• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN MENGENAI MONOPOLI DALAM

B. Monopoli Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan melindungi kepentingan nasional baik dalam bentuk proteksi terhadap industri yang baru tumbuh (infant industry) maupun dalam bentuk kebijakan monopoli dianggap sangat tepat.

33 Ibid.

Namun dalam perkembangan selanjutnya monopoli cenderung dinilai sebagai kebijakan yang negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Bahkan monopoli telah menjadi kebijakan yang sangat merugikan banyak pihak baik bagi pelaku usaha (competitor) maupun konsumen. Meski tidak semua buruk, citra monopoli dianggap sebagai kejahatan (crime), padahal banyak kegiatan ekonomi akan lebih baik dan efisien jika dilakukan secara monopolis. Sejumlah kegiatan ekonomi seperti listrik, migas, air, telekomunikasi dan sebagainya pernah menjadi kegiatan usaha yang dimonopoli Negara, melalui BUMN, negara hadir melayani kebutuhan masyarakat yang teresebar di seluruh pelosok negara.34

Pengertian monopoli dijelaskan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 yaitu monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan untuk penerapan ketentuan monopoli diatur dalam Bab IV, mengenai Kegiatan Yang Dilarang. Adapun berbunyi sebagai berikut: 35

1. Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

34

Tadjuddin Noor Said, “Monopoli dan Kesejahteraan,” http://bangtadjoe.blogspot.com/2009/01/monopoli-negara-dan-kesejahteraan-dalam.html (diakses pada tanggal 15 Agustus 2012).

35

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Bab IV.

a. Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subsitusinya; atau; b. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan

usaha barang dan atau jasa yang sama; atau

c. Satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Dapat dijabarkan unsur-unsur dalam Pasal 17 ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaku Usaha

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 dalam ketentuan umum Undang-Undang No.5 Tahun 1999, pelaku usaha adalah “Setiap Orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”

2. Penguasaan

Yang dimaksud penguasaan adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan dan mengendalikan harga barang dan atau jasa di pasar.

3. Barang

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 16 dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No.5 tahun 1999, “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”

4. Jasa

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 17 dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No.5 tahun 1999, “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

5. Praktek Monopoli

Sesuai dengan Pasal 1 angka 2 dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No.5 tahun 1999, “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”.

Meskipun kata yang dipakai dalam peristilahan adalah “monopoli” tetapi penerapan ketentuan yang termuat dalam Pasal 17 tidak hanya mencakup monopoli dalam arti kata sebenarnya yaitu stuktur pasar yang hanya terdapat satu pemasok di suatu pasar bersangkutan, tetapi lebih dari itu. Ketentuan ini berlaku apabila tidak terdapat oligopoli sebagaimana dimaksud Pasal 4, melainkan pada stuktur pasar lain, hal ini jelas sekali di Pasal 17 ayat (2) butir c, satu peserta menguasai pasar, khususnya apabila memegang pangsa pasar lebih dari 50% (lima puluh persen).36

Ketentuan pangsa pasar 50% (lima puluh persen) berperan utama dalam praktik sebagai batasan awal penyelidikan karena penelitiannya relatif lebih mudah. Selain itu jangkauan Pasal 17 lebih luas dari jangkauan Pasal 4, karena ketentuan Pasal 4 terbatas kepada pasar oligopoli, biasanya hanya diperdagangkan

36

Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

barang homogen.37 Sebaliknya, Pasal 17 juga dapat diterapkan terhadap pasar barang heterogen, seandainya satu pesaing sendirian memiliki pangsa pasar 50% (lima puluh persen) lebih. Dengan demikian, standar tersebut hanya berlaku untuk pesaing yang penguasaan atas pasarnya dapat diduga berdasarkan pangsa pasar atau situasi tertentu, tanpa memperhatikan stuktur pasar bersangkutan38.

Asumsi menurut undang-undang, yang termuat di Pasal 17 ayat (2) baru mulai berlaku apabila akibat posisi dominan di pasar kemungkinan besar akan terjadi atau telah terjadi penyalahgunaan sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 dan 6, yaitu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dugaan yang dapat dibantah malah sangat terbatas karena hasil pemeriksaan harus dinilai atas dasar rule of reason.39

Pasal-pasal dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menggambarkan bentuk dari pendekatan per se illegal ini melalui pasal yang sifatnya imperatif dengan interpretasi yang memaksa, sebagai kebalikan dari pendekatan per se illegal maka pendekatan rule of reason menggunakan alasan-alasan pembenaran apakah tindakan yang dilakukan walupun bersifat anti persaingan tetapi mempunyai alasan pembenara yang menguntungkan dari pertimbangan sosial, keadilan ataupun efek yang ditimbulkannya serta juga maksud (intent).40

Ketentuan-ketentuan Pasal 17 tersebut di atas seperti tidak adanya persaingan substitusi, penciptaan hambatan masuk dan lain-lain harus dilihat secara kritis, bahwa aspek tersebut perlu dianggap sebagai kriteria relevansi oleh lembaga pengawas anti monopoli dalam hal ini adalah KPPU.

37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid. 40

Dokumen terkait