• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Morfin

Morfinditemukan sebagai alkaloid aktif pertama diekstrak dari tanaman poppy opiumdan pada 1805, morfin pertama kali diisolasi dari opium oleh FWA apoteker Jerman Serturner, yang bernama obat “morphium” dari Morpheus, Dewa Mimpi Yunani. Penggunaanmorfinpertama sekali pada PerangSaudara Amerikadan diyakini menjadiawalkecanduanopiatluas untukinjeksi.Kecanduan morfindisebut “penyakit tentara”karena lebih dari400.000tentara yang terlukadikirim pulangdengan morfinuntukmenghilangkan rasa sakit.40

2.6.1. FarmakologiMorfin

Morfin terdiri dari cincin benzenadengan kelompokhidroksil fenolikpada posisi3 dankelompokalkoholhidroksilpada posisi6 danpadaatom nitrogen. Kedua kelompokhidroksildapat dikonversi

Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel pembuluh darah, penelitian telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi leukosit selama hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin pro-inflamasi dalam darah seluruh manusia secara in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda pada hati babi, S-(+)- ketamin efektif dalam mengurangi perlengketan neutrofil, sedangkan R-(-)- ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran dari pembuluh darah koroner sekitar jaringan.34

2.6. Morfin

Morfinditemukan sebagai alkaloid aktif pertama diekstrak dari tanaman poppy opiumdan pada 1805, morfin pertama kali diisolasi dari opium oleh FWA apoteker Jerman Serturner, yang bernama obat “morphium” dari Morpheus, Dewa Mimpi Yunani. Penggunaanmorfinpertama sekali pada PerangSaudara Amerikadan diyakini menjadiawalkecanduanopiatluas untukinjeksi.Kecanduan morfindisebut “penyakit tentara”karena lebih dari400.000tentara yang terlukadikirim pulangdengan morfinuntukmenghilangkan rasa sakit.40

2.6.1. FarmakologiMorfin

Morfin terdiri dari cincin benzenadengan kelompokhidroksil fenolikpada posisi3 dankelompokalkoholhidroksilpada posisi6 danpadaatom nitrogen. Kedua kelompokhidroksildapat dikonversi

Meskipun ketamin memiliki sedikit efek pada endotel pembuluh darah, penelitian telah menunjukkan penurunan yang signifikan dalam aktivasi leukosit selama hipoksemia atau sepsis. Ketamin menekan produksi sitokin pro-inflamasi dalam darah seluruh manusia secara in vitro. Dalam sebuah studi tentang efek isomer berbeda pada hati babi, S-(+)- ketamin efektif dalam mengurangi perlengketan neutrofil, sedangkan R-(-)- ketamin memiliki efek negatif yaitu memperburuk kebocoran dari pembuluh darah koroner sekitar jaringan.34

2.6. Morfin

Morfinditemukan sebagai alkaloid aktif pertama diekstrak dari tanaman poppy opiumdan pada 1805, morfin pertama kali diisolasi dari opium oleh FWA apoteker Jerman Serturner, yang bernama obat “morphium” dari Morpheus, Dewa Mimpi Yunani. Penggunaanmorfinpertama sekali pada PerangSaudara Amerikadan diyakini menjadiawalkecanduanopiatluas untukinjeksi.Kecanduan morfindisebut “penyakit tentara”karena lebih dari400.000tentara yang terlukadikirim pulangdengan morfinuntukmenghilangkan rasa sakit.40

2.6.1. FarmakologiMorfin

Morfin terdiri dari cincin benzenadengan kelompokhidroksil fenolikpada posisi3 dankelompokalkoholhidroksilpada posisi6 danpadaatom nitrogen. Kedua kelompokhidroksildapat dikonversi

Bentuktersiernitrogentampaknyapenting

untukanalgesiadarimorfin;membuatnitrogenkuartenersangatmengurangian algesia,karena tidak dapatmasuk ke dalamsistim saraf

pusat.Perubahangugus metilpadanitrogenakan

menurunkananalgesiajuga,menciptakanantagonissepertinalorphine.

