• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abstrak

Sentang adalah salah satu pohon cepat tumbuh yang tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Sentang juga memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sentang dapat ditanam secara agroforestri dengan meniran. Penanaman secara agroforestri ini memberikan dampak positif dan negatif pada keduanya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pertumbuhan sentang yang ditanam secara agroforestri dan monokultur. Penelitian dilaksanakan di lahan Unit Konservasi Budidaya Pusat Studi Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Sentang yang diamati dalam penelitian berumur 2 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Metode yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang digunakan adalah pola tanam monokultur (P0) dan agroforestri (P1) dengan 14 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestri tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sentang diduga karena waktu pengamatan yang relatif singkat. Pertumbuhan akar sentang mengarah ke permukaan baik agroforestri maupun monokultur.

Kata kunci: agroforestri, perakaran, sentang, tajuk Abstract

Sentang is one of fast-growing tree species which resistant to disease and pest. It also has good quality of its wood with high economic value. Sentang planting can be integrated with meniran. Planting in the agroforestry system will impact positively and negatively to both plants. The aim of this research was to analyze growth of sentang in agroforestry system. This research was conducted in Cultivation Conservation Unit of Medicinal Plants Biofarmaka, IPB, Dramaga. The sentang stand two years old with spacing of 2.5 m x 2.5 m with 14 replications. The method used was a completely randomized design to analysis sentang growth. The treatment applied was P0= monoculture and P1 = agroforestry. The results showed that agroforestry systems is not influences towards growth of sentang trees cause short-term measurement time . The growth of sentang roots appear on surface, both agroforestry and monoculture.

Keywords: agroforestry, Azadirachta excelsa, crown, rooting

Pendahuluan

Pasokan kayu baik dari hutan alam maupun hutan tanaman atau hutan rakyat saat ini telah mengalami penurunan (BPS 2016). Hal ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain lahan hutan yang semakin menyempit, perubahan fungsi hutan menjadi fungsi lainnya, adanya serangan hama penyakit pada pohon yang

17 dibudidayakan dan lain-lain. Hama dan penyakit dapat menurunkan produktivitas kayu karena dapat merusak kualitas kayu.

Sentang (Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs) adalah salah satu jenis pohon cepat tumbuh yang termasuk dalam famili Meliaceae dan merupakan spesies lokal di Pulau Borneo serta tahan serangan hama penyakit. Kayu sentang termasuk kayu keras sederhana (Ching 2003). Kayu ini sangat berguna untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir (Gan et al. 1999). Bagian tumbuhan lainnya juga dapat dimanfaatkan seperti tunas muda dan bunganya yang dapat dikonsumsi sebagai sayuran (Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan 2002).

Biji sentang mengandung Azadirachtin (3.3−3.5 mg/g) yang digunakan sebagai insektisida. Peneliti Jerman telah mengisolasi senyawa ini dan telah dilaporkan bahwa Azadirachtin pada sentang lebih aktif dua hingga tiga kali dibanding Azadirachtin pada mimba (Mungkorndin 1993). Selain itu, sentang juga berpotensi sebagai kayu energi karena memiliki persentase kadar abu rendah dan nilai kalori yang tinggi (Hossain & Jalil 2015). Berdasarkan kegunaan tersebut, sentang berpotensi untuk dikembangkan oleh masyarakat maupun perusahaan untuk memenuhi dan meningkatkan pasokan kayu di Indonesia.

Pembangunan hutan tanaman sentang dapat dilakukan dengan pengembangan sistem agroforestri yaitu penggunaan lahan secara bersamaan. Sentang berpotensi ditanam berbasiskan agroforestri karena sentang memiliki tajuk kerucut dan arsitektur pohon yang seimbang (Orwa et al. 2009) sehingga intensitas cahaya yang masuk ke bawah tegakan cukup tinggi. Hal ini akan mendukung pertumbuhan tanaman di bawah tegakan. Tanaman pertanian yang digunakan dalam penelitian adalah meniran.

