• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Persepsi Masyarakat Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan

Menurut Sari (2009), pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menjadikan kebutuhan ruang semakin tidak terbatas. Aktifitas masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial, maupun yang lainnya dari waktu ke waktu berdampak pada meningkatnya kebutuhan penggunaan lahan. Fenomena ini berkembang di wilayah perkotaan dan menjadikan eksplorasi ruang yang kurang terkendali. Meskipun banyak ruang yang sudah diatur dalam berbagai bentuk kebijakan, namun tidak semua bentuk perkembangan keruangan terwadahi, apalagi dengan keberadaan lahan yang bersifat statis dan harga lahan yang semakin tinggi memicu persaingan dan konflik dalam memanfaatkan ruang.

Salah satu studi kasus terjadinya perubahan tata guna lahan di suatu lokasi adalah Kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran di Jakarta yang merupakan contoh kawasan yang kini telah beralih fungsi menjadi suatu kawasan kota baru. Menurut Syahroji (2008) , kota Baru Bandar Kemayoran (KBBK) merupakan kawasan bekas Bandar Udara Kemayoran dengan luas kawasan berdasarkan SK. Mendagri No. 24/HPL/DA/1982 secara keseluruhan sekitar 454 hektar.

Gambar 2.2. Layout Kawasan Bandar Udara Kemayoran

Sumber :

Lokasi ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena alasan keselamatan penerbangan, kebisingan, terbatasnya lahan dan kepentingan pembangunan kota (DP3KK, 2001). Setelah beroperasi selama 45 tahun sejak 8 Juli 1940, karena alasan diatas bandar udara Kemayoran resmi ditutup pada tanggal 5 Juli 1985. Adapun fungsi Bandar Udara Kemayoran saat ini telah digantikan oleh Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang yang berjarak 20 Km dari kawasan Kemayoran.

Proses terbentuknya pola hubungan bandara Kemayoran dengan masyarakatnya khususnya di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari dan Pademangan Timur dijelaskan oleh Husni, dkk (1997) sebagai berikut;

a. Pada awalnya peningkatan kebutuhan aktifitas komersial, perkantoran maupun pemukiman elit Eropa di Batavia menjadi penyebab semakin tajamnya segregasi penduduk antara pemukiman elit Eropa, pemukiman menengah pedagang Cina serta pemukiman tradisional “kampung” pribumi.

Untuk mendukung pelayanan kebutuhan saat itu dibangunlah suatu sarana transportasi udara berupa bandara yang terbentang panjang dari utara mulai Kelurahan Pademangan Timur sampai selatan di Kebon Kosong;

b. Pendudukan tanah dimulai pada tahun 1920 dengan kedatangan para petani dari wilayah Jawa Barat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di perkotaan. Sedangkan pola terbentuknya permukiman dimulai dari didirikannya gubuk-gubuk sementara oleh para pendatang tersebut dan seiring terjadinya peningkatan ekonomi, gubuk-gubuk tersebut berkembang menjadi rumah permanen. Pertumbuhan migrasi semakin pesat ketika pemimpin RI pada akhir tahun 1940-an. Penempatan lahan bandara sendiri oleh masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk kepentingan bandara pada saat itu yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara. Pada perkembangannya kelurahan Kebon Kosong menjadi daerah yang terpadat, diikuti dengan Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur;

c. Dilihat dari tingkat pendidikannya, 26 % dari masyarakat belum tamat SD, 72 % diantaranya berpendidikan menengah (SMP/SMA) dan hanya 2 % saja yang berpendidikan sarjana/akademi;

d. Jenis pekerjaan dari kepala keluarga atau pencari nafkah sangat bervariasi dan meliputi berbagai jenis pekerjaan seperti buruh (bangunan, pasar, pabrik, dan lain-lain), pedagang (kaki lima/warung/toko), pegawai (negeri/swasta), ABRI dan lain-lain.

Melihat kondisi diatas terlihat adanya proses pemunculan pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara Kemayoran dimulai dari penempatan lahan bandara oleh

masyarakat karena tidak semua lahan digunakan secara aktif untuk kepentingan bandara. Penempatan lahan oleh para pendatang dari Jawa Barat untuk mencari kondisi ekonomi yang lebih baik mengindikasikan bahwa masyarakat tidak ingin ditinggalkan dalam pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya.