27,33,36

Secara farmakologis morfin memiliki kelarutan dalam lemak yang rendah. Morfin memiliki pKa (8.0) yang lebih tinggi dari pKa tubuh. Hanya 10% sampai 20% dari morfin dalam bentuk tidak terionisasi. Distribusi dan penetrasi morfin kedalam dan keluar otak diperkirakan lebih lambat dari opioid lainnya. Diperkirakan hanya 20% sampai 40% terikat pada albumin dengan waktu 5-20 menit dan kadar puncak tercapai dalam waktu 20 menit sampai 60 menit setelah suntikan. Setelahpemberian oral, hanya sekitar 40sampai50 persendari dosismencapaisistem saraf pusat.27,33,36

Hepatic extraction ratiomorphinecukup tinggi, maka bioavaibilitas morfin yang diberikan secara oral sangat rendah (20% sampai 30%) dibandingkanpemberian intramuskular atau subkutan. Morfin dimetabolisme melalui proses konjugasi di hati tetapi ginjal memiliki peran yang utama dalam metabolisme dan ekskresi morfin. Di hati morfindimetabolisme melalui prosesdemetilasidanglukuronidasi;

glukoronidasiadalahmetabolismemorfin, menghasilkan Morphine 6-glucuronide(M6G) dan Morphine 3-glucuronide(M3G) dalamrasio6:1.

Glukuronidasiterjadisegera setelahmorfin memasukiserumbaikdi hati

dandiluar hati. M3Gdalam konsentrasi cukup

tinggidiyakiniberpotensimenyebabkanhiperalgesia.

DemetilasimelaluiCYP3A4danCYP2C8menghasilkannormorfin.Ferr aridkkmenemukan bahwa hanya8dari 12 pasienpadanormorfinyang diproduksi.Morphine 3-glucuronide (M3G) adalah metabolit utama dari morfin, tetapi tidak terikat pda opioid reseptor dan tidak memiliki aktivitas analgetik. M3G mungkin dapat bertindak sebagai antagonisasi dari efek morfindan hal ini mungkin bisa menerangkan perannya dalam

27

menimbulkan resistensi analgetik. Morphine 6-glucuronide (M6G) didapati sekitar 10% dari hasil metabolismemorfin dan ini lebih poten terhadap mu reseptor dari pada morfin sehingga pada pasien yang mengalami gangguan ginjal dapat terjadi akumulasi M6G dan terjadi depresi napas.Eliminasi morfin terutama dilakukan oleh ginjal dengan 10% melalui ekskresi bilier. Karena5-10% dari morfin diekskresikan dalam bentuk utuh di urin, sehingga gagal ginjal dapat memperpanjangdurasi kerjanya.27,33,36 2.6.2. Mekanisme Kerja Morfin

Reseptor opioid terdiri dari mu (µ), kappa (ĸ), delta (δ) dan sigma (σ). Efek kerja dari opioid terhadap reseptor tergantung dari reseptor mana yang teraktivasi. Morfin dominanbekerja dengan mengaktivasi reseptor mu,kapaa. Setelah reseptor ini diaktifkan,ia melepaskan sebagian dari protein G, yang berdifusidalam membran hingga mencapai target (baikenzim atau saluran ion).27,33,36

Target ini kemudian mengubahfosforilasi protein melalui penghambatan siklik AMP(cAMP) yang bertindak sebagai utusan kedua dalamsel yang dihasilkan dalam aktivasi protein kinase (efek jangka pendek) dan protein gen transkripsi dan / atautranskripsigen(efek jangka

panjang).Opioidreseptoryang terletak

diterminalpresinaptikdarinosiseptifserat Cdan Adelta akan diaktifkanolehagonisopioid,secara tidak langsung akanmenghambatsaluran kalsium. PenurunancAMPdapat menghalangipelepasan neurotransmitersakitsepertiglutamat,substansi P, dan calsitoningen-related peptidedari seratnosiseptif, menghasilkan analgesia.27,33,36

Telah diketahui bahwa efek antinyeri dari opioid berhubungan dengan kemampuannya menghambat secara langsung ascending transmission dari rangsangan nyeri yang berasal dari medulla spinalis dan mengaktivasi kontrol nyeri yang turun dari midbrain, melalui rostral

ventromedial medulla (RVM) ke medulla spinalis. Dengan kata lain ketika reseptor opioid teraktivasi maka terjadi hambatan respon terhadap neurotransmiter eksitatori seperti asetilkolin, substansi P. Penelitian imunohistokimia dan hibridasi in situ menunjukkan bahwa reseptor opioid terletak di banyak tempat di susunan saraf pusat seperti amigdala, mesencephalon, reticular formation, periaqueductal gray matter (PAG), dan rostral ventral medulla.27,33,36