Penerapan sistem agroforestri memberikan keuntungan antara lain memperbaiki kesuburan tanah, menekan terjadinya erosi, mencegah perkembangan hama dan penyakit serta menekan populasi gulma (Young 1997). Pemeliharaan seperti penyiangan dan pemupukan yang dilakukan terhadap tanaman pertanian berdampak positif pula terhadap tanaman kehutanan. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian dengan tujuan menganalisis pertumbuhan sentang yang ditanam dengan sistem monokultur dan agroforestri.

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Waktu penelitian dimulai pada bulan Januari hingga Juni 2016. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Unit Konservasi Budidaya Pusat Studi Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga seluas 300 m2. Koordinat lokasi penelitian

berada pada 106°43’0.81” BT dan 6°32’51.95” δS. Analisis tanah dilakukan di Balittanah.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan antara lain pupuk kandang, pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl), tegakan sentang umur dua tahun, bibit meniran, insektisida, fungisida, furadan dan lolime. Alat yang digunakan antara lain cangkul, ajir, penggaris, pita ukur, pita meter, garpu tanah, ring tanah, bor tanah dan Global Positioning System.

18

Rancangan penelitian dan analisis data

Rancangan penelitian yang digunakan dalam percobaan ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) satu faktorial dengan perlakuan pola tanam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 14 kali. Perlakuan yang digunakan yaitu pola tanam monokultur (P0) dan agroforestri (P1).

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

Yij= μ + τi + ij

Keterangan:

Yij = nilai pengamatan pada pola tanam ke-i dan ulangan ke-j i = pola tanam 1, 2

j = ulangan 1, 2, 3, 4,..., 14

μ = nilai rataan umum

τi = pengaruh perlakuan pola tanam ke-i

ij = pengaruh acak dari pola tanam ke-j dan ulangan ke-j yang menyebar normal

Analisis data menggunakan ANOVA pada taraf 5% untuk pengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan taraf 5% dilakukan apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Data diolah menggunakan program SAS 9.1.3.

Data selanjutnya diolah menggunakan software SAS 9.1.3, jika:

a. P-value > � (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.

b. P-value < � (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Bila perlakuan memberikan pengaruh nyata, data kemudian diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test.

Prosedur penelitian

Penanaman dan pemeliharaan meniran di bawah tegakan sentang

Bibit meniran yang ditanam adalah yang seragam untuk menghasilkan kisaran umur bibit meniran yang sama. Sebelum penanaman, dilakukan pengolahan tanah pada kedalaman 30 cm. Pengolahan tanah ini bertujuan agar tanah menjadi gembur. Gulma di bawah tegakan sentang juga dibersihkan terlebih dahulu. Tanah kemudian dicangkul sampai gembur dan dibuat petakan dengan ukuran 2.5 m x 1 m.

Tanaman meniran ditanam pada petak yang telah disediakan dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Sebelum dilakukan penanaman meniran, lubang tanam diberi furadan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl). Pupuk kandang dengan dosis 20 ton/ha dan SP-36 dengan dosis 100 kg/ha diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dengan dosis 200 kg/ha dan KCl dengan dosis 150 kg/ha diberikan dua kali yaitu pada 4 MST dan 6 MST (Bermawie et al. 2006).

Pemeliharaan yang dilakukan antara lain penyiangan dan pengendalian hama penyakit secara mekanis dan kimia. Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari jika tidak ada hujan. Panen meniran dilakukan pada saat tanaman berumur kurang lebih 14 minggu setelah tanam.

19 Persiapan dan pengamatan sentang

Tegakan sentang yang diamati terdiri dari dua pola tanam yaitu monokultur dan agroforestri. Desain plot agroforestri dan monokultur sentang ditunjukkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Sentang memiliki umur 2 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Pemeliharaan tanaman yaitu penyiangan dilakukan pada tegakan sentang monokultur maupun agroforestri. Pengamatan dan pengukuran dimensi tanaman sentang (Wijayanto & Hidayanthi 2012) meliputi:

1. Pengukuran tinggi (cm) dilakukan menggunakan pita meter, tanaman sentang diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh sentang. Pengukuran ini dilakukan setiap satu bulan sekali sampai bulan ketiga yaitu pada saat setelah panen meniran.

