• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

1. Montessori

BAB II KAJIAN TEORI

Bab II membahas mengenai kajian teori, penelitian yang relevan, kerangka

berpikir dan hipotesis penelitian.

A. Kajian Pustaka

Kajian pustaka berisi teori-teori yang mendukung penelitian dan hasil

penelitian yang relevan. Ada beberapa teori yang mendukung penelitian, yaitu

teori tentang Montessori, matematika, alat peraga, alat peraga Papan Pin Perkalian

Montessori, dan tingkat kepuasan.

1. Montessori

Sub bab ini akan membahas mengenai riwayat Montessori, metode

Montessori, dan karakteristik alat peraga Montessori.

a. Riwayat Montessori

Maria Montessori atau yang sering dipanggil dengan nama Montessori

adalah seorang perempuan yang telah mengembangkan metode pendidikan

melawan pola pendidikan konvensional. Montessori lahir pada tanggal 31 Agustus

1870 di Chiaravalle, Ancona, Italia Utara (Magini, 2013: 7). Montessori masuk di

sekolah dasar terbaik yang terletak di Via, San Nicolo a Tolentino, Roma pada

tahun 1876 pada usia enam tahun (Montessori, 2013: 4). Pada tahun 1883,

Montessori diterima di Regia Secoula Technicia Michelangelo Buonarroti yang

ke Regio Instito Technico Leonardo Da Vinci. Pada tahun 1990, Montessori

membuat keputusan besar, yaitu berhenti belajar di sekolah teknik dan mengambil

sekolah dokter.

Montessori adalah perempuan pertama yang diterima di sekolah kedokteran

(Montessori, 2013: 6). Pendidikan Montessori di kedokteran membuat Montessori

berusaha menciptakan sebuah pedagodi ilmiah, yaitu metode pendidikan yang

didasarkan pada ilmu pengetahuan (Montessori, 2013: 68). Metode pendidikan

yang digunakan Montessori dikembangkan berdasarkan metode pendidikan yang

dilakukan Itard dan Seguin terhadap anak-anak liar dan gangguan mental. Seguin

merancang serangkaian alat dan bahan ajar untuk melatih indera-indera dan

keterampilan fisik anak-anak dengan gangguan mental (Montessori, 2013: 12).

Montesori mengembangkan dua prinsip berdasarkan karya Itard dan Seguin

(Montessori, 2013: 12) yaitu (1) keterbelakangan mental membutuhkan satu jenis

pendidikan khusus dan penanganan medis, (2) pendidikan khusus membutuhkan

bahan dan alat pembelajaran.

Montessori mendirikan Casa dei Bambini atau Rumah Anak-Anak pada 6 Januari 1907 di Roma (Montessori, 2013: 22). Montessori memulai ekperimennya

selama 2 tahun di Casa dei Bambini yang diterapkan untuk anak usia 3 sampai 6 tahun. Casa dei Bambini didirikan untuk memberikan pengasuhan bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja dan tidak dapat mengasuh anak-anaknya (Magini,

2013: 47). Casa dei Bambini memiliki seorang direktris, dokter dan pengasuh (Montessori, 2013: 163). Direktris adalah seorang guru yang bertugas mendidik

pemberontak ternyata memiliki ketertarikan yang sangat besar pada alat peraga

Montessori (Magini, 2013: 48). Anak-anak yang tadinya liar secara sepontan mau

bermain dengan alat peraga tersebut. Alat peraga membuat anak-anak menjadi

lebih komunikatif, dapat bersosialisasi, dan terlihat lebih bahagia. Montessori

(2013: 192) menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran di Casa dei Bambini adalah kepadatan dan keringkasan, kesederhanan dan obyektivitas. Keringkasan dan

kepadatan maksudnya adalah bahasa yang digunakan dalam pembelajaran

hendaknya ringkas dan jelas. Pembelajaran akan semakin sempurna apabila guru

atau direktris mampu meminimalkan kata-kata yang tidak berguna.

Kesederhanaan maksudnya adalah kata-kata yang digunakan guru atau direktris

dalam pembelajaran harus diusahakan yang paling sederhana dan mengacu pada

kebenaran. Objektivitas maksudnya adalah pelajaran harus disampaikan dengan

cara di mana sikap pribadi dari pengajar tidak ditampakkan.

b. Metode Montessori

Metode pembelajaran Montessori adalah metode pembelajaran yang

dikembangkan oleh Maria Montessori. Pembelajaran dalam metode ini dilakukan

dengan memanfaatkan berbagai alat peraga (Magini, 2013: 50). Alat peraga

tersebut dirancang untuk melatih kepekaan indera dan keterampilan fisik siswa.