2.6.3. Efek Morfin pada Fungsi Organ

Secara umum, opioid tidak terlalu mengganggu fungsikardiovaskular jika dalam rentang dosis yang benar.Dosis tinggimorfin, berkaitandenganbradikardiaoleh karena aktivasi vagus. Tekanan darah arterisering turunsebagai akibat daribradikardia, venodilatasi, dan

penurunan reflekssimpatik dan

kadang-kadangmembutuhkanvasopresor(misalnyaefedrin).

Morfinmembangkitkanpelepasan histaminpada beberapa individuyang dapat menyebabkanpenurunan tahanan pembuluh darahsistemik.Efek daripelepasan histamindapat diminimalkanpada pasien yangrentandengan cara infusopioidlambat dan volume intravaskular yangcukup.27,33,36

Morfin menekanventilasi, khususnya pernapasan. Kadar PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 menurun. Efek ini dimediasi melalui pusat-pusat pernafasan di batang otak. Ambang batasthe apneic PaCO2 tertinggi di mana pasien tetap apneicyang ditinggikan, danhypoxia drive menurun. Perbedaan jenis kelamin mungkin berpengaruh. Perempuan menunjukkan depresi pernafasan yang lebih. Morfindapat menyebabkan bronkospasme pada pasien yang rentan terhadap pelepasan histamin dan dapat menimbulkan gatal diseluruh tubuh.27,33,36

Secara umum opioid termasuk morfin mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah daripada barbiturat dan benzodiazepinyang pada

29

akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam keadaan normokarbia.

Ditemukan juga bahwa setelah pemberian bolus pada pasien dengan tumor otak ataupun trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan intrakranial. Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP terjadi secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu. Ransangan pada CTZ didaerah postrema menjadi penyebab tingginya mual dan muntah.

Ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan pemberian opioid berulang.27,33,36

Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi peristaltik. Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap kontraksi sphincter oddi. Pada pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran gastrointestinal biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat berkurangnya motilitas lambung.Morfin dapat menghambat pelepasan stress hormon seperti kortisol, antideuretik hormon, katekolamin sehingga hal ini dapat mengurangi gejolak hemodinamik terutama pasien-pasien dengan masalah jantung.27,33,36

2.6.4. Penggunaan Klinis Morfin

Morfin sering digunakan untuk mengatasi nyeri yang tergolong sedang sampai berat. Karena efek samping dari morfin sangat luas maka sebaiknya dalam pemberiannya disertai dengan monitoring terhadap efek samping dan dengan menggunakan monitor standar misalnya dengan monitor denyut jantung, laju pernapasan, saturasi oksigen dan tekanan darah. Dalam perannya sebagai analgetik, morfin sering diberikan melalui oral, intravena, intramuskular, epidural dan yang terakhir intraspinal.

Pemberian secara oral merupakan metode pilihan karena mudah diberikan serta biaya yang lebih murah.

Untuk sediaan oral terdapat dua sediaan yaitu morphinesolution dan morphinecontrolled release. Morphine solution formulasinya dalam kadar 20mg/5ml dan dapat diberikan dengan dosis 10 mg dan diberikan dalam interval 3 sampai 4 jam dengan mula kerja 0,5 sampai 1 jam dan memilki waktu paruh 2 sampai 4 jam. Sedangkan morphine controlled release diberikan dengan dosis 15 mg dan diberikan interval 8 sampai 12 jam dengan mula kerja obat 1 jam dan memiliki waktu paruh 2 sampai 4 jam.41

Pemberian secara intravena memberikan akses onset kerja yang cepat ke sirkulasi sistemik. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg dengan onset of action 3 sampai 5 menit dengan waktu kerja puncak 30 menit dengan durasi 3 sampai 4 jam.Tetapi disebagian tulisan anestesi disebutkan morfin intravena dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/IV.41