Kolaborasi antara konsep teknis dengan realita di lapangan tersebut bukan sebuah usaha untuk kompromi, melainkan usaha untuk mendekatkan kesenjangan antara perilaku masyarakat dan arahan ruang (Hardiansah, 2008). Oleh karena menjadi penting untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap aktifitas utama yang berlangsung di sekitar lokasi mereka tinggal.

Gejala penempatan lahan yang pada akhirnya menjadi cikal bakal munculnya pemukiman kumuh di sekitar lokasi bandara selanjutnya menimbulkan kepadatan yang sangat tinggi di beberapa lokasi kelurahan. Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya pola penempatan pemukiman marginal khusus dengan solidaritas yang kuat diantara mereka di dalam suatu komunitas yang baik (Silas, 1989). Walaupun hal ini bukan menjadi alasan utama, akan tetapi kondisi tingkat keamanan dan kenyamanan masyarakat di suatu permukiman tetap perlu menjadi perhatian.

Pengembangan kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut Syahra, dkk (1997) baru dimulai pada tahun 1990. Melalui revisi perencanaan yang dilakukan pada tahun 1989, kawasan yang awalnya diputuskan oleh pemerintah untuk dijadikan pusat pertumbuhan sekunder yang menyesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungannya berubah konsep menjadi kota baru di dalam kota (New

Town in Town) dimana aktifitas ekonomi yang muncul diharapkan dapat

Rencana pengembangan fisik kawasannya juga menyesuaikan pemenuhan kebutuhan dan gambaran atas suatu kota bisnis yang modern. Sedangkan untuk pemanfaatan lebih lanjut tanah Kemayoran, maka pemerintah membentuk Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) yang bertindak untuk penguasaan dan pengelolaan Kemayoran. Sedangkan untuk pelaksanaannya sehari-hari dilaksanakan oleh Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Komplek Kemayoran (DP3KK).

Pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran sendiri menurut DP3KK (2001) merupakan suatu pengembangan kota baru yang dapat mengemban fungsi strategis untuk pusat perdagangan dan jasa serta informasi antar bangsa

(Indonesia International Trade Centre) yang didasari atas beberapa dasar

pemikiran antara lain:

a. Keharusan untuk mengelola asset eks bandara milik Negara secara professional dan strategis bagi kepentingan nasional;

b. Penekanan pembiayaan pembangunan dengan lebih melibatkan peran swasta seluas-luasnya dibandingkan pemanfaatan APBN maupun APBD;

c. Perlunya upaya pemulihan kondisi ekonomi dengan cara penciptaan fasilitas untuk mewujudkan pusat perdagangan dan jasa serta informasi guna memperlancar proses perdagangan internasional khususnya ekspor hasil-hasil industri.

Arah pembangunan perkotaan yang berfungsi untuk mengemban fungsi strategis bagi kepentingan skala nasional bahkan internasional yang mandiri dan tetap ramah lingkungan.

Salah satu tantangan yang dihadapi menurut Hardiansah (2008), selama ini rencana Tata Ruang belum menjadi dokumen populis yang menginternal di kalangan masyarakat karena baru sebatas wacana publik dan belum mampu ditransformasikan sebagai sebuah action plan bersama elemen masyarakat untuk mewujudkan kondisi ruang yang baik.

Sedangkan untuk menumbuhkan rasa memiliki untuk kemudian mempertahankan dan melestarikan suatu objek dalam hal ini rencana tersebut, menurut Budiharjo (2000), masyarakat membutuhkan rasa penguasaan dan pengawasan (a sense of mastery and control) terhadap habitat atau lingkungannya. Oleh karenanya perlu diketahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap rencana perubahan tata guna lahan dimaksud.

Setelah mengetahui rencana perubahan tata guna lahan tersebut, perlu diketahui tingkat persetujuan atas detail rencana perubahan yang berdampak terhadap mereka langsung karena menurut Hardiansah (2008), dokumen rencana yang sangat birokratik masih sering dianggap miring sebagai salah satu proyek semata saja oleh elemen masyarakat.