Pendidikan di sekolah Montessori memiliki beberapa prinsip (Montessori,

2002: 8). Proses belajar akan berlangsung baik apabila diselenggarakan dengan

memberi keleluasaan dan kemerdekaan kepada siswa untuk beraktivitas pada

lingkungan belajarnya. Tugas utama guru adalah mendidik siswa menjadi anak

siswa untuk aktif di kelas (Magini, 2013: 53). Montessori (2002: 11) menjelaskan

bahwa syarat utama untuk menjadi pribadi yang bebas adalah kemandirian.

Montessori tidak membenarkan adanya hukuman dan hadiah dalam metode

pembelajarannya (Crain, 2007: 111). Montessori (2013: 78) menjelaskan bahwa

“metode Montessori bersandar pada prinsipnya bahwa pendidikan seorang anak harus muncul dari dan bertepatan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu

sendiri”. Tiga periode perkembangan menurut Montessori antara lain: (1) usia dari lahir sampai enam tahun. Anak pada usia dari lahir sampai enam tahun mulai

mengekplorasi lingkungan, menyerap informasi, dan menggunakan bahasa, (2)

usia enam tahun sampai dua belas tahun. Anak pada usia enam tahun sampai dua

belas tahun mulai mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang sudah

diperoleh pada periode yang sebelumnya, (3) usia dua belas sampai lima belas

tahun. Anak pada usia dua belas sampai lima belas tahun mulai belajar untuk

memahami peran sosial dan memahami posisinya pada masyarakat.

Peran guru hanya sebagai pemandu proses pembelajaran, fasilitator, dan

pengamat pada sekolah Montessori (Magini, 2013: 53). Guru adalah direktris di

sekolah Montessori. Guru sebaiknya mampu menciptakan lingkungan

pembelajaran dengan perlengkapan yang menarik dan tepat, serta tidak

memaksakan tugas-tugas maupun kegiatan kepada siswa. Motivasi intrinsik siswa

untuk belajar penting dalam kegiatan pembelajaran Montessori. Siswa akan fokus

pada kegiatan pembelajaran dan akan terus mengulanginya sampai mereka

berhasil menguasai kegiatan tersebut dengan baik saat siswa tertarik terhadap

sedemikian rupa untuk menumbuhkan dan melatih kepekaan indera siswa,

keterampilan berbahasa, keterampilan fisik, sosial, dan kebudayaan (Montessori,

2013: 84). Keterampilan indera siswa mencakup keterampilan untuk membedakan

nada-nada suara, warna, dan tekstur atau permukaan suatu benda. Keterampilan

berbahasa dilatih melalui kegiatan pembelajaran dengan bunyi-bunyian dan

huruf-huruf yang nantinya akan berkembang menjadi kemampuan membaca dan

menulis.

c. Karakteristik Alat Peraga Montessori

Metode Montessori merupakan metode pembelajaran yang memanfaatkan

berbagai material atau alat peraga. Alat peraga Montessori adalah alat peraga yang

dirancang oleh Montessori untuk melatih kepekaan indera dan keterampilan fisik

siswa (Montessori, 2013). Alat peraga Montessori juga berfungsi untuk melatih

kemampuan menangkap berbagai rangsangan dari latihan yang dilakukan secara

berulang-ulang (Montessori 2002: 19). Alat peraga matematika berbasis metode

Montessori dirancang untuk mengembangkan kemampuan matematika dan

membantu siswa dalam memanipulasi materi pelajaran (Lillard, 1997).

Manipulasi yang dimaksud adalah kemampuan untuk memahami materi dengan

benda-benda konkrit menuju materi yang lebih abstrak. Alat peraga tersebut dapat

membantu siswa dalam memahami perintah dan mengkonstruksi konsep-konsep

baru dari materi yang dipelajari.