Pemberian intramuskular morfin juga dapat dilakukan tetapi seringnya pasien merasa nyeri ketika obat disuntikkan sehingga tidak dianjurkan untuk mengobati nyeri akut. Morfin intramuskular dapat diberikan 10 mg atau 0,1 sampai 0,3 mg/kgBB dengan durasi 3 sampai 6 jam.41

Ada suatu modalitas yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi nyeri dan ini dikontrol oleh pasien sendiri. PCA atau patient controlled analgesia merupakan suatu teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh klinisi dalam mengobati nyeri kanker. Pasien dapat memberikan obatnya sendiri dengan menekan tombol melalui teknologi komputer. Ada dua jenis mode mesin pompa dengan program komputer dan yang tidak dilengkapi dengan program komputer. Dengan PCA kadar analgetik dalam darah yang diberikan selalu dalam keadaan dosis analgetik. Tetapi sebelumnya morfin di berikan sampai dosis analgetik tercapai setelah itu PCA dapat dimulai. Dosis awal morfin yang dianjurkan adalah 2 sampai 4 mg dapat

31

diulang tiap 5 sampai 10 menit sampai skor nyeri tercapai < 4 dari 10 atau laju pernapasan < 12 kali permenit. Setelah itu dapat diberikan dosis kontinu 0 sampai 2 mg tiap jamnya.41

Pemberian melalui epidural dan spinal juga merupakan metode yang dinilai terbaik dalam mengatasi nyeri karena langsung bekerja dengan memblok saraf yang terdapat pada medulla spinalis. Misalnya dengan morfin intraspinal.Anestesi lokal sering dikombinasi dengan morfin dengan tujuan memperpanjang efek analgesia pascaoperasi dengan dosis morfin0,1-0,3-0,5 mg dengan onset kerja 45 sampai 75 menit dengan durasi kerja 18 sampai 24 jam. Sumber lain menyebutkan bahwa dosis morfin0,1-0,8 mg dapat memberikan kepuasan dalam pengobatan nyeri 24 jam pertama setelah pengobatan. Dosis 0,1-0,2 mg memberikan kepuasan pengobatan nyeri dengan insiden efek samping depresi napas yang rendah. Jadi, penggunaan morfin diatas dosis 0,3 mg meningkatkan resiko depresi napas. Jika dibandingkan modalitas pengobatan antara PCA, dan intraspinal maka insidensi terjadinya depresi napas didapati paling tinggi pada intraspinal dibandingkan dengan PCA. Penggunaan kateter intraspinal dengan tujuan untuk pemberian morfin kontinu tidak dianjurkan sebagai suatu modalitas yang rutin dalam pengobatan nyeri jangka pendek.41

Penggunaan kateter untuk pemberian antinyeri kontinu sering dilakukan pada teknik epidural dan dinilai sebagai metode terbaik dibandingkan dengan yang lain. Morfin sering digabung dengan anestesi lokal dengan dosis 2 sampai 5 mg dengan onset kerja 60 sampai 90 menit dan durasi selama 4 sampai 24 jam atau dengan dosis 0,1-1mg per jam.

Morfin dapat diberikan melalui bolus intermiten berdasarkan waktu atau melalui infus. Jadi, modalitas atau teknik pemberian morfin yang bagaimanapun harus berdasarkan kegunaan masing-masing teknik serta efektivitasnya terhadap pasien dengan mempertimbangkan prinsip kekurangan dan kelebihan suatu teknik.41

dilakukan Operasi Sesar

Stimulasi Pembedahan

Anestesi Spinal

Kerusakan Jaringan Akibat Pembedahan Menimbulkan Reaksi Inflamasi

MorfinIV Ketamin IV

NMDA Antagonis.

Penghambatan Sentisisasi Sentral

Agonis Opioid Reseptor.

Penghambatan Sensitisasi Sentral

NYERI

NYERI NYERI

DIHAMBAT DIHAMBAT

33

2.8. KERANGKA KONSEP

Ketamin0,5 mg/kgBB/IV

Durasi Analgesia

= VARIABEL BEBAS

= VARIABEL TERGANTUNG Morfin 0,1 mg/

kgBB/IV

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan uji klinis acak tersamar ganda untuk menilai perbandingan durasi analgesia ketamin 0,5 mg/kgBB/IV dan morfin 0,1 mg/kgBB/IV sebagai analgesia pascaoperasi pada pasien operasi sesar dengan anestesi spinal.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan rumah sakit jejaring.