2. Pengukuran diameter batang (cm) dilakukan dengan menggunakan pita meter, diameter batang diukur pada ketinggian sekitar 130 cm di atas pangkal batang sentang. Pengukuran diameter dilakukan setiap satu bulan sekali sampai bulan ketiga yaitu pada saat panen meniran.

3. Pengukuran tajuk dilakukan dengan cara mengukur diameter tajuk terpanjang dan terpendek menggunakan pita meter. Pengukuran dilakukan pada awal sebelum penanaman meniran dan setelah panen meniran.

4. Perakaran sentang diperoleh dengan cara mengamati akar tersier dan akar horizontal. Pada lingkaran tegakan pohon sentang, dilakukan penggalian hingga ditemukan akar horizontal. Akar horizontal tersebut kemudian diukur panjang, kedalaman dan diameter. Panjang diukur mulai dari batang utama hingga ujung akar dan kedalamannya dari permukaan tanah hingga akar horizontal. Pengukuran dilakukan pada awal sebelum penanaman meniran dan setelah panen meniran.

Pengukuran dimensi sentang masing-masing dilakukan pada lahan agroforestri dan monokultur.

Data pendukung

Data pendukung dalam penelitian ini antara lain sifat fisik dan kimia tanah, serta data iklim antara lain suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan curah hujan. Analisis tanah dilakukan di Balittanah. Suhu, kelembaban dan intensitas cahaya diamati setiap minggu mulai dari penanaman hingga panen. Suhu dan intensitas cahaya juga diperoleh dari BMKG untuk membandingkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Curah hujan diperoleh dari BMKG Unit Dramaga.

Hasil dan Pembahasan Kondisi agroklimat di lokasi penelitian

Sentang adalah jenis lokal Pulau Borneo yang hidup baik pada ketinggian hingga 350 m dpl, dengan suhu 22−27 °C dan curah hujan di atas 2 000 mm/tahun (Joker 2000). Hal ini sesuai dengan kondisi tempat penelitian yang berada pada ketinggian 193 m dpl dengan suhu rata-rata 26.2−27.1 °C dan kelembaban

berkisar 64.5−71.5 %. Curah hujan di lokasi penelitian pada awal penanaman adalah 450 mm/bulan, meningkat pada bulan kedua penanaman, dan menurun pada akhir pengamatan berkisar 329.7−373 mm/bulan (Lampiran 9). Curah hujan ini sesuai untuk pertumbuhan sentang.

20

Tanah pada lokasi penelitian memiliki nilai pH dengan kategori masam, kandungan C-org yang rendah, dan nilai KTK yang sedang menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) (Lampiran 5), namun sudah cukup baik dalam penyerapan hara. Nilai bobot isi juga bernilai <1.3, menunjukkan tanah masih cukup mudah untuk dapat ditembus oleh akar. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kondisi tanah di tempat penelitian termasuk dalam kategori tanah yang cukup subur, meskipun memiliki sifat kimia tanah yang rendah. Kondisi ini dapat mendukung pertumbuhan sentang.

Pertumbuhan sentang

Penanaman sentang dengan sistem monokultur dan agroforestri ditunjukkan pada Gambar 3. Pertumbuhan sentang yang ditanam secara agroforestri tidak memiliki perbedaan nyata dengan sentang monokultur pada semua parameter pertumbuhan (Tabel 5). Parameter pertumbuhan tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi mekanisme hambatan maupun perangsangan dari sistem agroforestri terhadap pertumbuhan sentang. Kondisi ini tidak sesuai dengan penelitian Puri et al. (2016) yang menyebutkan bahwa tinggi dan diameter batang sentang pada sistem agroforestri memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding monokultur. Hal ini dapat disebabkan karena waktu pengukuran sentang yang relatif pendek yaitu hanya berkisar 3 bulan.