Selain itu, perwujudan dari rencana tersebut terkadang tidak sesuai dengan implementasinya terutama terjadinya berupa terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan. Menurut Harjanti (2002), akumulasi dari persaingan dalam penggunaan lahan tersebut menyebabkan lahan– lahan yang semula telah dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu dalam rencana

kota, pada saat diimplementasikan sering telah digunakan oleh jenis kegiatan lainnya.

Gambar 2.3. Masterplan / RTRK Kota Baru Bandar Kemayoran Tahun 2005 Sumber : DP3KK (2001)

Setelah masyarakat memahami dan menyetujui rencana perubahan tata guna lahan wilayah mereka kedepannya maka isu yang selanjutnya dihadapi adalah keterbukaan dan keikhlasan dalam menempatkan kepentingan sektor dan wilayah dalam kerangka penataan ruang dan kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan masing-masing secara berlebihan dalam mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Menurut Hardiansah (2008), penataan ruang dan masyarakat sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah proses pembangunan. Mendikotomikan antara proses penataan ruang dengan proses bermasyarakat jelas bukan sebuah paham yang akhir-akhir ini dianut oleh sebagian besar pemerintahan. Disamping itu menurut Silas (1989), masyarakat yang telah dikorbankan lahannya demi pembangunan tidak boleh ditinggalkan dalam pertumbuhan aspek sosial dan ekonomi yang mengikutinya.

Oleh karenanya perlu diketahui tingkat kepatuhan masyarakat apabila bangunan atau lahan mereka harus digusur demi kepentingan umum terkait rencana perubahan tata guna lahan kedepannya.

Perencanaan ruang memberi peluang lebih besar kepada daerah untuk mengekspresikan potensi dan keinginan daerah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan wilayah. Menurut Marlia (2000), semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan.

Disamping itu, pengalokasian guna lahan di perkotaan akan mengarah ke lokasi yang dapat memberikan keuntungan tertinggi sehingga lahan–lahan yang memiliki tingkat kestrategisan dan potensi yang lebih besar akan lebih berpeluang

mengalami proses perubahan pemanfaatan lahan (Goldberg dalam Yunus, 2000). Untuk membuktikan hal tersebut perlu diketahui tingkat keyakinan masyarakat terhadap terjadinya peningkatan ekonomi wilayah dalam hal ini perkotaan.

Begitu juga dengan sebaliknya, setiap perencanaan tata ruang harus bertujuan mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang pada akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan studi kasus kota baru Bandar Kemayoran, Warsilah dalam Syahra,dkk (1997) mengungkapkan bahwa walaupun pendapatan yang dihasilkan dari munculnya peluang usaha dan kerja yang baru dirasakan oleh masyarakat lebih meningkat dibandingkan sebelum proyek pengembangan kota dimulai, akan tetapi biaya penempatan rusun secara bertahun-tahun juga tidak kecil sehingga pendapatan yang meningkat tersebut tidak berarti.

Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi apabila proses perencanaan investasi bagi masyarakat dilakukan secara efektif dan efisien melalui pengurangan terjadinya duplikasi, tumpang tindih, konflik pekerjaan dan ketentuan yang tidak tepat waktu (Curtis dalam Mattingly,dkk ,2000). Sehingga perlu diketahui juga tingkat keyakinan masyarakat terhadap terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat terkait adanya rencana perubahan tata guna lahan di suatu kawasan.

Pada kasus Kota Baru Bandar Kemayoran, menurut DP3KK (2007) wilayah ini dikembangkan dengan konsep pembangunan tanpa penggusuran yang menjamin kehidupan eks penghuni lahan tidak turut tergusur. Tujuannya agar penduduk setempat memperoleh manfaat dan bisa ikut maju seiring pengembangan wilayahnya. Bentuk penggantian yang dapat diperoleh masyarakat

berupa uang, relokasi lahan, konsolidasi lahan, maupun ditukar dengan rumah susun dalam program pemukiman kembali.

Adanya perlakuan khusus bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah ditujukan agar dapat menjadi contoh konsep program pemukiman kembali di wilayah perkotaan (Urban Resettlement Project) sejenis di kawasan metropolitan Jakarta lainnya walaupun dalam skala yang berbeda. Hal ini memang perlu dilakukan untuk menjaga struktur sosial dan kepentingan bertahan hidup masyarakat korban penggusuran khususnya bagi lokasi kawasan pemukiman beserta masyarakat yang akan mengalami perubahan besar akibat pengembangan kawasan eks bandara Kemayoran menjadi pusat bisnis internasional seperti di wilayah kelurahan Kebon Kosong, Gunung Sahari Selatan dan Pademangan Timur.