3.2.2. Waktu Penelitian

Dilakukan mulai April 2015 sampai selesai.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Seluruh pasien yang akan menjalani operasi sesar dengan anestesi spinal.

3.3.2. Sampel

Diambil dari pasien yang akan menjalani operasi sesar dengan anestesi spinal yang telah memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Setelah dihitung secara statistik, seluruh sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok:

Kelompok A akan mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB/IV, kelompok B akan mendapat morfin 0,1 mg/kgBB/IV.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus uji hipotesis terhadap rata-rata dua populasi, pada dua kelompok independen yaitu:

35

n1 = n2=2 x [(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)𝑆 (𝑋1 − 𝑋2) ]

Zα : Tingkat kemaknaan 1,96 (ditetapkan) Zβ : Tingkat kekuatan 2,49 (99%, ditetapkan) S : Standar deviasi gabugan

X1 : Rerata durasi klinis pada kelompok ketamine X2 : Rerata durasi klinis pada kelompok morphine X1-X2 : Perbandingan klinis yang ditetapkan

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasan AA10.

S: 45,3 + 42,84 = 44,14 2

X1-X2 =280-214,33= 65,67 = 66

n1 = n2=2 x [(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)𝑆 (𝑋1 − 𝑋2) ] n1 = n2 =2 x [(1,96 + 2,49)44,14

66 ]

n1=n2=n3= 2x 9 =18

jumlah sampel n1=n2=18 sampel ditambah 10% sehingga n1=n2 = 20 sampel atau total pasien 42 pasien.

3.4.1. Sampel dan Cara Pemilihan (Randomisasi) Sampel

Diambil dari pasien yang akan menjalani operasi sesar terencana dan emergency dengan anestesi spinal.

a. Kelompok A akan mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB/IV b. Kelompok B akan mendapat morfin 0,1 mg/kgBB/IV

c. Randomisasi blok dilakukan oleh relawan dengan memakai tabel angka random. Dengan menjatuhkan pena kekertas tabel random, ujung pena merupakan angka mulai urutan.

2

2

d. Kedua kelompok perlakukan dibagi menjadi kelompok A dan B yang ditentukan oleh relawan dan obat dari semua kelompok diracik oleh relawan.

3.5. Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Putus Uji 3.5.1. Kriteria Inklusi

a. Status fisik ASA II

b. Operasi sesar ≤ 90 menit 3.5.2. Kriteria Ekslusi

a. Pasien menolak ikut serta dalam penelitian b. Kontraindikasi anestesi spinal

c. Pasien dengan riwayat alergi dengan obat yang akan diteliti 3.5.3. Kriteria Putus Uji

a. Pasien gagal anestesi spinal

b. Pasien mengeluh nyeri sebelum operasi sesar dinyatakan selesai c. Pasien mendapat analgetik selain obat yang akan diteliti

3.6. Identifikasi Variabel 3.6.1. Variabel Bebas

a. Ketamin 0,5 mg/kgBB/IV (KTM®) b. Morfin 0,1 mg/kgBB/IV

3.6.2. Variabel Tergantung

a. Durasi analgesia pascaopersi 3.7. Defenisi Operasional

1. Bupivakain adalah anestesi lokal golongan amida dan derivat mevikain yang tiga kali lebih efektif dari asalnya. Nama kimia obat ini 1-butyl-N-[2,6-dimethylphenyl] piperidine-2-carboxamide.

2. Analgesia efektif adalah obat analgetik yang dapat menurunkan tingkat nyeri pascaoperasi sesar dengan skor VAS < 4 dalam jangka waktu minimal 5 jam serta memiliki efek samping yang minimal dalam waktu 24 jam pascaoperasi.

37

3. Morfin adalah analgetik golongan opioid terdiri dari cincin benzena dengan kelompok hidroksil fenolik pada posisi 3 dan kelompok alkohol hidroksil pada posisi 6 dan pada atom nitrogen.

4. Ketamin adalah obat anestesi intravena yang bekerja sebagai antagonis NMDA reseptor dan memiliki rumus kimia 2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamine)-cycloexanone.

5. ASA II adalah adalah pasien yang akan menjalani operasi ditemukan kelainan sistemik ringan selain yang akan dioperasi.

