BAB II. LANDASAN TEORI
B. Self Esteem
3. Model Self Esteem
Penelitian mengenai berbagai macam model self esteem dewasa ini semakin sering dilakukan oleh para peneliti. Hal ini membuat
banyak model dari self esteem kemudian dapat diketahui. Branden (1969) dalam studinya menemukan terdapat dua model self esteem yaitu:
a. Authentic atau genuine self esteem
Model ini merupakan self esteem yang mendapatkan rasa bangga yang bersumber dari hal internal. Hal internal di sini adalah individu lebih menggantungkan diri mereka pada hal seperti penerimaan diri, tanggung jawab akan diri, dan rasa berharga akan diri mereka pribadi.
b. Pseudo-self esteem
Pseudo-self esteem merupakan model self esteem yang mendapatkan rasa bangga pada diri dari hal eksternal. Hal eksternal tersebut seperti pujian, penerimaan orang lain, kekayaan, atau status sosial. Individu yang memiliki self esteem model ini cenderung menggantungkan diri mereka pada sumber eksternal, sehingga hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kekurangan dalam penerimaan diri, tanggung jawab akan diri, dan sumber internal lainnya. Self esteem yang mereka miliki juga tidak kokoh sehingga lemah terhadap ancaman yang muncul pada mereka.
Creemers, Engels, Scholte, Prinstein, dan Wiers (2012) memiliki model lain mengenai self esteem. Mereka mengutarakan bahwa self esteem memiliki model lain yaitu:
a. Implicit self esteem
Implisit self esteem merupakan identifikasi yang kurang akurat terhadap dampak dari perilaku diri dan evaluasi pada asosiasi diri dan pemisahan diri dengan objek (Greenwald & Banaji, 1995). Implicit self esteem juga merupakan mode yang lebih eksperimental, terbentuk dari proses yang intuitif dan otomatis dari pengalaman afektif (Dijksterhuis dalam Epstein & Morling, 1995). Lebih jauh, implicit self esteem juga relatif lebih otomatis, juga merupakan evaluasi afektif dari diri yang berada di luar kesadaran (Bosson, Swan, dan Pennebaker, 2000).
b. Explicit self esteem
Explicit self esteem lebih merefleksikan produk dari proses kognitif, terbentuk dari proses yang rasional dan sadar (Dijksterhuis dalam Epstein & Morling, 1995). Proses yang terjadi merupakan proses dari stimulus yang relevan terhadap diri individu (Dijksterhuis dalam Epstein & Morling, 1995). Di sisi lain, explicit self esteem juga menjadi indikator nilai interpersonal individu yang diterima dari interaksinya terhadap orang lain (Leary, 2005).
Kedua model self esteem ini sebenarnya terdapat pada setiap individu manusia. Pada perkembangannya, teori mengasumsikan bahwa implicit self esteem berkembang lebih awal dan lebih primitif daripada explicit self esteem (Bosson, Brown, Zeiger-Hill, dan Swann, 2003). Primitifnya implicit self esteem menyebabkan evaluasi yang terdapat implicit self esteem lebih otomatis,
sehingga lebih tidak sadar, tidak disengaja, dan tidak terkontrol daripada evaluasi yang explicit (Bargh dalam Greenwald & Banaji, 1995). Hal ini juga menyebabkan evaluasi yang terjadi pada explicit self esteem lebih cenderung pada penilaian kognitif yang lebih pada diri (Swann & Schroeder, 1995).
Penelitian pada kedua model self esteem ini juga sudah mulai dilakukan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa implicit self esteem yang tinggi merujuk pada depresi pada individu di masa dewasa (Franck, De Raedt, Dereu, dan Van Abbeele, 2007). Analisis tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan juga oleh Franck, De Raedt, dan De Houwer (2007) di mana ditemukan simptom depresi pada individu dewasa dengan implicit self esteem yang tinggi.
Namun, fakta tersebut sebenarnya tidak serta merta melabelkan bahwa implicit self esteem selalu berdampak negatif. Implicit self esteem sebenarnya diindikasikan sebagai ideal self atau diri ideal (Franck dkk, 2007). Sementara itu, explicit self esteem merepresentasikan actual self atau keadaan diri yang sebenarnya (Franck dkk, 2007). Secara lebih spesifik, terdapat dua bentuk (dispreances) implicit dan explicit self esteem, yaitu:
a. Defensive atau Fragile Self Esteem
Bentuk ini merupakan keadaan di mana terdapat explicit self esteem yang tinggi dan implicit self esteem yang rendah (Bosson, Swann, Pennebaker, 2003).
b. Damaged Self Esteem
Sebaliknya, damaged self esteem merupakan kondisi di mana terdapat explicit self esteem yang rendah dan implicit self esteem yang tinggi (Schroder-Abe, Rudolph, Wiesner, dan Schutz, 2007). Individu yang mengalami damaged self esteem terjebak diantara tujuan dan realitas yang terjadi pada diri mereka.
