• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENYAWA MENIRAN MERAH DAN MENIRAN KUNING DALAM SISTEM MONOKULTUR DAN AGROFORESTRI

Abstrak

Meniran merupakan tanaman herba berkhasiat obat dengan kategori kelas toksik ringan. Penelitian mengenai budidaya meniran terutama dalam sistem agroforestri masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan tujuan menganalisis pertumbuhan, produksi dan kandungan senyawa aktif meniran pada sistem agroforestri dan monokultur. Penelitian ini menggunakan pohon sentang berumur 2 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Penelitian dilaksanakan di lahan Unit Konservasi Budidaya Pusat Studi Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga. Metode yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari monokultur meniran merah (P0Mm), monokultur meniran kuning (P0Mk), agroforestri meniran merah (P1Mm), dan agroforestri meniran kuning (P1Mk).. Hasil penelitian menunjukkan sistem agroforestri menurunkan pertumbuhan dan produksi meniran merah dan kuning, namun meningkatkan kandungan dan produksi filantin dan hipofilantin. Kandungan dan produksi senyawa filantin dan hipofilantin meniran kuning lebih tinggi dibanding meniran merah. Sistem agroforestri memicu pembentukan senyawa filantin pada meniran merah yaitu 0.0018 mg/g.

Kata kunci: agroforestri, filantin, hipofilantin, Phyllanthus Abstract

Meniran is an herbaceous plant whose medicinal with low toxic class category. Research on cultivation meniran particullary in agroforestry systems is still rare. Therefore, doing research with the aims of analyzing the growth, yield and active compound meniran with monoculture and agroforestry systems. This study used 2-years-old sentang tree with spacing of 2.5 m x 2.5 m. The research was conducted in land cultivation of Conservation Unit Cikabayan Center Biofarmaka, IPB Dramaga. The method used was a complete randomized block design (RAKL) with 4 treatments and 4 replications. Treatments consists of monoculture of red meniran (P0Mm), monoculture of yellow meniran (P0Mk), agroforestry of red meniran (P1Mm), and agroforestry of yellow meniran (P1Mk). The results showed agroforestry systems reduced the growth and yield of red and yellow meniran, but tend to increase the content and yield of compounds phyllanthyn and hypophyllanthin at red and yellow meniran. Yield and compound phyllanthin and hypophyllanthin of yellow meniran higher than the red meniran. Agroforestry system triggers the formation of phyllanthin compounds on red meniran that 0.0018 mg/g.

25

Pendahuluan

εeniran merupakan herba, semusim, tumbuh tegak, tinggi 30−50 cm,

bercabang-cabang. Herba meniran tumbuh liar di dataran hingga daerah pegunungan. Meniran juga mampu hidup pada tanah gembur, berpasir di ladang, di tepi sungai dan di pantai, bahkan tumbuh liar di sekitar pekarangan rumah (De Padua et al. 1999). Pemanfaatan meniran sebagai obat secara umum adalah seluruh bagian tanaman. Meniran dipanen setelah berumur 2−3 bulan (Bermawie et al. 2006).

Penelitian mengenai manfaat dan khasiat tanaman meniran sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai budidaya meniran masih jarang dilakukan terutama dalam sistem agroforestri yaitu penanaman bersamaan dengan tanaman berkayu. Hal ini dikarenakan meniran tumbuh secara liar dan oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai gulma yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman lainnya. Perolehan bahan baku meniran sebagai obat juga masih bergantung pada alam. Oleh karena itu, penelitian mengenai budidaya meniran masih perlu dilakukan terutama dengan sistem agroforestri.

Budidaya meniran dengan sistem agroforestri dilakukan untuk mengoptimalkan lahan di bawah tegakan yang biasanya kosong. Tanaman berkayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon sentang. Sentang berpotensi ditanam berbasiskan agroforestri karena sentang memiliki tajuk kerucut dan arsitektur pohon yang seimbang (Orwa et al. 2009) sehingga intensitas cahaya yang masuk ke bawah tegakan cukup tinggi. Hal ini akan mendukung pertumbuhan herba meniran di bawah tegakan.

Meniran memiliki banyak jenis yang berbeda baik morfologi maupun manfaatnya. Dalam penelitian ini, meniran yang digunakan adalah meniran merah (Phyllanthus urinaria L.) dan meniran kuning (Phyllanthus debilis Klein ex Wild). Kedua meniran ini banyak ditemukan di sekitar tempat penelitian. Meniran kuning mengandung antioksidan tertinggi dibanding genus Phyllanthus lainnya (Ali et al. 2007) dan meniran merah mengandung antioksidan tertinggi kedua setelah meniran kuning (Kumaran & Karunakaran 2007).