Gambar 3 Pola tanam sentang a) monokultur dan b) agroforestri

Pertambahan tinggi dan diameter sentang setiap bulannya ditunjukkan pada Gambar 4. Sentang monokultur memiliki tinggi dan diameter lebih besar dibanding agroforestri sejak awal pengukuran. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat penelitian agroforestri terhalangi oleh pohon yang berada di samping tempat penelitian sehingga cahaya matahari tidak sepenuhnya mengenai sentang dan menghambat pertumbuhan.

Luas tajuk juga merupakan salah satu parameter pertumbuhan dimensi sentang. Luas tajuk dapat diukur dengan mengetahui diameter tajuk. Semakin besar tinggi dan diameter batang, tajuk juga akan semakin luas. Pengukuran tajuk sentang selain untuk mengetahui pertambahan dimensi, juga penting untuk mengetahui cahaya matahari yang akan masuk ke lantai hutan. Luas tajuk yang semakin besar akan meningkatkan luasan daun yang menerima cahaya matahari (Raharjo & Sadono 2008). Penerimaan cahaya matahari ini berkaitan dengan

b a

21 proses fotosintesis. Diameter tajuk sentang agroforestri tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan sentang monokultur.

Tabel 5 Rekapitulasi hasil sidik ragam dan uji Duncan pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan sentang

Parameter Uji F Perlakuan

a

Monokultur Agroforestri Pertambahan tinggi total (cm) tn 153.79a 176.57a Pertambahan diameter (cm) tn 1.60a 1.50a Pertambahan diameter tajuk (cm) tn 60.61a 43.21a Pertambahan panjang akar (cm) tn 75.57a 58.93a Kedalaman akar awal (cm) tn 8.79a 9.36a Kedalaman akar akhir (cm) tn 7.46a 6.39a Pertambahan kedalaman akar (cm) tn -1.32a -2.96a aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan); (tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%

Perakaran termasuk parameter penting yang perlu dikaji karena akar memiliki fungsi yang sangat penting. Pertumbuhan akar yang baik diperlukan untuk kekuatan dan pertumbuhan pucuk pada umumnya (Gardner et al. 2008). Berdasarkan Tabel 5, panjang akar sentang agroforestri tidak berbeda nyata dengan akar sentang monokultur. Perkembangan akar sangat erat kaitannya dengan perkembangan tajuk, semakin panjang akar maka pertumbuhan tajuk juga akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya (Suryanto et al. 2005). Diameter tajuk monokultur dan agroforestri tidak berbeda nyata mengakibatkan panjang akar juga tidak berbeda nyata.

Tajuk pohon yang semakin rapat akan semakin mengurangi cahaya yang sampai ke permukaan tanah dan akan mempengaruhi tanaman budidaya di bawahnya. Mahendra (2009) menyatakan bahwa tajuk yang berat merupakan kompetitor dominan dalam mendapatkan cahaya matahari dan mengakibatkan

0 200 400 600 800 1 2 3 4 T in g g i (cm ) Pengukuran ke-Tinggi Monokultur Agroforestri 0 2 4 6 8 1 2 3 4 Diam eter ( cm ) Pengukuran ke-Diameter batang Monokultur Agroforestri

22

pertumbuhan tanaman di bawahnya kurang optimal. Intensitas cahaya matahari di bawah tegakan sentang maksimal hanya 100 lux.

Kedalaman akar menunjukkan kemampuan akar untuk menjelajah dalam melakukan penyerapan hara dan air. Kedalaman akar sentang umur 2 tahun ini berkisar 6.39−9.39 cm dan termasuk dangkal. Hal ini karena bentuk tajuk sentang yang kerucut (Wijayanto & Hidayanthi 2012) sehingga memiliki kedalaman akar yang dangkal. Akar sentang agroforestri dan monokultur memiliki kedalaman awal dan akhir yang tidak berbeda nyata. Keduanya pun mengalami penurunan kedalaman akar atau dapat dikatakan akar tumbuh ke arah permukaan.