Berdasarkan penjelasan tersebut, kedua model self esteem ini sebenarnya sama pentingnya, namun harus seimbang.
Tidak berhenti sampai di situ saja, Brown (2014) dalam buku yang dituliskannya juga mengutarakan model self esteem. Brown (1997) membuat model self esteem menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Global Self Esteem
Peneliti mendiskripsikan bagian ini sebagai bentuk umum dari self esteem. Sifat dari self esteem ini cenderung tetap dan tidak berubah, entah dalam periode waktu maupun situasi yang berbeda. Sehingga, self esteem pada bagian ini merupakan pandangan umum dari self esteem yang dimiliki oleh individu, di karenakan mencakup semua bagian dari self esteem individu.
b. Self Evaluations
Self evaluations merupakan perwujudan cara self esteem dalam mengevaluasi berbagai macam kemampuan dan atribut yang dimiliki oleh individu. Sehingga self evalutions dapat dikatakan sebagai bagian self
esteem yang mengevaluasi individu dari berbagai macam sisi. Bagian ini jugalah yang menjadi pembentuk dari global self esteem.
c. Feelings of Self Worth
Bagian self esteem ini berhubungan dengan sisi emosional individu. Feelings of self worth merupakan sisi emosional self esteem pada diri individu yang terbentuk dari hasil positif maupun negatif yang individu alami dalam kesehariannya. Perasaan bangga maupun malu pada diri individu merupakan contoh dari bagian self esteem ini. Maka dari itu, bagian self esteem ini merupakan perasaan secara umum pada individu terhadap dirinya.
Tak hanya sampai di situ saja, McAuley dkk (2005) menyampaikan bahwa ada model lain dari self esteem yaitu physical self esteem. Physical self esteem merupakan bagian dari self esteem yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Secara lebih detail, McAuley dkk (2005) menjelaskan physical self esteem merupakan seberapa banyak individu melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh individu ini merupakan bentuk penghargaan individu terhadap diri mereka. Semakin individu menghargai diri mereka, maka individu akan merawat diri mereka, di mana bentuk perawatan diri yang dilakukan oleh individu yang memiliki pshysical self esteem yang tinggi adalah dengan melakukan aktivitas fisik untuk menjaga kesehatan mereka (McAuley, dkk, 2005). Oleh karena hal tersebut, physical self esteem ini menjadi bagian yang penting dalam pembentukan self esteem individu secara keseluruhan.
Dari keseluruhan model self esteem tersebut, peneliti memilih global self esteem dan physical self esteem. Global self esteem merupakan bentuk umum dari self esteem. Sifat dari self esteem yang cenderung tetap dan tidak berubah, entah dalam periode waktu maupun situasi yang berbeda, menjadi hal yang penting dalam mengukur self esteem. Kritik pada penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa masih tidak stabilnya self esteem yang dimiliki oleh subjek (Orth, dkk, 2011), menjadi hal yang mendasar mengapa kestablian self esteem menjadi penting. Hal ini menyebabkan hasil penelitian sebelumnya kurang maksimal. Sementara itu physical self esteem merupakan bagian dari self esteem yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Secara lebih detail, McAuley dkk (2005) menjelaskan physical self esteem merupakan seberapa banyak individu melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang dilakukan oleh individu ini merupakan bentuk penghargaan individu terhadap diri mereka. Penghargaan individu akan dirinya ini juga merupakan bentuk salah satu dari aspek self esteem yaitu feelings of belonging. Obesitas yang merupakan keadaan kelebihan lemak pada tubuh (Priyani, 1998), tentu saja dapat dihindari jika lemak pada tubuh tersebut dapat dibakar. Aktivitas fisik yang merupakan aktivitas yang dapat membakar lemak pada tubuh tentu saja menjadi salah satu kunci untuk individu dapat menghindari obesitas. Physical self esteem inilah yang mendorong individu untuk melakukan perilaku aktivitas fisik. Dari sekian banyak pilihan perilaku yang ada, individu tetap akan memilih melakukan aktivitas fisik jika memiliki physical self esteem yang baik. Pemilihan
aktivitas fisik ini juga dilakukan karena individu merasa bahwa dirinya berharga, sehingga kesehatan dirinya harus dijaga. Oleh karena itu, individu kemudian melakukan aktivitas fisik sebagai bentuk penghargaan akan dirinya. Penekanan pada aktivitas fisik inilah yang menjadi alasan pemilihan physical self esteem.