Meniran merah mengandung senyawa aktif seperti lignan, flavanoid, coumarin, sterol dan diterpen (Sarin et al. 2014). Meniran kuning mengandung senyawa antara lain flavanoid, fenolik, flavanol (Kumaran & Karunakaran 2007), lignan, dan steroid (Chandrashekar et al. 2004). Lignan utama yang terkandung pada kedua meniran tersebut adalah filantin dan hipofilantin. Filantin, hipofilantin dan tanin berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan sebagai hepatoprotektor (Than et al. 2006). Sarin et al. (2014) juga menyebutkan bahwa filantin dan hipofilantin memberikan efek antibakteri, antioksidan, anti-inflammatory dan berperan dalam penurunan kadar gula darah. Meniran kuning terbukti lebih baik dibanding P. amarus sebagai hepatoprotectant dalam menstimulasi disfungsi liver (Chandrashekar et al. 2004). Filantin juga digunakan sebagai identitas dalam menganalisis ekstrak kental herba meniran (BPOM 2004).

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis pertumbuhan, produksi dan kadungan senyawa filantin dan hipofilantin pada meniran merah dan kuning yang ditanam dengan sistem monokultur dan agroforestri.

26

Bahan dan Metode Waktu dan tempat

Waktu penelitian dimulai pada bulan Januari hingga Juni 2016. Penelitian ini dilaksanakan di lahan Unit Konservasi Budidaya Pusat Studi Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB Darmaga seluas 300 m2. Koordinat lokasi penelitian di

lahan berada pada 106°43’0.81” BT dan 6°32’51.95” δS. Analisis senyawa filantin dan hipofilantin herba meniran dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan antara lain pupuk kandang sapi, pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl), tegakan sentang umur dua tahun, bibit meniran merah dan meniran kuning, insektisida, fungisida, furadan, lolime, amplop kertas dan plastik. Alat yang digunakan antara lain cangkul, ajir, penggaris, pita ukur, kaliper, pita meter, garpu tanah, ring tanah, bor tanah, tugal, label, oven, Global Positioning System, lux meter, dan thermo-hygrometer.

Rancangan penelitian dan analisis data

Percobaan ini disusun dalam rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) satu faktorial. Perlakuan yang digunakan antara lain monokultur meniran merah (P0Mm), monokultur meniran kuning (P0Mk), agroforestri meniran merah dan sentang (P1Mm), dan agroforestri meniran kuning dan sentang (P1Mk). Kelompok yang digunakan terdiri dari 4 kelompok berupa petak tanam. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006):

Yij= μ + τi + βj + ij

Keterangan:

Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j i = Perlakuan ke 1, 2, 3, dan 4

j = Kelompok ke 1, 2, 3, dan 4 µ = Rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

βj = Pengaruh kelompok ke-j

ij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

Analisis data untuk pertumbuhan dan produksi meniran dilakukan dengan menggunakan ANOVA pada taraf 5% untuk pengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan taraf 5% dilakukan apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Data diolah menggunakan program SAS 9.1.3.

Data selanjutnya diolah menggunakan software SAS 9.1.3, jika:

a. P-value > � (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.

b. P-value < � (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. Bila perlakuan memberikan pengaruh nyata, data kemudian diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple Range Test.

27 Analisis data untuk kandungan senyawa filantin dan hipofilantin dilakukan secara deskriptif yakni mendeskripsikan kecenderungan kandungan kedua senyawa tersebut dengan adanya perlakuan yang berbeda.

Prosedur penelitian

Persiapan Bibit Meniran

Bibit meniran yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit yang

diperoleh dari alam dengan jumlah daun berkisar 2−5 daun majemuk baik untuk

meniran merah maupun meniran kuning. Selanjutnya bibit meniran yang ditanam dipilih berdasarkan bibit paling seragam untuk menghasilkan kisaran umur bibit meniran yang paling seragam pula.

Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan adalah lahan kosong dan lahan dengan tegakan sentang. Sebelum penanaman, dilakukan pengolahan tanah pada kedalaman 30 cm. Pengolahan tanah ini bertujuan agar tanah menjadi gembur. Gulma di bawah tegakan sentang juga dibersihkan terlebih dahulu. Tanah kemudian dicangkul sampai gembur dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 1 m. Jumlah petak adalah 4 petak untuk masing-masing perlakuan. Tiap petak pada sistem agroforestri dikelilingi oleh pohon sentang yang memiliki rata-rata diameter batang awal 3.63 cm, rata-rata tinggi total awal pohon 3.96 m, dan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Penanaman

Tanaman meniran ditanam pada petak yang telah disediakan dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Penanaman meniran dilakukan secara hati-hati dengan memindahkan bibit meniran yang sudah disiapkan ke dalam lubang tanam sedalam 10 cm. Jumlah meniran yang ditanam adalah 4 x 12 tanaman. Selanjutnya, tanaman yang diamati adalah 10 unit tanaman contoh yang diperoleh berdasarkan pengacakan dan tidak termasuk tanaman pinggir. Desain plot penanaman meniran pada sistem agroforestri dan monokultur ditunjukkan pada Lampiran 1 dan Lampiran 3.

Pemupukan dan Pemeliharaan

Sebelum dilakukan penanaman meniran, lubang tanam diberi furadan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl). Pupuk kandang dengan dosis 20 ton/ha dan SP-36 dengan dosis 100 kg/ha diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dengan dosis 200 kg/ha dan KCl dengan dosis 150 kg/ha diberikan dua kali yaitu pada 4 MST dan 6 MST (Bermawie et al. 2006).

Pemeliharaan yang dilakukan antara lain penyiangan yaitu membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar areal penelitian untuk mengurangi kompetisi dengan tanaman pokok dalam pengambilan air dan hara. Selain itu, juga dilakukan pengendalian hama penyakit secara mekanis dan kimia. Penyiraman dilakukan pada pagi dan sore hari jika tidak ada hujan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemeliharaan yang optimum sehingga hasil panen akan lebih baik. Penyulaman tanaman yang mati dilakukan pada tanaman hingga berumur 1 bulan setelah penanaman. Penyulaman yang lebih lama tidak dianjurkan karena akan mempengaruhi keseragaman umur panen.

28 Panen

Panen meniran dilakukan pada saat tanaman berumur kurang lebih 14 minggu setelah tanam (sebelum berbunga). Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut tanaman, dilakukan pada fase vegetatif optimum sebelum inisiasi bunga (Bermawie et al. 2006). Pemanenan dilakukan terhadap semua tanaman meniran untuk pengamatan kandungan senyawa meniran dan 10 unit contoh meniran digunakan untuk pengamatan biomassa.

Pengamatan

Pertumbuhan tanaman meniran yang diamati antara lain:

1. Tinggi tanaman (cm) diukur dari pangkal batang sampai ujung pucuk tanaman, diamati setiap 2 minggu hingga panen.

2. Jumlah daun majemuk, dihitung bila daun telah membuka sempurna, diamati setiap 2 minggu hingga panen.

3. Jumlah cabang, dihitung setiap 2 minggu hingga panen.

4. Diameter batang (mm), diamati pada tanaman yang sudah dipanen dengan cara mengukur panjang diameter pada sisi tengah batang menggunakan kaliper. 5. Produksi biomassa basah (g), diamati pada saat panen dengan cara menimbang

dengan timbangan neraca analitik bobot basah akar serta pucuk.

6. Produksi biomassa kering (g), diamati pada saat panen dengan cara menimbang dengan timbangan neraca analitik bagian akar dan pucuk yang telah dioven pada suhu 50 °C selama 24 x 5 jam.

7. Kandungan senyawa filantin dan hipofilantin dilakukan dengan cara menganalisis serbuk kering meniran menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) kandungan total filantin (% bobot kering) dan hipofilantin (% bobot kering). Analisis ini dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB.

Data Pendukung

Data pendukung dalam penelitian ini antara lain sifat fisik dan kimia tanah, serta data iklim antara lain suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan curah hujan. Pengambilan sampel tanah dilakukan di dua tempat yaitu pada lahan monokultur meniran dan agroforestri meniran dan sentang menggunakan dua metode. Metode tersebut antara lain tanah terusik dan tidak terusik. Sampel tanah terusik diambil mengunakan bor tanah pada lima titik hingga kedalaman 20 cm. Selanjutnya, dikompositkan hingga diperoleh satu sampel pada masing-masing tempat. Sampel tanah tidak terusik diambil menggunakan ring tanah, masing-masing tempat terdiri dari 3 ring tanah. Analisis tanah dilakukan di Balittanah.