Pertumbuhan akar menuju ke permukaan diduga karena arah pergerakan akar mengikuti letak unsur hara dan air di dalam tanah (Wijayanto & Rhahmi 2013). Akar sentang agroforestri mencari nutrisi yang ada di permukaan akibat adanya pemupukan. Selain itu, pertumbuhan ke arah permukaan ini juga diduga disebabkan karena adanya erosi akibat limpasan air hujan. Curah hujan selama penelitian cukup tinggi yaitu berkisar antara 329.7−373.0 mm/bulan. Tanah di lokasi penelitian juga berbatu, sehingga ketika terjadi erosi dan batu terangkat mengakibatkan tanah menurun dan akar menjadi lebih dangkal.

Simpulan

Sistem agroforestri tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang, diameter tajuk, panjang akar dan kedalaman akar pohon sentang.

Daftar Pustaka

Bermawie N, Indrawanto C, Ibrahim MSD, Purwiyanti S. 2006. Budidaya Mahkota Dewa, Daun Dewa dan Meniran. Bogor (ID): BALITTRO.

BPS [Badan Pusat Statistik]. 2016. Produksi Kayu Hutan. Jakarta (ID): Badan Pusat Statitistik.

Ching TS. 2003. Kebolehawetan kayu Sentang (Azadirachta excelsa) [tesis]. Malaysia (MY): Universiti Sains Malaysia.

Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Informasi Singkat Benih. Bandung (ID): Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Gan KS, Choo KT, Lim SC. 1999. Timber notes - light hardwoods VII (sentang sepetir, sesendok, terap, terentang). Timber Technology Bulletin 17:1999. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya.

Jakarta (ID): UI Pr.

Hossain N, Jalil R. 2015. Analyses if bio-energy properties from Malaysian local plants: Sentang and Sesendok. Asia Pasific Journal of Energy and Environment 2(3):141-144.

Joker. 2000. Azadirachta excelsa, seed leaflet. Denmark (DK): University of Copenhagen.

Mahendra F. 2009. Sistem Agroforetri dan Aplikasinya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

23 Mungkorndin S. 1993. Spotlight on species: Azadirachta excelsa. Farm Forestry

News 6(1).

Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadas R, Anthony S. 2009. Sentang (Azadirachta excelsa) [internet]. [diunduh 2015 Jan 2]. Tersedia pada: <http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDFS/Azadirachta_excelsa .pdf>).

Puri SR, Wijayanto N, Wulandari AS. 2016. Dimensi pohon sentang (Azadirachta excelsa Jack) dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam sistem agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika 7(3):205−210.

Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria Penilaian Data Sifat Analisis Kimia Tanah. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.

Raharjo JT, Sadono R. 2008. Model tajuk jati (Tectona grandis L.F.) dari berbagai famili pada uji keturunan umur 9 tahun. Jurnal Ilmu Kehutanan 2(2):89-95.

Suryanto P, Tohari, Sabarnudin MS. 2005. Dinamika sistem berbagai sumberdya (resources sharing) dalam agroforestri: dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Ilmu Pertanian 12(2):165-178.

Wijayanto N, Hidayanthi D. 2012. Dimensi dan sistem perakaran tanaman sentang (Melia excelsa Jack) di lahan agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika. 3(3):196–202.

Wijayanto N, Rhahmi I. 2013. Panjang dan kedalaman akar lateral jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal Silvikultur Tropika 4(1):23-29.

Young. 1997. Agroforestry for Soil Management. Second edition. Amerika Serikat (US): CABI International.

24

4 PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KANDUNGAN

SENYAWA MENIRAN MERAH DAN MENIRAN KUNING

Dokumen terkait