Alat peraga tersebut mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu yang

membedakannya dengan alat peraga yang lain. Terdapat lima karakteristik alat

auto-correction, dan auto-education. Karakteristik alat peraga Montessori yang pertama adalah menarik. Ada beberapa hal yang pelu dilakukan guru untuk dapat

menciptakan pembelajaran yang menarik. Guru hendaknya dapat memilih alat

peraga yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yaitu untuk mengembangkan

seluruh potensi siswa, tidak membuat anak jenuh dan dapat menarik perhatian

siswa (Montessori, 2002: 17). Karakteristik alat peraga Montessori yang kedua

adalah bergradasi. Alat peraga Montessori memiliki gradasi untuk melatih siswa

membedakan warna, bentuk, dan usia siswa dalam rangka membantu

mengembangkan potensinya melalui pelatihan indera. Tablet dengan warna-warna

yang beragam dapat digunakan untuk melatih siswa dalam membedakan warna.

Siswa diminta untuk memasangkan tablet-tablet dengan warna yang sama dan

mengelompokkan tablet berdasarkan kesamaan warna serta gradasi gelap terang

(Montessori, 2002).

Penggunaan alat peraga Montessori juga harus disesuaikan dengan usia

siswa. Anak pada usia 3-7 tahun dan usia sekolah dasar, biasanya lebih tertarik

pada objek-objek yang merangsang indera mereka dari pada pemikiran yang

hanya mengandalkan kemampuan otak (Montessori, 2002: 23). Pembelajaran

sebaiknya dimulai dengan mempelajari hal-hal konkret melalui latihan

penginderaan menuju hal-hal abstrak yang mengandalkan kemampuan penalaran

otak.

Karakteristik alat peraga Montessori yang ketiga adalah auto-correction. Alat Peraga mempunyai pengendali kesalahan atau auto-correction, yaitu alat peraga tersebut mampu menjawab dan menunjukan letak kesalahan siswa ketika

menggunakannya tanpa adanya koreksi dari orang lain atau orang yang lebih

dewasa (Magini, 2013: 54). Siswa dapat mengetahui letak kesalahannya sendiri

ketika menggunakan alat peraga Montessori. Montessori menjelaskan bahwa

materi pelajaran hendaknya disampaikan dengan memberikan kesempatan kepada

siswa untuk mengeksplorasi, memanipulasi, dan memiliki kontrol terhadap

kesalahan yang dilakukan (Lilard, 1997).

Auto-correction dapat dilihat pada penggunaan alat peraga silinder-silinder kayu dengan berbagai ukuran untuk dimasukkan ke dalam lubang-lubang pada

balok kayu (Montessori, 2013: 29). Alat Peraga ini mempunyai alat pengendali

kesalahan sendiri. Silinder kecil akan masuk jika diletakkan pada lubang balok

yang besar, tetapi tidak dapat masuk jika diletakkan pada lubang balok yang lebih

kecil. Siswa dapat mengoreksi sendiri kesalahan yang dibuat dengan mengulangi

kegiatan tersebut sampai siswa mampu melakukannya dengan baik berdasarkan

peristiwa tersebut.

Karakteristik alat peraga Montessori yang keempat adalah auto-education. Alat peraga Montessori memungkinkan siswa untuk belajar mengembangkan diri

secara mandiri dan mengurangi bantuan dari guru maupun orang yang lebih

dewasa (Montessori, 2002: 18). Keberhasilan pendidikan berbasis penginderaan

tidak tergantung pada kemampuan guru dalam mengajar, tetapi tergantung pada

lingkungan belajar dan alat peraga yang digunakan. Alat peraga Montessori

memberi kesempatan siswa untuk melatih dirinya untuk mengamati,

membandingkan objek yang dipelajari, dan berpikir untuk mengambil keputusan

Montessori menegaskan bahwa manusia dapat berhasil bukan karena diajari

oleh gurunya, tetapi karena mereka mengalami dan melakukannya sendiri

(Magini, 2013). Tugas guru adalah melakukan presentasi menggunakan alat

peraga kepada siswa dan meletakkannya kembali pada tempatnya (Magini, 2013:

55), kemudian guru berdiri di belakang kelas untuk melihat dan membiarkan

siswanya bekerja sendiri dengan alat peraga yang ada. Karakteristik alat peraga

Montessori yang kelima adalah kontekstual. Peneliti menambahkan karakteristik

kontekstual karena pembelajaran Montessori menggunakan alat peraga yang

terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan sekitar. Pembelajaran

Montessori juga menggunakan bahan-bahan yang diketahui oleh siswa, misalnya

berbagai bentuk bangun geometri yang terbuat dari kayu. Peneliti dapat menarik

kesimpulan bahwa karakteristik alat peraga Montessori adalah menarik,

bergradasi, auto-education, auto-correction, dan kontekstual.

Dokumen terkait