Suhu, kelembaban dan intensitas cahaya diamati setiap minggu mulai dari penanaman hingga panen di dua tempat yaitu di lahan monokultur meniran dan agroforestri. Suhu dan intensitas cahaya juga diperoleh dari BMKG untuk membandingkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Curah hujan diperoleh dari BMKG Unit Dramaga.

29

Hasil dan Pembahasan Kondisi agroklimat di lokasi penelitian

Tanah pada lokasi monokultur meniran memiliki nilai pH yang lebih rendah dibandingkan lahan agroforestri, namun memiliki kandungan C-org yang lebih tinggi. Nilai N dan K2O baik tersedia maupun tidak tersedia pada monokultur meniran juga lebih tinggi dibandingkan agroforestri (Lampiran 5). Nilai KTK pada kedua lokasi termasuk dalam kategori sedang (Pusat Penelitian Tanah 1983), namun sudah cukup baik dalam penyerapan hara. Nilai bobot isi juga bernilai <1.3 (Lampiran 4), menunjukkan tanah masih cukup mudah untuk dapat ditembus oleh akar. Kadar air pada dua lokasi memiliki nilai kurang dari 50%. Oktavidiati (2012) menyatakan bahwa peningkatan pertumbuhan tanaman meniran membutuhkan kadar air tersedia 50−100%. Oleh karena itu, kondisi ini kurang mendukung pertumbuhan meniran. Hal ini diatasi dengan penyiraman lahan setiap hari ketika tidak terjadi hujan.

Hasil analisis tanah tersebut menunjukkan bahwa kondisi tanah di tempat penelitian baik monokultur maupun agroforestri termasuk dalam kategori tanah yang cukup subur, meskipun memiliki sifat kimia tanah yang rendah. Kondisi ini dapat mendukung pertumbuhan meniran baik meniran merah maupun kuning karena meniran dapat tumbuh liar dalam kondisi ekstrim. Meniran bahkan dapat tumbuh di tepi sungai, pantai, semak, lahan bekas sawah dan di sekitar pengarangan rumah (De Padua et al. 1999).

Kondisi tempat penelitian berada pada ketinggian 193 m dpl dengan suhu rata-rata 26.2−27.1 °C (Lampiran 10) dan curah hujan rata-rata 329.7−373.0 mm/bulan (Lampiran 9). Kondisi ini sesuai dengan syarat tumbuh meniran. Meniran dapat tumbuh dari dataran rendah hingga ketinggian kurang lebih 1 000 m dpl. Selain itu, meniran juga cocok dengan kondisi baik suhu maupun curah hujan pada iklim tropis (De Padua et al. 1999).

Pertumbuhan dan produksi herba meniran

Rekapitulasi hasil sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter pertumbuhan dn produksi meniran, sedangkan kelompok tidak memberikan pengaruh nyata. Secara umum, penanaman meniran dengan sistem agroforestri memiliki nilai pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan meniran yang ditanam secara monokultur. Penanaman meniran dengan sistem monokultur dan agroforestri ditunjukkan pada Gambar 5.

Monokultur meniran kuning memiliki pertumbuhan tinggi yang paling besar dibandingkan pertumbuhan meniran lainnya (Tabel 7). Pertumbuhan tinggi pada suatu tanaman terjadi karena pemanjangan ruas sebagai akibat meningkatnya jumlah sel di dalam meristem interkalar dari ruas (Gardner et al. 2008). Pertumbuhan tinggi meniran kuning monokultur dan agroforestri memiliki perbedaan disebabkan oleh kurangnya cahaya matahari yang didapatkan oleh meniran kuning agroforestri. Naungan yang berasal dari pohon sentang kemungkinan telah melampaui titik kompensasi cahaya meniran kuning.

30

Tabel 6 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan dan produksi meniran