6. Durasi analgesia pertama adalah waktu saat pertama sekali pasien mengeluhkan nyeri setelah anestesi spinal dilakukan.

7. Durasi analgesia kedua adalah waktu saat pertama sekali pasien mengeluhkan nyeri setelah mendapatkan analgesia pertama.

8. Sedasi adalah penurunan tingkat kesadaran pasien yang diukur dengan skala Ramsay. Skala Ramsay terdiri dari

 1 = cemas, agitasi, tidak tenang

 2 = komunikatif, tenang

 3 = respon terhadap verbal

 4 = respon terhadap rangsangan (cahaya dan keributan)

 5 = respon terhadap rangsang nyeri

 6 = pasien tidak respon

9. Analgetic rescue adalah analgetik atau obat anti nyeri tambahan apabila nilai VAS yang ditunjukkan oleh pasien menunjukkan tingkat nyeri yang sedang sampai berat (VAS > 4), maka akan diberikan analgetik tambahan yaitu ketamin 0,5 mg/kgBB/IV atau morfin 0,1 mg/kgBB/IV

10. Depresi napas adalah laju pernapasan yang lebih rendah dari normal yaitu < 12 kali/menit.

11. Pruritus adalah sensasi yang tidak menyenangkan yang dapat menimbulkan keinginan untuk menggaruk.

12. Halusinasi adalah pengalaman indra tanpa adanya rangsangan pada alat indra tersebut.

13. T0 adalah jam 0 saat operasi sesar dinyatakan selesai.

14. T1 adalah adalah 1 jam setelah pasien selesai operasi dan waktunya begitu selanjutnya.

15. Gagal anestesi spinal adalah tidak tercapai blok sensorik minimal Th-6 atau pasien mengeluhkan nyeri ketika insisi operasi dimulai.

3.8. Analisis Statistik

a. Setelah data yang diperlukan terkumpul, kemudian data tersebut diperiksa kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Data dikumpulkan ke dalam master tabel dengan menggunakan software Microsoft office exel 2007. Setelah data semua lengkap kemudian data diolah dengan menggunakan komputer.

b. Data numerik dari hasil akan ditampilkan dalam nilai rata-rata ± SD (standar deviasi). Data demografi : Uji kenormalan data numerik digunakan uji Shapiro Wilk, jika distribusi data normal digunakan Mann Whitney, Chi square, T Independent.

c. Untuk membandingkan durasi analgesia, VAS saat pemberian analgetic rescue, dosis total analgetic rescue menggunakan uji Mann Whitney.

d. Untuk membandingkan efek samping keduanya menggunakan uji Fisher’s Exact

e. Interval kepercayaan 95% dengan nilai p < 0,05 dianggap bermakna secara signifikan.

3.9. Alat dan Bahan

3.9.1. Alat yang Digunakan

a. Alat monitor tekanan darah non invasive b. Alat monitor EKG

c. Abocath 18G ( Terumo®)

39

d. Syringe 5 ml ( Terumo®) e. Syringe 10 ml ( Terumo®) f. Jarum spinal 25 G (Spinocan®) g. Laringoskop set (Macinthos ®) h. Pipa endotrakea sesuai ukuran i. Infus set ( Terumo®)

j. Pencatat waktu (stop watch) k. Alat tulis dan formulir penelitian 3.9.2. Bahan yang Digunakan

a. Cairan ringer laktat b. Cairan salin 0,9%

c. Bupivakain 0,5 % hiperbarik d. Morfim 0,1 mg/kgBB/IV

e. Ketamin 0,5 mg/kgBB/IV (KTM®) f. Efedrin 50mg

g. Sulfas Atropin 0,25mg

3.10. Cara kerja 3.10.1 Masalah Etika

a. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta risiko dari hal yang akan terkait dengan penelitian. Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena obat ini sudah lama digunakan dan banyak diteliti sebagai anestesi dan analgesia yang dapat dipakai sesuai dengan jenis pembedahan yang dilakukan pembiusan dengan anestesi spinal. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering dilakukan pada pusat-pusat pendidikan. Kemudian pasien diminta mengisi formulir kesediaan menjadi subjek penelitian.

b. Bila timbul depresi napas pada pasien yang mendapat morfin atau ketamin maka dilakukan bantuan napas dengan bag valve mask dengan tidal volume 8 ml/kgBB dan pertolongan supportive yang lain sehingga tercapai kondisi fisiologis.

c. Jika timbul halusinasi yang menetap dan mengganggu akibat pemberian ketamin maka akan diberikan midazolam (1-2 mg IV) atau haloperidol (0.5 – 1.5 mg oral).

d. Bila timbul efek samping morfin seperti mual, muntah dan pruritus akan diberikan obat-obatan antiemetik dan antihistamin.