Seharusnya memang dalam lingkup perkotaan, pengelolaan kawasan dilaksanakan dengan mendayagunakan segenap asset yang ada secara efektif, efisien dan berkelanjutan. Adapun asset yang tercakup dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah keuangan (pembiayaan pembangunan), penduduk (sumberdaya manusia), sosial (termasuk institusi publik), lahan, lingkungan, serta asset fisik (seperti bangunan – termasuk rumah, prasarana dan sarana perkotaan).

Menurut Kebble dan Chapin dalam Mattingly, dkk (2000), dalam kasus kawasan perkotaan, hal yang harus dilakukan dalam perencanaan tata ruang adalah;

1. Mengkoordinasikan lokasi secara waktu dan tempat atas seluruh peryediaan dan kebutuhan untuk pelayanan infrastruktur dan fasilitas;

2. Menetapkan guna lahan yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan termasuk transportasi dibandingkan dengan pengembangan lahan sedikit demi sedikit.

Oleh karenanya perlu diketahui tingkat keyakinan tersedianya kebutuhan infrastruktur maupun fasilitas yang penunjang keberlangsungan hidup dan aktifitas masyarakat kedepannya.

Gambar 2.4. Ilustrasi Rencana Penataan Jl. Benyamin Suaeb Sumber : DP3KK (2007)

Walaupun filosofi pengembangan kawasan kota baru Bandar Kemayoran berupa pembangunan tanpa penggusuran (Development Without Displacing) dan juga didukung oleh adanya program pengembangan komunitas (Community

Development Program) kepada masyarakat guna mempersiapkan masyarakat

secara budaya dan mental untuk hidup di pusat kota modern di Kemayoran akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Warsilah dalam Syahra,dkk (1997), kondisi lain yang muncul setelah program tersebut berjalan adalah munculnya daya tarik pendatang dari luar sebagai dampak dari terbukanya lapangan kerja baik di Jakarta secara umum maupun Kemayoran secara khusus.

Menurut Marlia (2000), aktifitas ekonomi di suatu wilayah memang cenderung mengundang pemukim yang tentunya membutuhkan ruang. Dampak lebih lanjut dari kasus kota baru Bandar Kemayoran adalah meningkatnya kebutuhan rusuna. Bahkan unit hunian yang tadinya disiapkan untuk kapasitas 5 orang kini dihuni 8 sampai dengan 10 orang. Hal tersebut tentunya berdampak terhadap melebihinya daya tampung hunian khususnya kelas bawah.

Hal inilah yang mengakibatkan hilangnya identitas sosial yang dibangun masyarakat selama ini. Menurut Warsilah dalam Syahra,dkk (1997), walaupun pola lama seperti solidaritas masyarakat yang tinggi dan budaya gotong royong tidak ditinggalkan, akan tetapi kondisi keterbatasan ruang dan waktu menjadi kendala dalam hal kebiasaan saling mengunjungi dan bersosialisasi. Kondisi kesibukan dan sedikitnya waktu yang tersisa akibat beban kerja menjadi faktor penghambat terlaksananya kebiasaan tersebut.

Sebuah proses adaptasi pendatang didefinisikan sebagai respon penyesuaian oleh setiap individu atau kelompok dengan kondisi yang bervariasi. Adaptasi dapat terlihat dalam berbagai macam bentuk. Menurut Barry dalam Lukasiewicz, adaptasi ada beragam bentuknya antara lain:

a. Integrasi berupa upaya menunjukkan keikutsertaan memelihara warisan etnik serta berpartisipasi di dalam dan memperluas sosialisasi dengan masyarakat dari kelompok lain;

b. Asimilasi berupa upaya berinteraksi dengan kelompok lain tanpa harus memelihara warisan etnis mereka.

c. Separasi berupa upaya menghindari kontak dengan kelompok lain walaupun tetap memegang tradisi etnisnya.

d. Marjinalisasi yang merupakan kurang tertariknya dalam menjaga hubungan baik dengan suatu etnis atau kelompok lain.