Parameter Perlakuan Kelompok

1. Tinggi (cm) * tn

2. Jumlah daun (daun) * tn

3. Jumlah cabang (cabang) * tn

4. Diameter (mm) * tn

5. Berat basah total (g) * tn

Berat basah pucuk (g) * tn

Berat basah akar (g) * tn

6. Berat kering total (g) * tn

Berat kering pucuk (g) * tn

Berat kering akar (g) * tn

(tn): tidak berbeda nyata, (*): berbeda nyata pada taraf uji 5%

Gambar 5 Meniran pada pola tanam a) monokultur dan b) agroforestri Pertumbuhan tinggi suatu tanaman akibat adanya cekaman cahaya tergantung kemampuan adaptasi jenis tersebut. Naungan mempengaruhi proses fotosintesis dan respirasi yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi (Heddy 1987). Meniran merah diduga memiliki sifat yang lebih adaptif dibanding meniran kuning. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tinggi meniran merah monokultur maupun agroforestri memiliki pertumbuhan yang tidak berbeda nyata. Meniran merah dapat tumbuh dengan baik di bawah naungan. Agroforestri meniran kuning memiliki tinggi yang lebih rendah dibanding monokultur meniran kuning. Meniran merah monokultur memiliki tinggi yang lebih rendah dibanding monokultur meniran kuning. Hal ini menunjukkan bahwa meniran kuning memiliki karakteristik tinggi yang lebih besar dibanding meniran merah.

31 Tabel 7 Hasil uji Duncan pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan meniran

Parameter Uji F Perlakuan

a

P0Mm P0Mk P1Mm P1Mk 1. Tinggi (cm) * 30.968b 49.839a 29.800b 21.728b 2. Jumlah daun (daun) * 390.630a 81.320b 36.030b 28.940b 3. Jumlah cabang (cabang) * 16.800a 12.959b 4.300c 2.806c 4. Diameter (mm) * 4.428a 3.905a 1.966b 1.926b 5. Berat basah total (g) * 19.677a 7.304b 2.458c 2.106c Berat basah pucuk (g) * 17.424a 5.501b 1.810c 1.196c Berat basah akar (g) * 2.253a 1.803a 0.648b 0.910b 6. Berat kering total (g) * 5.108a 2.132b 1.086bc 0.923c Berat kering pucuk (g) * 4.605a 1.447b 0.842b 0.833b Berat kering akar (g) * 0.504ab 0.685a 0.253bc 0.081c

aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan).

Intensitas cahaya pada lahan agroforestri rata-rata hanya 100 lux, sedangkan monokultur mencapai 500 lux. Intensitas cahaya ini sangat mempengaruhi proses dan laju fotosintesis. Laju fotosintesis daun ternaungi lebih rendah dibanding daun yang tidak ternaungi (Taiz & Zeiger 2002). Meniran sebagai tanaman C3 jika kekurangan cahaya tidak akan mengalami proses fiksasi CO2 sehingga proses fotosintesis akan terhambat (Lakitan 2013). Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman termasuk pembelahan sel pada meristem yang berdampak pada pertumbuhan tinggi tanaman terhambat.

Selain berdampak terhadap tinggi, kondisi kekurangan cahaya ini juga akan berdampak terhadap pertumbuhan lainnya seperti jumlah daun, jumlah cabang dan diameter. Jumlah daun monokultur meniran merah memiliki nilai paling tinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu sebanyak 390.630 daun. Parman (2010) juga menyatakan bahwa penurunan intensitas cahaya dapat menurunkan jumlah dan luas daun tanaman lobak.

Gambar 4 Meniran merah (a) dan meniran kuning (b)

32

Meniran merah memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan meniran kuning. Hal ini dikarenakan ruas batang daun meniran merah lebih pendek dan daunnya lebih rapat sehingga jumlah daunnya pun lebih banyak (Gambar 4). Jumlah daun ini berkorelasi dengan jumlah cabang. Semakin banyak cabang, maka jumlah daun juga akan semakin banyak. Monokultur meniran merah memiliki jumlah cabang yang lebih banyak dibandingkan perlakuan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan jumlah daun meniran merah lebih banyak dibandingkan meniran kuning. Kurangnya cahaya matahari pada sistem agroforestri menyebabkan percabangan batang terlambat secara bersamaan sehingga energi lebih banyak digunakan untuk menaikkan apeks batangnya menuju puncak (Salisbury & Ross 1995).

Diameter batang merupakan suatu pertumbuhan dengan peluasan penyebaran sel. Diameter batang meniran monokultur lebih tinggi dibanding agroforestri. Monokultur meniran merah memiliki diameter 4.428 mm dan monokultur meniran kuning memiliki diameter 3.905 mm. Nilai diameter ini berbeda nyata dengan agroforestri meniran merah dan meniran kuning. Kondisi ini sesuai dengan penelitian Oktavidiati (2012) yang menunjukkan bahwa diameter meniran semakin menurun seiring dengan meningkatnya naungan.