3.10.2 Informed Consent

Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta dimintakan keikutsertaannya secara tertulis dalam lembar informed consent.

1. Pasien yang telah terdaftar untuk operasi terencana atau emergency dengan anestesi spinal, dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium darah rutin, kimia darah, dan bila ternyata masuk dalam kriteria inklusi maka pasein diberikan penjelasan.

2. Pasien diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian serta diminta untuk menandatangani surat persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. Pasien tidak diberi premedikasi dan dianjurkan puasa selama 6 jam sebelum operasi untuk pasien operasi terencana.

3. Obat disiapkan dan diberikan atas bantuan relawan II (peneliti tidak mengetahui komposisi obat yang diberikan). Setelah pasien tiba di ruang tunggu kamar bedah, pasien diperiksa ulang terhadap identitas, diagnosa, rencana tindakan pembiusan, akses infus

41

(pastikan telah terpasang infus dengan abocath 18G, threeway dan aliran infus lancar).

 Obat disiapkan oleh relawan II yang dengan cara:

a. Kelompok A akan mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB/IV

b. Kelompok B akan mendapat morfin 0,1 mg/kgBB/IV

 Sebelum pasien memasuki kamar operasi, disiapkan obat dan alat untuk anestesi spinal serta mesin anestesi yang dihubungkan dengan sumber oksigen. Juga disiapkan set alat intubasi, tube endotrakheal (ETT), dan obat-obat gawat darurat seperti epinefrin, sulfas atrofin, efedrin.

Kemudian pasien dibawa memasuki kamar operasi, dipasang alat pemantau (monitoring) pada tubuh pasien dan dicatat data mengenai tekanan darah, laju nadi dan laju nafas sebelum operasi.

 Pasien pada kedua kelompok diberikan preloading cairan Ringer Laktat sebanyak 500-1000 ml, 15 menit sebelum anestesi spinal.

 Pasien diposisikan pada posisi duduk untuk dilakukan anestesi spinal. Setelah dilakukan anestesi dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg pasien diposisikan supine kembali dan level blok sensorik dicapai sampai Th-4.

 Setelah kulit selesai dijahit masing-masing kelompok diberikan obat tersebut dan obat akan dilarutkan dengan salin 0,9%.

a. Kelompok A akan mendapat ketamin 0,5 mg/kgBB/IV

b. Kelompok B akan mendapat morfin 0,1 mg/kgBB/IV

 Setelah luka ditutup verban operasi dinyatakan selesai (T0) dan pasien dibawa ke ruang pemulihan dan dinilai.

 Setelah operasi selesai dinilai skor nyeri (Visual Analogue Scale/VAS) pascaoperasi jam ke 1 (T1), 2 (T2), 3 (T3), 4 (T4), 6 (T5), 9 (T6), 12 (T7), 18 (T8) dan 24 (T9), analgetic rescue, dan efek samping penggunaan ketamin dan morfin (depresi napas, sedasi, pruritus, mual dan muntah).

 Apabila nilai VAS yang ditunjukkan oleh pasien menunjukkan tingkat nyeri yang sedang sampai berat (VAS > 4), maka akan diberikan analgetik tambahan yaitu ketamin 0,5 mg/kgBB /IV atau morfin 0,1 mg/kgBB/IV. Efek samping akibat pemberian obat akan dinilai setelah pemberian obat ketamin dan morfin seperti depresi napas, sedasi, halusinasi mual, muntah dan pruritus.

 Obat analgetic rescue akan diberikan di ruangan oleh

 Obat analgetic rescue akan diberikan di ruangan oleh

Dalam dokumen PERBANDINGAN DURASI ANALGESIA KETAMIN (Halaman 42-96)

Dokumen terkait