Mengamati fenomena yang muncul maka perlu diketahui respon tingkat kekhawatiran masyarakat atas hilangnya identitas sosial yang mereka bangun selama ini akibat munculnya para pendatang.

Kondisi sosial terakhir yang muncul adalah masuknya pendatang dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah didalam lingkungan kota baru Bandar Kemayoran yang direncanakan sebagai pusat bisnis dan perdagangan internasional akan memunculkan degradasi sosial ketika mereka harus menempati rusun yang keberadaannya sangat kontras dengan berbagai apartemen mewah di sekitar mereka.

 

Gambar 2.5. Kondisi Pemukiman Rusun yang Kontras Dengan Lingkungan Sekitar

Sumber : DP3KK (2001)

 

Kondisi tersebut ditambah lagi dengan terjadinya pergeseran filosofi “Development Without Displacing” yang pada awalnya menjadi konsep

pembangunan. Terjadinya pemindahan hak kepemilikan rusun kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola akibat kondisi keterbatasan ruang dan model hunian vertikal yang memaksa mereka harus merubah pola gaya hidup sebelumnya yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan berkehidupan.

Menurut Budihardjo dalam Marlia (2000), hal tersebut merupakan indikasi dari kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota, antara lain karena bangunan dan lingkungan binaan lebih dipandang sebagai hal statis dan lebih tragis lagi, apabila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja.

Lebih jauh ditambahkan oleh Wahyono (2005) bahwa pendekatan pembangunan partisipatoris berhimpit dengan konsep pembangunan berbasis multikultural.

Berbagai fasilitas publik tidak saja dibangun menurut keragaman warga kota, tetapi

bagaimana agar keberagaman itu dapat saling berinteraksi satu sama lain tanpa harus

kehilangan identitasnya masing-masing yang berasal dari latar belakang sub-kultur

maupun sub-masyarakat. Pembangunan pemukiman yang eksklusif dengan berbagai

desain arsitektur yang tidak membumi, bukan saja tanpa identitas yang jelas, tetapi

juga membuat warganya terasing dan kurang membuka bagi kelancaran interaksi

sosial, karena itu tidak berbasis multikultur.

Mengamati fenomena tersebut, pada akhirnya perlu diketahui tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya degradasi sosial diantara mereka kedepannya.

Mempelajari studi kasus pola perubahan yang terjadi di kawasan Kota Baru Bandar Kemayoran diatas dapat disimpulkan bahwa walaupun perencanaan tata guna lahan di kawasan tersebut telah dibekali dengan berbagai pemikiran strategi

berjalan secara maksimal sesuai rencana apabila tidak secara sungguh-sungguh melibatkan peran serta masyarakat dari awal terutama bagi masyarakat yang terkena dampak langsung dari pengembangan kawasan kedepannya.

Oleh karenanya dalam konteks pendekatan persepsi masyarakat, potensi dampak yang akan muncul harus dilihat secara luas. Artinya dalam melakukan kegiatan tersebut perlu mengacu kepada berbagai variabel yang bersifat kuantitatif terkait aspek ekonomi dan kependudukan serta aspek sosial perubahan norma dan nilai yang ada di masyarakat, kepercayaan dan persepsi di lingkungan dimana mereka tinggal. Dengan demikian perbedaan antara proses perubahan sosial dan dampak yang muncul bagi masyarakat harus diidentifikasi di dalam suatu pengaturan sosial. (Slootweg dalam Schirmer,dkk ,2008)

Pada akhirnya menurut Schirmer, dkk (2008) untuk mengeksplorasi berbagai pandangan dari terjadinya perubahan tata guna lahan disarankan untuk mencari variasi yang signifikan pada pola pikir dan pengalaman masyarakat dari perubahan tata guna lahan ini sendiri, antara lain:

1. Seluruh dampak yang diamati dan dirasakan dari perubahan tata guna lahan; 2. Bagaimana seluruh dampak yang diamati dan dirasakan tersebut dirasakan

secara berbeda oleh masing-masing penduduk di setiap wilayah;

3. Perbedaan alasan akan memunculkan pandangan kelompok yang berbeda.

Dokumen terkait