secara umum, kebalikan dari perkotaaan disebut dengan pedesaan (rural area). Diakui atau tidak, tidak ada satu daerahpun yang tertutup akan perubahan. Terlebih lagi memasuki era abad ke-21, dimana interaksi dan komunikasi antar komponen-komponen pendukung wilayah satu dengan yang lainnya tidak lagi dibatasi jarak dan waktu. Batas-batas keruangan wilayah memudar seiring inovasi-inovasi teknologi dan sistem regulasi pendukung yang memungkinkan terjadinya percampuran sistem budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya, pemanfaatan berbagai penemuan baru, pemindahan modal, dan pergerakan sumber daya manusia (tenaga kerja). (Suartika, 2007).

Oleh karenanya, di dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan perlu diatur alokasi pemanfaatan ruang/lahan untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb)

(transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni

(livable environment) (Algamar, 2003). Sedangkan dalam lingkup perkotaan,

pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta asset fisik (seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan).

Sedangkan pembedaan pola keruangan ini disebabkan oleh luas daerah kota, unsur topografi, faktor sosial, faktor budaya, faktor politik dan faktor ekonomi yang secara garis besar dibagi atas inti kota (core the city) dan selaput kota

(intergruments), dimana pada kedua daerah tersebut masih dapat dijumpai

daerah-daerah kosong (interstices) (Bintarto dalam Yusran, 2006).

Menurut Bourne dalam Yusran (2006), ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: perluasan batas kota, peremajaan di pusat kota, perluasan jaringan infrastruktur terutama jaringan transportasi serta tumbuh dan hilangnya pemusatan aktifitas tertentu yang secara garis besar berjalan dan berkembang secara dinamis dan natural terhadap alam yang dipengaruhi antara lain:

a. Faktor manusia, yang terdiri dari kebutuhan manusia akan tempat tinggal, potensi manusia, finansial, sosial budaya serta teknologi;

b. Faktor fisik kota, meliputi pusat kegiatan sebagai pusat-pusat pertumbuhan kota dan jaringan transportasi sebagai aksesibilitas kemudahan pencapaian; c. Faktor bentang alam yang berupa kemiringan lereng dan ketinggian lahan.

Adapun dalam mengatur dan mengkontrol terjadinya perubahan tata guna lahan diperlukan suatu perangkat sistem pengelolaan. Keiser, Godschalk dan Chapin dalam Suartika (2007) menawarkan dua model manajemen perubahan tata guna lahan, yaitu:

a. Model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan kehidupan hidup manusia (human ecology) dan politikal ekonomi dalam suatu konsep yang menggabungkan proses pengaturan pemanfaatan lahan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

b. Model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah (discourse

planning model). Model ini tidak hanya mengakui kepentingan-kepentingan

kelompok dominan yang telah disebutkan dalam game theory, tetapi juga memberi peluang kepada pihak perencana, tenaga ahli teknis dan kelompok kelompok kepentingan lainnya untuk berpartisipasi.

Menurut Gibson dalam Markvart (2009), konsep esensial dari pembangunan berkelanjutan sendiri antara lain:

1. Suatu tantangan untuk berfikir dan berbuat secara konvensional;

2. Melakukan sesuatu untuk kesejahteraan jangka panjang maupun jangka pendek;

3. Menyeluruh, meliputi semua permasalahan inti di dalam hal pengambilan keputusan;

4. Suatu pengenalan tentang hubungan keterkaitan dan saling ketergantungan, terutama antara manusia dan fondasi biofisik untuk kehidupan;

6. Suatu pengenalan terhadap batasan yang tidak dapat diganggu gugat serta tidak habisnya peluang didalam menciptakan inovasi kreatifitas;

7. Suatu proses akhir yang selalu terbuka dan bukan merupakan suatu pernyataan; 8. Suatu pemahaman yang baik antara budaya dan pemerintahan seperti yang

terjalin dengan ekologi, sosial dan ekonomi;

9. Seluruh ketergantungan yang bersifat universal dan kontekstual.

Menurut Camagni dalam Capello dan Nijkamp (2004), teori dan model ekonomi perkotaan secara efisien diatur dalam 5 (lima) prinsip utama antara lain: a. Prinsip Pengelompokkan: Kepadatan penduduk yang tinggi dan kegiatan

yang produksi mempercepat kemunculan seluruh gejala positif dan negatif yang berasal dari kedekatan fisik, ekonomi kelompok, baik dalam bentuk urbanisasi dan lokalisasi ekonomi yang dikenal sebagai elemen genetic dalam keberadaan suatu kota;

b. Prinsip Aksesibilitas: Pemahaman interaksi saling menguntungkan antara biaya transportasi dan penggunaan lahan langsung dan lebih banyak kepada aplikasi yang rasional secara cepat di tingkat kota;

c. Prinsip Interaksi Spasial: Tingkat kepadatan yang tinggi di permukiman dan kegiatan produksi yang hadir di setiap kota memfasilitasi kebutuhan kontak, dan berakibat terhadap mekanisme interaksi spasial, dengan segala dampak positif dan negatif yang terkait dengan mereka;

d. Prinsip Hirarki Perkotaan: Pembagian ruang bagi para pekerja jelas tercermin dalam perbedaan pola sosio-ekonomi antar kota;

e. Prinsip Persaingan: Dalam kondisi kota sebagai lokasi utama kegiatan produksi, prinsip persaingan menjadi sangat penting di tingkat perkotaan serta membutuhkan ketentuan spesifik guna mendukung mekanisme efisiensi perkotaan.

Sedangkan konsep dari partisipasi sendiri adalah berdasarkan pengalaman dan wawasan yang berkembang harus diakui bahwa masyarakat lokal yang sebelumnya selalu dipandang sebagai subjek, klien atau penerima yang pasif , secara jelas telah banyak berkontribusi pada proses penelitian dan pengembangan. Menurut Chamber, pendekatan partisipatif yang diterapkan saat ini dalam berbagai konteks sosial dan ekologi, telah membentuk dan mempengaruhi program maupun kebijakan nasional, penelitian regional dan internasional serta pembangunan di seluruh dunia (Byambaa, 2004).

Partisipasi tidak meningkatkan kinerja proyek akan tetapi merupakan komponen utama pemberdayaan masyarakat dan membuat mereka mandiri untuk belajar bertanggung jawab atas kehidupan dan mengambil kendali atas keadaan untuk selanjutnya mengembangkan kapasitas untuk menolong dirinya sendiri dalam suatu proses. Menurut Rolly, partisipasi menciptakan rasa percaya diri yang kuat dan mampu meyakinkan diri mereka untuk dapat berhasil menggunakan

sumber daya yang tersedia untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Byambaa, 2004).

Pendekatan partisipatif merupakan hasil dari ketidakpuasan terhadap pendekatan top-down di dalam proses perencanaan dan manajemen. Ketika masyarakat tidak dilibatkan di dalam proses pengambilan keputusan ataupun

pemilihan metode pemecahan masalah sosial budaya yang sesuai dengan kebutuhan mereka maka hasilnya adalah suatu kegagalan proyek (Rolly dalam Byambaa, 2004).

Menurut Burke dalam Byambaa (2004), proses perencanaan tidak lagi merupakan domain eksklusif para ahli teknis, melainkan perlu dipikirkan siapa saja yang harus terlibat, bagaimana bentuk keterlibatannya, fungsi masyarakat apa sajakah yang harus dilayani dan bagaimana mengadaptasikan metode perencanaan ke proses yang melibatkan berbagai kepentingan dan kelompok lebih luas.

Dokumen terkait