Berat basah total dan berat kering total meniran monokultur lebih tinggi dibanding agroforestri. Pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman juga sering ditentukan oleh berat kering tanaman tersebut. Berat basah kurang diperhatikan karena hasilnya yang berfluktuasi tergantung keadaan kelembaban tanaman (Gardner et al. 2008). Meniran sebagai tumbuhan obat-obatan digunakan biomassanya sebagai bahan baku obat. Oleh karena itu, pertumbuhan meniran ini sangat perlu memperhatikan berat kering.

Monokultur meniran merah memiliki berat kering total dan berat basah total yang paling tinggi dibanding meniran lainnya. Hal ini pun merupakan akibat dari kurannya cahaya matahari yang diterima meniran. Lakitan (2013) menyatakan bahwa penambahan berat kering hanya dapat berlangsung jika intensitas cahaya yang diterima suatu tumbuhan lebih tinggi dari titik kompensasi cahaya. Penurunan intensitas cahaya dari 75% menjadi 55% juga menyebabkan penurunan bobot kering tajuk pada bunga krisan (Widiastuti et al. 2004).

Faktor lain yang diduga sebagai penyebab rendahnya pertumbuhan dan produksi biomassa pada meniran adalah adanya sifat alelopati dari serasah sentang. Berdasarkan hasil penelitian alelopati sentang pada meniran, interaksi ekstrak daun sentang 5% menghambat produksi biomassa basah pada meniran kuning. hal ini menunjukkan kemungkinan adanya alelopati dari serasah sentang. Pengamatan mengenai dekomposisi serasah sentang dan dampaknya pada meniran di lapang belum dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan.

Monokultur meniran merah memiliki pertumbuhan yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya pada semua parameter kecuali tinggi dan berat kering akar. Meniran merah agroforestri memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan meniran kuning agroforestri. Hal ini menunjukkan bahwa meniran merah memiliki adaptasi yang lebih tinggi dibanding meniran kuning. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Oktavidiati (2012) bahwa meniran merah lebih tahan cekaman dibanding meniran hijau baik cekaman kadar air tanah, ketahanan terhadap hama, maupun kandungan antosianin. Hal ini diduga karena meniran merah memiliki trikoma. Meniran merah juga memiliki kemampuan adaptasi yang

33 tinggi pada kondisi cahaya tinggi maupun di bawah naungan. Berdasarkan pertumbuhan, meniran merah ini dapat diterapkan dalam sistem agroforestri.

Kandungan senyawa filantin dan hipofilantin herba meniran

Kandungan senyawa filantin dan hipofilantin (Gambar 6) meniran merah dan meniran kuning ditunjukkan pada Tabel 8, sedangkan produksi total ditunjukkan pada Tabel 9. Kandungan dan produksi senyawa filantin dan hipofilantin meniran kuning cenderung lebih tinggi dibanding meniran merah, bahkan senyawa tersebut tidak terdeteksi pada monokultur meniran merah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tripathi et al. (2006) yang menyatakan bahwa filantin dan hipofilantin tidak terdeteksi pada meniran merah. Adanya naungan dari pohon sentang memicu pembentukan filantin pada meniran merah yaitu 0.0018 mg/g. Oktavidiati et al. (2011) juga menyatakan bahwa adanya naungan 50% memicu pembentukan filantin.

Tabel 8 Kandungan senyawa filantin dan hipofilantin pada meniran

Perlakuan Senyawa

Filantin (mg/g) Hipofilantin (mg/g)

Monokultur meniran merah Ttd Ttd

Monokultur meniran kuning 0.0003 0.0067

Agroforestri meniran merah 0.0018 Ttd

Agroforestri meniran kuning 0.0091 0.0160

Ttd: tidak terdeteksi

Tabel 9 Produksi senyawa filantin dan hipofilantin pada meniran Perlakuan

Senyawa

Filantin (mg/tanaman) Hipofilantin (mg/tanaman)

Monokultur meniran merah Ttd Ttd

Monokultur meniran kuning 0.00064 0.01428

Agroforestri meniran merah 0.00198 Ttd

Agroforestri meniran kuning 0.00840 0.01477

Ttd: tidak terdeteksi

Meniran kuning memiliki kandungan senyawa filantin dan hipofilantin baik pada pola tanam monokultur maupun agroforetsri, namun senyawa agroforestri meniran kuning cenderung lebih tinggi dibandingkan monokultur meniran kuning. Hal ini diduga akibat adanya cekaman cahaya matahari. Meniran hijau juga membutuhkan naungan hingga 50% untuk menghasilkan kandungan hipofilantin yang sangat tinggi (Oktavidiati et al. 2011). Semakin tinggi intensitas cahaya akan

Dokumen terkait